Anda di halaman 1dari 9

RINGKASAN MATERI KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
SAP 10

“Mengevaluasi Manajemen Pajak dari Penghasilan Usaha


dan Penghasilan Lainnya”

Dosen Pengempu: A.A. Ketut Agus Suardika, S.E., M.Si., BKP, CMA, CAPF

Oleh:
KELOMPOK 3

I Gede Dany Satriya (2007612002)


I Made Aditya Paramartha (2007612003)
A.A. Sg. Intan Prativi Setiawan (2007612006)
Wayan Widhiastuti (2007612008)
Ni Putu Desy Sulinda (2007612011)

Program Profesi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2021

1
1. Manajemen Perpajakan Atas Klasifikasi dari Penghasilan Untuk Menghitung
Cicilan PPh Pasal 25
1.1 Angsuran PPh Tahun Berjalan
Self assessment system yang dianut oleh sistem Pajak Penghasilan di Indonesia membuat
beban penghitungan dan pembuktian kebenaran pajak terutang menurut SPT berada pada Wajib
Pajak sebagai pihak yang paling tahu kebenaran jumlah Penghasilan Kena Pajak dan paling
lengkap berkas data dan informasi perpajakannya. Sistem pembayaran pajak sendiri sepanjang
tahun atas PPh tahun berjalan, yang disebut angsuran PPh tahun berjalan (PPh Pasal 25), di
desain untuk percepatan penerimaan pajak, menjaga cash flow kas negara, dan mencegah
kesulitan pembayaran sekaligus sejumlah besar PPh yang dialami WP pada saat penyampaian
SPT Tahunan.

Sistem angsuran pajak tahun berjalan memerlukan taksiran penghasilan apakah


berdasarkan penghasilan tahun lalu (dengan teori bahwa jumlah penghasilan tahun berjalan
adalah minimal sama dengan tahun lalu) atau penghasilan dari bagian tahun berjalan
disetahunkan. Penjelasan Pasal 1 UU PPh menyebutkan bahwa WP dikenakan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak, karena itu jumlah penghasilan
dan PPh terutang yang sebenarnya baru diketahui setelah tahun pajak berakhir.

Karena kondisi bisnis, ekonomi dan usaha setiap tahun dapat berubah naik turun, agar
tidak terjadi deviasi signifikan pembayaran pajak tahun lalu dengan kondisi sekarang yang dapat
mempengaruhi keuangan WP atau negara, maka penyesuaian (dinamisasi) besaran angsuran
harus dapat dilakukan. Namun di lain pihak, kaena proses dinamisasi besaran angsuran tahun
berjalan selain masih bersifat sementara dan provisional juga memerlukan pengaturan yang
kompleks, maka dalam rangka kepastian hukum, terutama perencanaan bisnis dan simplifikasi
pengaturan serta kemudahan pelaksanaan dan pengawasan administrasi, dengan
mengesampingkan keadilan dan tepat jumlah pajak yang memerlukan pengaturan seksama
kadangkala proses dinamisasi angsuran dikesampingkan sehingga kekurangan/kelebihan
angsuran secara sederhana terkoreksi dalam jumlah akhir (PPh Pasal 29/28) pada saat
penyampaian SPT (Gunadi, 2013)

1.2 Angsuran PPh Pasal 25


Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan PPh Pasal 25 antara lain sebagai berikut:
1) KEP-537/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran
Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-Hal Tertentu
2) PMK-255/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Penghitungan Besarnya
Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya
yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

2
3) PMK-208/PMK.03/2009 Tanggal 10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran
Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang
berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
4) Per-22/PJ/2008 Tanggal 21 Mei 2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelapran Pajak
Penghasilan Pasal 25

Sehubungan dengan pandemi COVID – 19 yang sedang kita hadapi saat ini terdapat
peraturan terkait dengan Angsuran PPh Pasal 25 yaitu sebagai berikut:
1) PMK No. 9/PMK.03/2021 Tanggal 2 Februari 2021 Tentang Insentif Pajak untuk Wajib
Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 Bab VI mengenai Insentif
Angsuran PPh Pasal 25, Pasal 12 ayat 1 bahwa Wajib Pajak yang:
a. memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang Mendapatkan Insentif
Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b. telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
c. telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan
Berikat, atau izin PDKB;
Diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% (lima puluh persen)
dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11.

