Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MID

PEMIKIRAN & METODOLOGI PENELITIAN NON-POSITIVIS

PROPOSAL
E-Planning dalam Rekayasa sosial : Aspek penting dalam
menentukan keberlangsungan dan kesuksesan pembangunan daerah

Oleh :
ANDI HARDIANTI (A062182009)
KELAS REGULER MAKSI B

Dosen Pengampu:
Dr. Syarifuddin, SE., AK., M.Soc., Sc., CA

MAGISTER AKUNTANSI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat adalah makhluk sosial yang selalu mengalami dinamika perubahan
sosial. Perubahan sosial yang terjadi di kalangan masyarakat tersebut adalah suatu
keharusan, karena tidak mungkin bertahan dalam satu kondisi yang bersifat statis dan
cenderung tetap. Karena sudah menjadi sunatullah bahwa kehidupan ini bersifat
dinamis seperti putaran roda yang suatu saat berada di bawah dan suatu saat berada di
atas. Sehingga manusia yang menyandang sebagai khalifatullah mempunyai kewajiban
untuk merubah kondisi dirinya sendiri, baik secara individual maupun dalam perspektif
sosial.
Begitu banyak problem sosial yang terjadi di kalangan masyarakat dan
kompleksitas problem sosial tersebut terjadi di segala bidang kehidupan yakni dalam
bidang sosial, politik, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan
upaya untuk memecahkan masalah dan memperbaiki sistem sosial yang mengarah
kepada kehidupan masyarakat yang ideal. Hal ini harus diimbangi dengan langkah
konkret yang memiliki visi dan misi yang jelas. Sehingga rencana untuk mengubah
setting pola pikir masyarakat dapat berjalan berdasarkan tujuan. Problem sosial yang
terjadi disebabkan oleh kesalahan berfikir dan mitos-mitos yang telah berkembang di
masyarakat dan di sinilah diperlukannya suatu rekayasa sosial untuk memecahkan
masalah tersebut. Disamping itu diperlukan agen-agen yang mampu memberikan
solusi dalam pemecahan masalah sosial yang berperan sebagai pembaharu dan
bergerak dalam upaya rekayasa sosial yang bersifat positif.
Dalam usaha sebagai aktor rekayasa sosial dibutuhkan konsep-konsep yang
menjadi dasar pergerakan perubahan sosial. Konsep tersebut dapat dibagi berdasarkan
waktu dan cakupan efek yang ditimbulkannya yakni dapat berupa evolusi, revolusi,
reformasi, dan metamorfosis sosial. Keempat konsep tersebutlah yang menjadi dasar
perubahan sosial. Namun hanya satu konsep yang tepat dan rekayasa yang matanglah
yang mampu mengubah Indonesia dan mengubah pemikiran umat.
Salah satu perubahan Indonesia sejak tahun 2010 yaitu pemerintah daerah
selaku badan perencanaan pemerintah daerah bekerjasama dengan BPKP Meluncurkan
system teknologi informasi berbasis web yaitu SIMDA Integrated salah satu aplikasi
nya adalah E-Planning. Tujuan E-Planning adalah untuk memudahkan Kinerja
Bappeda di Seluruh Indonesia, Perencanaan pembangunan daerah merupakan suatu
proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan
menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat,
pemerintah dan lingkungannya dalam wilayah / daerah tertentu dengan memanfaatkan
atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki orientasi
yang bersifat menyeluruh, lengkap tetapi tetap berpegang pada azas prioritas. E-
planning juga bertujuan untuk menjaga akuntabilitas dalam perencanaan dan
penganggaran.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, disingkat Bappeda, adalah lembaga
teknis daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah yang dipimpin
oleh seorang kepala badan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur / Bupati / Walikota melalui Sekretaris Daerah. Badan ini mempunyai tugas
pokok membantu Gubernur / Bupati / Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) merupakan unsur
perencanaan penyelenggaraan pemerintahan yang melaksanakan tugas dan
mengkoordinasikan penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana
pembangunan daerah. Beratnya tupoksi yang diemban membuat Bappeda
membutuhkan sebuah alat bantu yang memberikan keuntungan maksimal baik dari sisi
waktu maupun kualitas.
Dalam sambutanya Pj Sekretaris daerah (Sekda) kota makassar Naizyah
azikin menjelaskan pentingnya penggunaan sistem ini dalam melaksanakan Rencana
Anggaran Kerja (RKA) bagi SKPD karena di dalamnya sudah tersusun sasaran
peningkatan pelayanan. Yakni berupa target capaian kinerja serta bagaimana
pengorganisasian program dan kegiatan pelayanan perangkat daerah sesuai tupoksinya
masing masing.
"Dengan penerapan sistem e-planning secara otomatis akan mewujudkan
keselarasan dokumen perencanaan, hingga penganggaran di SKPD sehingga target
yang ingin dicapai dalam RPMJD mampu diwujudkan sesuai dalam rencana kerja tiap
tahun," ucapnya. Naizyah lebih jauh mengutarakan, dengan perencanaan seperti sistem
tersebut, sangat jelas sasaran yang ingin dicapai yaitu meningkatkan pelayanan, dan
target capaian kinerja dalam SKPD sehingga mendorong terciptanya pemerintahan
berkualitas bersih.
"Ini akan lebih mengarahkan dan mengorganisasikan program dan kegiatan
pelayanan perangkat daerah sesuai dengan tupoksinya. Sehingga dibutuhkan kerja
secara team work secara transparan dan akuntabel di masing masing SKPD,"
terangnya.
Selain itu, Untuk menghasilkan perencanaan dan penganggaran yang efektif
dari setiap kegiatan pembangunan diperlukan sumberdaya manusia yang bukan hanya
sanggup bekerja keras, tetapi lebih mampu bekerja secara profesional, dan memiliki
kemampuan yang lebih handal. Dalam hal ini, seorang perencana selain memiliki
kemampuan kerja keras, tetapi perlu diimbangi dengan perencanaan yang matang dan
sistematis, sehingga menghasilkan hasil karya yang optimal dan berkelanjutan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perencanaan dalam pembangunan
pemerintahan daerah merupakan suatu realitas pembangunan daerah yang kaya
interaksi sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik politik, budaya maupun
agama. Hal ini menandakan aspek IPTEK dan SDM sangat menonjol dalam
perencanaan pembangunan di daerah. Pendekatan kualitatif digunakan dalam riset ini
untuk mengeksplorasi pemahaman atas fenomena perencanaan organisasi sektor publik
dengan fokus pengamatan pada bagaimana proses perencanaan pemerintah daerah
berbasis teknologi dapat memberikan alat bantu buat pemerintah untuk mewujudkan
pemerintahan dengan tata kelola yang baik (good governance).
Dalam perencanaan sektor publik isu-isu yang berkaitan seperti partisipasi,
kesenjangan anggaran, loyalitas kinerja dan dimensi lainnya, telah menarik banyak
peneliti dan ilmuan untuk melakukan diskusi secara mendalam. Misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Kenis, (1979); Brownell dan McInnes, (1986); Indriantoro (1993),
dan Tuasikal (2007). Beberapa peneliti lainnya meneliti tentang anggaran dengan
mengadopsi pendekatan kontijensi antara lain oleh Brownell (1982); Subramaniam dan
Mia (2001); Chong dan Chong (2000). Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti lagi
lebih dalam terkait bagaimana proses pelaksanaan E-Planning dalam ruang lingkup
Badan Perencanaan dan Pembangunan daerah khususnya pada satuan kerja perangkat
daerah (SKPD).

