Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MATA KULIAH PERPAJAKAN LANJUTAN

(TRANSFER PRICING)

Oleh :

Meiliza Nuraini 01022682125010


Yassinta Agustini 01022682125015

Dosen Pengasuh : Dr. Saaddah Siddik, M.Si, Ak

PROGRAM PASCASARJANA ILMU EKONOMI


BIDANG KAJIAN UMUM AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah tidak lupa kami panjatkan terhadap kehadiran Allah SWT. Sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Perpajakan Lanjutan ini. Serta kami ucapkan
terimakasih kepada “Ibu Dr. Saaddah Siddik, M.Si, Ak” selaku dosen pengasuh mata kuliah
Perpajakan Lanjutan.
Makalah Perpajakan Lanjutan dengan judul Transfer Pricing ini telah kami susun
dengan maksimal. Harapan kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi Pendidikan yang dapat
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami tentang Pajak Kini
dan Pajak Tangguhan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun untuk pembuatan makalah kami selanjutnya.

Palembang, November 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PEMBAHASAN MATERI ....................................................................... 4
A. Defenisi dan Tujuan Transfer Pricing ................................................................ 4
B. Karakter Perusahaan Terkait Transfer Pricing ................................................... 5
C. Hubungan Istimewa ............................................................................................ 5
D. Penentuan Transfer Pricing ................................................................................ 7
E. Transfer Pricing Ganda ..................................................................................... 10
F. Perlakuan Transfer Pricing Di Indonesia ......................................................... 11
G. Issues Transfer Pricing In International Tax ................................................... 14
H. Penangkal Harga Transfer ................................................................................ 15
I. Advanced Pricing Agreements .......................................................................... 16
BAB II REVIEW ARTIKEL.............................................................................. 18
A. Latar Belakang Penelitian................................................................................. 18
B. Perumusan Masalah .......................................................................................... 20
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 20
D. Metodologi Penelitian ...................................................................................... 20
E Hasil dan Pembahasan ....................................Error! Bookmark not defined.22
F. Kesimpulan ....................................................................................................... 26
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

3
BAB I. PEMBAHASAN MATERI
TRANSFER PRICING

A. Defenisi Dan Tujuan Transfer Pricing


Berdasarkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 7
tentang Pengungkapan Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diberikan
definisi sebagai berikut: “Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah
pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak
mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh
signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional”.
Kemudian, transfer pricing merupakan penentuan harga atau imbalan sehubungan
dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa baik dalam negeri ataupun luar negeri. Pasal 1 ayat
(8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010 yang diubah terakhir
dengan PER-32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing)
sebagai “penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa”. Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany
pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan
harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer
barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Tujuan transfer pricing adalah untuk
mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-divisi
perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain.
Selain tujuan tersebut, transfer pricing juga digunakan untuk mengevaluasi kinerja
divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-
keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Praktik transfer
pricing sering digunakan oleh banyak perusahaan sebagai alat untuk meminimalkan
jumlah pajak yang harus dibayar. Adanya hubungan istimewa merupakan kunci dari
dilakukannya praktik transfer pricing dalam bidang perpajakan. Tujuan lain dari
transfer pricing menurut Suandy adalah sebagai berikut :
1. Memaksimalkan penghasilan global.
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar.
3. Mengevaluasi kinerja anak/cabang perusahaan mancanegara.
4. Menghindarkan pengendalian devisa.
5. Mengatrol kredibilitas asosiasi.

4
6. Mengurangi risiko moneter.
7. Mengatur cashflow anak/cabang perusahaan yang memadai.
8. Membina hubungan baik denagn administrasi setempat.
9. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk.
10. Mengurangi risiko pengambilalihan oleh pemerintah

B. Karakter Perusahaan Terkait Transfer Pricing


Masalah harga transfer timbul jika divisi yang terkait diukur kinerjanya
berdasarkan laba divisinya. Perusahaan yang dibentuk berdasarkan divisi-divisi akan
dinilai kinerjanya berdasarkan laba yang diperoleh maka manajer pusat laba sangat
peduli terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan laba, termasuk
didalamnya penentuan transfer pricing (baik bagi divisi pembeli/penjual). Harga
transfer selalu mengandung unsur laba. Bagi divisi penjualan transfer pricing
merupakan pendapatan yang pada gilirannya merupakan unsur laba yang dipakai
sebagai dasar penilaian kinerja. Harga transfer merupakan alat mempertegas
diversifikasi, sekaligus mengintegrasikan divisi yang dibentuk. Proses pembentukan
transfer pricing memberikan kesempatan kepada manajer divisi yang terkait untuk
merunding semua unsur pembentukan transfer pricing, karena unsur ini akan
mempengaruhi besar kecilnya laba.

C. Hubungan Istimewa
Pada dasarnya transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa
adalah suatu kesepakatan atau pengaturan strategi bisnis yang dilakukan oleh sebuah
induk perusahaan terhadap anak perusahaannya atau pihak-pihak yang saling tidak
bebas satu dengan lainnya untuk tujuan tertentu. Unsur kesepakatan dalam
menentukan harga transaksi adalah hal yang paling menjadi perhatian yang sangat
serius baik dari dalam kalangan dunia bisnis maupun dari pihak otoritas perpajakan,
karena kesepakatan dalam penentuan harga dapat membawa dampak keuntungan
maupun kerugian bagi perusahaan dan pihak-pihak terkait (stakeholder). Dalam
PSAK No. 7 ini ditekankan pelaksanaan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
(arm’s length principle) dalam melakukan transaksi antara pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Dalam prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length
principle) penetapan harga dan laba transaksi haruslah sama dan sebanding antara

5
transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak-pihak
yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
Menurut PSAK No. 7 Tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi definisi
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah orang atau entitas yang terkait
dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya, yaitu:
1. Orang atau anggota keluarga terdekat mempunyai relasi jika:
a. Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor.
b. Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
c. Personel manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.
2. Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika:
a. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama.
b. Suatu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain
(atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu
kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya).
c. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.
d. Suatu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain
adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
e. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pasca kerja untuk imbalan kerja
dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor.
f. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang
diidentifikasikan dalam butir (1).
g. Orang yang diidentifikasikan dalam butir (1) dan (i) memiliki pengaruh
signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas
induk dari entitas).

Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (4) mensyaratkan bahwa


hubungan istimewa dianggap ada bila :
1. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% pada wajib pajak lainnya; hubungan antara wajib pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir.
2. Wajib pajak yang menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di

6
bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa
perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. Hubungan
istimewa di antara wajib pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajad. Yang dimaksud dengan “hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan
anak. Sementara itu, “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud dengan “keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri. Sementara
itu, “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat”
adalah ipar.

D. Penentuan Transfer Pricing


Kewajaran (Arm’s Length Principle) merupakan salah satu syarat transfer
pricing. Prinsip kewajaran berarti mengacu kepada sesuatu yang dianggap wajar.
Masalah yang timbul adalah acuan yang digunakan apakah dapat dikatakan sebanding
atau comparable. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-32/PJ/2011 Tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib
Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diatur langkah-langkah
dalam penerapan-penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length
principle), sebagai berikut :
1. Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding;
2. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat;
3. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis
kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi
yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
4. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau laba
wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Menyangkut masalah kewajaran, PSAK No.17, menyebutkan, bahwa
penga kuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada
suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara

7
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertu karan antara
pihak yang independen (arm's length price). Pihak yang mempunyai hubungan
istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan
harga, yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa. Sedangkan menurut UU PPh menyebutkan hal-hal sebagai
berikut: “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”.
Transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, di mana transaksi-transaksi ini dapat mengakibatkan pelaporan
jumlah penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena
pajak bagi Wajib Pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Sejumlah transaksi tersebut antara lain:
1. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud;
2. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan
harta berwujud maupun harta tidak berwujud;
3. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan
jasa;
4. Alokasi biaya; dan
5. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan
penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta
dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud.

Dalam perkembangan selanjutnya, PER-43/PJ/2010 diubah dengan PER-


32/PJ/2011. Di Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011 justru sudah tidak lagi memberikan
rincian transaksi- transaksi apa saja yang dimaksudkan dalam konteks transfer
pricing. Bunyi Pasal 2 ayat (2) di atas diubah menjadi: “Dalam hal Wajib Pajak
melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang
merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan

8
oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
1. Perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
2. Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
3. Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Migas.

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 Tentang


Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib
Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, terdapat beberapa jenis
metode penentuan harga transfer (transfer pricing) yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP).
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan harga
transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.

2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM).


Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat
metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara
pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual kembali
produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi,
aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang
dilakukan dalam kondisi wajar.

3. Metode biaya plus (cost plus method/CPM).


Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor

9
wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha.

4. Metode pembagian laba (profit split method/PSM).


Metode pembagian laba (profit split method) atau metode PSM adalah
metode penentuan harga transfer berbasis laba transaksional (transactional profit
method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi
afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang
memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan
tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa.

5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM).


Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) atau
disingkat TNMM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan
membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap
penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak
pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai
hubungan istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa lainnya.

E. Transfer Pricing Ganda


Untuk memenuhi disparitas pertanggungjawaban dari dua divisi, dikenal juga
harga transfer ganda. Misalnya, divisi penerima dapat mempertimbangkan penerapan
harga transfer berdasarkan biaya diferensial. Sebaliknya, divisi yang melakukan
transfer dapat mempertimbangkan unsur laba dalam penentuan harga transfer dan
memungkinkan kinerja divisi.
Prosedur aplikasi pendekatan ini dapat berupa:

10
1. Pemakaian harga transfer berdasarkan harga pasar, negosiasi, atau arbitrase oleh
divisi yang melakukan transfer dalam menghitung penghasilan dari penyerahan
antar perusahaan.
2. Biaya variabel divisi yang melakukan transfer plus margin kontribusi atas beban
tetap, ditransfer kepada divisi penerima.
3. Total laba per divisi akan lebih besar daripada laba perusahaan, dan laba divisi
produksi akan dieliminasi dalam penysunan laporan keuangan.

F. Perlakuan Transfer Pricing Di Indonesia


Praktek transfer pricing ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan
penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke
Wajib Pajak yang lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah
pajak terutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut. Sebenarnya kekurang-wajaran yang bisa timbul karena adanya praktek
transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak dalam negeri atau antara Wajib Pajak
dalam Negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven
Countries (negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari
Indonesia). Harga transfer dapat terjadi baik antar wajib pajak dalam negeri maupun
antara wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri. Terhadap transaksi antara
wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa, undang-undang perpajakan
Indonesia menganut asas material (substance over form rule). Hubungan istimewa
tersebut dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang
direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Kekurangwajaran tersebut dapat terjadi
pada:
1. Harga penjualan
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (biaya overhead)
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
5. Pembayaran komisi, lisensi, waralaba, sewa, royalti, imbalan jasa manajemen,
imbalan jasa teknik, dan imbalan jasa lainnya

