Anda di halaman 1dari 14

RINGKASAN MATERI KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN

MANAJEMEN PAJAK ATAS ELEMEN BEBAN DARI PENJUALAN BARANG DAN


PENGURANGAN DARI PENGHASILAN BRUTO

RPS 11

OLEH:

KELOMPOK 1

IDA BAGUS PRAMAYOGA (2007612005)

KADEK SASWATA ABHIMANA NEGARA (2007612009)

GIOVANINHO FERREIRA DA COSTA (2007612012)

GEDE WAHYA DHIYATMIKA (2007612013)

PROGRAM PPAK

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
A. Foreign Exchange Loss

Kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan salah satu beban yang boleh
dibebankan menurut pasal 6 ayat (1e) UU Pajak Penghasilan. Hal ini juga diatur dalam Surat
Edara Direktur Jendral Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997.
Waktu pembebanan kerugian atas selisih kurs akibat adanya fluktuasi kurs dilakukan sesuai
dengan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan dilakukan secara taat asas:
1) Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs
historis), maka pembebanan dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata
uang asing tersebut;
2) Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan
pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tersebut.

B. Capital Expenditure vs Revenue Expenditure

Secara akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan asset tetap dibagi menjadi dua
yaitu capital expenditure dan revenue expenditure.
Capital expenditure merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu
asset atau untuk menambah nilai ekonomis asset tersebut di masa yang akan datang. Perlakuan
akuntansinya adalah dengan mengapitalisasinya besar biaya yang dikeluarkan sebagai asset.
Revenue expenditure merupakan pengeluaran yang dikeluarkan dengan tujuan untuk
memperoleh penghasilan pada periode di mana pengeluaran dan beban tersebut terjadi, masa
manfaatnya hanya suatu periode saja. Perlakukan akuntansinya adalah dengan mencatat biaya
yang dikeluarkan sebagai beban.
Dalam pajak, capital expenditure tidak dapat dibebankan sekaligus dalam suatu laporan
keuangan. Untuk membebankan capital expenditure, Wajib Pajak harus menggunakan metode
depresi atau amortisasi. Hal ini diatur dalam UU Pajak Penghasilan (UU No.36 Tahun 2008)
pasal 9 ayat (2). Sementara itu, revenue expenditure sepanajang digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan dengan kegiatan usaha, boleh dibebankan
seluruhnya dalam suatu laporan keuangan. Dengan demikian, penting bagi Wajib Pajak untuk
mengetahui jenis pengeluaran yang dilakukannya terkait dengan aset tetap.
C. MEMILIH METODE PERSEDIAAN

Menurut UU Pajak Penghasilan pasal 10 ayat 6, ada dua metode yang dapat digunakan
oleh Wajib Pajak dalam menilai persediaan barang dan pemakaian persediaan untuk menghitung
harpa pokok penjualannya yaiti FIFO dan weighted average.
Masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ketika
Wajib Pajak telah memilih salah satu metode dalam menilai persediaanya, Wajib Pajak harus
konsisten dengan pilihannya.

Perbandingan metode FIFO dan Weighted Average


Berdasarkan tabel ditas, amak dapat terlihat bahwa:

a) Penggunaan metode FIFO akan menghasilkan HPP yang lebih kecil dibandingkan
metode Average sehingga laba bersig perusahaanakan menjadi lebih besar dan beban
pajak yang harus ditanggung Wajib Pajak juga lebih besar
b) Penggunaan metode Acerage menyebabkan jumlah kas yang dimiliki oleh perusahaan
lebih banyak dibandingkan dengan metode FIFO karena adanya penghematan dalam
pembayaran pajak.

D. MEMILIH METODE PENYUSUTAN

Dalam melakukan penyusutan aset tetap, perpajakan hanya mengizinkan penggunaan dua
jenis metode penyusutan yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk aset dalam
bentuk bangunan, metode yang diizinkan hanya garis lurus saja. Hal ini diatur dalam UU Pajak
Penghasilan pasal 11.
Selaian metode, UU Pajak Penghasilan juga menentukan umur manfaat dari masing-
masing aset. Pajak membagi kelompok aset bukan bangunan menjadi 4 kelompok. Adapun
klasifikasi dari masing-masing kelompok aset diatur dalam PMK 96/PMK.03/2009.
Baik metode garis lurus maupun saldo menurun, sama-sama memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Ketika Wajib Pajak telah memilih salah satu metode diatas dalam
menilai persediaanya, Wajib Pajak tersebut harus konsisten dengan pilihannya.
Perbandingan Metode Garis Lurus dan Saldo Menurun
Data aset perusahaan ABC adalah sebagai berikut:
Jenis harta : Mesin
Tanggal pembelian : 1 januari 2008
Harga perolehan : Rp 250.000.000
Masa manfaat fiskal : 8 tahun (kelompok 2)

