Anda di halaman 1dari 12

https://pemeriksaanpajak.

com/2017/04/19/aturan-tax-allowance-bakal-dievaluasi/

Pemerintah mengaku akan merevisi sejumlah aturan terkait insentif pajak tax allowance.
Perbaikan perlu dilakukan karena fasilitas pemotongan pajak penghasilan (PPh) untuk
perusahaan tertentu tersebut saat ini dianggap kurang jelas.

Dengan perbaikan, pemerintah ingin beleid yang mengatur tax allowance yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2016 tentang fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-daerah Tertentu lebih jelas.
Sehingga perusahaan tidak terkendala persyaratan administrasi dalam pengajuan fasilitas itu.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menjelaskan, evaluasi terhadap fasilitas tax allowance
dilakukan sesuai amanat beleid tersebut, yaitu setiap dua tahun sekali. Tak hanya
mengevaluasi PP, pemerintah juga mengevaluasi turunan dari PP tersebut.

“Kami evalusi PP tersebut kalau perlu dilakukan revisi. Kemudian Peraturan Menteri dan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” kata Mardiasmo, Selasa
(18/4).

Menurutnya, evaluasi akan dilakukan terhadap prosedur teknis pengajuan fasilitas tax
allowance. Misalnya, pengertian mengenai produksi komersial dan pengertian mengenai aset
sewa dan aset baru. Hal-hal semacam ini harus dijelaskan supaya tidak menimbulkan
permasalahan.

Evaluasi dilakukan atas prosedur teknis pengajuan tax allowance.

Sementara persyaratan yang mencakup kewajiban ekspor, jumlah tenaga kerja, dan tingkat
komponen dalam negeri (TKDN) tidak bisa di negosiasikan lagi.

Mardiasmo bilang setelah memperjelas aturan mengenai pemberian fasilitas tax allowance,
pemerintah berharap fasilitas ini dapat menarik investor lebih banyak. Tak hanya itu,
pemerintah juga berharap penolakan pengajuan fasilitas ini lebih minim.

Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi, Perniagaan dan Industri Edy
Putra Irawady mengatakan, saat ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin
Nasution mengarahkan jajarannya untuk mengumpulkan kasus-kasus perusahaan yang
terkendala administrasi dan klarifikasi baku lapangan usaha indonesia (KBLI) terkait
pengajuan fasilitas tersebut. Menurutnya, arahan juga diberikan agar evaluasi beleid ini
segera diselesaikan Satgas Pokja Empat bersama tim Kementerian Keuangan dan BKPM.

Kendala yang dialami perusahaan biasanya meliputi ketidaksesuaian antara waktu pengajuan
tax allowance dengan realisasi investasi.

https://artaxsolution.com/pemerintah-akan-benahi-beleid-tax-allowance/

Pemerintah akan menyempurnakan beleid yang mengatur mengenai fasilitas pemotongan


pajak penghasilan (PPh) untuk perusahaan tertentu atawa tax allowance.

Pemerintah menginginkan beleid yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9
Tahun 2016 tentang perubahan atas PP Nomor 18 Tahun 2015 tentang fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-
daerah Tertentu tersebut lebih jelas sehingga perusahaan tak terkendala persyaratan
administrasi dalam pengajuan fasilitas tersebut.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, evaluasi itu dilakukan sesuai dengan
amanat beleid tersebut, yaitu dilakukan setiap dua tahun sekali. Tak hanya mengevaluasi PP,
pemerintah juga mengevaluasi turunan dari PP tersebut.

“Kami evaluasi PP-nya, kalau memang perlu dilakukan revisi PP-nya. Kemudian Peraturan
Menteri dan Peraturan Kepala BKPM (Badan Koordinasi dan Penanaman Modal),” kata
Mardiasmo usai Rapat Satuan Tugas (satgas) Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan dan
Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi tentang Fasilitas Pajak di Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (18/4).

Lebih lanjut menurutnya, evaluasi dilakukan terhadap prosedur teknis pengajuan fasilitas tax
allowance. Misalnya, pengertian mengenai produksi komersial dan pengertian mengenai aset
sewa dan aset baru.

“Hal-hal semacam itu harus kami jelaskan lah, supaya tidak menimbulkan permasalahan,”
tambahnya. Sementara persyaratan yang mencakup kewajiban ekspor, jumlah tenaga kerja,
dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), tidak bisa dinegosiasi lagi.
Lebih lanjut menurut Mardiasmo, setelah memperjelas aturan mengenai pemberian fasilitas
tax allowance, pemerintah berharap fasilitas itu dapat menarik investor lebih banyak. Tak
hanya itu, pemerintah juga berharap penolakan pengajuan fasilitas itu lebih minim.

Deputi Menko Bidang Koordinasi, Perniagaan dan Industri Edy Putra Irawady mengatakan,
saat ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengarahkan agar
pihaknya mengumpulkan kasus-kasus perusahaan yang terkendala administrasi dan
klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) terkait pengajuan fasilitas tersebut.

Menurutnya, Darmin juga mengarahkan agar evaluasi beleid itu segera diselesaikan Satgas
Pokja Empat bersama tim Kementerian Keuangan dan BKPM.