Contoh kasus kekurangwajaran perlakuan harga transfer di Indonesia


1. Harga Penjualan

11
PT.A memiliki 25% saham PT.B Atas barang penyerahan barang ke PT.B. PT. A
membebankan harga jual Rp.160,- per unit, berbeda dengan harga yang
diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada Pt.X (tidak ada
ubungan istimewa) yaitu Rp.200,-per unit
Perlakuan Perpajakan :
Dalam contoh tersebut , harga pasar sebanding (comparable uncontrolled price)
atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT.X yang tidak ada hubungan
istimewa . Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp.200,- per unit. Harga ini
dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/ atau pengenaan pajak.
Jika PT.A adalah pengusaha kena pajak (PKP) , ia harus menyetor kekurangan
PPN-nya (dan PPnBM terutang). Atas kekurangan tersebut dapat diterbitkan SKP
dan PT.A tidak boleh menerbitkan faktur pajak atas kekurangan tersebut, sehingga
tidak merupakan kredit pajak bagi PT.A
2. Harga Pembelian
H Ltd Hongkong memiliki 25% saham PT.B. PT.B mengimpor barang produksi H
Ltd dengan harga Rp3000,- per unit . Produk tersebut dijual kembali kepada PT.Y
(tidak memiliki hubungan istimewa) dengan harga Rp3500,- per unit.
Perlakuan Perpajakan :
Pada contoh tersebut diatas, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk
barang yang sama, sejenis atau serupa atas pembelian /impor dari pihak yang tidak
ada hubungan istimewa aau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa
(ama halnya dengan kasus harga penjualan) . Apabila ditemui kesulitan ,maka
pendekatan harga jual minus dapat diterapkan, yaitu dengan mengurangkan laba
kotor (mark up) yang wajar ditambah biaya lainnya yang dikeluarkan wajib pajak.
Dari harga jual barang kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa . Apabila
laba yang wajar diperoleh adalah Rp750,- maa harga wajar untuk perpajakan atas
pembelian barang dari H Ltd di hongkong adalah Rp2750,- (3500 – 750) . Harga
ini merupakan dasar perhitungan harga pokok PT.B dan selisih Rp250,- antara
pembayaran uang ke H Ltd di hongkong dengan harga pokok yang seharusnya
diperhitungkan dianggap sebagai pembayaran deviden terselubung.
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (biaya overhead)
Pusat perusahaan (Head Office) diluar negeri dari BUT di Indnesia sering
mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost)nkepada BUT
tersebut. Biaya yang di Alokasikan tersebut antara lain adalah :

12
a. Biaya training karyawan BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor
pusat diluar negeri;
b. Biaya Perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut masing – masing BUT;
c. Biaya Administrasi/Manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan
biaya penyelenggaraan perusahaan;
d. Biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan kantor pusat

Perlakuan Perpajakan:
Alokasi biaya-biaya tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan
manfaat yang diperoleh masing masing BUT dan bukan merupakan duplikasi
biaya. Biaya kantor Pusat yang boleh di alokasikan keada BUT tidak termasuk
bunga atas penggunaan dana kantor pusat, kecuali untuk jenis perbankan,dan
royalty/sewa atas harta kantor pusat. Dalam hal berlaku perjanjian penghindaran
pajak berganda maka pengalokasian biaya kantor pusat, kepada BUT adalah
seperti yang di atur dalam perjanjian tersebut. Kewajaran biaya training diatas
dapat diuji dengan membandingkan jumlah biaya training yang sama atau
sejenis,yang diselenggarakan oleh pihak pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa . Untuk biaya lainnya, maka besarnya biaya yang dapat dialokasikan di
hitung berdasarkan factor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik
proporsi manfaat yang dierimanya, misalnya perbandingan dengan peredaran.
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
H Ltd hongkong memiliki 80% saham PT.c Dengan modal yang belum disetor
sebesar Rp200.000.000,. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar
Rp500.000.000 dengan bunga 25% aau Rp125.000.000 setahun. Tingkat bunga
setempat yang berlaku adalah 20%.

Perlakuan Perjakan :

a. Penentuan kembali jumlah utang PT.C pinjaman sebesar Rp200.000.000


diaggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besar hutang PT.C
yang dapat diakui ada;ah sebesar Rp300.000.000 (Rp500.000.000 –
Rp200.000.000)
b. Perhitungan pajak penghasilan bagi PT.C pengurangan biaya bunga yang
dapat dibebankan adalah Rp60.0000.000 (20% x 300.000.000) yang berarti
koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih Rp65.000.000 (125.000.000
– 60.000.000) dianggap sebagai pembayaran deviden kelluar negeri yang

13
dikenakan pajak penghasilan pasal 26 sebesar 20% atau dianggap dengan
tarif sesuai dengan perjanjian penghindaran pajak yang berlaku.
Keterangan PT. C (WP) (juta) PT.C (Fiskal) (Juta)
Pinjaman 500.000.000 300.000.000
Bunga 125.000.000 60.000.000
(25% x 500.000.000) (20% x 300.000.000)
Penurunan Laba 125.000.000 60.000.000
Pengurangan PPh 31.250.000 15.000.000
(25% x 125.000.000) (20% x 60.000.000)
Selisih PPh sebesar 16.250.000 (31.250.000 – 15.000.000)

Maka dengan menggunakan Transfer Pricing Perusahaan dapat menghemat beban


pajak sebesar Rp16.250.000. Selain itu, ada pula indikator dari manipulasi harga
transfer, yaitu antara lain:
a. SPT Tahunan PPh Badan melaporkan rugi dalam beberapa tahun berturut-
turut
b. Peredaran usaha tinggi tapi laba yang diperoleh kecil
c. Transaksi hubungan istimewa yang cukup besar
d. Rugi yang tidak dapat dijelaskan
Untuk meminimalkan atau mengurangi praktik penghindaran pajak,
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan peraturan baru yang dituangkan dalam
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan
Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa sebagai perubahan atas PER-
43/PJ/2010.

