Oleh :
Kelompok 6
I Kadek Budhyasa 28
Cokorda Gede Budha Hary Baskara 02
I Nyoman Satria Wiradarma 11
I Komang Edo Indra Yoga 32
Mechteldis Qimanto Kushin Ryu 40
PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian sebagai
berikut:
100 krat kecap ABC Rp. 5.000.000
200 krat sambal ABC Rp. 6.000.000
Jumlah harga jual Rp. 11.000.000
PPN 10% x Rp. 11.000.000 Rp. 1.100.000
Total Faktur Rp. 12.100.000
Dibayar tunai Rp. 4.000.000
Sisa tagihan Rp. 8.100.000
Jurnal Pembayaran Sebagian:
Kas Rp. 4.000.000
Piutang Dagang Rp.8.100.000
Penjualan Rp.11.000.000
PPN Keluaran Rp. 1.100.000
PT. Bunda Cemerlang menjual alat tulis kantor kepada Pemda TK 2 Tangeran dengan
perincian sebagai berikut:
Jurnal
Kas Rp. 8.865.000
Penjualan Rp.9.000.000
TENTANG
Menimbang :
bahwa dipandang perlu menetapkan pengaturan secara khusus tentang pelaksanaan pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded
Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya yang dinyatakan sebagai
Kawasan Berikat (Bonded Zone) dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3287);
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan
Berikat (Bonded Zone) (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3334);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1978 tentang Tata Cara
pemasukan dan pengeluaran serta pemindahan barang ke dalam dan keluar wilayah
Bonded Warehouse;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1978 tentang Tata Cara
pemasukan dan pengeluaran serta pemindahan barang ke dalam dan keluar wilayah usaha
Bonded Warehouse di daerah industri Pulau Batam;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan
seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah Usaha Bonded Warehouse;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 1984 tentang Penambahan
Wilayah Kerja daerah industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha
Bonded Warehouse.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
a. Kawasan Berikat (Bonded Zone) adalah daerah industri Pulau Batam dan pulau-pulau
disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
b. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1983.
Pasal 2
(1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat
belum dianggap sebagai impor.
(2) Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terhutang pajak.
Pasal 3
(1) Pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat keluar daerah pabean merupakan
ekspor.
(2) Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan pajak dengan tarif
0% (nol persen).
(3) Pajak yang telah dibayar atas pembelian dan impor Barang Kena Pajak dan Penerimaan Jasa
Kena Pajak dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984.
Pasal 4
(1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan
Berikat adalah penyerahan dalam negeri dan bukan merupakan ekspor
(2) Atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terhutang pajak sesuai Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
(3) Pengusaha didalam Kawasan Berikat yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
dapat diberikan penangguhan pembayaran pajak atas pemasukan atau penyerahan Barang
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Tata cara penangguhan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
(1) Pengeluaran Barang Kena Pajak yang berasal dari luar negeri dari Kawasan Berikat kedalam
daerah pabean Indonesia dianggap sebagai impor.
(2) Atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipungut Pajak
Pertambahan Nilai atas impor.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3).
(4) Disamping dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga atas pengeluaran
Barang Kena Pajak yang telah mengalami proses pengolahan di Kawasan Berikat ke dalam
Daerah Pabean Indonesia Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib mengenakan pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dalam negeri sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984.
(5) Pajak yang dipungut atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan
Pajak Keluaran bagi Pengusaha di Kawasan Berikat.
Pasal 6
(1) Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di Kawasan Berikat tidak
terhutang pajak.
(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak di
Kawasan Berikat, Pengusaha dapat memilih dikenakan pajak.
(3) Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dapat dikreditkan, sedangkan Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha atas
penyerahan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dikreditkan.
Pasal 7
Pengusaha Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 8
(1) Atas impor atau penyerahan, yang dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 1987 dan yang
merupakan :
a. Pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia
ke dalam Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak
terhutang pajak;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat kedalam daerah pabean
Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) tidak terhutang pajak.
