Anda di halaman 1dari 29

KELOMPOK 3:

1. Rizka Anindita (
2. Noni Marliyana ( 2002030120 )
3. Monalisa dinda ( 2002030132 )
4. Sri Rahmadita ( 2219010079 )

KEWAJIBAN
Definisi kewajiban
Menurut SAK ETAP yang diatur oleh IAI ( 2009:89-94 ) tentang kewajiban
diestimasi dan kontingensi kewajiban diestimasi adalah kewajiban kini
entitas sebagai hasil dari peristiwa masa lalu, dan kemungkinan terjadi bahwa
entitas akan mentransfer manfaat ekonomis pada saat penyelesaian dan
jumlah kewajiban dapat diestimasikan dengan andal. Sedangkan , kewajiban
kontingensi merupakan kewajiban potensial yang belum pasti atau kewajiban
kini yamg tidak diakui. Entitas tidak boleh mengakui kewajiban kontingensi
sebagai kewajiban . Kewajiban menurut waktu penyelesainnya , dapat
dikelompokkan menajadi dua , yakni kewajiban lancar dan kewajiban tidak
lancar.
KEWAJIBAN LANCAR
Kewajiban lancar merupakan kewajiban yang diharapkan akan dilunasi dalam
satu tahun atau satu siklus operasi normal perusahaan yang lebih lama.
Kewajiban lancar mencakup usaha, utang pajak, biaya yang masih harus
dibayar, utang dividen, utang wesel, dan pendapatan diterima di muka.
utang bank
SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995 tentang Perlakuan Biaya Bunga
yang Dibayar atau Terutang dalam hal WP Menerima atau Memperoleh
Penghasilan Berupa Bunga Deposito atau Tabungan Lainnya (Seri PPh
Umum Nomor 20) dijelaskan, "Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya langsung atau tidak
langsung berasal dari pinjaman atau dari pihak ketiga yang dibebani biaya
bunga. Apabila hal tersebut terjadi, WP dapat memperkecil Penghasilan Kena
Pajak (PhKP) secara tidak wajar karena bunga yang terutang atau dibayar
atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang
diterima atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk
deposito berjangka atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam
penghitungan PhKP karena telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar
20%".
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan ini diberikan sebagai
penegasan berikut:
1. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil
jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau
tabungan lainnya, maka bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman
tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2. Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana
yang ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga
atas pinjaman yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang
dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata
dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya.
Contoh:
Pada tahun 2005, PT Ako mendapat pinjaman dari Bank Aki dengan batas
maksimum sebesar Rp200.000.000 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Jumlah
tersebut telah diambil pada bulan Februari sebesar Rp125.000.000, pada
bulan Juni diambil lagi sebesar Rp25.000.000, dan sisanya Rp50.000.000
diambil pada bulan Agustus.
Selain itu, WP mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito
dengan perincian sebagai berikut:

bulan Februari sd. Maret sebesar Rp25.000.000


bulan April sd. Agustus sebesar Rp46.000.000
bulan September s d. Desember sebesarRp50 000 000
Bulan Jumlah Deposito Jangka waktu Rata - rata
( Rp.) ( bulan ) deposito ( Rp.)
januari 0 1 0
Februari s.d Maret 25.000.000 2 50.000.000
April s.d Agustus 46.000.000 5 230.000.000
September s.d Desember 50.000.000 4 200.000.000
Jumlah 480.000.000
Rata- rata deposito per bulan adalah Rp. 40.000.000
Dengan demikian bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah :
Bulan Jumlah Deposito Jangka waktu Rata - rata
( Rp.) ( bulan ) deposito ( Rp.)
januari 0 1 0
Februari s.d Maret 125.000.000 4 500.000.000
April s.d Agustus 150.000.000 2 300.000.000
September s.d Desember 200.000.000 5 1.000.000.000
Jumlah 1.800.000.000
Rata -rata pinjaman per bulan adalah Rp. 1.800.000.000 : 12 = Rp.
150.000.000. jadi, bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah 20%
X ( Rp. 150.000.000 - Rp. 40.000.000)= Rp. 22.000.000

Menyimpang dari ketentuan tersebut, bunga yang dibayarkan atau terutang


atas pinjaman WP dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai
dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, dalam hal:
1. dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening
giro yang atas jasanya dikenakan PPh yang bersifat final;
2. adanya keharusan bagi WP untuk menempatkan dana dalam jumlah
tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sepanjang jumlah deposito dan tabungan
tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebut, misalnya:
cadangan biaya reklamas, yang harus ditempatkan dalam bentuk
deposito/tabungan di Bank Pemerintah dan
3. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito/tabungan tersebut dananya
berasal dari tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.
Utang usaha
A. Pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Utang usaha dalam pihak
yang mempunyai hubungan istimewa merupakan saldodari transaksi yang
dilakukan dengan pihak di mana perusahaan mempunyai hubungan istimewa.
Hubungan istimewa dapat merupakan memiliki atau menguasai. Utang usaha
dalam hubungan istimewa dapat timbul karena terjadinya transaksi seperti:
pembelian, atau pengalihan barang/jasa, sewa, penjaminan, dan
penyelesaian oleh usaha dalam hubungan istimewa .
Penyajian pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa diatur juga dalam
SAK. ETAP (2009: 160-163). Apabila terdapat transaksi dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa , maka harus di ungkap sifat hubungan
tersebut, serta informasi yang diperlukan tentang transaksi dan saldonya
untuk memahami dampak potensial hubungan tersebut terhadap laporan
keuangan. Pengungkapan tersebut harus meliputi:
a) Jumlah transaksi.
b) Jumlah saldo; (i) syarat dan kondisinya, termasuk jaminan, dan sifat
pembayaran yang disediakan dalam penyelesaian, dan (ii) rincian jaminan
yang diberikan/diterima.
Sedangkan dalam peraturan perpajakan untuk hubungan istimewa, penilaian
suatuharga wajar menggunakan beberapa macam metode untuk menentukan
harga dalam suatu transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, yaitu:
a.Metode harga pasar bebas yang diperbandingka(ComparablemUncontrolled
Price Method-CUPM)
Suatu cara untuk menentukan harga dalam suatu transaksi antara pihak yang
mempunyai hubungan istimewa adalah dengan metode harga pasar bebas
yang diperbandingkan. Apabila harga atau jasa dipasok dalam suatu
transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan keadaan
yang bersangkutan itu adalah serupa dengan keadaan dalam transaksi
perdagangan normal, metode ini sering digunakan. Metode ini sering
digunakan untuk menentukan biaya pembelanjaan.
b. Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method-RPM)
Apabila harga dialihkan antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebelum dijual kepada pihak yang independen, metode harga penjualan
kembali (resale price) sering digunakan. Metode ini mengurangi harga
penjualan kembali dengan suatu margin yang wajar. Metode ini juga
digunakan untuk pengalihan atau transfer sember daya lain, seperti hak dan
jasa.
c. Metode biaya-plus (Cost Plus Method-CPM)
Pendekatan lain adalah metode biaya-plus (CPM), yang menambahkan suatu
kenaikan (mark-up) tertentu pada biaya pemasok. Kesulitan-kesulitan
mungkin
dialami dalam menentukan unsur biaya yang dapat diatribusikan maupun
kenaikan (mark-up) tersebut. Di antara ukuran-ukuran yang dapat membantu
menentukan harga transfer adalah hasil (return) yang dapat diperbandingkan
dalam industri sejenis atas volume penjualan atau modal yang digunakan.

B. Pihak Ketiga
Utang usaha umumnya muncul karena ada pembelian barang/jasa yang
digunakan dalam kegiatan usaha normal perusahaan. Utang usaha dapat
dicatat berdasarkan Pajak metode bruto ataupun neto. Apabila digunakan
metode bruto, maka utang dicatat sebesar nilai yang harus dibayarkan tanpa
potongan tunai. Namun apabila digunakan metode neto, maka diasumsikan
perusahaan akan selalu mengambil diskon sehingga nilai yang dicatat adalah
sebesar nilai yang telah dikenakan potongan tunai. Setiap pembelian Barang
Kena Pajak (BKP) akan dikenakan PPN dan juga PPnBM apabila ada.