G. Issues Transfer Pricing In International Tax


Penelitian akhir-akhir ini telah menemukan bahwa lebih dari 80% perusahaan-
perusahaan multinasional (MNC) melihat transfer pricing sebagai suatu isu pajak
internasional utama, dan lebih dari setengah dari perusahaan ini mengatakan bahwa
isu ini adalah isu yang paling penting. Sebagian besar negara sekarang menerima
perjanjian modal Organization of Economic Cooperation and Development (OECD),
yang menyatakan bahwa harga-harga transfer sebaiknya disesuaikan dengan
menggunakan standar arm’s-length, artinya pada suatu harga yang akan dicapai oleh
pihak-pihak yang independen. Sementara perjanjian model tersebut diterima secara
luas, terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara negara-negara menerapkannya.

14
Meskipun demikian, terdapat dukungan yang kuat di seluruh dunia terhadap suatu
pendekatan untuk membatasi usaha-usaha oleh MNC untuk mengurangi kewajiban
pajak dengan menetapkan harga-harga transfer yang berbeda dengan arm’s-length
standard tersebut. Menurut Arm’s-length standard, harga-harga transfer seharusnya
ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang akan disusun oleh pihak-pihak
yang tidak terkait yang bertindak secara bebas. Arm’s-length standard diterapkan
dalam banyak cara, tetapi metode yang paling banyak digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Comparable uncontrolled pricing method
Metode ini mengevaluasi kewajaran harga transfer dengan mengacu kepada
tingkat harga yang terjadi antara unit yang independen atau antara perusahaan
multinasional dengan unit yang independen. Secara teoritis metode ini termasuk
yang paling baik, namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala,
misalnya perbedaan kuantitas, kualitas, kondisi, waktu penjualan, merek dagang,
pangsa pasar, dan geografis pasar.
2. Resale pricing method
Metode ini ditetapkan untuk produk yang ditransfer ke anggota group lainnya
untuk dijual kembali. Kewajaran harga transfer didekati dengan pengurangan
harga penjualan kepada pihak independen dengan suatu mark up yang wajar
(sebanyak laba dan biaya si penjual).
3. Cost plus pricing method
Metode ini mendekati kewajaran harga transfer dengan menambahkan markup
yang wajar pada harga pokok pihak yang mentransfer. Pendekatan ini umumnya
dipakai dalam hal penyerahan barang setengah jadi (semifinished product) atau
salah satu anggota group sebagai subkontaktor dari yang lainnya.
4. Other method
Dalam keadaan tertentu, kombinasi ketiga metode diatas perlu diterapkan atau
mungkin menggunakan metode lain, misalnya alokasi laba yang diperoleh grup
perusahaan dalam transaksi tertentu, kalkulasi tingkat keuntungan yang pantas
pada investasi wajib pajak.

H. Penangkal Harga Transfer


Ada beberapa prosedur yang dapat ditempuh untuk menanggulangi manuver
pajak melalui harga transfer sebagai berikut.

15
1. Menyingkap praktik bisnis antarperusahaan secara lengkap sehingga dapat
dievaluasi keinginan harga transfer.
2. Harmonisasi pemajakan internasional untuk meniadakan disparitas beban pajak.
3. Kerja sama internasional.
4. Advanced Pricing Agreement (APA)

I. Advanced Pricing Agreements


Advanced Pricing Agreement (APA) adalah persetujuan di antara Internal
Revenue Service (IRS) dan perusahaan dengan menggunakan harga-harga transfer,
untuk menetapkan harga transfer yang disepakati. APA biasanya diperoleh sebelum
perusahaan terikat dalam transfer. Maksud dari program APA adalah memecahkan
masalah perselisihan harga transfer dengan cara tepat dan menghindari proses
pengadilan yang menghabiskan banyak biaya.
Kesepakatan yang dibuat dalam APA terjadi antara wajib pajak dengan
otoritas pajak, bisa terjadi dengan satu otoritas pajak dan juga dengan dua otoritas
pajak dari negara yang berbeda. Apabila APA dilakukan antara wajib pajak dengan
otoritas pajak dalam satu negara maka disebut unilateral APA, sedangkan apabila
APA dibuat oleh wajib pajak dengan dua atau lebih otoritas pajak dari negara yang
berbeda maka disebut multilateral APA.
1. Manfaat APA
Beberapa manfaat dari diselenggarankannya APA adalah sebagai berikut :
a. Memberikan kepastian kepada wajib pajak atas semua penghitungan
mengenai harga transaksi dengan menggunakan metode yang disetujui.
b. Memberikan kepastian terhadap kegiatan wajib pajak termasuk kepastian
mengenai kewajiban pajak yang berkaitan dengan harga transfer.
c. Mengurangi biaya dan waktu pada saat diaudit, karena selama periode APA
berlaku harga transaksi yang telah disepakati oleh wajib pajak dan otoritas
pajak.
d. Dapat mencegah praktik harga transfer yang tidak benar dan semata-mata
hanya untuk menghindari pajak.
2. Masalah dalam Penyelenggaraan APA
Hal yang harus dipertimbangkan dalam penyelenggaraan APA yaitu kemungkinan
adanya potensi kerugian, yaitu:

16
a. Pengorbanan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
APA.
b. Wajib pajak harus mengungkapkan informasi yang mungkin merupakan
rahasia perusahaan kepada otoritas pajak.