1.3 Pengelompokan Jenis Penghasilan


Objek Pajak Penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah
Penghasilan. Yang dimaksud penghasilan menurut UU PPh yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Pengelompokan Jenis Penghasilan berdasarkan sumbernya dibagi menjadi:


a) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dll
b) Penghasilan dari Usaha dan kegiatan
c) Penghasilan dari Modal, yang berupa harta bergerak maupun harta tak bergerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau harta yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain-lain.
d) Penghasilan lain-lain adalah seperti hadiah, pembebasan utang, keuntungan selisih kurs,
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap dan lain-lain.

3
Berdasarkan KEP-537/PJ/2000 tentang penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, Penghasilan teratur adalah penghasilan yang
lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun
pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal,
kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Tidak termasuk
dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang
asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan
penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
Penghasilan tidak teratur ini dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak yang memberikan
penghasilan. Terkait dengan penghasilan teratur dan tidak teratur, maka penghitungan PPh Pasal
25 bagi WP yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebagai berikut:

( Ph Netto menurut SPT Tahunan Th Pajak lalu−PhTidak Teratur ) x Tarif Ps 17−PPh 22,23,24
12

Dasar penghitungan angsuran PPh adalah jumlah penghasilan neto menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan
penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah PPh yang dihitung dengan dasar penghitungan dikurangi
dengan PPh yang dipotong dan/atau dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contohnya: Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2013
adalah Rp 48.000.000 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 tahun
yang dibayar secara sekaligus di tahun 2013 adalah Rp 72.000.000. Mengingat penghasilan yang
tidak teratur tersebut sekaligus diterima di tahun 2013, maka penghasilan yang dipakai sebagai
dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2014 adalah hanya berdasarkan
penghasilan teratur tersebut.

Perencanaan pajak dalam hal perhitungan angsuran masa PPh Pasal 25 terkait juga
dengan pemisahan antara Penghasilan Teratur dan Penghasilan Tidak Teratur, karena atas
penghasilan tidak teratur tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu dari perhitungan Angsuran
PPh Pasal 25.

Perencanaan Pajak yang bisa dilakukan terkait pengelompokan jenis penghasilan adalah
untuk meminimalkan pembayaran Angsuran PPh Pasal 25. Jika Penghasilan Tidak Teratur tadi
tidak dikelompokkan dan tidak dicatat sesuai dengan transaksi yang sebenarnya, maka angsuran
PPh Pasal 25 yang dibayar setiap bulannya menjadi lebih besar dan bisa jadi akan berefek
menjadi Lebih Bayar pada SPT Tahunan PPh Badan tahun berikutnya.

4
2. Foreign Exchange Revenue
Keuntungan selisih kurs dapat disebabkan oleh fluktuasi kurs mata uang asing atau
karena adanya kebijakan Pemerintah di bidang moneter. Contoh transaksi yang dapat
menimbulkan selisih kurs seperti piutang dagang yang ditagih dalam mata uang asing, kas/bank
dalam USD, deposito dalam USD, pembayaran di muka dalam USD, pinjaman dalam mata uang
asing, dll. Berdasarkan UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf l, keuntungan selisih kurs merupakan
Objek Pajak Penghasilan. Terdapat dua pilihan pembukuan Valas, yaitu:
a) Berdasar kurs tetap (kurs historis), dengan mengakui keuntungan selisih kurs pada saat
realisasi valas, dan
b) Berdasar kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun
(per tanggal neraca), dengan mengakui keuntungan selisih kurs pada setiap akhir tahun
dan saat realisasi.