Contoh:
Pada tanggal 31 Januari 2012 perusahaan melakukan pembelian barang
dagang sebesar Rp 15.000.000 dan utang tersebut dilunasi pada tanggal 28
Februari 2012. Apabila pencatatan dilakukan dengan metode utang bruto
(sistem periodik), maka dalam jurnal adalah sebagai berikut.
Tanggal Keterangan Debit Kredit
31 Jan 2012 Pembelian 15.000.000 -
Pajak masukan 1.500.000 -
Utang usaha - 16.500.000
28 Feb 2012 Utang usaha 16.500.000 -
Kas / bank - 16.5000.000

Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut di atas oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya
dalam masa Pajak yang sama. Apabila dalam suatu masa pajak, pajak
keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan
PPN yang harus dibayar oleh PKP. Apabila dalam suatu masa pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali
(restitusi) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
Tanggal Keterangan Debit Kredit
31 Jan 2012 Pajak Keluaran 22.000.000 -
Pajak masukan - 18.000.000
Kas / bank - 4.000.000

Utang pajak
Utang pajak merupakan pembayaran pajak yang dilakukan dengan
mekanisme pemotongan dan/atau pemungutan pajak. Pemotongan dan/atau
pemungutan memiliki makna yang berbeda. Istilah pemotongan pajak
berkaitan dengan pihak yang membayarkan. Hal ini berarti bahwa kewajiban
memotong pajak berada pada pihak yang membayarkan. Istilah pemotongan
selalu terkait dengan jenis pajak yang diatur dalam PPh 21, PPh 23, dan PPh
26. Sedangkan, istilah pemungutan pajak lebih berkaitan pada pihak yang
menerima pembayaran. Hal ini berarti bahwa kewajiban memungut ada pada
pihak yang menerima pembayaran. Istilah pemungutan sangat terkait dengan
PPN.Utang pajak terdiri atas PPh 21, PPh 23, PPh 26, dan Pajak Keluaran.

Pajak Penghasilan 21
Merupakan PPh yang dipotong atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang diterima / diperoleh WP orang pribadi
dalam negeri . pemotongan pph 21 adalah: (1) pemberi kerja, (2) bendahara
atau pemegang kas Pemerintah, (3) dana pensiun (4) orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas badan yang membayar
dan (5) penyelenggara kegiatan. PPh atas gaji, upah, honorarium, (termasuk
jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas) atau kegiatan yang
diterimaatau diperoleh WP orang pribadi yang dipungut melalui sistem
pemotongan (withholding system ) pada saat penghasilan tersebut
dibayarkan .
Penghasilan pegawai tetap yang dipotong pajak setiap bulan adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun
yang dibayar sendiri oleh pegawai termasuk iuran THT/JHT yang dibayar
sendiri oleh pegawai, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya
biaya jabatan maksimal mulai tahun Sedangkan sebelum tahun 2009,
sebesar Rp500.000 per bulan atau Rp6.000.000 per tahun
(PMK-250/PMK.03/2008).
Sedangkan sebelum tahun 2009, besarnya biaya jabatan paksimal adalah
Rp108.000 per bulan atau Rp. 1.296.000 per tahun ( KMK-521/KMK.04/1998)

Besaran PTKP ( dalam rupiah ) adalah sebagai berikut :


keterangan UU Nomor KMK-564 PMK-137/ PER-31/ PMK-162/
17 Tahun KMK.03/2004 PMK.03/200 PJ/2009 PMK.011/2
2000 4 012
WP sendir 2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000 24.300.000
Tambahan
untuk WP 1.440.000 1.200.000 1.200.000 1.320.000 2.025.000
kawin
Tambahan 2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000 24.300.000
untuk
penghasila
n istri
digabung
Tanggunga 1.440.000 1.200.000 1.200.000 1.320.000 2.025.000
n ( maks. 3
orang )
Berlaku 1 Januari 1 Januari 1 Januari 1 Januari 1 Januari
mulai 2001 2005 2006 2009 2013
Penerapan PTKP di atas ditentukan oleh keadaan pada awal tahun atau
awal bagian tahun pajak .
Tarif pemotongan atas penghasilan tersebut dikenakan tarif pajak pasal 17
ayat ( 1 ) berdasarkan pph yaitu sebagai berikut :
Tarif PPh UU Nomor 7 UU Nomor 10 UU Nomor 17 UU Nomor 36
Tahun 1983 Tahun 1994 Tahun 2000 Tahun 2008
5% - - Dibawah s.d Dibawah s.d
Rp. 25 juta Rp 50 juta
10% - Dibawah s.d Diatas Rp. 25 -
Rp. 25 juta juta s.d Rp.
50 juta
15% Dibawah s.d Di atas Rp. Diatas Rp. 50 Diatas Rp. 50
Rp.10 juta 25 juta s.d 50 juta s.d Rp. juta s.d Rp.
juta 100 juta 250 juta
25% Di atas Rp. - Di atas 100 Di atas Rp.
10 juta s.d juta s.d Rp. 250 juta s.d
Rp. 50 juta 200 juta Rp. 500 juta
30% - Di atas Rp. - Di atas Rp.
50 juta 500 juta
35% Di atas Rp. - Si atas Rp. -
50 juta 200 juta
Berdasarkan UU pph nomor 36 tahun 2008 pasal 21 ayat ( 5a ) besarnya
pungutan dibedakan antara WP yang ber-NPWP dengan WP yang tidak ber-
NPWP . tarif WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% daripada tarif
yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukan NPWP.
Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus
berupa uang pesangon uang manfaat pensiun . THT/JHT dan pembayaran
lain sejenis dikenakan pemotongan pph 21 yang bersifat final . hal ini diatur
dalam PP 68 Tahun Jo. PMK-16/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut:
Tarif PPh 21
Penghasilan bruto

Uang Pesangon Uang Manfaat Pensiun THT/JHT

0%
S.d Rp. 50.000.000 S.d Rp. 50.000.000

5%
Rp. 50.000.000 s.d Rp. Di atas Rp. 50.000.000

100.000.000

Rp. 100.000.000 s.d Rp. - 15%


500.000.000
Di ats Rp. 500.000.000 - 25%

Penghasilan bruto tersebut dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal


sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 2 tahun kalender. Namun, apabila penghasilan bruto tersebut
dibayarkan pada tahun ke-3 dan tahun-tahun berikutnya, maka pemotongan
PPh 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008 dan bersifat tidak final. Untuk karyawan yang tidak
memiliki NPWP, maka tarif pemotongan PPh 21 pada tahun ke-3 dan tahun
berikutnya dikenakan 20% lebih tinggi daripada tarif yang diterapkan terhadap
karyawan yang dapat menunjukkan NPWP.
Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan
PPh 21 yang terutang atas uang pesangon, uang manfaat pensiun, THT/JHT.
Pemotong wajib memberikan bukti pemotongan PPh 21 pada saat
pemotongan transaksi di atas, termasuk untuk karyawan yang dikenakan tarif
PPh 21 sebesar 0%.
Dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 ini, istri juga dapat memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Dalam Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa wanita menikah dapat mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri agar dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban
perpajakan suaminya. Hal ini dilakukan dengan perhitungan PPh ini
penghasilan suami istri dikenakan pajak secara terpisah. Tata cara harta dan
penghasilan.
sama dengan perhitungan PPh untuk suami istri yang melakukan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan .
PPh 21 dipotong pada saat penerimaan gaji (pada umumnya bulanan). Pada
bulan Desember akan dihitung kembali jumlah PPh 21 secara tahunan serta
PPh 21 yang telah dipotong secara bulanan akan diperhitungkan. Formulir
bukti pemotongan PPh 21 diberikan kepada pegawai tetap berupa formulir
1721 A1 yang diberikan setahun sekali.