Yang perlu diperhatikan, bahwa APA tidak menjamin wajib pajak untuk tidak
diaudit olehotoritas pajak. Masalah-masalah yang tidak tercakup dalam APA masih
dapat diaudit dalam kriteria audit yang biasa dilakukan. APA tidak berlaku retroaktif
sehingga masalah hargatransfer yang ada sebelum APA disepakati tidak dapat
diselesaikan dengan APA.

17
BAB II. REVIEW ARTIKEL

A. Latar Belakang Penelitian

Pajak sebagai sumber pemasukan utama memiliki peran dalam menunjang


komponen pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta
mempunyai dominasi besar dan peran sangat penting bagi kelangsungan
pembangunan suatu negara (Nuva, 2018). Selama tahun 2015 hingga tahun 2018,
kontribusi penerimaan pajak mencapai 80% dari APBN dan sebesar 20% berasal
dari kontribusi penerimaan bukan pajak dan dana hibah (Kementerian Keuangan,
2018). Meskipun pajak memberikan kontribusi besar dalam mendukung pendapatan
negara, namun realisasi perolehan dari pajak belum dapat memenuhi target
pemerintah yang telah ditetapkan dalam APBN. Perbandingan antara target dan
realisasi perolehan pajak menunjukkan pertumbuhan yang fluktuatif mulai tahun
2015 sampai dengan tahun 2018 . Perolehan pajak mengalami penurunan di tahun
2015 kemudian mengalami peningkatan sebesar 10,73% di tahun 2017 dan
meningkat lagi sebesar 2,56% di tahun 2018 (Kementerian Keuangan, 2018).
Realisasi penerimaan pajak tiap tahun tersebut tidak dapat mencapai 100% dari
target APBN atau masih di bawah target APBN. Kondisi ketidaefektifan realisasi
penerimaan tersebut diakibatkan karena kesadaran sekaligus ketaatan dari wajib
pajak yang tergolong rendah untuk memenuhi kewajiban pembayaran pajak.
Ketidakpatuhan wajib pajak dalam pembayaran pajak berdampak pada
penurunan pemasukan negara dan juga berdampak pada rendahnya tax ratio
(Kementerian PPN, 2019). Tax ratio diartikan sebagai persentase yang menunjukkan
perhitungan perolehan dari pajak yang dibandingkan besarnya perolehan Produk
Domestik Bruto (PDB) (Kementerian Keuangan, 2019). Indonesia termasuk ke
dalam negara dengan kategori penghasilan menengah ke bawah karena memiliki
persentase tax ratio rendah dengan hanya stagnan berkisar antara 10% sampai 12%
dimana nilai tersebut kurang dari rata-rata tax ratio negara dengan kategori
penghasilan menengah rendah ke bawah lainnya yang mampu mencapai hingga
17,7%. Tax ratio yang tergolong rendah di Indonesia disebabkan ketidakefektifan
upaya pemerintah dalam mengumpulkan sumber perolehan pajak yang berasal dari
berbagai sektor ekonomi dan tingkat kesadaran wajib pajak yang masih rendah untuk
memenuhi kewajiban pembayaran pajak (Kementerian PPN, 2019).

18
Adanya hubungan antara pemerintah dan perusahaan selaku wajib pajak
menimbulkan adanya agency theory yang relevan dalam penelitian ini. Agency theory
mengharuskan salah satu wajib pajak yaitu perusahaan selaku agen berkewajiban
melaksanakan pelaporan dan pembayaran jumlah pajak terutang sebagai wujud
kontribusi kepada negara terhadap pemerintah selaku principal (Kushariadi & Putra,
2018). Di sisi lain, perusahaan berusaha untuk memaksimalkan laba dengan
memperkecil beban yang dikeluarkan namun adanya pembayaran pajak justru akan
mengurangi laba yang dihasilkan sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan
efisiensi biaya pajak. Hal tersebut menimbulkan perbedaan dengan harapan
pemerintah yang berupaya memaksimalkan penerimaan dari pajak (Afriyanti et al.,
2019). Adanya perbedaan yang berhubungan dengan kepentingan atau dikenal
dengan istilah conflict of interest antara pemerintah dan perusahaan akan
menimbulkan masalah keagenan yang mengakibatkan perusahaan selaku agen tidak
bertindak sesuai dengan kepentingan pemerintah selaku principal. Disamping itu,
sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia dapat dimanfaatkan perusahaan
dalam memanipulasi penghasilan kena pajak menjadi lebih rendah dari seharusnya
melalui penerapan prinsip self assessment system sehingga menimbulkan praktik tax
avoidance (Kushariadi & Putra, 2018).
Pohan (2018) menyatakan tax avoidance yaitu istilah yang berkaitan dengan
tindakan legal serta aman dilakukan wajib pajak dalam hal penghindaran pajak yang
bukan termasuk pelanggaran dari aturan perpajakan karena perusahaan yang
melakukan tax avoidance berupaya mencari kelemahan aturan Undang-Undang
demi meminimalkan pajak terutang. Praktik tax avoidance dipandang tidak etis
secara moral bagi pemerintah karena tax avoidance dapat mengurangi pendapatan
kas negara. Meskipun demikian, praktik ini tergolong legal tanpa adanya
pelanggaran terhadap Undang-Undang Perpajakan sehingga menyebabkan
pemerintah berada dalam situasi dilema (Prebble, 2012).
Permasalahan mengenai tax avoidance bukan hanya dialami oleh Indonesia
namun sudah menjadi permasalahan global yang dialami berbagai negara
(Simanjuntak, 2017). Sejumlah besar perusahaan yang melakukan beragam skema
transaksi untuk tujuan penghindaran pajak (tax avoidance) dengan cara
memanfaatkan kelemahan dari adanya sistem perpajakan pada negara yang berbeda,
terutama bagi perusahaan yang berstatus multinasional yang mempunyai perusahaan