Untuk transparansi antara akuntansi pajak (fiskal) dan akuntansi komersial, agar
administrasi pajak mudah dengan biaya administrasi dan biaya kepatuhan murah, maka dalam
rangka tranparansi pajak dan akuntansi, UU PPh memilih mengikuti praktik pembukuan WP
yang diselenggarakan secara taat asas sesuai dengan SAK yang berlaku di Indonesia
(Gunadi,2013), saat ini kita mengacu kepada PSAK 10 tentang Transaksi dalam Mata Uang
Asing.

3. Ekualisasi dari Pendapatan dan Penghasilan Lain dan DPP PPN Keluaran dan DPP
PPh yang Dipotong/Dipungut
Dalam melakukan perencanaan pajak, Wajib Pajak perlu melakukan ekualisasi peredaran
usaha dan penghasilan lainnya dengan omzet PPN. Ini merupakan salah satu cara untuk
mendeteksi adakah PPN yang kurang stor atau PPh yang justru kurang bayar. Pada pemeriksaan
pajak, ekualisasi antara penghasilan yang dilaporkan pada SPT Badan dan Dasar Pengenaan
Pajak untuk Pajak Keluaran pada SPM (Surat Pemberitahuan Masa) PPN adalah suatu hal yang
lazim. Oleh karena itu, Wajib Pajak sebaiknya melakukan ekualisasi peredaran usaha secara
rutin. Selain itu, ekualisasi ini juga berguna untuk mengurangi besarnya penalti jika terdapat
kesalahan.
Frekuensi melakukan ekualisasi ini sangat bergantung kepada kondisi dan kebutuhan
Wajib Pajak. Wajib Pajak yang rutin mengalami lebih bayar (misalnya Wajib Pajak yang rutin
melakukan ekspor atau melakukan transaksi terhadap pemungut PPN) akan lebih rutin
melakukan ekualisasi dibandingkan Wajib Pajak yang lebih banyak melakukan transkaksi di
dalam negeri dan bukan kepada pemungut PPN. Penyusunan ekualisasi yang rutin akan
memudahkan wajib pajak menemukan akar permasalahan dari ekualisasi dan solusi untuk
menuntaskan permasalahan tersebut.

5
Ekualisasi Penghasilan:
Peredaran Usaha sebagaimana tercantum pada SPT Badan = xxx
Peredaran Usaha sebagaimana tercantum pada SPM PPN = xxx
Selisih xxx

1) Peredaran Usaha pada SPT Badan Lebih Besar dibandingkan Peredaran Usaha pada SPM
PPN
Dalam hal peredaran usaha sebagaimana tercantum pada PPh Badan lebih besar
dibandingkan peredaran usaha sebagaimana tercantum dalam SPM PPN, maka terdapat
kemungkinan bahwa terdapat penyerahan BKP dan JKP yang belum dipungut PPN nya.
Atas kekurangan pungut PPN ini adalah merupakan objek PPN kurang bayar, dengan
sanksi administrasi sebesar 2% per bulan, maksimal 24 bulan. Sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), sanksi administrasi
ini diatur tarifnya sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor –
57/KM.10/2020 yaitu tarif sanksi pajak atau tarif bunga sanksi pajak berlaku 1 Januari
2021 – 31 Januari 2021 sebesar terendah 0,5% hingga tertinggi 1,76%.

2) Peredaran Usaha pada SPT Badan Lebih Kecil dibandingkan Peredaran Usaha pada SPM
PPN
Dalam hal peredaran usaha sebagaimana tercantum pada PPh Badan lebih kecil
dibandingkan peredaran usaha sebagaimana tercantum dalam SPM PPN, maka terdapat
kemungkinan bahwa terdapat penghasilan yang belum dilaporkan di SPT Badan. Atas
kekurangan lapor penghasilan ini adalah merupakan objek PPh Badan dengan tarif Pasal
17 (untuk penghasilan yang meebihi 50M pertahun) atau Pasal 31E (untuk penghasilan
yang melebihi 4,8M namun kurang dari 50M pertahun) dan penalty 2% per bulan,
maksimal 24 bulan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Omnibus Law), sanksi administrasi ini diatur tarifnya sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor – 57/KM.10/2020.