Contoh:
Pada bulan Januari 2011, Fernando (memiliki NPWP) diterima bekerja pada
PT Asia dan memperoleh gaji sebulan sebesar Rp18.000.000 dengan status
menikah dan memiliki 2 orang anak serta menanggung kedua orang tuanya
yang sudah tidak bekerja lagi. Setelah melewati 3 bulan, Fernando diterima
menjadi pegawai tetap dengan mendapatkan hak-haknya sebagai pegawai
tetap. PT Asia mengikuti program Jamsostek di mana PT Asia membayar
premi asuransi kecelakaan kerja dan premi asuransi kematian sebesar
Rp150.000 dan Rp80.000. PT Asia memberikan tunjangan transpor
Rp1.000.000 bulan. Fernando membayar uang pensiun Rp50.000 per bulan
dan iuran THT 1% dari gaji sebulan.
Berikut perhitungan PT Asia pada 3 bulan pertama untuk tahun 2011 setiap
bulannya:
Gaji/bulan
18.000.000
Penghasilan neto/tahun = 18.000.000 × 12 =
216.000.000
-- PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak):
Wajib Pajak 15.840.000
Status Kawin 1.320.000
Tanggungan (maks. 3, @1.200.000) 3.960.000 = ( 21.120.000 )
Penghasilan Kena Pajak (PhKP)
PPh 21/tahun:
5% x 50.000.000 = 2.500.000
15% x 144.880.000 = 21.732.000
24.232.000
PPh 21/bulan = 24.232.000 / 12 = 2.019.300
Sedangkan perhitungan dan jurnal yang dicatat oleh PT Asia untuk bulan
April 2011 adalah :
Gaji/ bulan
18.000.000
+Premi asuransi kecelakaan
150.000
+ premi asuransi kematian
80.000
+tunjangan transpor
1.000.000
Penghasilan bruto/ bulan
19.230.000
- biaya jabatan ( 5% max=50.000)
(500.000)
- iuran pensiun
(50.000)
- iuran THT
(180.000)
Penghasilan neto/ bulan
18.500.000
Penghasilan neto/ tahun = (18.000.000x 3 ) + (18.500.000 x 9 )= 220.500.000
- PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak):
Wajib Pajak 15.840.000
Status Kawin 1.320.000
Tanggungan (maks. 3, @1.200.000) 3.960.000 = ( 21.120.000)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) =
199.380.000
PPh 21 per tahun:
5% x 50.000.000 = 2.500.000
15% x 149.380.000 = 22.407.000
42.907.000
PPh 21 per bulan = 24.907.000 / 12 = 2.075.500
Uang yang dibawa pulang oleh karyawan sebesar gaji bulanan + tunjangan - (
iuran pensiun + iuran THT yang dibayarkan oleh karyawan sendiri ) - pph 21
bulanan = 18.000.000 + 1.000.000- 50.000-180.000-2.075.500 = 16.694.500
Penjurnalan yang dilakukan oleh PT Asia pada saat perhitungan dan
pemotongan pajak dan iuran premi asuransi dan iuran THT sebagai berikut :
Tanggal keterangan Debit Kredit
30 April Beban Gaji 18.000.000 -
2011 Tunjangan -tunjangan 1.000.000 -
Premi asuransi 230.000 -
Kas / bank - 16.694.500
Utang pph 21 - 2.075.500
Biaya yang masih harus dibayar - 460.000
Penjrunalan pada saat penyetoran pajak dan iuran lainnya sebagai berikut :
Tanggal Keterangan Debit Kredit
10 Mei 2011 Utang pph 21 2.075.500 -
Biaya yang masih harus dibayar 460.000 -
Kas / bank - 2.535.500

Menurut PMK-206/PMK.011/2012 jo. PER-31/PJ/2012, pegawai tidak tetap


adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila yang
bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis hasil pekerjaan yang
diminta oleh pemberi kerja.
Rumus untuk menghitung PPh 21 untuk pegawai tidak tetap yaitu sebagai
berikut:
PPh 21 = Tarif Pasal 17 UU PPh x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Sementara itu, DPP adalah Penghasilan Kena Pajak (PhKP) yang diperoleh
dari penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang penghasilan bruto.
Bentuk pengurang penghasilan bruto bagi pegawai tidak tetap cukup
bervariasi. Bentuk pengurangan tersebut dapat dibedakan berdasarkan cara
pembayaran penghasilan dari pemberi kerja dan besaran penghasilannya.
Untuk pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayarkan secara bulanan,
maka pengurang penghasilan brutonya adalah PTKP sebulan. Sementara itu,
untuk pegawai tidak tetap yang tidak dibayar secara bulanan, maka
pengurang penghasilan brutonya adalah PTKP sebulan. Tetapi, bagi pegawai
tidak tetap yang penghasilan sebulannya lebih dari Rp2.025.000, maka
menggunakan PTKP harian sebenarnya yang diperoleh dari PTKP setahun
dibagi 360 hari.
Sementara itu, bagi pegawai yang penghasilan sebulannya kurang dari atau
sama dengan Rp 2.025.000, maka sebelum PPh 21 dihitung, penghasilan
bruto pegawai tersebut dikurangi terlebih dahulu dengan batasan penghasilan
bruto yang tidak dipotong PPh 21. Berdasarkan ketentuan Pasal 1PMK-
206/PMK.011/2012, batas penghasilan bruto yang
diterima/diperoleh pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap
lainnya yang tidak dipotong PPh 21 adalah Rp200.000 per hari. Sedangkan
apabila penghasilan per bulannya lebih dari Rp7.000.000, maka PTKP yang
digunakan adalah PTKP setahun.
Penghitungan PPh 21 untuk Pegawai Tidak Tetap adalah:

Mekanisme pembayaran Rumus PPh 21 keterangan


dan besaran penghasilan
1. Dibayar bulanan Tarif pasal 17 x PhKP PhKP = Ph.Bruto
disetahunkan - PTKP
setahun
2. Tidak dibayar bulanan
A. Jumlah satu bulan
kurang lebih Rp. 2.025.000
-penghasilan sehari kurang 5%x(ph.bruto- Tidak terutang PPH 21
lebih Rp. 200.000 200.000) karena bruto sehari
- penghasilan > Rp. 200.000 5%(ph.Bruto-200.000) kurang lebih Rp.
B. Jumlah satu bulan 200.00
>Rp. 2.025.000
- penghasilan sehari lebih 5%x (Ph.Bruto-PTKP
kurang lebih Rp. 200.000 Sebenarnya/360)
- penghasilan sehari > Rp. 5%x(Ph.Bruto-PTKP
200.000 Sebenarnya/360)
C. Jumlah bulan > Rp. Tarif pasal 17 x PhKP PhKP=Ph.Bruto
disetahunkan disetahunkan - PTPK
7.000.000 Setahun

Contoh:
1. Penghasilan dibayar harian → jumlah sebulan ≤ Rp2.025.000, tetapi
penghasilan kurang lebih sehari Rp200.000
Dani (TK/0) pada bulan Januari 2013 bekerja pada PT Kokoh, menerima
upah
harian sebesar Rp 180.000 per hari. Dani bekerja selama 10 hari.
Penghitungan PPh 21 Dani adalah sebagai berikut.
Upah sehari
180.000
Penghasilan yang tidak boleh dipotong PPh per hari 200.000(-)
PPh 21 per hari
(20.000)

Nihil
2. Penghasilan dibayar harian → jumlah satu bulan < Rp2.025.000, tetapi
penghasilansehari > Rp200.000
Dewi (TK/0) pada bulan Februari 2013 bekerja pada PT Bidadari, menerima
upah sebesar Rp 250.000 per hari. Dewi bekerja selama 5 hari.
Penghitungan PPh 21 Dewi adalah sebagai berikut.
Upah sehari
250.000
Penghasilan yang tidak dipotong PPh per hari 200.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) per hari 50.000
PPh 21 terutang per hari (5% × 50.000) = Rp. 2.500
PPh 21 terutang (5 hari) =Rp.12.500
Pengurang penghasilan bruto yang digunakan dalam contoh diatas adalah
bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh 21, yaitu sebesar
Rp 200.000. Hal ini dikarenakan jumlah penghasilan Dewi tidak melebihi Rp
2.025.000 sebulan.
3. Penghasilan dibayar harian jumlah satu bulan > Rp 2.025.000 dan
penghasilan kurang lebih sehari Rp 200.000
Deni (TK/0) pada bulan Maret 2013
bekerja pada PT Cemerlang, menerima upah sebesar Rp 150.000 per hari.
Deni bekerja selama 15 hari.Penghitungan PPh 21 Deni adalah sebagai
berikut:
PPh 21 Deni untuk hari ke-1 sampai dengan ke-13 yaitu:
Upah sehari
Rp. 150.000
Penghasilan yang tidak dipotong PPH/hari Rp.
200.000(-)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP)/ hari (Rp.
50.000)
PPh 21 / Hari
Nihil