19
afiliasi berkedudukan pada negara yang mengenakan tarif pajak tergolong rendah
(Richardson et al., 2013). Perusahaan sering terdorong untuk mengalihkan laba ke
perusahaan afiliasi melalui skema transfer pricing dengan menaikkan maupun
menurunkan harga secara tidak wajar dengan maksud untuk menghindari pajak
(Tampubolon & Farizi, 2018).
Transfer pricing pada dasarnya diindikasikan sebagai transaksi yang wajar
diterapkan antar perusahaan afiliasi dalam memutuskan harga transfer atas adanya
transaksi berupa barang atau jasa (Pohan, 2018). Namun pada kenyataannya,
perusahaan sengaja mengalihkan laba ke perusahaan afiliasi dengan hubungan
istimewa di suatu negara yang mengenakan tarif pajak rendah (Richardson et al.,
2013). Hal ini membuat transfer pricing dipandang memiliki konotasi negatif
karena dapat merugikan negara (Suci, 2015). Sehubungan dengan adanya praktik tax
avoidance yang dilakukan secara agresif oleh perusahaan dengan memanfaatkan
transfer pricing, terdapat penelitian yang telah dilakukan untuk memperoleh bukti
terkait dengan pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidance. Penelitian oleh
Richardson et al. (2013), Maulana (2018), dan Herianti & Chairina (2019) membuktikan
transfer pricing secara positif memengaruhi praktik tax avoidance. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas transfer pricing akan berdampak pada
peningkatan upaya tax avoidance yang diimplementasikan oleh perusahaan.

B. Perumusan Masalah

1. Apakah Transfer Pricing berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance ?

2. Apakah Karakter Eksekutif berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis adanya pengaruh secara simultan
maupun parsial variabel transfer pricing serta karakter eksekutif terhadap praktik tax
avoidance dengan dikontrol oleh variabel berupa profitabilitas dan leverage.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini melibatkan perusahaan industri manufaktur tercatat di BEI

20
selama tahun 2015 sampai tahun 2018 dikarenakan sektor manufaktur menjadi
kontributor terbesar dalam PDB dan menjadi penyumbang terbesar penerimaan
pajak. Namun, kontribusi sektor manufaktur terus mengalami penurunan selama
tahun 2015 sampai tahun 2018 sebagai akibat dari perlambatan pertumbuhan sektor
manufaktur yang di bawah ekonomi nasional yang juga melemah. Disamping itu,
pertumbuhan manufaktur mengalami penurunan pada tahun 2016 dan 2018
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang membuat penerimaan pajak tahun
yang sama ikut menurun karena dipicu oleh beberapa subsektor manufaktur yang
tumbuh negatif (Kementerian Perindustrian Indonesia, 2019). Hal tersebut terjadi
selain diindikasikan murni karena lemahnya faktor ekonomi yang menyebabkan
penurunan kinerja, dapat juga diindikasikan karena adanya tax avoidance oleh
perusahaan sebagai strategi secara sengaja untuk menurunkan laba (Juliandri, 2018).
Meskipun sektor manufaktur mengalami pertumbuhan yang melambat, namun
beberapa subsektor manufaktur lain mampu tumbuh positif sehingga sektor ini tetap
mampu meningkatkan pendapatan terhadap PDB setiap tahun dari tahun 2015
sampai tahun 2018. Kondisi tersebut menyebabkan, sektor manufaktur menjadi
kontributor terbesar dalam PDB (Kementerian Keuangan, 2018). Pendapatan tinggi
juga menjadi salah satu pendorong perusahaan untuk melakukan tax avoidance
(Hamdani, 2019).
Tabel 1. Perolehan Data Sampel
No Kriteria Jumlah
1 Perusahaan dari industri manufaktur tercatat pada BEI selama tahun 2015-2018 156
2 Perusahaan industri manufaktur tidak mempublikasikan laporan keuangan secara (24)
berkala selama tahun 2015-2018
3 Perusahaan industri manufaktur dikendalikan oleh adanya perusahaan asing atau (73)
yang mempunyai anak perusahaan yang berada pada negara asing dimana persen-
tase kepemilikan saham kurang dari 25%
4 Perusahaan dari sektor manufaktur yang menyajikan satuan mata uang dolar di (13)
laporan keuangan
5 Perusahaan industri manufaktur yang mengalami kerugian selama tahun 2015-2018 (6)
6 Perusahaan industri manufaktur yang mempunyai nilai Book Tax Difference (BTD) (19)
yang bernilai negatif.
Jumlah Sampel Penelitian 21
Jumlah data dalam penelitian (21 x 4) 84

21
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yang menjelaskan
variabel yang memengaruhi tax avoidance. Target populasi adalah perusahaan
sektor manufaktur yang tercatat pada BEI tahun 2015 sampai tahun 2018.
Pengambilan data penelitian menggunakan purposive sampling dengan kriteria
pada Tabel 1. Variabel penelitian adalah tax avoidance sebagai variabel
dependen. Variabel lain adalah transfer pricing dan karakter eksekutif sebagai
variabel independen. Penelitian ini juga memiliki variabel kontrol yaitu
profitabilitas dan leverage.

E. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Transfer Pricing terhadap Tax Avoidance


Tabel 8. Hasil Uji Parsial
Variables Coefficients Std. Error t – Statistics Probability
C -0,028616 0,019782 -1,446541 0,1533
Transfer 0,028729 0,012275 2,340374 0,0227
pricing
Karakter 1,739004 0,417603 4,164257 0,0001
Eksekutif
Profitabilita 0,130098 0,061684 2,109092 0,0392
s
Leverage -0,006651 0,015316 -0,434269 0,6657

Tabel 10. Jumlah Sampel Karakter Eksekutif dengan Tax Avoidance


Sampel Perusahaan Large Books Tax Small Books Tax Total
Difference Differences
Karakter Eksekutif diatas rata-rata 0,0347 21 15 36
Karakter Eksekutif dibawah rata-rata 0,0347 13 35 48
Total 34 50 84

Tabel 8 menunjukkan hasil uji secara parsial yang menunjukkan


transfer pricing dengan nilai probabilitas 0,0227 di bawah dari taraf
signifikansi yaitu 0,05. Hal tersebut berarti H0 ditolak dan H1 diterima

sehingga transfer pricing berpengaruh terhadap perlakuan tax avoidance.


Perolehan nilai koefisien regresi dari variabel transfer pricing adalah 0,028729
berarah positif yang berarti jika nilai transfer pricing naik satu satuan maka tax
avoidance juga ikut naik sebanyak 0,028729. Data tersebut juga menunjukkan

22
semakin besar perusahaan melakukan transfer pricing maka perusahaan
semakin terdorong menjalankan tax avoidance dalam skala besar. Perusahaan
mengadakan praktik transfer pricing ke perusahaan afiliasi yang mempunyai
tarif pajak lebih rendah akan mengakibatkan peningkatan tindakan tax
avoidance perusahaan dalam skala yang besar. Sebaliknya, perusahaan yang
tidak mengadakan kegiatan transfer pricing akan mengakibatkan penurunan
tindakan tax avoidance perusahaan dengan skala yang kecil.
Berdasarkan Tabel 9, terdapat 48 perusahaan atau setara dengan 57%
sampel dalam penelitian yang menerapkan praktik transfer pricing dan sisanya
terdapat 36 perusahaan yakni setara 43% sampel dalam penelitian tidak
melakukan praktik transfer pricing. Sementara dari 48 sampel data dalam
penelitian menerapkan transfer pricing yaitu sejumlah 28 perusahaan yakni
setara 58% unit sampel yang melakukan tax avoidance dalam skala besar
tergolong large book tax difference dan sebanyak 20 perusahaan yakni setara
42% unit sampel yang melakukan tax avoidance dalam skala kecil yang
tergolong sebagai small book tax difference. Selain itu, dari 34 unit sampel yang
tergolong large book tax difference, yang terindikasi dalam tax avoidance dalam
skala besar adalah sejumlah 28 atau setara dengan 82% sampel yang melakukan
praktik transfer pricing dan sisanya ada 6 perusahaan atau setara dengan 18%
sampel yang tidak melakukan transfer pricing. Dari data-data tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi transfer pricing yang diimplementasikan
perusahaan maka akan menimbulkan dorongan yang semakin tinggi terhadap
adanya tindakan tax avoidance dari perusahaan dalam skala yang besar.
Pengujian hipotesis yang menunjukkan bahwa transfer pricing memiliki
pengaruh terhadap tax avoidance mendukung teori agensi yang menyatakan
bahwa hubungan antara perusahaan dan pemerintah menimbulkan adanya
perbedaaan kepentingan (conflict of interest) terkait pembayaran pajak. Adanya
transfer pricing sebagai suatu kebijakan dalam menentukan harga transfer atas
suatu transaksi kepada pihak relasi sering dimanfaatkan perusahaan
multinasional untuk melakukan pengalihan laba agar terhindar dari pungutan
pajak dari pemerintah. Perusahaan mengalihkan laba ke pihak afiliasi yang
berada di negara dengan tarif pajak rendah untuk melakukan tax avoidance

23
melalui transaksi-transaksi yang tidak wajar yang menimbulkan kerugian
negara. Hasil penelitian telah sesuai dengan perumusan hipotesis penelitian dan
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Maulana (2018) dan Herianti &
Chairina (2019) yang membuktikan adanya transfer pricing akan berpengaruh
pada tindakan tax avoidance. Hal ini terjadi akibat perusahaan yang berusaha
meminimalkan pembayaran pajak sebagai upaya tax avoidance melalui
kegiatan transfer pricing yang dalam penelitian ini diindikasikan melalui
adanya transaksi pembelian atau penjualan kepada pihak afiliasi yang berada di
negara dengan tarif pajak rendah.

Pengaruh Karakter Eksekutif Terhadap Tax Avoidance

Tabel 8 menunjukkan variabel dependen karakter eksekutif dengan nilai


probabilitas yang menunjukkan angka 0,0001 kurang dari taraf signifikansi
yaitu pada angka 0,05. Hal tersebut berarti H0 ditolak dan H1 diterima sehingga
karakter eksekutif berpengaruh terhadap tindakan tax avoidance. Perolehan dari
koefisiensi regresi menunjukkan angka 1,739004 berarah positif berarti setiap
nilai
karakter eksekutif naik satu satuan maka nilai tax avoidance juga akan naik
sebesar 1,739004. Dari data tersebut juga dapat disimpulkan semakin tinggi
karakter eksekutif yang risk taker mengakibatkan semakin tinggi penerapan tax
avoidance dalam skala besar.
Pengujian hipotesis menunjukkan karakter eksekutif yang mempunyai
dampak terhadap kegiatan tax avoidance perusahaan dengan skala besar
maupun kecil. Semakin tinggi perolehan nilai karakter eksekutif di atas nilai
mean maka eksekutif akan mempunyai karakter yang risk taker sehingga lebih
mempunyai keberanian dalam bertindak untuk tujuan peningkatan tax
avoidance dalam skala yang besar. Sebaliknya, jika nilai karakter eksekutif
rendah dibawah nilai mean maka eksekutif cenderung akan berkarakter risk
averse sehingga kurang berani dalam melakukan tax avoidance dengan skala
besar.
Tabel 10 menunjukkan informasi bahwa terdapat sebanyak 36 unit