Apabila ditinjau berdasarkan tabel diatas, amka dapat terlihat bahwa untuk tiga tahun
pertama metode saldo menurun menyebabkan beban penyusutan yang jauh lebi besar
dibandingkan dengan metode garis lurus yang berdampak pada lebih kecilnya jumlah laba bersih
yang dihasilkan dan lebih kecilnya beban pajak yang ditanggung oleh Wajib Pajak dibandingkan
dengan metode garis lurus. Penggunaan metode saldo menurun dapat membantu wajib pajak
dalam menghemat pajak di tahun-tahun awal.

E. Beban Bunga (SE- 46/Pj.4/1995E)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito
dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), atas bunga deposito, tabungan,
serta diskonto SBI yang diterima baik oleh Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang
Pribadi merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Dengan pengenaan pajak
atas penghasilan bersifat final maka biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan
tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal.
Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau
tabungan lainnya langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari
pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat
memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau
dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima atau
diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan
lainnya tidak ditambahkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 15%.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai
berikut:

1) Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka
bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat
dibebankan sebagai biaya.
2) Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang
ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga atas pinjaman
yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-
rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito
berjangka atau tabungan lainnya.

Contoh Kasus:

Pada tahun 2016 PT ABC mendapat pinjaman dari pihak ketiga dengan batas maksimum
sebesar Rp 200.000.000 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil
pada bulan Februari sebesar Rp 125.000.000,00, pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp
25.000.000 dan sisanya (Rp 50.000.000) diambil pada bulan Agustus. Disamping itu Wajib
Pajak mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian sebagai
berikut:

• bulan Februari s.d Maret sebesar Rp 25.000.000


• bulan April s.d Agustus sebesar Rp 46.000.000
• bulan September s.d Desember sebesar Rp 50.000.000
Dengan demikian bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah sebagai berikut:

1) Rata-rata pinjaman perbulan:

Bulan Pinjaman Jangka Waktu Rata-rata pinjaman


Januari Rp - 1 Bulan Rp -
Februari s.d Mei Rp 125.000.000 4 Bulan Rp 500.000.000
Juni s.d Juli Rp 150.000.000 2 Bulan Rp 300.000.000
Agustus s.d Desember Rp 200.000.000 5 Bulan Rp 1.000.000.000
Jumlah Rata-Rata Pinjaman Setahun Rp 1.800.000.000

Maka rata-rata pinjaman perbulan adalah Rp 1.800.000.000 : 12 = Rp 150.000.000

2) Rata-rata deposito perbulan

Bulan Pinjaman Jangka Waktu Rata-rata Dana


Berupa Deposito
Januari Rp - 1 Bulan Rp -
Februari s.d Maret Rp 25.000.000 2 Bulan Rp 50.000.000
April s.d Agustus Rp 46.000.000 5 Bulan Rp 230.000.000
September s.d Rp 50.000.000 4 Bulan Rp 200.000.000
Desember
Jumlah Rata-Rata Deposito Setahun Rp 480.000.000

Maka rata-rata deposito perbulan = Rp 480.000.000,00 : 12 = Rp 40.000.000,00

Berdasarkan perhitungan rata-rata pinjaman dan deposito perbulan, maka Biaya Bunga yang
dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal yaitu :

• 20% x (Rp 150.000.000,00 - Rp 40.000.000,00) = Rp 22.000.000,00

Terdapat pengecualian apabila bunga yang dibayarkan atau terutang atas pinjaman Wajib
Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dalam hal :

a) Dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang


atas jasanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
b) Adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah
tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sepanjang jumlah deposito dan tabungan
tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebut : misalnya cadangan
biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan di
Bank Pemerintah,
c) Dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya
berasal dari tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, Wajib Pajak diperkenankan untuk menempatkan dana
pinjaman dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya baik secara langsung atau tidak
langsung, tetapi Wajib Pajak perlu melakukan penghitungan kembali terkait dengan biaya
pinjaman yang dapat dibebankan secara fiskal.

