Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama bisnis masih terus berjalan, sejak jaman kuno sampai dengan jaman
modern saat ini, consumer selalu berupaya melindungi kepentingannya pada saat
membeli barang ataupun jasa. Customer telah melakukan tawar menawar dengan
harga yang lebih mahal, sangat berhati-hati dalam membeli barang atau jasa yang
akan dibeli. Consumer selalu membandingkan barang yang dibeli dengan harga
produk yang ditawarkan oleh penjual.
Di era globalisasi saat ini, perkembangan komunikasi dan informasi berjalan
sangat pesat, sejalan dengan laju pembangunan nasional di berbagai bidang lainnya,
sehingga menuntut suatu gerak manusia yang cepat, efisien, dan mudah agar segala
kebutuhan dapat segera terpenuhi. Tidak terkecuali dengan kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah banyak melahirkan fasilitas dan
layanan baru. Perkembangan zaman yang semakin pesat mengakibatkan
munculnya berbagai macam produk barang dan/atau jasa (dibaca: produk) yang
semakin kompetitif, di samping terus meningkatkan kualitas produknya, pelaku
usaha diharuskan memiliki sistem pemasaran yang baik. Salah satunya melalui
kegiatan promosi dalam bentuk iklan.
Semua iklan berisikan informasi, sebab mengiklankan sebenarnya berarti
menginformasikan. Informasi yang ada pada iklan, yaitu segala hal informasi
kepada konsumen adalah kewajiban bisnis produsen (pelaku usaha). Artinya,
memberi informasi tentang produknya kepada konsumen adalah suatu keharusan
dalam berbisnis. Selain dari kewajiban bisnis, dapat pula dipandang sebagai haknya.
Demikian, untuk kepentingan konsumen maka diperlukan pembatasan-pembatasan
secara hukum terhadap pemberian informasi melalui iklan sebagaimana yang
disebutkan oleh Stern dan Eovaldi bahwa pembatasan-pembatasan melalui hukum
atas periklanan dimaksudkan untuk meminimalkan akses dari penyajian informasi
yang salah dan menyesatkan.

1
Informasi yang benar dan lengkap terkait produk yang diperdagangkan oleh
pelaku usaha merupakan hak konsumen. Di Indonesia, perlindungan konsumen
keberadaannya dilindungi oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 4
huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen), yaitu “hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa”.
Hak atas informasi wajib dipenuhi oleh pelaku usaha, khususnya terkait produk
yang ditawarkan ke konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga
mengatur tentang hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf b Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang berbunyi “kewajiban pelaku usaha adalah
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan
pemeliharaan”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pokok
permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa alasan perlunya perlindungan konsumen ?
2. Apa saja 5 hak utama konsumen?
3. Lembaga pemerintah perlindungan konsumen seperti apa yang melindungi
konsumen?
4. Jenis produk apa yang paling mungkin untuk diatur?
5. Bagaimana cara yang terbaik untuk menentukan perlindungan data online
privacy konsumen ?
6. Bagaimana mengevaluasi sosial responsible corporations bisa proaktif
merespon kebutuhan konsumen?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui alasan perlunya perlindungan konsumen.
2. Untuk mengetahui 5 hak utama konsumen.

2
3. Untuk mengetahui lembaga pemerintah perlindungan konsumen.
4. Untuk mengetahui jenis produk apa yang paling mungkin untuk diatur.
5. Untuk mengetahui cara yang terbaik untuk menentukan perlindungan data
online privacy konsumen.
6. Untuk mengetahui evaluasi social responsible corporations bisa proaktif
merespon kebutuhan konsumen.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian dan Pengaturan Perlindungan Konsumen

3
Istilah “konsumen” berasal dari bahasa Belanda “konsument” bahasa Inggris
“consumer” yang berarti pemakai. Konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari
suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, mauoun makhluk
hidup lain dan tidak diperdagangkan.

Sedangkan yang dimaksud “produsen” atau pelaku usaha adalah setiap


perorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai kegiatan ekonomi.

Dalam Wikipedia, pengertian konsumen menurut Black's Law Dictionary


Hornby Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa. Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu
atau menggunakan jasa tertentu. Sesuatu atau Seseorang yang menggunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang. Setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.

Pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia yang memiliki instrumen


hukum integratif dan komprehensif terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pemberlakuan UU ini dimaksudkan menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen dan melindungi kepentingan konsumen serta mendorong iklim
berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan yang berkualitas dengan memberikan perhatian khusus
kepada pelaku usaha kecil dan menengah.

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar


hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang
pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh

4
optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum
Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan
erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20
tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20
april 1999.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat


mengajukan perlindungan adalah

1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21
ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan
dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh
dinas Indag Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen,


dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa

5
mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian
sengketa konsumen (BPSK).

Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal
pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih
terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau
dasar hukum sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal


21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21
Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota
Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota
Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota
Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, dan Kota Medan.

6
2.2. Pembelaan kepentingan konsumen

Perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak


Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul
beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen,
hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat.