Rumusan masalah
Secara khusus, tulisan ini mengupas mengenai proses implementasi e-planning
pada pemerintah daerah dan bagaimana kaitannya dengan tata kelola pemerintah
daerah yang good governance. Menghadapi era teknologi atau biasa disebut revolusi
industry 4.0. kondisi tersebut ditandai langsung dengan penggunaan mesin digital dan
internet yang menyebabkan perubahan yang cepat dan signifikan terhadap segala sector
kehidupan manusia sehingga memudahkan manusia dalam melakukan berbagai
pekerjaan.
Studi ini berusaha mencari tahu mengenai bagaimana pengaruh system
teknologi informasi terhadap kinerja pemerintah daerah, Serta menyelidiki apakah
dengan adanya e-planning ini dapat mewujudkan informasi yang akuntabel dan
transparan.
Pemerintah daerah yang dimaksud adalah Bappeda (Badan Perencanaan dan
pembangunan daerah) beserta jajarannya. seperti, kepala Bappeda kota makassar,
kelompok jabatan fungsional maupun Sekretariat.

Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi implementasi perencanan dan
penganggaran pembangunan organisasi sektor publik, berbasis teknologi informasi
yaitu E-Planning yang berada pada Ruang lingkup Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) khususnya pada satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) yang bertanggungjawab dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan
daerah.

Manfaat penelitian
Kontribusi yang diharapkan dari temuan penelitian ini adalah memperkaya
kepustakaan ilmu akuntansi, khususnya akuntansi sektor publik, dan dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan SKPD yang bertanggungjawab dalam perencanaan dan
penganggaran pembangunan daerah.

BAB II
E-PLANNING : TUNTUTAN PERUBAHAN SOSIAL

Tuntutan atas adanya perubahan social untuk keberlangsungan pemerintahan


dalam menjalankan tugas dan fungsinya, menuntut pemerintah untuk melakukan
pembaharuan program system teknologi informasi yang dapat merubah kinerja
pemerintah agar lebih efisien dan efektif. Apalagi di era modern sekarang ini,
perkembangan teknologi semakin meningkat. Oleh karena itu, Pemerintah dan selaku
jajarannya harus melakukan inovasi-inovasi terbaru guna untuk menunjang informasi-
informasi yang akan dikeluarkan secara akuntabel dan transparan yaitu dengan
diluncurkan nya Sistem Informasi manajemen daerah (SIMDA) seperti E-planning, E-
budgeting, E-monitoring, E-gaji, E-bmd, E-pokir dll.
Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana pemerintah dalam menjalankan e-
planning dalam aktivitasnya. E-planning adalah sebuah alat penyusunan RKPD, KUA
PPAS, KUA/PPAS Perubahan, RKPD Perubahan Kabupaten/Provinsi agar dapat
terselesaikan dengan mudah, cepat, tepat dan sesuai dengan arahan yang terkandung
dalam Permendagri No. 54 Tahun 2010. Dengan adanya alat bantu e-planning, bappeda
dapat memaksimalkan sistem dan sistem juga mampu menyajikan analisa yang sangat
informatif bagi para pemangku kepentingan.
Hampir semua Bappeda yang ada di Indonesia telah menggunakan aplikasi e-
planning sebagai alat bantu dalam memaksimalkan sistem dan sistem juga mampu
menyajikan analisa yang sangat informatif bagi para pemangku kepentingan. Salah
satunya bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, termasuk di kota makassar.
Namun, Beberapa bappeda dari kabupaten atau kota lain juga masih dalam
proses pengerjaan e-planning yang nantinya akan diimplementasikan di kota atau
kabupatennya masing-masing. Kepala Bappeda Makassar, Andi Khadijah Iriani
mengatakan, pengintegrasian ini mendorong transparansi dan akuntabilitas kinerja
satuan kerja perangkat daerah. “Ini mencerminkan transparansi di lingkup Pemkot
Makassar, perencanaan dan penganggaran, hingga pelaksanaan semua bisa dipantau.
Karena sudah terintegrasi,” ungkap Andi Khadijah Iriani saat ditemui di Hotel Aston,
Jalan Sultan Hasanuddin.
Pihak legislatif, kata Andi Khadijah Iriani, juga akan dimudahkan dalam
melakukan fungsi pengawasannya. Dia melanjutkan sistem ini juga terkoneksi ke
pusat. “Ini juga mendorong konsistensi dalam pelaksanaan program, tidak ada yang
berubah-ubah, sehingga jika ada perubahan besaran anggaran yang tidak sesuai
perencanaan dapat terpantau,” katanya “Jadi bisa ditahu kalau ada anggaran yang tiba-
tiba berubah dan tidak sesuai bisa langsung ketahuan. Artinya apa? Sekarang kita sudah
integrasi di hilir dan bisa real time kelihatan dan Bappeda bisa monitoring capaian
kinerja programnya,” sambungnya.
Dia menambahkan, integrasi ini juga mendukung Smart Auditing yang
dilakukan oleh Inspektorat Daerah Kota Makassar. Jadi selain terpantau kesesuaian
perencanaan dan penganggaran serta progressnya, juga memudahkan Inspektorat
melakukan audit. “Jadi semua semakin jelas. Transparan dan akuntabel, sudah dipantau
di integrasi diaudit lagi oleh Inspektorat,” pungkasnya