(2) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
memilih dikenakan pajak.
(3) Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh dikreditkan sedangkan Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikreditkan.
(4) Kekurangan/kelebihan pajak sebagai akibat pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) dapat
dibetulkan dengan cara memasukkan/mengoreksi Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai.
(5) Kekurangan pajak sebagai akibat pelaksanaan ketentuan ayat (4) harus dibayar tanpa
dikenakan sanksi perpajakan.
Pasal 9
Pelaksanaan ketentuan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung
sejak tanggal 1 Januari 1987.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 1987
MENTERI KEUANGAN,
ttd
RADIUS PRAWIRO
13.2 PPN Masukan yang Dapat Dikreditkan, Perhitungan Kembali PPN Masukan
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh
pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip
dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi,
tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk
tersebut.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau
produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak
masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10%. Dasar hukum utama
yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut
revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.
Karakteristik
Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
Menghindari pengenaan pajak berganda.
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan
memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Perkecualian
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak,
sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000
tidak dikenakan PPN, yaitu:
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:
1. Minyak mentah.
2. Gas bumi.
3. Panas bumi.
4. Pasir dan kerikil.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih
bauksit.
Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras
ketan putih dalam bentuk:
1. Empulur sagu.
2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai
hitam, pecah maupun utuh.
Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
1. Garam meja.
2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl
94,7%.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau
usaha jasa boga.
Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia
(Persero).
Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak
(perjanjian), serta anjak piutang.
2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa
di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional
yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau
televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan
bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat,
laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, dan hostel.
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti
pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam)
jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat
mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.
1. adanya penyerahan;
2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap
barang yang dihasilkan.
Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil
perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang
hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan
dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan
termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri,
yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.
Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut
harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.
Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang
dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.
Adapun yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa
Orang Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN
1984 sebagai berikut:
Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan,
melakukan atau tidak melakukan usaha.
Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar
Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.
Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang
atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga
yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.
Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan
tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1,
sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak
terutang.
Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang
berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak,
PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan
JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan
tertentu yang ditunjuk.
Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki
cabang-cabang.
Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka
dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.
Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka
memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif
termasuk asal-usul tarif efektif.
Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor,
atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan
seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara
barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk
memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga
jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan
sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.
Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:
1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi
lainnya;
2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi
seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
5. menerapkan pemungutan sekali.
Baik pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun 2000
yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan baku, bahan pembantu
dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan tarif Pajak yang proporsional dan tunggal.
Pajak yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran.
Agar sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi batasan
tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan,
dengan beberapa contoh.
Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak
berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya
pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk
memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai
dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu
membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar
sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka
tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi
persyaratan.
Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif:
1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan;
2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak
Masukan;
3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran
sama dengan Pajak Masukan.
Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma
Penghitungan
Tidak setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP. Sedangkan
Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik atas pembelian BKP atau bukan
BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena penggunaan Barang Modal, yang boleh dikreditkan
terbatas pada Pajak Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang
menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan terselip Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan.
Untuk itu disusun dan ditetapkan rumus dalam menghitung Pajak Masukan yang harus
dibayar kembali.
Rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus
untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung Pajak Masukan
yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal bukan untuk menghasilkan BKP.
Pemungutan pajak dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun vertikal,
yang besarnya pajak terutang sesuai dengan objek yang diterima atau diperoleh wajib pajak.
Untuk mendapat pemungutan pajak yang adil tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu
sumber data sekaligus sebagai pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka
dalam pembukuan.
Melalui Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap wajib
pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat menggambarkan perusahaan,
modal perusahaan, utang perusahaan dan seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung
pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak.
Pembukuan harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan angka
arab, serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan, metode penyusutan, maupun
metode penilaian persediaan dan sebagainya.
1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang oleh
UU diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan;
2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00 dan wajib pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan
pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan
dengan menggunakan Norma Penghitungan.
4. Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam
menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17
Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan
menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal
9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000.