F. Substantial Shareholder Exemption

Pembebasan pemegang saham substansial pertama kali diperkenalkan oleh Undang-


undang Keuangan 2002 dan ketentuan tersebut sekarang telah dimasukkan ke dalam Undang-
Undang Perpajakan Keuntungan yang Dapat Dibebankan (Taxation of Chargeable Gains
ActTCGA) 1992, bagian 7AC. Ketentuan tersebut memungkinkan keuntungan dari pelepasan
saham oleh perusahaan untuk dibebaskan dari pajak perusahaan atas capital gain. Sisi negatifnya
adalah bahwa kerugian yang timbul dari pelepasan seperti itu tidak diperbolehkan.
Peraturan untuk pembebasan kepemilikan saham yang substansial cukup ketat dan ada
sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar pengecualian tersebut diterapkan. Oleh karena
itu, melihat undang-undang sangat disarankan saat mempertimbangkan apakah pengecualian
tersebut berlaku atau tidak. Secara umum, pengecualian teresebut berlaku jika keuntungan
muncul dari:
1) perusahaan investor yang melakukan pelepasan/penjualan harus merupakan perusahaan
perdagangan atau anggota grup perdagangan, dan
2) perusahaan investee harus merupakan perusahaan perdagangan atau perusahaan induk
dari grup perdagangan (atau subkelompok), dan perusahaan investasi memiliki
'kepemilikan saham substansial' secara umum dengan sekurang-kurangnya 10%
kepemilikan saham perusahaan investee, dan
3) saham tersebut merupakan bagian dari total kepemilikan setidaknya 10% yang dimiliki
untuk periode 12 bulan terus menerus yang dimulai tidak lebih dari dua tahun sebelum
pelepasan. Jika saham dilepas sedikit demi sedikit dengan syarat kondisi ini terpenuhi,
pelepasan kurang dari 10% masih memenuhi syarat untuk pembebasan.

G. Cadangan

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1c) UU Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa pembentukan


atau pemupukan dana cadangan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali:
1) Cadangan Piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa, guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anak piutang.
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang meliputi cadangan premi tanggungan sendiri
dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi serta cadangan premi untuk
perusahaan asuransi jiwa.
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan yaitu cadangan penjaminan
untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yaitu cadangan biaya untuk
kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai dengan pembentukannya.
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan yaitu cadangan biaya
penanaman modal kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman
kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha terkait dengan sistem pengurusan
yang bersangkut paut dengan hutan , kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu.
6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi
perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencangkup kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbulan
hasil pengolahan limbah industri.

Besarnya cadangan piutang tak tertagih yang boleh dibebankan tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2009 dan juga Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 219/PMK.011/2012.

H. Beban Entertaiment, Promosi, dan CSR


1) Beban Intertainment
Biaya entertainment merupakan salah satu jenis biaya yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sepanjang biaya tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan. Untuk dapat membebankannya, wajib pajak harus membuat
daftar normatif seperti yang dilampirkan oleh Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
27/PJ.22/1986 tentang biaya entertainment dan sejenisnya.
2) Beban Promosi
Biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam
Peraturan Mentri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Besarnya biaya promosi yang
boleh dibebankan merupakan akumulasi dari jumlah:
a) Biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan media lainnya.
b) Biaya pameran produk.
c) Biaya pengenalan produk baru, dan atau
d) Biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Apabila wajib pajak melakukan promosi dalam bentuk pemberian sampel produk,
maka biaya produk yang dapat dibebankan adalah sebesar harga pokok sampel produk
yang diberikan, sepanjang harga tersebut belum dibebankan dalam perhitungan harga
pokok penjualan. Pembelian imbalan berupa uang atau fasilitas kepada pihak lain yang
tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan promosi, serta biaya promosi yang
bukan merupakan objek pajak atau yang telah dikenai pajak bersifat final tidak termasuk
dalam biaya promosi yang dapat dibebankan. Wajib pajak harus membuat daftar normatif
atas biaya promosi sesuai dengan format yang dilampirkan dalam PMK Nomor
02/PMK.03/2010 dan melampirkannya dalam SPT tahunan badan.