Perjalanan Membangun Sistem Perencanaan di Berbagai Daerah (E-Planning)


Semenjak dikeluarkannya INPRES No.3 Th.2003 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan e-Government banyak daerah yang berlomba-lomba
untuk mengimplementasikan e-Government dalam mendukung semua kegiatannya.
Dengan harapan dalam pelaksanaannya akan terbantu dengan pemanfaatan
teknologi. Tidak sedikit yang gagal dalam melaksanakannya, baik itu dari sisi
perencanaannya maupun pada saat mengimplementasikannya. Banyak pula yang
menganggap bahwa dengan teknologi, malah membuat susah karena sudah terbiasa
dengan cara manual.
JMC IT Consultant dengan produk utamanya yaitu e-Planning telah berhasil
membawa banyak perubahan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan
daerah. Sudah banyak daerah yang telah berhasil mengimplementasikan produk ini. e-
Planning yang sejak tahun 2010 sampai sekarang telah berhasil dibangun dan
diimplementasikan di DIY berhasil menjadi lirikan daerah lain untuk mengikuti
langkanya.
Setelah berhasil dibangun dan diimplementasikan selama 2 tahun, pada tahun
2012 mulailah Kabupaten Rejang Lebong, salah satu Kabupaten di Provinsi Bengkulu
mengimplementasikan e-Planning, dengan harapan yang sangat besar seperti yang
telah diraih oleh DIY. Tahun-tahun berikutnya beberapa daerah lain juga berupaya
keras demi mewujudkan perencanaan yang efektif, efisien dan akuntabel. Daerah –
daerah tersebut adalah Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur, Provinsi Aceh,
Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Grobogan, Kota Malang, Kota Tegal,
Kabupaten Lebong, Kota Pekanbaru, dan beberapa daerah lain.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, khususnya dalam menjalankan fungsi sebagai
perencana, Bappeda DIY selalu kewalahan setiap kali proses penyusunan perencanaan
berlangsung. Dengan jumlah SDM yang terbatas, juga tuntutan waktu yang terbatas,
membuat Bappeda DIY harus berfikir keras untuk menghadapi semua
itu. Semenjak tahun 2007, Bappeda DIY sudah mulai membangun aplikasi
perencanaan pembangunan daerah dengan harapan Bappeda bisa terbantu dalam
menyelesaikan tugasnya dalam menyusun dokumen perencanaan.
Karena sangat kompleksnya kebutuhan aplikasi dalam mendukung proses
perencanaan, banyaknya format laporan yang harus dihasilkan oleh aplikasi, membuat
aplikasi yang dibangun tersebut kurang berjalan lancar. Seiring berjalannya waktu,
sampai pada tahun 2010 aplikasi tersebut belum berhasil membantu Bappeda DIY
dalam mewujudkan impiannya dalam menyusun perencanaan di DIY. Akhirnya pada
tahun 2010 Bappeda DIY mulai beranjak dengan jalan yang baru, yang harapannya
dapat membantu Bappeda DIY dalam mengatasi permasalahan tersebut. Bappeda DIY
sangat selektif dalam menentukan penyedia jasa untuk membantunya membangun
aplikasi perencanaan yang efektif dan efisien serta tepat guna.
Berawal dari situ lah Bappeda DIY bersama JMC IT Consultant membangun
aplikasi perencanaan dari awal. Aplikasi perencanaan yang dibangun bersama JMC IT
Consultant telah berhasil membantu Bappeda DIY dalam membangun aplikasi yang
tepat guna, single input many output, sehingga bisa membantu Bappeda DIY dalam
menghasilkan sekian banyaknya format laporan yang dibutuhkan.
Pada tahun 2011, Bappeda DIY berinisiatif untuk memberi nama aplikasi
perencanaanya itu dengan nama “Jogjaplan”. Dengan keberhasilannya dalam
menyusun proses perencanaan, mulai dari penyusunan RKPD sampai KUA
PPAS, Jogjaplan Bappeda DIY selalu dikembangkan sampai saat ini untuk memenuhi
keberagaman kebutuhan dan perkembangan teknologi yang ada.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menekankan pentingnya
penerapan E-Planning dalam Penyusunan Dokumen RPJMD dan RKPD bagi 171
Daerah Hasil Pilkada Serentak Tahun 2018. Hal ini Ia sampaikan pada acara penutupan
Rakornas Penerapan E-Planning yang di hadiri para Kepala Daerah dan Kepala
Bappeda di Hotel Grand Sahid Jaya. Tjahjo menyampaikan bahwa semangat
pemerintahan daerah tentunya harus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa, "Daerah sesuai
dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan daerah sebagai satu kesatuan
dalam sistem perencanaan pembangunan nasional". Kemendagri dan Lembaga
Keuangan Sepakat Integrasikan Data Penduduk, Tjahjo, menjelaskan bahwa makna
dibalik dilaksanakannya Pilkada Serentak dibagi dalam 3 gelombang mulai tahun 2015
(269 daerah), tahun 2017 (101 daerah), dan tahun 2018 (171 daerah). Nantinya
disambung dengan pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 (Pileg dan Pilpres).
“Diharapkan dengan desain Pemilu Serentak di tahun 2024 nantinya adanya
sinkronisasi program Pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Siapapun gubernurnya,
bupatinya dan walikotanya latar belakang partai politiknya, pemerintahan satu mulai
Pusat, provinsi dan kabupaten/kota," Tegasnya. Lebih lanjut Tjahjo, menjelaskan
setiap pasca pelaksanaan Pilkada Serentak, kepala daerah selalu diajak dialog dalam
penyusunan program strategisnya, secara teknis melalui Ditjen Bina Pembangunan
daerah karena setiap kepala daerah punya janji kampanye, maka setiap janji kampanye
dirumuskan dengan tidak bertentangan dengan kondisi daerahnya dan jangan lupa
memperhatikan area rawan korupsi dan lebih fokusnya di E-Planning.
Pelaksanaan Pilkada serentak di 171 daerah tahun 2018 menjadi momentum
yang baik untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan perencanaan pembangunan
daerah berbasis SIPD. Ujarnya. “Aplikasi e-Database dan e-Planning akan diterapkan
di 171 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak tahun 2018 dalam rangka
penyusunan dokumen RPJMD dan RKPD yang ke depannya akan diterapkan secara
nasional," pungkasnya.
Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah (e-planning) adalah
sebuah alat penyusunan RKPD, KUA PPAS, KUA/PPAS Perubahan, RKPD
Perubahan Kabupaten/Provinsi agar dapat terselesaikan dengan mudah, cepat, tepat
dan sesuai dengan arahan yang terkandung dalam Permendagri No. 54 Tahun 2010.
Dengan adanya alat bantu e-planning, BAPPEDA dapat memaksimalkan sistem dan
sistem juga mampu menyajikan analisa yang sangat informatif bagi para pemangku
kepentingan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo mengatakan sudah berbagai
cara dilakukan agar kepala daerah untuk tidak melakukan korupsi. Namun, dirinya
tidak bisa berbuat banyak, karena kepala daerah itu dipilih oleh rakyat. Solusinya
penerapan e-planning wajib dilakukan.