1. untuk penyerahan BKP adalah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah Pajak
Keluaran;
2. untuk penyerahan JKP adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pajak
Keluaran.
Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan nilai peredaran
bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP disamping melakukan penyerahan
BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar dipisah antara penyerahan yang terutang pajak
dengan penyerahan yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan,
sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi diperkenankan
menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi PKP
pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar pengenaan pajak.
Tidak semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan
Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto, melainkan terbatas pada wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya
seTahun kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan wajib
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan
Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun
demikian, wajib pajak yang bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau
penerimaan penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam
menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan.
Akhirnya dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan
bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan unsur-unsurnya.
Walaupun cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun
pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bersama-sama memungut
Bea Masuk.
Berikut ini adalah contoh sederhana untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
kegiatan membangun sendiri:
Contoh:
Pada Bulan Desember 2012 Bapak Andi memulai membangun sebuah rumah untuk tempat
tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh Bapak Andi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai dengan
selesainya bangunan tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah sebesar Rp 200.000.000,
pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 180.000.000, biaya upah mandor dan pekerja
bangunan Rp. 70.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
pembangunan rumah tersebut?
Jawab:
Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang
terhutang adalah:
= 10% X DPP
= 10% X(20% X Total biaya Pembangunan)
= 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000)
Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah
= 10% X 20% X Rp 250.000.000
= Rp 5.000.000
Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak atas perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri
diatas hanyalah pembelian bahan baku material bangunan dan biaya upah pekerja dalam rangka
pembangunan rumah tersebut, hal ini sesuai dengan Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Dasar Pengenaan Pajak atas
kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah”.
Saat Dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa:
1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.
2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu
kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2
(dua) tahun.
3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut
didirikan.
Penyetoran Dan Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa:
* Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan
setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan
dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya
*Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke kas negara
seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan
yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
*Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga
Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat
hal yang harus diperhatikan dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:
*Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama
tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom
NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan
tersebut.
*Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama
yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan
kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Kolom NPWP diisi dengan :
1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat
bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
b. Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri
*Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP,
Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Kolom NPWP diisi dengan :
1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat
bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 terdapat hal yang
harus diperhatikan dalam proses pelaporan PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:
*Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah
kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang
pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan
membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
*membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan
didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor
Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan
kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
*Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar,
atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta
Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan
Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan
membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan
1.Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain
sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan
kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak
Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan
bangunan tersebut;
2. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan
pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas
kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung
jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
3. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak
melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan
didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan
surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.
4. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri
namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini
terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.
5.Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas
kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya
meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk
menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri
tersebut.
6. Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri.
7.Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum
memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP
sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
8.Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan
Penetapan Secara Jabatan Untuk PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 6 disebutkan bahwa:
*Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau
kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara, Direktorat Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau
verifikasi.
*Selanjutnya, jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri :
1. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan; atau
2. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap,
Maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri dapat ditetapkan secara jabatan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Penetapan secara jabatan untuk jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan
untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri ini diatur dalam
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 yang merupakan Perubahan Atas
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012.
Dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tersebut diatur bahwa:
*Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam
rangka membangun sendiri ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga
Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah sesuai Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan
Gedung Negara dan perubahannya.
*Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau
tidak lengkap, sehingga:
1. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan
lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara
(HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data nilai terendah data
Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut; atau
2. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan
lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN),
maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data atau bukti pendukung biaya
yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan.
*Penetapan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung
Negara (HSBGN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a mengacu pada
Pedoman Penggunaan Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) Dalam Rangka
Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan untuk
Membangun Bangunan yang Digunakan untuk Menghitung Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai
atas Kegiatan Membangun Sendiri sebagaimana terdapat dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Jadi Cara Perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang ditentukan secara jabatan
adalah sebagai berikut :
Tarif = 10%
DPP = 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun
bangunan
Pasal 16D UU No. 11 tahun 1994 berbunyi : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak
untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya
dapat dikreditkan.”