Peningkatan kompleksitas kehidupan ekonomi telah mengarah pada upaya yang


terorganisasi, terkumpul, dan beberapa upaya oleh konsumen untuk melindungi hak
mereka sendiri di beberapa Negara. Organisasi yang aktif itu disebut “consumerism”
atau “gerakan konsumen”.

Dibeberapa Negara banyak organisasi-organisasi pergerakan konsumen yang


aktif mensosialisaikan dan membahas kepentingan jutaan konsumen. Sebagai contoh,
di Amerika Serikat ada satu organisasi perlindungan konsumen yang menyebut
Consumer Federation of America. Di Indonesia lembaga perlindungan konsumen di
organisasi oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sedangkan
organisasi konsumen sedunia adalah International Organization of Consumers Union
( IOCU)

2.3. Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Undang Undang nomor 8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang


perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat
melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi
sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen.

7
Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya,
konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat
atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku
usaha.

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya


kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari
”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala
kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya
berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku
usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai


variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena
kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang
dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum.

Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan


kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen
berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

8
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran


pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat
kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini
sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, menurut (Weber, 2014) ada
beberapa alasan munculnya pergerakan konsumen :

1. Produk yang rumit mempersulit konsumen dalam menentukan pilihan pada


saat berbelanja.
Setiap hari konsumen disuguhi produk-produk oleh industry bisnis.
Disebabkan terlalu banyaknya produk tersebut membuat konsumen kesulitan
dalam memahami produk yang begitu rumit, sehingga setiap saat konsumen
harus terus mengupdate perkembangan produk yang membuat kualitas yang
diharapkan oleh konsumen tidak sesuai harapan.
2. Jasa dan barang telah menjadi lebih spesifik dan sulit untuk dinilai.
Ketika memilih produk perlindungan kesehatan, internet service provider,
kartu kredit dan perguruan tinggi. Banyak konsumen memiliki pengetahuan
yang sangat rendah tentang produk tersebut baik atau buruk.konsumen sangat
mengandalkan informasi dari mulut ke mulut yang mana informasi tersebut
sulit untuk dihandalkan atau konsumen tidak mendapat penjelasan mengenai
jasa atau barang sehingga terlalu mahal dan sulit diperoleh.

9
3. Ketika bisnis mencoba untuk menjual produk atau layanan melalui iklan,
klaim dapat meningkat atau mereka dapat menarik emosi.
Barang atau jasa yang ditawarkan pertama kali di pasar akan menimbulkan
banyak keluhan dari konsumen. Ada yang mengomentari produk tersebut di
media social, membuat review dalam blogger secara sendiri dan ada yang
langsung melakukan complain ke customer services yang mana komplen-
komplen tersebut membuat konsumen menjadi emosi dan produsen harus
menahan emosinya hanya untuk memuaskan konsumen.
4. Teknologi telah memungkinkan perusahaan untuk belajar lebih banyak dari
sebelumnya tentang konsumen mereka dan berpotensi melanggar privasi
konsumen.
Saat ini untuk mendapatkan informasi, orang-orang dengan mudah dapat
browsing di internet mengenai perbandingan produk. Dengan bisa
membandingkan produk tersebut, perusahaan dapat mengetahui dengan baik
sebagai bahan referensi, keninginan dan kebiasaan konsumen.
5. Beberapa bisnis suka mengabaikan factor keselamatan
Untuk mengejar harga bersaing dengan produk lain, produsen suka
mengabaikan factor keselamatan bagai konsumennya. Dengan memangkas
beberapa biaya produksi, produsen lebih memilih meminimalkan biaya
keselamatan. Konsumen sangat tertarik dengan harga murah kadangkala
ingin mendapatkan produk yang sangat baik dengan tingkat keselamatan
yang bisa melindungi konsumen pada saat terjadi kecelakaan.

Dari beberapa alasan munculnya pergerakan konsumen diatas, perlu upaya


pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat
diterapkan secara efektif di masyarakat.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk


mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen
dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan

10
yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.

Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam


pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.

2.4. Hak Konsumen

Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul “A Special Massage of


Protection the Consumer Interest”, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak
konsumen sebagai berikut:

1. The right to safety (hak atas keamanan)


2. The right to choose (hak untuk memilih)
3. The right tobe informed (hak mendapatkan informasi)
4. The right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya)

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga


menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn


gezendheid en veiligheid).
2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn
economische belangen).
3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding).
4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming).
5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Sedangkan menurut (Weber 2014), ada 5 hak konsumen sebagai berikut :

1. Hak mendapatkan informasi


2. Hak mendapatkan keselamatan

11
3. Hak untuk memilih
4. Hak untuk didengar
5. Hak perlindungan privacy

Dari penjelasan hak-hak konsumen di dunia. Maka, hak konsumen di Indonesia


sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; .