“Bukan kami berlindung di otonomi daerah. Mereka ini kan dipilih oleh rakyat,
Beda lagi kalau dia itu Pangdam, Kaploda atau Kapolres bisa langsung dipecat dan
diganti. Ini kan tidak bisa, karena pergantian itu ada prosesnya,” kata Tjahjo Kumolo
di Jakarta, belum lama ini.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan wajib e-planning bagi
seluruh daerah. Penggunaan ini dinilai bisa meminimalisir adanya oknum yang
bermain, sehingga perilaku korupsi bisa dihindari. “Kita melihatnya positif, kalaupun
e-planning masih kurang dari setengah berarti ini sudah efektif sebenarnya. Tapi kita
terus dorong agar bisa dilaksanakan oleh semua daerah bukan hanya Surabaya,” tegas
Tjahjo.
Jadi pertanyaan memang bagi Tjahjo ketika semua provinsi tidak konsisten.
Ada yang sudah berjalan, dimana pengurusan tidak dipungut biaya seperti Jambi. Tapi
ada juga kata dia, daerah yang masih memungut dengan satu juta sampai satu juta
setengah padahal sistemnya sama.
“Mungkin karena sumber daya manusia. Harusnya kan progresif revolusional.
Kalau tidak cepat ya repot. Tapi yang pasti, kita terus meminta Irjen dan KPK untuk
terus mendorong ini,” ujarnya. Sebelumnya, Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala
Nainggolan mengatakan pihaknya juga sudah memberikan dorongan agar penggunaan
e-planning ini wajib dilakukan. Bahkan sejak September 2016 lalu dimana, Mendagri
sudah mengirimkan surat edaran ke pemda.
“e-planning atau e-budgeting itu barang wajib. Tapi ya laporannya baru 42
persen. Karena mungkin beberapa daerah membaca wah ini susah nih kalo terjadi
beneran nitip-nitip akan susah, karena semua lewat mekanisme dan elektronik dan
plus ada dokumentasinya,” tegas Pahala.
Disaat pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86
Tahun 2017 tentang Pedoman Perencanaan, Evaluasi dan Pengendalian Pembangunan,
maka bersamaan dengan itu gong tanda diberlakukanya piranti elektronik dalam
perencanaan berbunyi. Pemerintah Kabupaten, Provinsi tidak dapat menghindar lagi
dari pelibatan E-Planning dalam proses perencanaan pembangunan di daerah.
Elektronifikasi Perencanaan ini telah lama digaungkan. Beberapa daerah yang telah
memberlakukan piranti ini terhitung sukses dalam menata kelola perencanaan
pembangunan Daerah. Sebutlah Pemerintah Kota Surabaya, Bandung dan beberapa
daerah lainya adalah sederet Daerah yang dipandang sukses dalam menyelenggarakan
e-planning, sehingga daerah-daerah itu dijadikan inspirasi bagi daerah lain di Indonesia
untuk praktek perencanaan yang baik.
E-Planning adalah sebuah keniscayaan, disaat tuntutan terhadap Sistem
Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah sedang getol-getolnya digalakkan. Sebagai
sebuah keniscayaan, maka tidak ada lagi alasan untuk menunda apalagi tidak
melaksanakan. E-Planning menjadi solusi ditengah upaya kuat dalam menciptakan
pemerintahan yang baik. Dengan karakternya yang transparan, keakuratan data
perencanaan menjadi lebih terjamin. Karena, konon, transparansi perencanaan akan
mendorong transparansi penganggaran, sehingga berimplikasi pada transparansi
pelaksanaan dan bahkan sampai pada transparansi pengawasan dan pertanggung
jawaban. Dari semua transparansi itu, filosofinya, e-planning mendorong terciptanya
kepastian dalam hal penganggaran, kepastian dalam hal pengawasan, dan kepastian
dalam hal pertanggungjawaban. Karena secara real time semua data disajikan dalam
bentuk rekam peristiwa yang tak bias dibantah.
E-Planning, bagi Pemerintah Kabupaten Gorontalo, menjadi kebutuhan
terutama dalam mengimplementasikan misi ke dua Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah 2016-2021, Menciptakan Pemerintahan Bersih, Harmonis dan
Dinamis. Karena sebuah kebutuhan maka, pada awal bulan Oktober Bupati Kabupaten
Gorontalo memerintahkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk
memenuhi undangan Komisi Pemberantasan Korupsi mengikuti Workshop Replikasi
Aplikasi E Planning di Pemerintah Kota Medan Propinsi Sumatera Utara. Workshop
yang berlangsung selama 3 hari tersebut, berhasil melakukan MOU Replikasi Aplikasi
e-Planning ke dalam penyelenggaraan Perencanaan pembangunan Daerah di
Kabupaten Gorontalo. Pemerintah Kota Medan, dalam penandatanganan MOU
tersebut, menyerahkan source code aplikasi e-planning, ke Kabupaten Gorontalo.
Dalam rangka mematangkan implementasi e-planning, Badan Perencanaan
Pembangunan Kabupaten Gorontalo tengah melakukan tahapan-tahapan persiapan
terutama pendalaman atas penguasaan aplikasi. Sebagai langkah awalnya, Bappeda
telah membentuk tim E-planning yang terdiri dari Tim ahli IT dan Tim ahli
perencanaan. Kolaborasi kedua tim ini diharapkan dapat menghasilkan satu aplikasi e-
planning yang adaptif dengan system perencanaan pembangunan daerah, alur birokrasi
perencanaan, tahapan perencanaan, konfigurasi pendekatan perencanaan top down-
bottom up; teknokratis dan politis.
Langkah berikutnya disamping membentuk tim e-planning, Bappeda
Kabupaten Gorontalo juga tengah membenahi infrastruktur jaringan seperti
pengembangan bandwith, penyiapan hardware seperti server. First
Maturity implementasi e-planning akan kelihatan pada bulan Desember, disaat kick
off dilaksanakan. Pada saat ini e-planning akan diuji coba pada 4 OPD sample. Pada
tahapan ini Tim e-Planning akan mempelajari trial and error karakter aplikasi. Agar
pada tahapan Second Maturity sekitar bulan Januari 2018 sudah dapat masuk
pada grand launching.
Implementasi E-planning merupakan kepatuhan dalam menjalankan
Permendagri nomor 86 Tahun 2017, terutama dalam meningkatkan presisi
penganggaran terhadap perencanaan. Sebagaimana diketahui bersama, kerap
perencanaan dan penganggaran tidak presisi karena beberapa factor.
Pertama, ketidakpatuhan terhadap dokumen perencanaan. Proses penyusunan
dokumen perencanaan yang menghabiskan waktu 6 hingga 8 bulan dapat runtuhkan
dengan argumentasi satu menit dalam penganggaran. Dalihnya klasik, minim
anggaran, tidak teralokasi dan sebagainya. Usulan perencanaan yang telah dikawal
sejak dari Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Desa, bisa diabaikan
hanya hitungan waktu tidak lebih 1 menit dalam proses penganggaran dengan dalih-
dalih klasik. Akibatnya, phenomena apatis di tingkat masyarakat pada saat digelarnya
forum Musrenbang Desa, tak dapat dihindarkan. Usulan masyarakat menjadi “waiting
list”, pada hal Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus yang merupakan dua dari
empat komponen pembentuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah diperoleh melalui