3) Beban CSR
Di Indonesia CSR bersifat mandatori, yang merupakan amanat Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Meskipun diwajibkan secara Undang-Undang, ternyata
pemerintah masih setengah hati. Tidak semua pengeluaran CSR merupakan pengurang
penghasilan bruto. Hal ini disebabkan karena, dengan dijadikan pengurang penghasilan
bruto, berarti terdapat pajak yang hilang. Dengan tarif PPh Badan saat ini, berarti 22%
dari CSR ditanggung pemerintah, sehingga perlu ada pembatasan.
Biaya csr yang boleh dikurangkan terdapat pada (Pasal 1 PP 93 Tahun 2018),
dimana, sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari
penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
terdiri atas:
a) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang
merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan
secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan
secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;
b) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan
sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah
Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan;
c) Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas
pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan
untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau
gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui
lembaga pembinaan olah raga; dan
e) Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
dan bersifat nirlaba.

Syarat dari biaya CSR antara lain adalah:


a) Mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahun Pajak
sebelumnya, tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan
diberikan, didukung oleh bukti yang sah dan lembaga yang menerima
sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali badan yang dikecualikan
sebagai subjek pajak.
b) Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi
tidak melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
c) Pemberi dan penerima sumbangan dan/atau biaya tidak mempunyai hubungan
istimewa.

Penerima sumbangan CSR wajib melaporkan sumbangan yang diterima ke Kantor


Pajak tempat penerima sumbangan terdaftar sesuai format dalam ketentuan.

I. Pengujian Untuk Menguji Beban Pokok Penjualan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2012 menyebutkan bahwa terdapat beberapa


teknik yang dapat digunakan pemeriksa untuk mendapatkan temuan dalam pemeriksaannya
seperti pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal Direktorat Jenderal Pajak, pengujian
keabsahan dokumen, evaluasi, analisis angka-angka, penelusuran angka-angka (tracing),
penelusuran bukti, pengujian keterkaitan, ekualisasi atau rekonsiliasi, permintaan keterangan
atau bukti, konfirmasi, inspeksi, pengujian kebenaran fisik, pengujian kebenaran perhitungan
matematika, wawancara, uji petik, teknik audit berbantuan Komputer, dan teknik- teknik
pemeriksaan lainnya.
Dalam menguji kebenaran beban pokok penjualan, pemeriksa dapat melakukan teknik
pengujian keterkaitan yaitu pengujian yang dilakukan untuk meyakini suatu transaksi
berdasarkan pengujian atas mutasi pos-pos lain yang terkait atau berhubungan dengan transaksi
tersebut. Adapun pos yang berkaitan dalam rangka pengujian keterkaitan untuk menguji
kebenaran beban pokok penjualan antara lain:
1) Pembelian – Pelunasan Utang Usaha
2) Barang Masuk/Keluar – Mutasi Persediaan

Pengujian Keterkaitan berhubungan dengan beban pokok penjualan:

a) Pengujian arus barang yaitu untuk memastikan kebenaran semua unit barang
yang keluar ataupun masuk ke gudang dengan mempertimbangkan aspek-
aspek seperti pemakaian sendiri, barang rusak, sampel, pemberian cuma-
cuma, retur pembelian, barang dalam pengiriman, dan lainnya. Dengan
formula:

HPP=Saldo Awal Persediaan+ Pembelian – saldo Akhir Persediaan

b) Pengujian arus utang yaitu untuk memastikan pembelian barang secara kredit.
Dengan formula:

Pembelian=Saldo Akhir Utang Usaha+ Pembelian Tunai+ Pelunasan Utang Usaha – Saldo Awal Utang Us
DAFTAR PUSTAKA

Modul Chartered Accountant (Manajemen Perpajakan), (2015), Ikatan Akuntan


Indonesia (IAI), Hal.102

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 46/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Biaya
Bunga Yang Dibayar Atau Terutang Dalam Hal Wajib Pajak Menerima Atau Memperoleh
Penghasilan Berupa Bunga Deposito Atau Tabungan Lainnya

https://www.ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=97 (diakses pada tanggal 23


april 2021)

https://www.accaglobal.com/us/en/technical-activities/technical-resources search/2014/ju
ly/substantial-shareholding-exemption.html (diakes pada tanggal 25 April 2021)

https://www.pajakku.com/read/5f7a782327128775822390fd/Pajak-Untuk-CSR-dan-Spon
sorship- (diakses pada tanggal 25 april 2021)

https://www.thinktax.id/tax-flash/aturan-pajak-biaya-csr-biaya-corporate-social-responsib
ility (diakses pada tanggal 25 april 2021)

Anda mungkin juga menyukai