24
sampel atau setara dengan 43% sampel dalam penelitian memiliki nilai karakter
eksekutif di atas mean yang berarti eksekutif cenderung bersifat risk taker dan
sisanya terdapat 48 atau setara 57% unit sampel dalam penelitian memiliki nilai
karakter eksekutif di bawah mean yang berarti eksekutif cenderung bersifat risk
averse. Adanya hubungan positif karakter eksekutif dan tax avoidance
dibuktikan dari data sampel yaitu dari 34 data sampel tergolong large book tax
difference terindikasi dalam tax avoidance skala besar ada 21 atau setara 62%
yang memiliki karakter eksekutif di atas mean tergolong risk taker dan sisanya
terdapat 13 atau setara 38% memiliki nilai karakter eksekutif di bawah mean
yang tergolong risk averse. Selain itu, dari sejumlah 36 data sampel dengan nilai
karakter eksekutif di atas mean, terdapat 21 atau setara 58% sampel tergolong
large book tax difference terindikasi dalam tax avoidance skala besar dan
sisanya terdapat 15 atau setara 42% tergolong small book tax difference yang
terindikasi dalam tax avoidance skala kecil. Dari data-data tersebut, diperoleh
kesimpulan bahwa semakin tinggi nilai karakter eksekutif menyebabkan
eksekutif cenderung akan mempunyai karakter yang risk taker. Kondisi tersebut
menyebabkan perusahaan lebih berani melakukan peningkatan tindakan tax
avoidance dalam skala besar.
Karakter yang dimiliki oleh eksekutif selaku pimpinan perusahaan
menentukan keputusan bisnis yang diambil perusahaan termasuk dalam hal
memutuskan praktik tax avoidance. Karakter yang dimiliki eksekutif terdiri dari
risk taker dan risk averse tergantung keberanian dalam mengambil risiko.
Dalam menghasilkan laba perusahaan yang maksimal, eksekutif yang bersifat
risk taker akan lebih berani melakukan tindakan yang berisiko tinggi untuk
melakukan tax avoidance yang bertentangan dengan harapan pemerintah. Hal
tersebut mengonfirmasi pengujian hipotesis yang menunjukkan bahwa karakter
eksekutif memiliki pengaruh terhadap tax avoidance yang didukung oleh
agency teory yang menjelaskan adanya conflict of interest yang timbul dari
keberanian eksekutif dalam meminimalkan pembayaran pajak dengan
melakukan tax avoidance. Hal itu bertentangan dengan pemerintah yang
berupaya memaksimalkan pendapatan pajak. Hasil penelitian telah sesuai

25
perumusan hipotesis penelitian dan menunjukkan hasil yang sama dengan
Oktamawati (2017) yang membuktikan bahwa karakter yang dimiliki eksekutif
dapat berpengaruh pada tindakan tax avoidance. Hal tersebut terjadi karena
karakter eksekutif dapat mencerminkan risiko yang terjadi di perusahaan.
Tingkat besarnya risiko perusahaan mengindikasikan karakter eksekutif yang
berani mengambil keputusan bisnis berkonsekuensi tinggi (risk taker) untuk
melakukan tax avoidance.

F. Kesimpulan Jurnal
Penelitian ini telah membuktikan bahwa variabel transfer pricing dan
karakter eksekutif yang dikontrol oleh variabel profitabilitas dan leverage
berpengaruh secara simultan terhadap tax avoidance. Hasil pengujian
membuktikan bahwa transfer pricing berpengaruh positif terhadap praktik tax
avoidance. Ketika perusahaan mempunyai kegiatan transfer pricing ke
perusahaan afiliasi di beda negara dengan pengenaan tarif pajak yang rendah,
maka perusahaan berupaya untuk mengalihkan keuntungan dengan tujuan tax
avoidance berskala besar. Hasil secara parsial juga membuktikan bahwa
karakter eksekutif berpengaruh positif terhadap praktik tax avoidance.
Perusahaan dengan eksekutif risk taker lebih berani melakukan tax avoidance
berskala besar dikarenakan semakin tingginya nilai corporate risk yang
memicu bertambah tingginya praktik tax avoidance.

26
BAB III. PENUTUP

Kesimpulan

Transaksi transfer pricing adalah transaksi yang terjadi antara pihak – pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat arm’s
length. Praktek transfer pricing sering digunakan oleh banyak perusahaan sebagai alat
untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Adanya hubungan istimewa
merupakan kunci dari dilakukannya praktek transfer pricing dalam bidang perpajakan.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer pricing adalah
berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.
Masalah transfer pricing ini diatasi dengan memberikan wewenang kepada menteri
keuangan dan dirjen pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Selain itu
untuk memeriksa adanya praktek transfer pricing, Departemen Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jendral Pajak menerbitkan Pedoman Pemeriksaan Pajak terhadap
Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

27
DAFTAR PUSTAKA

Dudi Pratomo, H. T. (2021). Pengaruh Transfer Pricing dan Karakter Eksekutif


Terhadap Tax Avoiidance. Jurnal Akuntansi Aktual, 39-50.

Suandy, Early. 2006. Perencanaan Pajak, Edisi 6, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

28

Anda mungkin juga menyukai