argumentasi atas nama masyarakat.
E-Planning diharapkan akan meluruskan kelokan jalan Panjang perencanaan
menuju pengganggaran. Kedua, phenomena by pass terhadap perencanaan melalui
determinasi kekuatan politik. Perencanaan kerap diabaikan disaat kuatnya desakan
untuk mengakuisisi kepentingan politik yang berkonsekwensi penggerusan anggaran
yang semestinya teralokasi pada pemenuhan usulan masyarakat. Adalah tak bisa
dihindari, proses persetujuan dokumen perencanaan dan penganggaran dilakukan
melalui mekanisme pembahasan di kamar legislative. Sehingga kompromi-kompromi
eksekutif dan legislative perlu ditempuh untuk menghindari deadlock pembahasan
RAPBD.
Mengorbankan usulan masyarakat yang terdokumentasikan dalam
perencanaan, menjadi hal biasa terutama pada waktu kaukus-kaukus politik di
legislative meminta agar pemerintah memenuhi kebutuhan anggaran legislative. Fakta-
fakta ini yang kemudian dalam e-planning akan ditertibkan melalui mekanisme
dokumentasi e-pokir (Pokok Pikiran legislative). E-Pokir (salah satu kontet e-planning)
akan mendokumentasikan pikiran-pikiran Anggota Legislatif yang masuk dalam
dokumen perencanaan dan penganggaran.
Ketiga, perubahan alokasi anggaran pada masing-masing
Organisasi Perangkat Daerah. Kenyataan menunjukan adanya Dokumen perencanaan
yang telah disahkan tidak dilaksanakan karena perubahan alokasi anggaran di tingkat
OPD. Tidak sedikit OPD merubah alokasi anggaran untuk belanja langsung ke dalam
belanja tiidak langsung. Akibatnya usulan program masyarakat yang teranggarkan
dalam belanja langsung dikorbankan untuk memenuhi tuntutan alokasi belanja tidak
langsung.
Aplikasi e-planning akan meminimalisir “kenakalan etis” ini melalui proses
akuntabilitas perubahan rencana dan anggaran. Pada tahapan ini baik perubahan dan
penyesuaian, penambahan maupun pengurangan akan dipertanggungjawabkan melalui
dokumentasi elektronik. Keempat, dokumen perencanaan masih offline, sehingga
paham tentang dokumen perencanaan tidak diketahui orang luar, memberi peluang
untuk tidak mengimplementasikanya. RKPD sebagai dokumen perencanaan tahunan
selama ini disajikan dalam hard copy dengan bentuk dokumen yang tebal, sehingga
untuk membacanya tidak menarik minat. Ternyata kelemahan penyajian yang ofline
seperti ini menjadi celah dengan kesan; tidak ada yang berani mengecek apakah
dokumen ini dilaksanakan atau tidak. Demikian pula merubah isinyapun tidak terawasi,
sehingga kapanpun dapat dirubah, disesuaikan dan sebagainya.
Aplikasi e planning yang telah web base akan membuka seluas-luasnya kepada
public akses terhadap RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) yang didalamnya
terdapat program dan anggaran. Sehingga dengan demikian public dapat membacanya,
penegak hukum dapat mengaksesnya untuk penyelidikan dan penyidikan, rakyat juga
dapat melihat status usulanya dan akusisi usulanya ke dalam RKPD, dan seterusnya.
Singkatnya, web base e-planning merupakan jalan untuk “berterus terang” kepada
public. Karena mereka menanti sambil bernyanyi “jujurlah padaku”.
Bila minggu lalu kita sudah mendalami mengenai e-Musrenbang, kali ini
giliran aplikasi unggulan JMC IT Consultant lainnya yang siap untuk dikupas yaitu e-
Planning. Bappeda sebagai badan penyelenggara perencanaan pembangunan daerah
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan mengkoordinasikan
penyusunan, pengendalian, dan pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Tentu saja
dalam pelaksanaannya akan membutuhkan proses panjang yang mencakup input data
cukup banyak dan memakan waktu.
Dalam hal ini, e-Planning hadir untuk menjawab semua kebutuhan Bappeda
dalam proses penyelenggaran perencanaan pembangunan. Aplikasi e-
Planning memiliki berbagai keunggulan. Salah satunya, e-Planning dapat diakses
dengan mudah menggunakan device apapun, baik desktop maupun smartphone. Proses
input data pun dapat dilakukan oleh OPD secara online. Selain itu, e-Planning yang
dibuat oleh JMC IT Consultant sudah sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah yang berlaku saat ini, yaitu berlandaskan UU no 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Input data, proses, alur, dan laporan yang
disusun juga sudah sesuai dengan Permendagri no 54 tahun 2010 dan dapat
mengakomodir Undang-Undang no 23 tahun 2014. Tidak cukup sampai disitu,
aplikasi e-Planning dapat diintegrasikan dengan sistem informasi lainnya, seperti
aplikasi keuangan serta aplikasi monitoring dan evaluasi.
Dalam aplikasi ini terdapat beberapa level pengguna dengan hak akses yang
telah disesuaikan berdasarkan kewenangan masing-masing. E-Planning memproteksi
OPD agar hanya dapat mengambil program kegiatan yang menjadi urusannya saja.
Bappeda pun dapat membuat batasan pagu indikatif untuk OPD sesuai pertimbangan
ketersediaan anggaran, kepentingan, dan prioritas daerah. Selain itu, dengan adanya
aplikasi ini akan membantu dalam menjaga kesesuaian antara RKPD dengan RPJMD.
Terkait input data, data yang diinput nantinya akan diekspor ke dalam bentuk
file excel sehingga memudahkan dalam pembuatan laporan. Penyusunan laporan
secara manual yang dahulu memakan waktu yang lama dapat diselesaikan hanya dalam
hitungan detik. Saat ini aplikasi e-Planning yang dikembangkan oleh tim JMC IT
Consultant sudah mencapai versi 3. Dalam versi terbaru ini tentu saja lebih powerful,
lebih responsive, user friendly, dan memiliki user interface yang informatif. Segala
kemudahan yang Bappeda butuhkan telah hadir dalam aplikasi e-Planning versi 3.
Aplikasi e-Planning buatan JMC IT Consultant sudah mengantarkan DIY dan Provinsi
Aceh meraih penghargaan Anugerah Pangripta Nusantara. E-Planning pun sudah
digunakan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya aplikasi e-Planning,
Bappeda dapat melakukan penyelenggaraan perencanaan pembangunan yang optimal,
efektif, dan efisien. E-Planning juga dapat diakses oleh masyarakat sebagai wujud
keterbukaan informasi pemerintah.
Pada saat tim JMC IT Consultant melakukan perjalanan ke Bappeda
Aceh dalam rangka pembuatan aplikasi e-Planning, kami mendapat banyak
pengalaman dari perjalanan tersebut. Kita ingat dahulu setelah Aceh terkena bencana
alam tsunami pada tahun 2004 yang sangat dahsyat yang benar-benar menghancurkan
seluruh Aceh. Dari dampak tsunami yang dilanda oleh Aceh membuat pemerintah
berpikir dan bekerja keras untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan. Dari
situlah Bappeda mencoba untuk membuat sebuah aplikasi e-Planning untuk
membantu membangun kembali Aceh.

