MANAJEMEN PERPAJAKAN
RPS 11
OLEH:
KELOMPOK 1
PROGRAM PPAK
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
A. Foreign Exchange Loss
Kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan salah satu beban yang boleh
dibebankan menurut pasal 6 ayat (1e) UU Pajak Penghasilan. Hal ini juga diatur dalam Surat
Edara Direktur Jendral Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997.
Waktu pembebanan kerugian atas selisih kurs akibat adanya fluktuasi kurs dilakukan sesuai
dengan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan dilakukan secara taat asas:
1) Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs
historis), maka pembebanan dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata
uang asing tersebut;
2) Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan
pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tersebut.
Secara akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan asset tetap dibagi menjadi dua
yaitu capital expenditure dan revenue expenditure.
Capital expenditure merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu
asset atau untuk menambah nilai ekonomis asset tersebut di masa yang akan datang. Perlakuan
akuntansinya adalah dengan mengapitalisasinya besar biaya yang dikeluarkan sebagai asset.
Revenue expenditure merupakan pengeluaran yang dikeluarkan dengan tujuan untuk
memperoleh penghasilan pada periode di mana pengeluaran dan beban tersebut terjadi, masa
manfaatnya hanya suatu periode saja. Perlakukan akuntansinya adalah dengan mencatat biaya
yang dikeluarkan sebagai beban.
Dalam pajak, capital expenditure tidak dapat dibebankan sekaligus dalam suatu laporan
keuangan. Untuk membebankan capital expenditure, Wajib Pajak harus menggunakan metode
depresi atau amortisasi. Hal ini diatur dalam UU Pajak Penghasilan (UU No.36 Tahun 2008)
pasal 9 ayat (2). Sementara itu, revenue expenditure sepanajang digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan dengan kegiatan usaha, boleh dibebankan
seluruhnya dalam suatu laporan keuangan. Dengan demikian, penting bagi Wajib Pajak untuk
mengetahui jenis pengeluaran yang dilakukannya terkait dengan aset tetap.
C. MEMILIH METODE PERSEDIAAN
Menurut UU Pajak Penghasilan pasal 10 ayat 6, ada dua metode yang dapat digunakan
oleh Wajib Pajak dalam menilai persediaan barang dan pemakaian persediaan untuk menghitung
harpa pokok penjualannya yaiti FIFO dan weighted average.
Masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ketika
Wajib Pajak telah memilih salah satu metode dalam menilai persediaanya, Wajib Pajak harus
konsisten dengan pilihannya.
a) Penggunaan metode FIFO akan menghasilkan HPP yang lebih kecil dibandingkan
metode Average sehingga laba bersig perusahaanakan menjadi lebih besar dan beban
pajak yang harus ditanggung Wajib Pajak juga lebih besar
b) Penggunaan metode Acerage menyebabkan jumlah kas yang dimiliki oleh perusahaan
lebih banyak dibandingkan dengan metode FIFO karena adanya penghematan dalam
pembayaran pajak.
Dalam melakukan penyusutan aset tetap, perpajakan hanya mengizinkan penggunaan dua
jenis metode penyusutan yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk aset dalam
bentuk bangunan, metode yang diizinkan hanya garis lurus saja. Hal ini diatur dalam UU Pajak
Penghasilan pasal 11.
Selaian metode, UU Pajak Penghasilan juga menentukan umur manfaat dari masing-
masing aset. Pajak membagi kelompok aset bukan bangunan menjadi 4 kelompok. Adapun
klasifikasi dari masing-masing kelompok aset diatur dalam PMK 96/PMK.03/2009.
Baik metode garis lurus maupun saldo menurun, sama-sama memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Ketika Wajib Pajak telah memilih salah satu metode diatas dalam
menilai persediaanya, Wajib Pajak tersebut harus konsisten dengan pilihannya.
Perbandingan Metode Garis Lurus dan Saldo Menurun
Data aset perusahaan ABC adalah sebagai berikut:
Jenis harta : Mesin
Tanggal pembelian : 1 januari 2008
Harga perolehan : Rp 250.000.000
Masa manfaat fiskal : 8 tahun (kelompok 2)
Apabila ditinjau berdasarkan tabel diatas, amka dapat terlihat bahwa untuk tiga tahun
pertama metode saldo menurun menyebabkan beban penyusutan yang jauh lebi besar
dibandingkan dengan metode garis lurus yang berdampak pada lebih kecilnya jumlah laba bersih
yang dihasilkan dan lebih kecilnya beban pajak yang ditanggung oleh Wajib Pajak dibandingkan
dengan metode garis lurus. Penggunaan metode saldo menurun dapat membantu wajib pajak
dalam menghemat pajak di tahun-tahun awal.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito
dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), atas bunga deposito, tabungan,
serta diskonto SBI yang diterima baik oleh Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang
Pribadi merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Dengan pengenaan pajak
atas penghasilan bersifat final maka biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan
tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal.
Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau
tabungan lainnya langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari
pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat
memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau
dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima atau
diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan
lainnya tidak ditambahkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 15%.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai
berikut:
1) Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka
bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat
dibebankan sebagai biaya.
2) Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang
ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga atas pinjaman
yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-
rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito
berjangka atau tabungan lainnya.
Contoh Kasus:
Pada tahun 2016 PT ABC mendapat pinjaman dari pihak ketiga dengan batas maksimum
sebesar Rp 200.000.000 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil
pada bulan Februari sebesar Rp 125.000.000,00, pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp
25.000.000 dan sisanya (Rp 50.000.000) diambil pada bulan Agustus. Disamping itu Wajib
Pajak mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian sebagai
berikut:
Berdasarkan perhitungan rata-rata pinjaman dan deposito perbulan, maka Biaya Bunga yang
dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal yaitu :
Terdapat pengecualian apabila bunga yang dibayarkan atau terutang atas pinjaman Wajib
Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dalam hal :
Jadi dapat disimpulkan bahwa, Wajib Pajak diperkenankan untuk menempatkan dana
pinjaman dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya baik secara langsung atau tidak
langsung, tetapi Wajib Pajak perlu melakukan penghitungan kembali terkait dengan biaya
pinjaman yang dapat dibebankan secara fiskal.
G. Cadangan
Besarnya cadangan piutang tak tertagih yang boleh dibebankan tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2009 dan juga Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 219/PMK.011/2012.
Apabila wajib pajak melakukan promosi dalam bentuk pemberian sampel produk,
maka biaya produk yang dapat dibebankan adalah sebesar harga pokok sampel produk
yang diberikan, sepanjang harga tersebut belum dibebankan dalam perhitungan harga
pokok penjualan. Pembelian imbalan berupa uang atau fasilitas kepada pihak lain yang
tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan promosi, serta biaya promosi yang
bukan merupakan objek pajak atau yang telah dikenai pajak bersifat final tidak termasuk
dalam biaya promosi yang dapat dibebankan. Wajib pajak harus membuat daftar normatif
atas biaya promosi sesuai dengan format yang dilampirkan dalam PMK Nomor
02/PMK.03/2010 dan melampirkannya dalam SPT tahunan badan.
3) Beban CSR
Di Indonesia CSR bersifat mandatori, yang merupakan amanat Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Meskipun diwajibkan secara Undang-Undang, ternyata
pemerintah masih setengah hati. Tidak semua pengeluaran CSR merupakan pengurang
penghasilan bruto. Hal ini disebabkan karena, dengan dijadikan pengurang penghasilan
bruto, berarti terdapat pajak yang hilang. Dengan tarif PPh Badan saat ini, berarti 22%
dari CSR ditanggung pemerintah, sehingga perlu ada pembatasan.
Biaya csr yang boleh dikurangkan terdapat pada (Pasal 1 PP 93 Tahun 2018),
dimana, sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari
penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
terdiri atas:
a) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang
merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan
secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan
secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;
b) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan
sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah
Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan;
c) Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas
pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan
untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau
gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui
lembaga pembinaan olah raga; dan
e) Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
dan bersifat nirlaba.
a) Pengujian arus barang yaitu untuk memastikan kebenaran semua unit barang
yang keluar ataupun masuk ke gudang dengan mempertimbangkan aspek-
aspek seperti pemakaian sendiri, barang rusak, sampel, pemberian cuma-
cuma, retur pembelian, barang dalam pengiriman, dan lainnya. Dengan
formula:
b) Pengujian arus utang yaitu untuk memastikan pembelian barang secara kredit.
Dengan formula:
Pembelian=Saldo Akhir Utang Usaha+ Pembelian Tunai+ Pelunasan Utang Usaha – Saldo Awal Utang Us
DAFTAR PUSTAKA
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 46/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Biaya
Bunga Yang Dibayar Atau Terutang Dalam Hal Wajib Pajak Menerima Atau Memperoleh
Penghasilan Berupa Bunga Deposito Atau Tabungan Lainnya
https://www.accaglobal.com/us/en/technical-activities/technical-resources search/2014/ju
ly/substantial-shareholding-exemption.html (diakes pada tanggal 25 April 2021)
https://www.pajakku.com/read/5f7a782327128775822390fd/Pajak-Untuk-CSR-dan-Spon
sorship- (diakses pada tanggal 25 april 2021)
https://www.thinktax.id/tax-flash/aturan-pajak-biaya-csr-biaya-corporate-social-responsib
ility (diakses pada tanggal 25 april 2021)