Dengan demikian, penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan
Nilai tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya
Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (5).
Berdasarkan bunyi pasal 16 D UU No. 11 tahun 1994 beserta penjelasannya dapat disarikan
sebagai berikut :
Pengenaan PPN terkait aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
diperluas melalui UU PPN No 42 tahun 2009. Pasal 16D UU PPN No 42 tahun 2009 berbunyi :
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”
Adapun dalam penjelasan dikatakan : “Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa
mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.Namun, Pajak
Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang
menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva
tersebut tidak dapat dikreditkan.”
Berdasarkan bunyi pasal 16D UU PPN No 42 tahun 2009 beserta penjelasannya dapat disarikan
sebagai berikut :
Salah satu kegiatan transaksi yang dikenakan PPN adalah atas ekspor Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf h UU Nomor 42 Tahun 2009. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa
ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN akan
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pada prinsipnya kegiatan Kegiatan Ekspor Barang dan Jasa dikenai PPN 10%. Namun
dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing
kita, maka Pemerintah menetapkan fasilitas PPN 0% atas kegiatan ekspor. Namun fasilitas ini
hanya diberikan bagi Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model,rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau
ilmiah.
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebutpada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi
tersebut pada angka 3, berupa:
a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa.
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radiokomunikasi.
5. Penggunaan atau hak menggunakan filmgambar hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN 0%.
Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-358/PJ.32/1990 tanggal 2 November
1990, ditegaskan bahwa dapat terjadi Harga Impor yang berbeda antara:
1) Harga Impor menurut Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS) yang dibuat oleh Surveyor
tanpa terikat pada harga menurut invoice;
2) Harga Impor menurut PIUD yang ditentukan sesuai dengan syarat penyerahan (CIF);
3) Harga Impor yang dipengaruhi oleh praktik under invoicing.
Dalam hal terjadi kasus seperti ini, maka Nilai Impor yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak, adalah:
a) Nilai Impor yang dihitung berdasarkan LPS; atau
b) Nilai Impor yang tercantum dalam PIUD, apabila Nilai Impor menurut PIUD lebih besar
daripada Nilai Impor yang dihitungberdasarkan LPS, yang dibuktikan dengan jumlah
PPN/PPnBM yang disetor meurut SSP-nya.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.322/1990 tanggal
15 November 1990 tersebut di atas , ditegaskan bahwa dalam hal terjadi under invoicing atas
impor, Dasar pengenaan pajak akan dikoreksi berdasarkan Harga Pasar wajar yang diminta oleh
Importir atau Distributor, yang pada umumnya akan diketahui pada mata rantai jalur distribusi
berikutnya. PPN/PPnBM yang kurang dibayar akibat dari praktik under invoicing dapat ditagih
setiap mata rantai jalur distribusi yang melakukan praktik under invoicing tersebut.
PPN yang Dibebaskan atas Impor
Perlu diketahui bahwa tidak semua barang yang dibeli atau dijual dikenakan PPN, dan
PPN yang dibebaskan atas Impor itu sendiri tidak bisa dikreditkan. Sebagaimana yang telah
diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 370/KMK/2003 Tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa:
1. Barang Kena Pajak Tertentu adalah:
a) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di
udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan
angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya.
b) Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang digunakan dalam
pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan atau Tentara
Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
c) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
d) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
e) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan
suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia.
f) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan.
g) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana.
h) Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh
PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia.
i) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau
TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia
yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional.
j) Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro,
asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan
Prasarana Wilayah.
2. Jasa Kena Pajak Tertentu adalah:
a) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan penangkapan
ikan nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang
meliputi:
i. Jasa persewaan kapal.
ii. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh.
iii. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
b) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
i. Jasa pesewaan pesawat udara.
ii. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.
c) Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia.
d) Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 huruf j dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk
keperluan ibadah.
e) Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana.
f) Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam
rangka penyediaan data batas photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk
mendukung pertahanan nasional.