Metode Fenomenologi: Memahami Realitas yang ada


Menurut paham fenomenologi, ilmu tidak bebas nilai dari apa pun (value free),
melainkan memiliki hubungan dengan nilai (values bound). Aksioma dasar
fenomenologi adalah, pertama kenyataan ada dalam diri manusia, baik sebagai
indiividu maupun kelompok, selalu bersifat majemuk atau ganda,dan tersusun secara
kompleks, sehingga hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas. Kedua,
hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit
dipisahkan. Ketiga, lebih mengarah pada kasus-kasus, bukannya menggeneralisasi
hasil penelitian. Keempat, sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi
berlangsung secara simultan. Kelima, inkuiri terikat nilai, bukan values free
(Endraswara, 2008).
Menurut Edie (1962: 19), fenomenologi berusaha menunjukkan struktur
implisit dan makna dari pengalaman manusia, yang merupakan pencarian "esensi"
yang tidak dapat ditemukan dengan pengamatan biasa. Fenomenologi adalah ilmu dari
struktur esensial kesadaran atau pengalaman yang tidak menekankan pada pengalaman
ataupun pada objek dari pengalaman, melainkan pada titik kontak di mana "being and
consciousness” bertemu. Inti fenomenologi adalah untuk mendapatkan visi yang murni
tentang “essentially is”. Untuk mendapatkan visi tersebut, fenomenologi menggunakan
tahapan-tahapan yang terdiri dari:
1. Intentional Analysis
Inti suatu fenomena diambil dari intentional analysis, yaitu hubungan antara
objek yang dilihat secara langsung (noema), dan pandangan secara subjektif (noesis)
dari benda atau fenomena tersebut. Husserl (1931: 133) menggunakan istilah
intentionality sebagai rujukan dari hubungan antara objek dan penampakannya dalam
kesadaran (consciousness) peneliti. Pernyataan umum mengenai langkah-langkah
dalam metode intentional analysis dijelaskan oleh Husserl (1931: 190) ketika ia
menulis:
It (phenomenology) has to place before its own eyes as instances certain
pure conscious events, to bring these to complete clearness, and within
this zone of clearness to subject them to analysis and the apprehension of
their essence, to follow up the essential connections that can be clearly
understood, to grasp what is momentarily perceived in faithful conceptual
expressions, of which the meaning is prescribed purely by the objective
perceived or in some way transparently understood.
Dengan demikian, intentionality mengacu pada arti keseluruhan suatu objek, yang
selalu memiliki arti lebih jika dibandingkan dengan perspektif yang ada. Intentionality
adalah arah dan bentuk internal dari pengalaman atau kesadaran (consciousness).
2. Epoche
Dasar dari fenomenologi sebagai prosedur adalah keyakinan bahwa ketika
orang menanyakan suatu pertanyaan metafisik (seperti apa itu sifat perubahan,
keunggulan, kebenaran, dan sebagainya), mereka sering dibebani oleh asumsi —
definisi yang mutlak, pengkategorian, atau pendapat yang memisahkan seorang peneliti
dari kebenaran.
Sikap fenomenologis yang penting adalah suspense (penundaan) atas bias
pribadi, keyakinan, prasangka, dan asumsi-asumsi, untuk mendapatkan visi murni dari
“what a thing essentially is”. Husserl menamakan fitur fenomenologis ini sebagai
epoché (1931: 108).
3. Eidetic Reduction
Tahapan terakhir dari fenomenologi adalah eidetic reduction. Eidetic reduction
merupakan proses pengambilan esensi (inti) kesadaran atas suatu pengalaman. Eidetic
reduction adalah tindakan yang berasal dari ekspresi konkret dari fenomena tertentu,
yang dibentuk menjadi esensi “murni” (Kockelmans, 1967). Eidetic reduction dapat
dicapai dengan menggunakan intuisi dan refleksi.
Natanton (Mulyana, 2002: 59) memberikan pandangan yang serupa. Dia
mengatakan bahwa fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada
semua pandangan ilmu sosial. Pandangan tersebut menganggap bahwa kesadaran
manusia dan makna subjektif merupakan fokus dalam memahami tindakan sosial.
Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya, pandangan subjektif informan
sangat diperlukan.
Wawasan utama fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari suatu
realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri. Aminuddin (1990: 108)
mengatakan:
Dalam perkembangannya, fenomenologi terdiri atas beberapa macam,
antara lain: (a) fenomenologi editik dalam linguistik; (b) fenomenologi
ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui
penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk
menentukan keberadaan, dan penggambaran gejala (refleksi); (c)
fenomenologi transendental; dan (d) fenomenologi eksistensial.
Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara
tegas ditekankan. Sedangkan, bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari
gejala budaya semata-mata tergantung pada individu. Refleksi individual menjadi
“guru” bagi individu dalam rangka menemukan kebenaran.
Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998: 12-13)
menyatakan bahwa:
Obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan
mencakup fenomena yang terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan
keyakinan subyek, yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan
obyek penelitian dalam suatu kontsruksi ganda, serta melihat obyeknya
dalam suatu konteks natural dan bukan parsial.
Karena itu, fenomenologi menggunakan tata pikir logis daripada sekedar linieritas
hubungan kausal. Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah membangun ilmu
ideografik budaya itu sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pendekatan
naturalistik yang bertujuan mengkaji pemahaman individu atau sekelompok
tentang suatu fenomena dalam suatu kondisi tertentu atau berkonteks khusus.