Hal-hal yang menyebabkan perbedaan pencatatan peredaran usaha pada SPT Badan dan
Penyerahan BKP dan JKP SPM PPN (Reconciling Items) adalah:
a. Terdapat penghasilan yang diakui pada PPh Badan namun bukan Objek PPN, contoh
bunga, dividen, pendapatan selisih kurs.
b. Terdapat nota retur pajak keluaran yang beda waktu.
c. Selisih kurs atas penggunaan mata uang asing, dimana biasanya penjualan yang dicatat
pada buku besar menggunakan kurs yang ditetapkan perusahaan, dan nilai penyerahan
BKP dan JKP pada SPM PPN menggunakan kurs KMK.
d. Terdapat penghasilan yang diakui sebagai penyerahan BKP dan/atau JKP namun bukan
objek PPh melainkan merupakan biaya, contoh pemakaian sendiri, penyerahan antar
cabang, pemberian Cuma-Cuma.

6
e. Terdapat penjualan asset yang dikenakan PPN (PPN Pasal 16D), namun dicatat laba/rugi
atas penjualan asset pada Laporan Keuangan Laba/Rugi Wajib Pajak.
f. Uang muka penjualan yang telah diakui sebagai objek PPN namun masih dilaporkan di
neraca pada SPT PPh Badan.
g. Terdapat penyerahan BKP dan JKP yang dicatat pada penghasilan lain-lain pada SPT
Badan.

4. Macam-Macam Pengujian untuk Memverifikasi Perhitungan Pendapatan


Dalam pemeriksaan pajak, biasanya fiskus menggunakan beberapa cara untuk menguji
kebenaran perhitungan peredaran usaha selain melakukan ekualisasi peredaran usaha pada SPM
PPN dan pada SPT Badan. Apabila WP akan diperiksa, baiknya WP mempersiapkan pengujian
sandar, beberapa kertas kerja dan dokumen pendukung tambahan sehingga dapat mengetahui
terlebih dahulu hal yang menyebabkan adanya selisih dan mengoreksinya sebelum pemeriksaan
berlangsung. Tujuannya adalah untuk meminimalisir sanksi jika memang nanti saat pemeriksaan
ditemukan adanya pendapatan yang belum terlapor sehingga menyebabkan adanya pajak yang
kurang bayar. Adapun metode pengujian yang digunakan untuk dapat memvalidasi pendapatan
adalah sebagai berikut:

a) Pengujian Dokumen
Dalam hal ini, pemeriksa selalu melakukan pengecekan dokumen secara sampling untuk
mengetahui dan mengecek kebenaran nilai uang dan barang.

b) Uji Arus Uang


Pengujian ini dilakukan dengan cara ekualisasi antara penerimaan pada bank atau kas
dengan penjualan atau peredaran usaha Wajib Pajak. Namun perlu diingat bahwa nilai
penerimaan mungkin tidak akan sama dengan nilai peredaran usaha karena nilai
penerimaan telah dikurangi atau ditambahkan dengan biaya administrasi bank atau nilai
pajak terutang/dipungut. Perbedaan juga bisa terjadi karena penjualan Wajib Pajak tidak
murni berbasis cash basis. Selain melakukan ekualisasi, Wajib Pajak juga perlu
melampirkan dokumen terkait seperti bank voucher, rekening Koran dan lain-lain.
Pengujian arus uang dilakukan dengan formula sebgai berikut:
Pengeluaran Kas/Bank = Rp XXX
Saldo Akhir Kas/Bank = Rp XXX (+)
Total = Rp XXX
Saldo Awal Kas/Bank = Rp XXX (-)
Penerimaan Kas/Bank = Rp XXX
Peredaran Usaha menurut SPT Badan = Rp XXX (-)
Selisih = Rp XXX