Tarif PPN adalah 10%. Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah
pabean/impor BKP/penyerahan JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud
dari luar daerah pabean di dalam pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian
Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah
membutuhkan penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.
Saat penyerahan barang, pengakuan terutang PPN, dan tanggal pembuatan faktur pajak
sering membingungkan bagi para pengusaha kena pajak (PKP), terutama untuk penjualan barang
kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) dengan kondisi penyerahan (term of delivery)
tertentu. Menjadi agak rumit ketika tanggal pengiriman berbeda dengan tanggal barang diterima
oleh si pembeli (karena jarak tempuh). Belum lagi jika invoice (faktur penjualan) diterbitkan
pada tanggal yang berbeda lagi.
Misalnya: PT. JAK adalah PKP yang berlokasi di Tangerang, menjual 3 unit peralatan tambang
kepada PT. Lestari yang berlokasi Makassar-Sulawesi, dengan kondisi penyerahan (term of
delivery) “Franco gudang PT. Lestari”. JAK mengirimkan barang pada tanggal 20 Agustus 2011
via sea freight (kapal laut), dan barang tiba di gudang PT. Lestari pada tanggal 27 Agustus 2011.
PT. JAK menerbitkan invoice tertanggal 29 Agustus 2011.
Pertanyaannya:
Tanggal berapa seharusnya PT. JAK mengakui terutang PPN? Tanggal berapa Faktur Pajak
Keluaran seharusnya diterbitkan? Dan, kapan seharusnya PPN dibayar dan dilaporkan?
Bagaimana, jika misalnya PT. JAK sudah menerima pembayaran pada tanggal 19 Agustus
2011 (sebelum barang dikirimkan)?
Ini hanya salah satu contoh kasus penjualan dengan satu jenis penyerahan saja, dan
kebetulan berupa barang kena pajak yang tergolong bergerak (dikirimkan). Pada prakteknya,
penyerahan atau penjualan barang kena pajak itu bisa berupa: (a) barang bergerak atau
dikirimkan seperti contoh kasus di atas; (b) bisa berupa barang tidak bergerak—misalnya:
penjualan rumah; (c) bisa jadi berupa penjualan jasa (services), dengan berbagai macam kondisi
penyerahan (term of delivery).
Jika melihat Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, pada pasal 11 ayat (1) huruf
a dan huruf c, disebutkan bahwa:
Terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan pada saat penyerahan
Jasa Kena Pajak.
Dalam memori penjelasannya ditegaskan bahwa: Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual”. Artinya terutangnya pajak
terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran
atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima.
Kembali contoh kasus di atas. Jika merujuk pada bunyi undang-undang seharusnya
terutang PPN terjadi pada saat dirimkan yaitu 20 Agustus 2011. Masalahnya: Mungkinkah
melakukan pengakuan terutang PPN pada tanggal 20 Agustus sementara PT. JAK baru
menerbitkan invoice (mengakui penjualan) pada tanggal 29 Agustus 2011?
Bisa saja dipaksakan supaya sesuai dengan undang-undang PPN, tapi buku komersialnya akan
sangat kacau. Karena jika merujuk ke teori akuntansi—termasuk kelaziman praktek bisnis, PT.
JAK baru akan mengakui penjualan, paling cepat saat barang tiba di gudangnya PT. Lestari
(ingat term of delivery-nya adalah ‘Franco Gudang PT. Lestari’), yaitu pada tanggal 27 Agustus
2011.
Dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum (PABU), penyerahan dianggap telah
terjadi apabila risiko dan manfaat kepemilikan barang telah berpindah ke tangan pembeli dan
jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan handal. Dan pengakuan
penjualan, pendapatan, serta piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan
yang sekaligus menjadi dokumen sumber sebagai dasar pencatatan pengakuan.