Dalam hal ini, metoda yang digunakan adalah dengan pendekatan fenomenologis
yang bertujuan mengkaji dan memahami respon individu atau kelompok
masyarakat, serta pengalaman yang dipahami dalam berinteraksi (Saladien, 2006).
Alasan digunakan pendekatan ini adalah para fenomenologis percaya
bahwa makhluk hidup memiliki potensi untuk menginterpretasikan pengalaman
melalui interaksi dengan orang lain (Moleong, 2005). Metode kualitatif
fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik
sensual, kebenaran empirik logis, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik
transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki
kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian.
Dalam hal ini, keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan
fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Seperti yang dikatakan
Moleong (1988: 78), pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti
peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi
tertentu.
Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa ia mengetahui arti dari
sesuatu yang sedang diteliti. Maka dari itu inkuiri dimulai dengan diam (epoche).
Epoche merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti, di
mana peneliti berusaha menekankan aspek subyektif dari perilaku orang.
Lebih lanjut, peneliti fenomenologi berusaha untuk masuk ke dunia konseptual
subyek yang diteliti, sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu fenomena
yang terjadi di kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini, tersedia berbagai cara untuk
menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa
pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan (Syarifuddin, 2010).
Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif dari
perilaku budaya. Menurut Moleong (1998: 9): Mereka berusaha masuk ke dalam dunia
subyek yang ditelitinya sedemikian rupa, sehingga peneliti mengerti apa dan
bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam hidup sehari-hari. Subyek penelitian
dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui interaksi.
Hal ini berarti bahwa peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara mentah.
Peneliti cukup arif dalam memberikan “tekanan” pada subyek untuk memaknai tindak
budayanya, tanpa mengabaikan realitas.
Hal ini berarti bahwa peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara
mentah. Peneliti cukup arif dalam memberikan “tekanan” pada subyek untuk
memaknai tindak budayanya, tanpa mengabaikan realitas.

Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Objek analisis dilakukan terhadap SKPD
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang merupakan salah suatu
institusi yang bertanggung jawab dalam perencanaan pembangunan yang bertanggung
jawab dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para aparatur yang terlibat
langsung dan mempunyai pengalaman dalam proses perencanaan dan penganggaran
daerah, dan pihak lain yang dipandang penting. Identitas informan yang digunakan
hanya inisial untuk menggantikan nama informan yang sebenarnya. Pengumpulan data
dilakukan melalui pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam dengan para
informan dan dokumentasi. Pengamatan berpartisipasi dilakukan dengan cara
keterlibatan peneliti di dalam proses perencanaan dan penyusunan anggaran selama
rentang waktu dua bulan lebih. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan
bersifat informal dalam berbagai situasi.
Sumber data
Sumber data yang saya gunakan sebagai referensi dalam melakukan studi ini
adalah:
a. Data Primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan dalam penelitian dari sumber
utama, yang diperlukan dalam pembahasan masalah untuk kemudian diolah dan
dianalisis.
b. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari informan sebagai tambahan dan
data pelengkap dari data primer. Selain itu, saya menggunakan beberapa literatur
yang menghimpun teori, baik yang diperoleh dari buku, arsip, dokumen maupun
keterangan-keterangan lain yang diperlukan berhubungan dengan studi.

Teknik pengumpulan data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini, diantaranya:
a. Observasi, dimana saya mendatangi langsung lokasi penelitian, dan melakukan
pengamatan langsung.
b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya-jawab
langsung. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah
wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian, dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan, atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara.
Dalam wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
yang relatif lama. Informan yang diwawancara disini adalah Kepala Bappeda Kota
makassar beserta jajarannya.
c. Studi dokumentasi, yaitu mengadakan pencatatan langsung terhadap dokumen atau
arsip yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Instrumen Penelitian
Dalam mekanisme pengumpulan informasi dalam penelitian ini, dilakukan
secara langsung dengan beberapa cara, antara lain:
a. Wawancara (Interview), digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang,
atau untuk mempelajari alasan di balik perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang. Menurut Patton (Poerwandari, 1998) dalam proses wawancara dengan
menggunakan pedoman umum wawancara, pewawancara akan mencantumkan isu-
isu yang terkait dengan penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan
mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan
untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas,
juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah
dibahas.
b. Observasi, dalam artian mengadakan pengamatan secara langsung. Observasi dapat
dilakukan dengan pengamatan dan rekaman suara.