PPh 21 Deni untuk hari ke-14 yaitu:


Upah sehari
Rp. 150.000
Upah sampai dengan 14 hari Rp.
2.100.000
Pengurang Penghasilan Bruto
PTKP = 14 × (Rp24.300.000/360) Rp.
945.000(-)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) Rp.
1.155.000
PPh 21 terutang (5% × Rp1.155.000) = Rp57.750
PPh 21 yang sudah dipotong 0(-)
PPh 21 yang kurang dipotong Rp. 57.750

PPh 21 Deni untuk hari ke-15 yaitu:


Upah sehari
Rp. 150.000
Upah sampai dengan 15 hari Rp.
2.250.000
Pengurang Penghasilan Bruto
PTKP = 15 x (Rp 24.300.000/360) Rp.
1.012.500(-)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP)
Rp.1.237.500
PPh 21 terutang (5% x Rp 1.237.500) = Rp 61.875
PPh 21 yang sudah dipotong Rp 57.750 (-)
PPh 21 yang kurang dipotong Rp 4.125
Pada hari pertama sampai dengan hari ke-13 penghasilan Deni masih
memenuhi syarat penggunaan batasan bagian penghasilan yang tidak dikenai
pemotongan PPh 21 sebesar Rp200.000 sehari. Sesuai
perhitungan tersebut, Deni tidak dikenai PPh 21. Tetapi, pada hari ke-14
penghasilan Deni sudah melewati Rp2.025.000 sebulan sehingga wajib
dilakukan penghitungan kembali PPh 21 atas penghasilan
Deni. PTKP yang digunakan adalah PTKP harian sebenarnya, yaitu PTKP
setahun dibagi dengan 360 hari dikalikan jumlah hari kerja sebenarnya.
4. Upah Borongan
Pada bulan April 2013, Fandi (TK/0) mengerjakan renovasi sebuah rumah
dengan upah borongan sebesar Rp 2.500.000. Pekerjaan diselesaikan dalam
10 hari.
Upah borongan sehari = 2.500.000 : 10 Rp 250.000
PTKP sebenarnya / hari Rp
67.500 (-)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) per hari Rp 182.500
Penghasilan Kena Pajak 10 hari = 10 x Rp 182.500 = Rp 1.825.000
PPh 21 terutang = 5% x Rp 1.825.000 = Rp 91.250

Jumlah penghasilan Fandi sebulan telah melebihi Rp 2.025.000 dan


penghasilannya tidak dibayarkan secara bulanan sehingga Fandi
menggunakan PTKP harian sebenarnya.

5. Upah Satuan
Roni (TK/0) adalah seorang karyawan yang bekerja pada perusahaan
komputer. Roni menerima upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit /
satuan yang diselesaikan yaitu Rp 40.000 per komputer dan dibayarkan tiap
minggu. Pada bulan Mei 2013 dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan
60 unit komputer dengan upah Rp 2.400.000.
Perhitungan PPh 21 Roni adalah sebagai berikut:
Upah sehari Rp 2.400.000:6 Rp
400.000
PTKP sebenarnya / hari Rp
67.500 (-)
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) / hari Rp 232.500
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) / minggu = 6 x Rp 232.500 = Rp 1.995.000
PPh 21/minggu = 5% x Rp 1.995.000 = Rp 39.750

Jumlah penghasilan Roni sebulan telah melebihi Rp 2.025.000 dan


penghasilannya tidak dibayarkan secara bulanan sehingga Roni
menggunakan PTKP harian sebenarnya.

6. Pegawai tidak tetap dibayar bulanan


Rudi bekerja sebagai pegawai tidak tetap pada PT Bintang dengan dasar
upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Juni 2013, Rudi bekerja
selama 25 hari kerja dengan upah sehari sebesar Rp 300.000. Rudi sudah
menikah tetapi tidak memiliki tanggungan.
Perhitungan PPh 21 Rudi adalah sebagai berikut:
Upah Juni 2013 (25 x Rp 300.000)
Rp. 7.500.000
Penghasilan bruto setahun (12 x Rp 7.500.000) Rp.
90.000.000
PTKP (K/0)
Rp. 26.325.000(-)
Penghasilan Kena Pajak ( PhKP) Rp.
63.675.000
PPh 21 setahun (5% x Rp 50.000.000 ) + ( 15% x Rp 13.675.000)
= Rp 2.500.000 + Rp 2.051.250 = Rp 4.551.250
PPh 21 sebulan = Rp 4.551.250: 12 = Rp 379.270
Penghasilan yang diterima oleh Rudi dibayarkan secara bulanan maka
pengurang penghasilan brutonya menggunakan PTKP setahun. Jika
penghasilan Rudi dibayarkan secara harian, pengurang penghasilan brutonya
menggunakan PTKP setahun karena total penghasilannya lebih dari Rp
7.000.000 sebulan.

Kewajiban teknis pemotongan dilakukan oleh pemberi penghasilan terkait


dengan pemotongan PPh 21 untuk pengawai tidak tetap adalah menghitung
dan memotong PPh 21 pada masa pajak terutangnya penghasilan.
Pembuatan bukti potong bagi pegawai tidak tetap dibuatkan setiap kali
pemotongan pajak dilakukan. Kemudian pemberi penghasilan
harus menyetorkan PPh 21 paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah masa pajak berakhir dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan
takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Menurut PER-31/PJ/2012 imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat
berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau
terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Selain pengertian diatas, maka syarat
berkesinambungan adalah sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) yaitu telah
memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja
dengan pemotong PPh 21 dan/atau PPh 26 serta tidak memperoleh
penghasilan lainnya. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka dianggap
bersifatberkesinambungan, yang akan dipotong PPh 21 dengan rumus:
[(50% x jumlah penghasilan bruto) - PTKP per bulan] x Tarif PPh Pasal 17
ayat (1) huruf a

Namun, apabila tidak memenuhi syarat dalam Pasal 13 ayat (1), maka
dianggap bersifat tidak berkesinambungan, sehingga PPh 21 yang akan
dipotong adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto berdasarkan tarif
Pasal 17 ayat (1).

Pajak Penghasilan 23
Utang PPh 23 merupakan PPh 23 yang telah dipotong oleh pihak yang
membayarkan meskipun belum disetorkan ke Kas Negara pada akhir bulan
pemotongan. Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat
(1a), besarnya pungutan dibedakan antara WP yang ber-NPWP dengan WP
yang tidak ber-NPWP. Tarif WP tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100%
daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP.

Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi atau pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi
yang diperoleh anggota koperasi, termasuk dalam pengertian dividen sesuai
dengan Penjelasan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) huruf g,
adalah:
1) pembagian laba, secara langsung maupun tidak langsung, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal saham;

3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk


saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
5) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima/diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseoran
yang bersangkutan;
6) pembayaran kembali seluruhnya/sebagian dari modal saham, jika dalam
tahun-tahun sebelumnya diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar yang dilakukan secara
sah;
7) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang
diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut;
8) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
9) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
10) pembagian berupa SHU kepada anggota koperasi; dan
11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya usaha.

Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (2c) jo. PP


19 \2009 jo. SE-01/PJ.03/2009, dividen yang dikenakan pajak adalah dividen
Yang oleh orang pribadi, dengan tarif sebesar 10% bersifat final. Namun,
dividen yang dikecualikan dari objek PPh 23 adalah dividen yang diterima
oleh PT sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/D dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,
dengan syarat: dividen yang dibagikan berasal dari cadangan saldo laba dan
kepemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal saham sesuai
dengan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3).

Contoh:
Pada bulan Maret 2012 PT Wisata melakukan pembayaran dividen tahun
2011 kepada pemiliknya yaitu: PT Jaya (20%), PT Ancol (30%), PT
Pembangunan (40%) dan sisanya kepada masyarakat umum (orang pribadi).
Jumlah seluruh dividen yang dibayar sebesar Rp200.000.000.