Penasaran dengan kasus ini, saya mencoba menulusri peraturan-peraturan terkait dengan
PPN. Beruntung saya menemukan Surat Edaran Ditjend Pajak No. SE-50/PJ/2011 (tertanggal 3
Agustus 2011). Di sana dijabarkan mengenai:
Saat Penyerahan Barang Kena Pajak
1) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
berupa barang bergerak, terjadi pada saat: (a) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan
secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli; (b) Barang
Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang, untuk
pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan antarcabang; (c) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada
juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau (d) harga atas penyerahan Barang Kena Pajak
diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh
Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan
secara konsisten.
2) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa
barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai
Barang Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
3) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat: (a) harga atas
penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan atau
pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau (b) kontrak atau perjanjian
ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata,
sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf (a) tidak diketahui.
Saat Penyerahan Jasa Kena Pajak
1) terjadi pada saat harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau
penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkansecara konsisten;
2) terjadi pada saat kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud
pada angka 1) tidak diketahui; atau
3) terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik
sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena
Pajak.
Lebih jauh, juga diatur untuk bentuk-bentuk penyerahan khusus yang saat penerbitan (tanggal)
faktur pajaknya terjadi:
pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan,
sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diselesaikan dalam suatu masa tertentu, misalnya penyerahan jasa pemborong bangunan;
atau
pada saat Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah menyampaikan tagihan, sehubungan
dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN
Bendahara Pemerintah.
Dalam hal satu faktur penjualan diterbitkan untuk mencatat atau mengakui beberapa kali
pengiriman barang yang sesuai dengan dokumen pengiriman barang (delivery order), atas
penyerahan barang tersebut dapat diterbitkan satu Faktur Pajak, baik dalam bentuk Faktur Pajak
atau faktur penjualan (dalam hal faktur penjualan berfungsi sebagai Faktur Pajak). Penerbitan
faktur penjualan tersebut adalah sebagai dasar pengakuan piutang atau pencatatan penghasilan
bagi Pengusaha Kena Pajak Penjual dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dan dilakukan secara konsisten.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada
barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan
atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.Karakteristik PPnBM
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)dihitung sebesar tarif PPnBM dikalikan dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP yang dimaksud dapat berupa harga jual, niai impor, nilai
pengganti, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Secara
matematis, PPnBM yang terutang diformulasikan sebagai berikut:
Contoh:
Produsen PKP Perdana melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah (tarif
30%) dengan harga Rp140.000.000 (dalam harga tersebut tidak termasuk PPN dan PPnBM)
Contoh:
Produsen PKP Perdana melakukan Penyerahan Barang Kena Pajakyang Tergolong Mewah (tarif
30%) dengan harga Rp140.000.000 (dalam harga termasuk PPN dan PPnBM).
Dasar Pengenaan Pajak = 100 x Rp140.000.000
(110 + 30)
= Rp100.000.000
PENJUALAN / PENYERAHAN :
1. 5 Januari 2011 Diekspor sejumlah produk elektronik ke Kukirakurakura PLc.Jepang dengan
nilai ekspor Rp. 1.500.000.000. PEB No.00028-1-11
2. 7 Januari 2011 Diterima pembayaran dari PT. Indosayur NPWP02.003.454.6.133.000atas
penyerahan sejumlah pesawat TV berwarna 32” padatanggal 12 Desember 2010 dengan harga
jual Rp 175.000.000.
Dibuatkan Faktur Pajak Standar Nomor Seri : 010.000-11-00000001.
3. 8 Januari 2011 Diserahkan televisi seharga Rp 650.000.000 kepada PT.Hambar perusahaan
elektronik selaku Kawasan Berikat, NPWP : 02.003.454.6.135.000. Mendapat fasilitas PPN
Tidak Dipungut. Dibuatkan Faktur Pajak Standar No Seri : 070.000-11-0000002. Pembayaran
dilakukan pada saat itu juga.