Teknik Analisis Data


Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teknik
analisis penelitian fenomenologi yang digunakan oleh Sanders (1982) yaitu: (1)
Deskripsi fenomena, (2) Identifikasi tema-tema, (3) Mengembangkan noetic/noematic
correlates dan (4) Abstraksi intisari atau universals dari noetic/noematic correlates.
Alasan menggunakan teknik analisis ini adalah selain merupakan teknik umum
yang digunakan oleh peneliti tentang suatu fenomena sosial. Teknik ini mampu
menggambarakan fenomena riil tentang perencanaan dan penganggaran di daerah
karena peneliti terlibat langsung.

Pengujian Kredibilitas Data


Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal,
yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif,
alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi yang mengandung
banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka, apalagi tanpa kontrol, serta sumber
data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh
karena itu, demi membuktikan kredibilitas dari data pada studi ini, penulis
menggunakan metode yang dijabarkan oleh Bungin (2007) yaitu:
1. Kredibilitas, apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya.
Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail,
triangulasi, peer debriefing, analisis kasus negatif, yaitu membandingkan dengan
hasil penelitian lain, dan member check. Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil
penelitian, yaitu:
a. Memperpanjang masa pengamatan. Ini memungkinkan peningkatan derajat
kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat
menguji informasi yang diperoleh dari informan, dan untuk membangun
kepercayaan para informan terhadap peneliti dan kepercayaan diri pada peneliti
itu sendiri.
b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti,
serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Triangulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data. Di sini peneliti menggunakan
suatu item untuk memeriksa atau sebagai pembanding terhadap (keabsahan) data
tersebut.
d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain), yaitu mengekspos hasil
sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik, yang
mana pada studi ini adalah diskusi dengan dosen pembimbing skripsi saya.
e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan
yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek
analisis dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang data.
2. Transferabilitas, yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang
lain.
3. Dependability, yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti
dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika
membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.
4. Konfirmabilitas, yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya.
Artinya, hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan
dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian
dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian, dengan
tujuan agar hasil dapat lebih objektif.

DAFTAR PUSTAKA
Sri Rahayu; Unti; dan Didied, (2007). Studi Fenomenalogis Terhadap Penyusunan
Anggaran Daerah Bukti Empiris Dari Satuan Kerja Perangkat Daerah di
Provinsi Jambi, SimposiumNasional Akuntansi X, Makassar 26-28 Juli
2007.

Darmanto dan Yulia Yustikasari, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli


Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengelolaan Anggaran
Belanja Daerah, Makassar 26-28 Juli 2007

Fadel, Muhammad, 2007. Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja


Pemerintah Daerah (studi Kasus Provinsi Gorontalo). Gadjah Mada
University Press.

Fozzar, Ardian. 2001. The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource


Allocation in The Public Sector and Their Implications For Pro-poor
Budgeting, Center For Aid and Public Expendeture, Overseas
Development Institue (ODI), Working papar.

-------------. 2006b. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di


Indonesia. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Pokja 30 (Forum Himpunan
Pokja 30/Lembaga untuk Advokasi Kebijakan Publik). 2005. Analisis
RAPBD Kota Samarinda Tahun Anggaran 2005. www. Samarinda.go.id.

Gordon, L.A., dan Sellers F.E., (1984). Accounting and Budgeting Sistem: The Issue
of Congruency. Journal of Accounting and Public Policy. 3. 259- 292.

Halim. A., 2001a . Manajemen Keuangan Daerah APBD. Edisi Pertama. Salemba
Empat. Jakarta.

Hoesada.J. 2005. Memahami Kerangka Konseptual Dalam Akuntansi Pemerintahan.


Media Akuntansi. Edisi. 48. Agustus: 38-40.
Ikhsan, A dan Ishak, M. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Salemba Empat. Jakarta.
Jonsson, S. 1982. Budgetary Behavior in Local Government-a Case Study
over 3 years. Accounting, Organizations and Society. 7: 287-304
Kusuma. I.W. 2004. Perlukah Akuntan Memahami Aspek Keperilakuan?.
Media Akuntansi. No. 42/Tahun XI: 50-53.

Mardiasmo, 2005. Akuntansi Sektor Publik. Andi. Yogyakarta.


Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. PT
Remaja Rosdakarya. Bandung.

Media Akuntansi. 2003. Gaya Bupati Menekan Korupsi di Sleman. Edisi No. 34. Juni-
Juli: 20-21.

Munawar. 2006. Pengaruh Karakteristik Tujuan Anggaran terhadap Perilaku, Sikap


dan Kinerja Aparat Pemerintah Daerah di Kabupaten Kupang. Tesis.
Universitas Brawijaya. Malang.

Nordiawan. D. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat. Jakarta.


Coryanata Isma, 2007. Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat, dan
Transparansi Kebijakan Publik Sebagai Pemoderating Hubungan
Pengatahuan Dewan Tentang Anggaran Pengawasan Keuangan Daerah.
SNA X Makassar, 26- 28 Juli 2007.

Saladien. 2006. Rancangan Penelitian Kualitatif. Modul Metodologi Penelitian


Kualitatif, Disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif
Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya,
6-7 Desember.

Von Hagen, Jurgen, 2002. Fiscal Rules, Fiscal Institutions, and Fiscal Performance.
The Economic and Social Review 33 (3): 263-284.
Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi, 2007> Peta Kemampuan Keuangan Daerah
Sesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran. (Studi pada
Kabupaten adn Kota Se Jawa-Bali), SNA X. Makassar 26-28 Juli, 2007.

Suryani, S. 2004. Penyusunan Anggaran Partisipatif Berbasis Kinerja dalam


Mendukung Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau dari Nilai-Nilai Budaya
Sumba Timur. Tesis-S2. Universitas Brawijaya.

Yuwono, S., I.T. Agus, dan Hariyandi. 2005. Penganggaran Sektor Publik, Pedoman
Praktis, Penyusunan, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban APBD
(Berbasis Kinerja). Bayumedia Publising, Malang.

Sony Yuwono, dkk (2008) Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan


Pengelolaan Keuangan Daerah). Bayumedia Publishing, Edisi Pertama,
Malang.

Tuasikal, Askam, (2011). Pengangaran Sektor Publik: Tinjauan dari Persfektif Teori
Keagenan (agency theory). Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Pattimura, Ambon. 25 Maret.

Wahyuni. T. 2006. Penganggaran Berbasis Kinerja Pada Kementerian/Lembaga:


Masih Harus Banyak Berbenah. www. bpkp.go.id

Anda mungkin juga menyukai