PPh 23 yang harus dipotong, disetorkan dan dilaporkan adalah:


Dividen ke PT Jaya, PPh 23 -> 15% x ( 20 % x Rp200.000.000) =
Rp6.000.000
Dividen ke PT Ancol dan ke PT Pembangunan-> tidak dipotong PPh 23
karena
kepemilikan saham > 25%.
Dividen ke masyarakat, PPh final dengan tarif pasal 17 ayat (2c) UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008 jo. PP 19 Tahun 2009 10% × ( 10% x Rp200.000.000)
= Rp2.000.000,bersifat final sehingga tidak dapat dikreditkan pada akhir
tahun pajak.
Jurnal bagi PT Wisata

Tanggal Keterangan Debit Kredit


Maret 2012 Dividen - PT Jaya 40.000.000 -
Dividen - PT Ancol 60.000.000 -
Dividen - PT Pembangunan 80.000.000 -
Dividen - PT Masyarakat 20.000.000 -
Utang PPh 21 - 6.000.000
Utang PPh final - 2.000.000
Kas / Bank - 192.000.000

PPh 23 atas dividen dapat dikreditkan oleh PT Jaya dan dibuatkan jurnal
Tanggal Keterangan Debit Kredit
Maret 2012 Kas / Bank 34.000.000 -
PPh 23 dibayar di muka 6.000.000 -
Pendapatan dividen - 40.000.0000

Sementara itu, pembukuan untuk PT Ancol


Tanggal Keterangan Debit Kredit
Maret 2012 Kas / Bank 60.000.000 -
Investasi dalam saham PT. Wisata - 60.000.0000
Bunga
Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (4), bunga yang
bukan merupakan objek PPh adalah bunga yang diterima bank karena
dimasukkan sebagai penghasilan bank.
Contoh:
Pada bulan April 2012 PT Wisata membayar bunga pinjaman kepada Bank
Mandi Rp70.000.000 dan kepada PT Sinar (memiliki NPWP) sebesar
Rp40.000.000.
PPh 23 yang harus dipotong, disetorkan dan dilaporkan atas:
Bunga ke Bank Mandi tidak dipotong PPh 23 karena bunga yang diterima
Bank bukanlah objek PPh 23. Sementara itu, bunga ke PT Sinar → dipotong
PPh 23 sebesar 15% x Rp40.000.000 = Rp6.000.000.

Jurnal bagi PT Wisata:


Tanggal Keterangan Debit Kredit
April- 2012 Biaya bunga 110.000.000 -
Utang PPh 23 - 6.000.000
Kas / Bank - 104.000.000

Jurnal bagi PT Sinar:


Tanggal Keterangan Debit Kredit
April- 2012 Kas / bank 34.000.000 -
PPh 23 dibayar dimuka 6.000.000 -
Pendapatan bunga - 40.000.000
PPh 23 atas bunga dapat dikreditkan oleh PT. Sinar
Royalti / Imbalan atas penggunaan hak
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan / terutang dengan cara atau
perhitungan appaun baik dilakukan secara berkala maupun tidak . Khusus
untuk royalti dari hasil karya sinematografi, perlakuan PPh 23 diatur dalam
PER-33/PJ/2009 jo. SE-58/PJ/2009.
Contoh
PT KanKan sebagai penerbit yang membayar royalti kepada RonRon
(memiliki NPWP) salah seorang pengarangnya sebesar Rp40.000.000 dan
dipotong PPh 23 sebesar 15%, maka PT KanKan akan mencatat transaksi
tersebut sebagai berikut:
Keterangan Debit Kredit
Beban royalti 40.000.000 -
Utang PPh 21 - 6.000.000
Kas / Bank - 34.000.000

Hadiah, Penghargaan, Bonus dan Sejenisnya


Hadiah yang termasuk sebagai objek pajak PPh 23 adalah hadiah
perlombaan, penghargaan dan prestasi tertentu, hadiah sehubungan dengan
pekerjaan atau pemberian jasa selain yang telah dipotong PPh 21 ayat (1)
huruf e, kecuali hadiah yang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen
akhir tanpa diundi dan hadiah yang diterima langsung oleh konsumen akhir
pada saat pembelian barang atau jasa.
Sementara itu, hadiah undian (UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4
ayat (2) huruf b jo. PP 132 Tahun 2000 jo. Kep-395/PJ/2001 jo.
SE-19/PJ.43/2001) dikenakan pajak sebesar 25% dari jumlah bruto yang
bersifat final.

Sewa
Mulai 1 Januari 2009 sewa kendaraan angkutan darat dan sewa harta lainnya
dikenakanPPh 23 sebesar 2%. Sementara itu, untuk tahun 2007 dan 2008
(PER-70/PJ/2007), sewa kendaraan angkutan darat dengan persentase
penghasilan neto sebesar 10% dari penghasilan bruto. Sewa harta lainnya
dengan persentase penghasilan neto sebesar 30% dari penghasilan bruto.
Persewaan tanah dan/atau bangunan dikecualikan dari PPh 23
karena telah dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan PP 5 Tahun
2002 jo. KMK-120/KMK.03/2002 jo. Kep-227/PJ/2002.

Contoh
PT Winnie menyewakan bus kepada PT Pooh untuk jangka waktu 6 bulan
dengan biaya sewa per bulan Rp10.000.000 pada 1 Mei 2012. Berikut ini
adalah jurnal yang dilakukan oleh kedua perusahaan.
PT Winnie
Tanggal Keterangan Debit Kredit
1 Mei- 2012 Kas / bank 64.800.000 -
PPh 23 dibayar dimuka 1.200.000 -
Pajak Keluaran - 6.000.000
Pendapatan sewa - 60.000.000

PT.Pooh
Tanggal Keterangan Debit Kredit
1 Mei- 2012 Sewa dibayar di muka 60.000.000 -
Pajak Masukan 6.000.000 -
Utang PPh 23 - 1.200.000
Kas / Bank - 64.800.000
( pada saat dilakukan pemotongan PPh 23 )

Tanggal Keterangan Debit Kredit


10 juni Utang PPh 23 1.200.000 -
2012 Kas / Bank - 1.200.000
( pada saat dilakukan penyetoran PPh 23)
Imbalan Jasa
Menurut UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1) huruf c, imbalan
jasa yang menjadi objek PPh 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditetapkan oleh
Dirjen Pajak, selain yang telah dipotong PPh 21.
PMK-244/PMK.03/2008 jo. SE-53/PJ/2009 mengatur mengenai imbalan jasa
yang menjadi objek Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
dikenakan PPh sebesar 2% × penghasilan bruto, tidak termasuk PPN.
Pajak Penghasilan 26
PPh 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima/diperoleh WP luar negeri selain BUT
di Indonesia. Karena BUT merupakan WP luar negeri tetapi pengenaan
pajaknya dipersamakan dengan WP badan dalam negeri. Namun, tidak
semua pembayaran kepada WP luar negeri harus dipotong PPh 26, karena
harus memperhatikan ada atau tidaknya Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) dengan negara asing.
WP luar negeri adalah sebagai berikut.
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia; dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima/ memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Pemotong PPh 26 adalah sebagai berikut.


1. Badan Pemerintah-> setiap unit tertentu dari Pemerintah baik Pusat
maupun Daerah termasuk BUMN/D.
2. Subjek pajak dalam negeri → WP badan dan orang pribadi dalam negeri
selain BUT.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. BUT/perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Objek PPh 26 adalah semua penghasilan yang diterima/diperoleh WP