12
BAB III

PEMBAHASAN

KASUS

Dalam dekade terakhir ini telah terjadi pegeseran paradigma di kalangan


pelaku usaha di Eropa dan sejumlah negara maju dalam melihat pengaduan
konsumen. Awalnya pengaduan konsumen dilihat sebagai suatu aib, hal yang harus
dihindari dan dikonotasikan bermakna negatif. Namun sekarang justru dimaknai
sebaliknya. Pengaduan adalah bentuk atensi konsumen kepada pelaku usaha. Semakin
banyak pengaduan, semakin banyak atensi konsumen dan berarti bisnis ini punya
masa depan. Dengan banyaknya pengaduan, pelaku usaha
mendapatkan feedback berharga dari konsumen dan berarti terbuka kesempatan
untuk selalu meng-improve mutu produk berupa barang dan jasa. Sehingga tidak aneh
apabila ada pelaku usaha yang memberi penghargaan/hadiah sebagai bentuk ucapan
terima kasih kepada konsumen yang mengadu, karena telah memberikan masukan
berharga bagi pelaku usaha.

13
Namun tidak demikian halnya yang dialami konsumen di Indonesia. Kasus
yang dialami Prita Mulyasari adalah salah satu contoh, ketika Prita sebagai konsumen
mengadu, boro-boro mendapat ucapan terima kasih, tetapi justru dikriminalisasi,
dituduh melakukan kejahatan karena telah mencemarkan nama baik RS Omni
Internatioal. Dan sempat mendekam di jeruji besi.

Melalui putusan No. 822/K/Pid.sus, Mahkamah Agung (MA) telah


mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum dalam kasus pidana Prita
Mulyasari. Putusan ini dijatuhkan pada 30 Juni 2011, oleh majelis hakim agung
Zaharuddin Utama, Salman Luthan dan ketua majelis Imam Harjadi. Isi putusan MA,
Prita dihukum 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Walaupun Prita
tak perlu menjalani hukuman penjara, asalkan Prita tidak mengulangi perbuatannya
dalam kurun waktu percobaan itu, namun putusan MA ini tetap mengusik rasa
keadilan publik.

Majelis kasasi MA dalam kasus Prita gagal memahami tentang arti pentingnya
pengaduan, tidak saja bagi Prita selaku konsumen, tetapi juga bagi RS Omni
International selaku pelaku usaha dan juga bagi Pemeritah (Kemetrian Kesehatan )
selaku regulator di bidang layanan kesehatan.

Bagi konsumen, pengaduan adalah simbul kebangkitan hak-hak konsumen.


Salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk didengar suaranya dimana
didalamnya ada hak untuk menyampaikan keluhan / pengaduan kepada pelaku usaha
( pasal 4 huruf d UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ). Tidak
hanya UU Perlindungan Konsumen, sebagai pasien berdasarkan UU No. 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit, pasien juga punya hak untuk menyampaikan keluhan,
termasuk hak untuk mengutarakan pengalaman negatif sebagai pasien di media masa.

Bagi rumah sakit selaku penyedia jasa, pengaduan juga sangat dibutuhkan
dalam mendapatkan feedback dari konsumen, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan

14
pertimbangan dalam upaya untuk selalu meng-improve kualitas layanan kepada
konsumen.

Bagi Kementrian Kesehatan, pengaduan konsumen dapat dijadikan sebagai


sarana kontrol atas layanan kesehatan yang ada di masyarakat. Memang sudah ada
pejabat Kementrian Kesehatan, namun mata konsumen jauh lebih banyak, sehingga
partisipasi konsumen dalam melakukan pengawasan melalui pengaduan jauh lebih
efektif.

Salah satu ciri negara yang iklim perlindungan konsumen bagus adalah
adanya tradisi komplain ( complaint habit) yang tinggi. Dibandingkan sejumlah
negara kebiasaan mengadu di kalangan konsumen Indonesia masih rendah.

Data Bidang Pengaduan YLKI (2010), total pengaduan konsumen yang


diterima sebanyak 590 kasus. Sementara data yang dihimpun sejumlah negara seperti:
(1) National Consumer Complaint Center (NCCC) Kuala Lumpur Malaysia (2009),
menerima 32.369 aduan konsumen ; (2) National Consumer Helpline (NCH) New
Delhi India ( 2009/2010), menerima 70.453 aduan konsumen ; (3) Hongkong
Consumer Council (HCC) Hongkong ( 2010), menerima 31.207 aduan konsumen.

Putusan Pengadilan ( termasuk MA) yang baik selalu dapat diuji dari tiga
aspek : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Putusan MA dalam kasus Prita
tidak memenuhi tiga aspek di atas. Kepastian hukum seperti apa yang akan
ditunjukkan MA ? karena dengan putusan MA dalam kasus Prita justru menimbulkan
ketidakpastian hukum. Konsumen yang oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU
Rumah Sakit dijamin dan dilindungi ketika mengadu, justru diganjar pidana oleh
MA.

Kemanfaatan untuk siapa yang ingin disasar MA ? RS Omni Interantional


selaku pengadu dalam kasus ini pun tidak mendapat manfaat. Justru sebaliknya
putusan MA membangkitkan kembali antipati publik terhadap RS Omni International.

15
Keadilan bagi siapa yang ingin dituju MA ? Putusan MA dalam kasus Prita adalah
potret kegagalan MA dalam mewujudkan pengadilan sebagai rumah keadilan bagi
konsumen, tetapi justru sebaliknya pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru
bagi konsumen. (Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI). Dimuat di Koran
Tempo, 18 Juli 2011).

16

Anda mungkin juga menyukai