7
c) Uji Arus Piutang
Dalam pemeriksaan, salah satu cara yang digunakan untuk menguji kebenaran peredaran
usaha adalah uji arus piutang. Pengujian ini dilakukan jika sebagian besar penjualan
perusahaan berbasis kredit. Adapun cara pengujian arus piutang dilakukan dengan cara
sebagai berikut:

Pelunasan Piutang = Rp XXX


Saldo Piutang Akhir = Rp XXX (+)
Total = Rp XXX
Piutang Awal = Rp XXX (-)
Peredaran Usaha menurut Uji Arus Piutang = Rp XXX
Peredaran Usaha menurut Uji SPT PPh Badan = Rp XXX (-)
Selisih = Rp XXX

Hal yang mengakibatkan perbedaan penjualan sesuai uji arus piutang dengan pendapatan
menurut SPT PPh Badan adalah sebagai berikut:
- Terdapat kesalahan dalam pencatatan piutang awal atau akhir, misalnya saja karena
ada penjurnalan utang yang bersifat mengurangi piutang dalam piutang awal.
- Nilai pelunasan yang digunakan tidak selalu terkait dengan pembayaran karena
penjualan BKP atau JKP, namun bisa saja karena adanya reimbursement.
- Terdapat pajak terutang/dipungut yang termasuk dalam nilai piutang namun tidak
termasuk dalam nilai penjualan, misalnya PPN.

d) Uji Arus Barang


Pengujian ini dilakukan dengan cara melakukan ekualisasi antara akun persediaan dengan
nilai penjualan. Selain melakukan ekualisasi, WP juga harus menyiapkan dokumen
pendukung terkait seperti kartu stock persediaan, time sheet, invoice, delivery order, atau
purchase order. Selisih dapat terjadi jika misalnya terdapat pengembalian barang dari
beda tahun atau selisih kurs. Adapun cara pengujian arus barang dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Penjualan dalam Unit
Pembelian : Rp XXX
Saldo Awal Persediaan : Rp XXX (+)
Total : Rp XXX
Piutang Awal : Rp XXX (-)
Penjualan per unit menurut Uji Arus Barang : Rp XXX
Nilai rata-rata penjualan per unit : Rp XXX (x)
Total penjualan menurut Uji Arus Barang : Rp XXX
Peredaran Usaha menurut SPT Badan : Rp XXX (-)
Selisih : Rp XXX

8
5. Pengendalian atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor yang
Terutang Bea Keluar.
5.1 Bea Keluar
Berdasarkan PMK No. 67/PMK/.011/2010 jo PMK No. 128/PMK.011/2011, yang
dimaksud dengan Bea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan
yang dikenakan terhadap barang ekspor. Terdapat 2 cara menghitung bea keluar, yaitu dengan
cara Advalorum dan Spesifik.

Tarif advalorum adalah pajak yang dikenakan berdasarkan presentase tertentu misalnya
5%, 10%, dan lain-lain. Sedangkan tariff spesifik merupakan besaran pajak berdasarkan satuan
barang misalnya Rp. 1000,00 per batang, Rp. 2000,00 per keping, dan lain-lain.

Perhitungan bea keluar adalah sebagai berikut:


a. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari Harga Ekspor
(Advalorum), Bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan Barang x Nilai
Tukar Mata Uang
b. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut:
Tarif Bea Keluar per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah
Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang.

Informasi mengenai jenis barang yang dikenakan bea keluar dapat dilihat dalam
Lampiran I, II dan III PMK No. 67/PMK/.011/2010 jo PMK No. 128/PMK.011/2011

5.2 Hal-Hal yang Diperhatikan oleh Wajib Pajak Terkait dengan Bea Keluar
a) Memastikan jenis barang yang diekspor apakah dikenakan Bea Keluar atau tidak.
b) Memastikan tarif bea keluar yang relevan untuk jenis barang yang diekspor.
c) Jika terjadi ketidakjelasan mengenai pengenaan bea keluar, Wajib Pajak dapat
mencoba untuk mengajukan permohonan penegasan kepada instansi terkait dalam
hal ini dapat diajukan kepada Dirjen Bea Cukai.

Anda mungkin juga menyukai