luar negeri selain BUT dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
bersumber dari Indonesia.
Tarif PPh 26 dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah sebagai berikut.
1. 20% dari jumlah Penghasilan Bruto yang diterima/diperoleh WP luar negeri,
selain BUT di Indonesia berupa:
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c.royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.hadiah dan penghargaan; dan
f.pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
2. 20% dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari penjualan harta
di Indonesia yang diterima/diperoleh WP luar negeri (selain BUT di Indonesia)
dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
a.PMK-82/PMK.03/2009 jo. PER-52/PJ/2009 penghasilan dari penjualan
harta
(selain saham) yang diperoleh WP luar negeri selain BUT di Indonesia
dipotongpajak sebesar 20% × 25% dari harga jual.
Pihak yang wajib memotong PPh 26 adalah:
-pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak Pemotongan PPh Pasal 26;
dan
-WP orang pribadi luar negeri yang menerima penghasilan dari penjualan
harta yang tidak melebihi Rp10.000.000 untuk tiap Jenis dikecualikan dari
pemotongan PPh 26.
b. PMK-258/PMK.03/2008 penghasilan dari penjualan saham yang diperoleh
WP luar negeri selain BUT di Indonesia di luar bursa efek dipotong pajak
sebesar 20% x 25% dari harga jual.
Pihak yang wajib memotong PPh 26 adalah:
-pembeli (WP dalam negeri) yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak dengan
membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 26; dan
-perseroan (WP luar negeri)
c.KMK-624/KMK.04/1994 penghasilan premi asuransi dan premi reasuransi
yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri dipotong pajak
sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
Besar perkiraan penghasilan neto adalah sebagai berikut.
-50% dari Jumlah premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi
luar negeri, secara langsung maupun melalui pialang.
-10% dar premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar
negeri oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, secara
langsung atau melalui pialang
-5% dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar neger
oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, baik secara
langsung atau melalui pialang.
3. 20% dari PhKP sesudah dikurangi PPh terutang dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia,
(PMK-141/PMK.03/2011) BUT yang melakukan penanaman kembali wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman
yang dilakukan kepada KPP tempat WP terdaftar, dan melampirkan SPT
Tahunan PPh.
4. Tarifberdasarkan P3B (tax treaty) antara Pemerintah Indonesia dengan
pihak negara yang telah memiliki persetujuan, dengan syarat WP luar negeri
yang bersangkutan harus menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD)
atau Certificate of ResidenceTaxpayer (CRT) dari pejabat berwenang di
negara asal WP pemotong pajak dan menyampaikan fotocopy kepada kepala
KPP tempat pemotong pajak terdaftar. (PER-61/PJ/2009 jo.
PER-24/PJ/2010).

Pada prinsipnya pemotongan pajak atas penghasilan WP luar negeri adalah


bersifat final namun atas penghasilan WP orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi WP dalam negeri atau BUT, maka
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga pemotongan pajak
tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.

Saat terutang, cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan dalam SpT


26 yaitu sebagai berikut,
1. PPh 26 terutang pada saat dilakukannya pembayaran atau akhir bulan tere
penghasilan, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu.
2. Pemotong PPh 26 wajib membuat Bukti Pemotongan PPh 26 rangkap 3,
yaitu
-Lembar ke-2 untuk KPP, dilampirkan pada SPT Masa PPh 26; dan
-Lembar ke-3 untuk arsip Pemotong Pajak.
-Lembar ke-1 untuk WP luar negeri;
3. PPh 26 wajib disetorkan ke bank persepsi/kantor pos dengan
menggunakan SSP paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan
saat terutangnya pajak
4. SPT Masa PPh 26, dengan dilampiri SSP lembar ke-z, bukti pemotongan
lembar ke-2 dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat
paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh:
Pemotongan PPh 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2012, penyetoran paling
lambat tanggal 10 Juni 2012 dan dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20
Juni 2012.

Bukan Objek Pemotongan PPh 26


BUT dikecualikan dari pemotongan PPh 26 apabila seluruh PhKP sesudah
dikurangi PPh dari BUT yang penghasilannya ditanamkan kembali di
Indonesia dengan syarat:
a. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri,
di mana perusahaan baru tersebut harus secara aktif melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan akta pendiriannya;
b. dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima/diperolehnya penghasilan tersebut; dan
C. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling
sedikit dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah
berproduksi komersil.
Contoh:
1. Pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari.
Pada tanggal 18 Oktober 2011, PT Estris membayar gaji kepada karyawan
asing Kwee Lie Siang sebesar Rp100.000.000 dan PPh 26 dibayar oleh
perusahaan. Besarnya biaya yang dapat dibebankan oleh PT Estris dapat
dihitung sebagai berikut:
(a) Gaji yang diterima Kwee Lie Siang sebesar Rp100.000.000
(b) PPh 26 sebesar X Rp100.000.000 = Rp125.000.000.
Jurnal yang dicatat PT Estris atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut.
Tanggal Keterangan Debit Kredit
18-Okt-11 Beban gaji 125.000.000 -
Utang PPh 26 - 25.000.000
Kas/Bank - 100.000.000
10-Nov-11 Utang PPh 26 25.000.000 -
Kas/Bank - 25.000.000

2. PT Heidy membayar premi asuransi kepada Me Ltd yang berada di


Malaysia dengan nilai Rp15.000.000 pada tanggal 5 Januari 2012. Dengan
demikian, PT Heidy harus memotong PPh 26 sebesar 20% x 50 % x
Rp15.000.000 = Rp1.500.000

Tanggal Keterangan Debit Kredit

5 Januari Asuaransi di bayar dimuka 15.000.000 -


2012 Utang PPh 26 - 1.500.000
Kas/Bank - 13.500.000

Utang PPh 26 ini paling lambat disetorkan ke kas negara pada tanggal 10
bulan berikutnya.

Tanggal Kerangan Debit Kredit

10 Feb 2012 Utang PPh 26 1.500.000 -


Kas/Bank - 1.500.000

3. Suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar


Rp100.000.000 kepada WP luar negeri, maka subjek pajak dalam negeri
tersebut berkewajiban untuk memotong PPh 26 sebesar 20% dari
Rp100.000.000.
4. Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam
perlombaan lari
maraton di Indonesia, kemudian mendapatkan hadiah uang, maka atas
hadiah tersebut dikenakan pemotongan PPh 26 sebesar 20%.
5. Atas PhKP sesudah dikurangi pajak dari BUT di Indonesia dipotong pajak
sebesar 20%.

Contoh:
PhKP BUT di Indonesia Rp52.000.000.000
PPh untuk tahun 2012 adalah 25% x Rp52.000.000.000 =Rp13.000.000.000
PhKP setelah dikurangi pajakRp39.000.000.000
PPh 26 yang terutang 20% x Rp39.000.000.000 =
Rp 7.800.000.000
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp39.000.000.000 tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan/atau berdasarkan PMK-
141/PMK.03/2011, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
6. WP orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi WP
dalambnegeri atau BUT.
Contoh:
Sdri Thung Siu Lin sebagai tenaga asing
orang pribadi membuat perjanjian kerja
dengan PT Bobo sebagai WP dalam negeri untuk bekerja di Indonesia
selama 5 bulan terhitung mulai tanggal 6 Januari 2011. Pada tanggal 21 April
2011, perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 bulan sehingga akan
berakhir pada tanggal 31 Agustus 2011.
Apabila perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, maka status Sdri Thung
Siu Lin adalah tetap WP luar negeri. Namun dengan perpanjangan perjanjian
kerja tersebut, status Sdri Thung Siu Lin berubah menjadi WP dalam negeri
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011. Selama bulan Januari sampai dengan
Maret 2011, atas penghasilan bruto Sdri Thung Siu Lin telah dipotong PPh 26
oleh PT Bobo.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung PPh yang terutang atas
penghasilan Sdri Thung Siu Lin untuk masa bulan Januari sampai Agustus
2011
adalah PPh 26 yang telah dipotong dan disetor PT Bobo atas penghasilan
Sdri
Thung Siu Lin sampai Maret tersebut dapat dikreditkan terhadap pajak Sdri
Thung Siu Lin sebagai WP dalam negeri.

PPN Keluaran (Pajak Keluaran)


Setiap PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP pada umumnya wajib
memungut PPN dan wajib menerbitkan faktur pajak. PPN yang dipungut PKP
ini disebut Pajak Keluaran.
Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang
melakukan
penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP. Tarif PPN umumnya
adalah 10%, tetapi dengan peraturan pemerintah dapat diubah serendah-
rendahnya menjadi 5% dan setinggi-tingginya sebesar 15%, sedangkan tarif
PPN atas ekspor BKP adalah 0%. Untuk
mencatat jumlah pajak dalam praktiknya sering digunakan pendekatan neto-
neto baik dalam jumlah pembelian maupun penjualan tidak termasuk PPN.
Contoh:
PT Vanno melakukan penyerahan BKP Rp10.000.000 secara tunai pada
tanggal 27 Juni 2012 yang sebelumnya telah melakukan pembelian sebesar
Rp8.000.000 pada tanggal 9 Juni 2012. Sistem pencatatan yang dipakai
sistem periodik. Tarif PPN 10% dan berikut
pembukuan yang dilakukan oleh PT Vanno adalah sebagai berikut.