4. 10 Januari 2011 Menyampaikan surat tagihan kepada Pimpro DEPKOMINFO sehubungan
dengan penyerahan sejumlah alat elektronik dengan harga dalam kontrak Rp 240.000.000
termasuk PPN 10% dan PPnBM 10% yang penyerahannya dilakukan pada tanggal 2 Desember
2010 yang pembayarannya
akan dilakukan melalui KPPN dengan NPWP : 00.003.456.167.000 Faktur Pajak standar
dilampirkan dengan No Seri : 020.000-11-00000003.
5. 12 Januari 2011 Menyumbang Kulkas dan satu unit pesawat TV 24” kepada Panti Wreda
“SEDEKAH”. Sebenarnya harga jual kedua BKP ini Rp 15.000.000 termasuk laba 20%.
Terutang PPN 10% dan PPnBM 10%. Dibuatkan Faktur Pajak Sederhana.
6. 24 Januari 2011 Diserahkan 5 buah OHP kepada PT. Gunungkembar dengan NPWP
02.125.004.4.252.000 dengan harga j ual Rp 40.000.000 termasuk PPN 10% dan PPnBM 10%.
Pembayarannya baru dilakukan pada tanggal 15 Maret 2011. Faktur Pajak Standar No
010.000.11.00000005.
| SPT PPN 1111 (Penjualan)
7. 24 Januari 2011 Menerima pembayaran dari PT. Rancabana dengan NPWP
:02.124.004.167.000 pabrikan mie instant di KBN Cakung atas penyerahan sejumlah AC dan
Kulkas dengan harga jual seluruhnya Rp 180.000.000 yang penyerahannya dilakukan pada
tanggal 12 Desember 2010. Faktur Paj ak Standar No 010.000. 11.00000008.
| SPT PPN 1111 (Penjualan)
8. 29 Januari 2011 Diterima kembali dari PT. Jarang Rugi NPWP : 02.125.004.4.156.000 dengan
nota retur : No NR-I/I/1 1 tertanggal 25 Januari 2011, peralatan listrik dengan harga jual Rp
30.000.000, yang terutang PPN 10% dan PPnBM 10%.
2. 7-Jan-11
FP : 7-Jan-11
DPP : Rp.175.000.000
PPN : 10% x Rp175,000,000 = Rp 17,500,000
PPnBM : 10% x Rp175,000,000 = Rp 17,500,000
SPT :
3. 8-Jan-11
FP : 8-Jan-11
DPP : Rp.650.000.000
PPN : 10% x Rp650,000,000 = Rp 65,000,000
PPnBM : 10% x Rp650,000,000 = Rp 65,000,000
SPT :
4. 10-Jan-11
FP : 10-Jan-11
DPP : 100/1 20 x Rp240,000,000 = Rp200,000,000
PPN : 10% x Rp200,000,000 = Rp 20,000,000
PPnBM : 10% x Rp 20,000,000 = Rp 2,000,000
SPT :
5. 12-Jan-11
FP : 12-Jan-11
DPP : 100/120 x Rp 15,000,000 = Rp 12,500,000
PPN : 10% x Rp 12,500,000 = Rp 1,250,000
PPnBM : 10% x Rp 12,500,000 = Rp 1,250,000
SPT :
7 . 2 4 -J a n - 11
FP : 24-Jan-11
PPN : 10% x Rp180,000,000 = Rp 18,000,000
PPnBM : 10% x Rp180,000,000 = Rp 18,000,000
SPT :
KPP Pasuruan. 2012. Contoh Pengisian SPT Masa PPN 1111. https://pajakpasuruan.
wordpress.com/2012/07/25/contoh-pengisian-spt-masa-ppn-1111/ (25 Juli 2012).
Leandri, Alban. 2016. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). https://www.online-
pajak.com/id/spt-masa-ppn. (12 Mei 2016).
http://fitri-berbagiilmu.blogspot.co.id/2016/05/lat-soal-pengisian-spt-ppn-1111.html
Sukardji, Untung. 2009. Pajak Pertambahan Nilai Edisi Revisi 2009. Jakarta : Rajawali Pers.
https://www.online-pajak.com/id/pajak-pertambahan-nilai-ppn