Tanggal Keterangan Debit Kredit

9 juni Pembelian 8.000.000 -


2012 Pajak Masukan 800.000 -
Kas/Bank - 8.800.000

27 Juni Kas/ Bank 11.000.000 -


2012 Penjualan - 10.000.000
Pajak Keluaran - 1.000.000

22 Juli Pajak Keluaran 1.000.000 -


2012 Pajak masukan - 800.000
PPN yang masih harus dibayar - 200.000
PPN yang masih harus dibayar 200.000 -
Kas/Bank - 200.000

Penyetoran PPN harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
Sedangkan,
pelaporannya disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya
masa pajak. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa
pajak yang sama.
Apabila Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya
harus dibayar ke kas negara paling lambat sebelum SPT Masa PPN tersebut
disampaikan.
Sedangkan, apabila Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan maka
selisihnya merupakan kelebihan PPN yang dapat dikompensasi ke masa
pajak berikutnya atau mengajukan permohonan pengembalian pada akhir
tahun buku, sesuai dengan Pasal 9 ayat (4) dan (4a) UU PPN Nomor 42
Tahun 2009.
Sesuai dengan Pasal 9 ayat (4b) UU PPN
Nomor 42 Tahun 2009, jumlah Pajak
Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan yang menyebabkan
terjadinya kelebihan Pajak Masukan. Kelebihan PPN ini dapat diajukan
permohonan pengembalian
pada setiap masa pajak oleh:
200.000
a) PKP yang melakukan ekspor BKP berwujud;
b) PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN;
c) PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
d) PKP yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud;
e) PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
f) PKP dalam tahap belum berproduksi.

Biaya yang masih harus dibayar


Akuntansi menganut prinsip akrual, sehingga biaya-biaya yang telah terjadi
yang akan dibayar pada kemudian hari tetap dicatat pada periode terjadinya
biaya tersebut. Utang biaya dapat berupa utang gaji/upah, utang sewa, utang
bunga, utang biaya air PAM dan
utang biaya listrik.
Menurut PP 31 Tahun 2007, air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh PAM
dan listrik merupakan jenis barang yang tidak dikenakan PPN, kecuali listrik
untuk
perumahan dengan daya di atas 6.600 watt. Utang biaya ini biasanya
diketahui pada saat penutupan buku.
Utang Dividen
Pengumuman pembagian laba akan menimbulkan utang dividen, tetapi
apabila pembagian laba dilakukan tanpa diumumkan terlebih dahulu, maka
tidak akan menimbulkan utang dividen. Terutangnya dividen akan
menimbulkan kewajiban pemotongan PPh 23 sebesar
15% dari jumlah bruto apabila penerima dividen adalah WP dalam negeri dan
BUT

sebesar 20% atau sesuai dengan ketentuan Tax Treaty dari jumlah bruto
apabila penerima
dividen adalah WP luar negeri selain BUT di Indonesia.
Sedangkan untuk WP dalam negeri orang pribadi dikenakan potongan PPh
Pasal
17 ayat (2c) sebesar 10% yang bersifat final, sesuai dengan UU PPh Nomor
36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (2c) jo. PP 19 Tahun 2009.
Namun, dividen atau bagian laba yang diterima/diperoleh PT sebagai WP
dalam
negeri, koperasi, BUMN/D, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia melalui syarat-syarat sebagai
berikut.
1. dividen berasal dari cadangan saldo laba; dan
2. kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
adalah
25% dari jumlah modal saham.
Dividen yang diterimanya bukanlah objek pajak sesuai dengan UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3).
Contoh:
Pada tanggal 22 Desember 2011 PT Christiani mengumumkan akan
membayar dividen tunai sebesar Rp15.000.000 pada tanggal 6 Januari 2012
kepada PT Yolan (10%), PT Christie (24%), PT Aldo (30%) dan PT Nada
(36%).
Berikut pencatatan yang dilakukan oleh PT Christiani.

Tanggal Keterangan Debit Kredit

22 Des Dividen 15.000.000 -


2011 Utang dividen - 15.000.000

(mencatat pengumuman pembagian dividen)

Tanggal Keterangan Debit Kredit

22 Des Utang dividen 2.250.000 -


2011 Utang PPh23 - 2.250.000

(mencatat terutangnya PPh 23)

Tanggal Keterangan Debit Kredit

6 Jan 2012 Utang Dividen 12.750.000 -


Kas/Bank - 12.750.000

(mencatat pembayaran dividen)

Tanggal Keterangan Debit Kredit

10 Jan 2012 Utang PPh 23 2.250.000 -


Kas/Bank - 2.250.000

(mencatat penyetoran PPh 23)


Apabila PT YOlan memiliki kepemilikan atas PT Christiani sebesar 10% maka
PT Yolan menggunakan cost method sehingga jurnal yang dibuat sebagai
berikut.
Tanggal Keterangan Debit Kredit

22 Des Piutang Dividen 1.275.000 -


2011 PPh 23 dibayar dimuka 225.000 -
Penghasilan - 1.500.000
dividen(10%×15.000.000)

6 Jan Kas/Bank 1.275.000 -


2012 Piutang Dividen - 1.275.000

Berbeda halnya, apabila PT Yolan memiliki kepemilikan atas PT Christiani


sebesar 20% maka PI Yolan menggunakan equity method sehingga jurnal
yang dibuat sebagai berikut.

Tanggal Keterangan Debit Kredit

22 Des 2011 Piutang Dividen 2.550.000 -


PPh 23 dibayar dimuka 450.000 -
Investasi pada PT - 3.000.000
Christiani
(20%×15.000.000)

6 Jan 2012 Kas/Bank 2.550.000 -


Piutang dividen - 2.550.000

Apabila kepemilikan saham PT Yolan lebih besar atau sama dengan 25%
maka atas dividen tersebut tidak dikenakan PPh 23.
Utang Wesel
Utang wesel merupakan suatu surat utang
yang disertai dengan dokumen perjanjian.
Utang wesel ini dapat muncul akibat utang usaha yang tidak dibayar pada
jatuh tempo sehingga muncul perjanjian atau kesepakatan maupun
dikeluarkan untuk mendapatkan pinjaman. Wesel harus selalu dicatat sebesar
nominalnya dan apabila terdapat bunga (diskonto) harus dicatat terpisah.

Contoh:
Pada tanggal 5 Mei 2007 PT Dolly meminjam uang dari bank dengan
menyerahkan promes dengan nominal Rp8.000.000, bunga diskonto 15%
dan jangka waktu 12 bulan, berikut pencatatannya.

Tanggal Keterangan Debit Kredit

5 Mei 2007 Bank 8.000.000 -


Wesel bayar - 8.000.000

31 Des 2007 Biaya bunga 800.000 -


Diskonto wesel bayar - 800.000
Saldo laba 800.000 -
Biaya bunga - 800.000

Pada saat Wesel bayar 8.000.000 -


pelunasan Bank - 8.000.000

Untuk transaksi di atas, diskonto wesel bayar merupakan penghasilan bagi


bank Penghasilan ini karena merupakan
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank maka sesuai UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (4) bukanlah termasuk .penghasilan
yang harus dipotong PPh 23 oleh pihak yang wajib membayar .
Pendapatan diterima di muka
Penghasilan yang diterima dari penjualan barang ataupun penyerahan jasa
yang
diterima sebelum terjadinya penyerahan barang/jasa maka akan dilapokan
dalam
Kelompok kewajiban karena setelah pemberi jasa atau penjualan barang
maupun jasa di kemudian hari . Sesuai UU PPN Nomor 42 1ahun 2009 Pasal
11 ayat (2). dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau
sebelum penyerahan JKP,atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah
Pabean sebagaimana saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.

KEWAJIBAN TIDAK LANCAR


Kewajiban tidak lancar adalah utang yang jatuh temponya lebih dari satu
tahun buku dan sumber pembiayaannya tidak diambil dari aset lancar.
Kewajiban tidak lancar mencakup utang obligasi dan utang hipotek.
Utang Obligasi
Obligasi adalah janji tertulis untuk membayar bunga secara periodik dan
sejumlah nilai nominal pada tanggal jatuh tempo. Pada obligasi dapat terjadi
adanya agio (premium) dan juga disagio (discount),. Agio terjadi apabila surat
obligasi dijual dengan harga di atas nominal. Disagio terjadi apabila surat
obligasi dijual dengan harga di bawah nila
nominal. Agio ataupun disagio terjadi karena perbedaan suku bunga pasar
dengan suku bunga yang terdapat dalam obligasi. Apabila suku bunga pasar
lebih tinggi daripada suku bunga dari kontrak obligasi, maka obligasi menjadi
tidak menarik dan dijual dengan harga diskon, tetapi apabila suku bunga
pasar lebih rendah daripada suku bunga kontrak
obligasi, maka obligasi menjadi lebih menarik sehingga dapat dijual dengan
harga atas nominal obligasi. Agio dan disagio merupakan penyesuaian
terhadap tarif bunga nominal, agio mengurangi biaya bunga dan disagio
menambah biaya bunga sehingga perlu dilakukan amortisasi tahunan atas
jumlah agio atau disagio tersebut. Terdapar alternatif amortisasi, yaitu dengan
garis lurus dan bunga efektif.
Surat Utang Negara (SUN) merupakan surat berharga yang berupa surat
pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya. Bentuk
dari SUN antara lain adalah (a) warkat yang diperdagangkan atau tidak
diperdagangkan di pasar sekunder, dan (b) tanpa warkat (scripties) yang
diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di pasar sekunder.
Jenis SUN adalah sebagai berikut.
(1) Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka waktu paling lama
12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto, dan
(2) Obligasi Negara yang berjangka waktu di atas 12 bulan dengan kupon
atau
pembayaran bunga secara diskonto (zero coupon bonds)
Dalam PP 27 Tahun 2008 jo. PMK-63/PMK.03/2008, diatur mengenai
pemotongan PPh yang bersifat final dengan tarif 20% dari diskonto SPN di
mana diskonto SPN adalah
selisih lebih antara:
• nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di pasar
perdana/pasar sekunder, atau
• harga jual di pasar sekunder dengan harga perolehan di pasar
perdana/pasar
sekunder.
Untuk perpajakan, bunga obligasi diatur dalam PP 16 Tahun 2009 jo. PMK-
85/
PMK.03/2011. Menurut peraturan tersebut, yang dimaksud dengan obligasi
adalah surat utang dan SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan. Dan
bunga obligasi adalah imbalan yang
diterima dan/atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan/
atau diskonto. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WP berupa
bunga obligasi dikenai pemotongan PPh yang bersifat final, kecuali apabila
diterima oleh WP dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang
bank luar negeri di Indonesia.
Besarnya PPh adalah sebagai berikut.
kupon sebesar:
a. Bunga dari obligasi dengan kupon sebesar:
1)15% bagi WP dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi WP luar negeri selain BUT.
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
b. Diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar:
1)15% bagi WP dalam negeri dan BUT.
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan P3B yang berlaku, bagi WP luar
negeri selain BUT.
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi,
tidak termasuk bunga berjalan.
c. Diskonto dari obligasi tanpa bunga sebesar:
1)15% bagi WP dalam negeri dan BUT.
2) 20% atau sesuai tarif berdasarkan P3B yang berlaku, bagi WP luar negeri
selain
BUT.
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi;
d. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wp
reksadana yang terdaftar pada Bapepam dan Lembaga Keuangan sebesar:
1)0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2)5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013; dan
3)15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Pemotongan PPh sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh:


a. penerbit obligasi atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran,
atas bunga dan/atau diskonto yang diterima
pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga obligasi, dan
diskonto yang diterima pemegang obligasi tanpa bunga
pada saat jatuh tempo obligasi;
b. perusahaan efek, diler, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau
pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat
transaksi.

Pemotong PPh wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4


(2) kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan bunga
obligasi.
Kemudian, diwajibkan menyetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
setelah bulan dilakukan pemotongan PPh. Juga wajib menyampaikan laporan
tentang pemotongan dan penyetoran PPh tersebut paling lama 20 hari
setelah bulan dilakukan pemotongan pajak.
Contoh:
1. PT Kaya menjual obligasi nilai nominal Rp300.000.000 dengan bunga 20%
per tahun kepada PT Raya seharga Rp320.000.000. PPh atas premium
obligasi sebesar Rp20.000.000 terutang PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 15% x
Rp20.000.000 = Rp3.000.000. PPh dipotong oleh PT Raya pada saat
penerbitan obligasi. Atas pemotongan PPh tersebut tidak dapat dikreditkan
oleh PT Kaya.
Jurnal bagi PT Kaya adalah sebagai berikut:

Tanggal Keterangan Debit Kredit

Saat Kas /Bank 317.000.000 -


obligasi PPh pasal 4 ayat (2) 3.000.000 -
diterbitkan Utang obligasi - 300.000.000
Premium Obligasi - 20.000.000

Tanggal Keterangan Debit Kredit

Saat Biaya bunga obligasi 60.000.000 -


pembayaran Utang PPh 23 - 9.000.000
bunga Kas/ Bank - 54.000.000

Tanggal Keterangan Debit Kredit

Saat Obligasi Utang Obligasi 300.000.000 -


lunas Kas/Bank - 300.000.000

Jurnal bagi PT Raya adalah sebagai berikut.

Tanggal Keterangan Debit Kredit

Saat Investasi Obligasi 300.000.000 -


Obligasi Bunga dibayar dimuka 20.000.000 -
diterbitk Utang PPh pasal 4 ayat(2) - 3.000.000
an Kas /Bank - 317.000.000

Tanggal Keterangan Debit Kredit

Saat Kas / Bank 54.000.000 -


Pembaya PPh 23 dibayar dimuka 9.000.000 -
ran Pendapatan bunga Obligasi - 60.000.000
bunga

Tanggal Keterangan Debit Kredit

Saat Kas/Bank 300.000.000 -


Obligasi Investasi Obligasi - 300.000.000
Lunas

2. Pada 1 Oktober 2011, PT Eka menerbitkan pinjaman 12% obligasi dengan


nilai nominal Rp12.000.000. Pembayaran bunga dibayarkan setiap tanggal 1
April dan 1 Oktober dengan jangka waktu 5 tahun. Pada tanggal
penerbitannya PT Aybert membeli obligasi tersebut dengan harga
Rp10.000.000.
PT Eka membukukan transaksi yang
terjadi, sebagai berikut.

Tanggal Keterangan Debit Kredit

1 Okt Kas/Bank 10.300.000 -


2011 Diskonto obligasi 2.000.000 -
Utang PPh pasal 4ayat (2) - 300.000
Utang Obligasi - 12.000.000

( mencatat penerbitan dan pemotongan PPh )


Tanggal Keterangan Debit Kredit

10 Nov Utang PPh pasal 4 ayat (2) 300.000 -


2011 Kas - 300.000

( mencatat penyetoran PPh )

Tanggal Keterangan Debit Kredit

31 Des Beban bunga 360.000 -


2011 Utang PPh pasal 4 ayat (2) - 54.000
Utang bunga - 306.000
( mencatat penyesuaian bunga sebesar 12% × Rp. 12.000.000 × 3/12 )

Tanggal Keterangan Debit Kredit

31 Des Beban bunga 100.000 -


2011 Diskonto Obligasi - 100.000

( mencatat amortisasi diskonto sebesar Rp 2.000.000 × 3/60 )

Bunga berjalan atas penyesuaian akhir tahun sebaiknya diselesaikan terlebih


dahulu oleh penerbit obligasi dan diperhitungkan nanti pada saat pemotongan
bunga pada
tahun selanjutnya, yakni tanggal 1 April 2012. Apabila PT Aybert bukan
merupakan WP dalam negeri melainkan WP luar negeri, maka akan
dikenakan PPh final dengan tarif 20% atau tarif sesuai tax treaty.

Utang Hipotek

Utang hipotek pada umumnya hampir sama dengan obligasi, tetapi utang
hipotek tidak memiliki agio maupun diskonto. Pinjaman hipotek terutama
untuk pembelian tanah dan bangunan umumnya merupakan pinjaman
dengan beban bunga tetap dan ditutup pada
waktu yang lama. Biaya penutupan hipotek umumnya langsung merupakan
beban pada periode tersebut.

Anda mungkin juga menyukai