Adapun kendala yang dialami perusahaan biasanya meliputi ketidaksesuaian antara waktu
pengajuan tax allowance dengan realisasi investasi, ketidaksesuaian pengertian sudah
berproduksi, hingga pengertian izin prinsip.

“Atau ternyata investasinya tidak masuk klasifikasi KLBI. Ke depan PP-nya akan dibenahi
agar tidak ada misunderstanding dan lebih transparan,” tambahnya.

https://rizaalmanfaluthi.com/2017/10/16/tax-holiday-efektif-atau-tidak/

Ada satu poin krusial yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada
konferensi pers tentang RAPBN 2018 beberapa waktu lalu, yakni langkah perbaikan
perpajakan 2018. Di dalamnya, memuat tax holiday. Sebenarnya, seberapa efektifkah
penerapan tax holiday selama ini? Jawaban atas pertanyaan ini penting untuk mendesain
ulang kebijakan agar lebih berdampak positif di masa yang akan datang.

Investasi penting buat Indonesia terutama dalam peningkatan aktivitas ekonomi, yang
berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sendiri gencar memberikan
sinyal bahwa Indonesia ramah terhadap investasi. Beberapa potensi besar yang kita miliki
terkait hal itu meliputi sumber daya alam melimpah, pasar domestik yang besar dan terus
bertumbuh, bonus demografi dengan banyaknya tenaga kerja produktif pada 2025 dan 2035,
serta dukungan peningkatan iklim investasi.

Pada dasarnya, ada faktor ekonomi dan nonekonomi yang memengaruhi para investor dalam
menanamkan modalnya di suatu negara. Faktor ekonomi meliputi tingkat suku bunga,
kebijakan perpajakan, regulasi perbankan, dan infrastruktur dasar (Santi, 2012). Untuk faktor
kebijakan perpajakan sendiri, meliputi tarif pajak yang kompetitif atau insentif pajak.

Penerapan insentif pajak sudah dilakukan sejak 1967, yakni dengan memperkenalkan tax
holiday melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Pada 2011, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor PMK-
130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Kemudian PMK-159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan yang mulai berlaku 16 Agustus 2015.

Kajian ini berjudul “Efektivitas Penerapan Pemberian Fasilitas Pembebasan Pajak


Penghasilan Badan”, ditulis oleh Sara dan Ahmad Zaky Zamani pada 2016. Ruang
lingkupnya berfokus pada aspek positif dan negatif penerapan dua beleid tersebut.

Beleid Pertama

PMK-130/PMK.011/2011 memberikan fasilitas kepada wajib pajak baru yang bergerak di


industri pionir. Industri pionir sendiri didefinisikan sebagai industri yang memiliki
keterkaitan luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas tinggi, memperkenalkan teknologi
baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Industri-industri itu meliputi industri logam dasar; industri pengilangan minyak bumi
dan/atau kimia dasar organik, yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; industri
permesinan; industri di bidang sumber daya terbarukan; industri peralatan komunikasi; dan
yang ditentukan lain oleh Menteri Keuangan.

Selain kriteria di atas, syarat yang harus dipenuhi oleh wajib pajak antara lain: harus
mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari
instansi berwenang, paling sedikit satu triliun rupiah; menempatkan dana di perbankan
Indonesia paling sedikit 10 persen dari total rencana penanaman modal, dan tidak boleh
ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; serta harus berstatus
badan hukum Indonesia.
Fasilitas yang diberikan berupa pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Jangka waktu
pembebasannya paling lama 10 tahun pajak dan paling singkat 5 tahun pajak, terhitung sejak
tahun pajak dimulainya produksi komersial. Setelah fasilitas pembebasan PPh berakhir, wajib
pajak masih diberikan fasilitas berupa pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen selama 2
tahun pajak. Dengan pertimbangan lain, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas
melebihi jangka waktu di atas.

Beleid Kedua

PMK-159/PMK.010/2015 menghapus PMK-130/PMK.011/2011. Beberapa hal baru diatur


dalam kebijakan ini terutama mengenai besarnya pengurangan PPh Badan sebesar 10 persen
sampai dengan 100 persen (tanpa ada tambahan pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen
selama 2 tahun). Khusus untuk industri telekomunikasi, informasi, dan komunikasi dengan
nilai investasi kurang dari satu triliun rupiah, besarnya pengurangan PPh Badan diberikan
paling banyak sebesar 50 persen.

Penerima fasilitas merupakan wajib pajak baru dan industri pionir, dengan batasan nilai
investasi minimal satu triliun rupiah. Khusus untuk industri telematika atau teknologi
informasi dan komunikasi, minimal investasi Rp500 miliar dan memenuhi persyaratan
memperkenalkan teknologi baru. Wajib pajak juga harus memenuhi ketentuan besaran
perbandingan antara utang dan modal (Debt to Equity Ratio/DER).

Persyaratan menyampaikan uraian penelitian mengenai ketentuan tax sparing (pengakuan


pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan dari Indonesia dalam penghitungan PPh di
negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan) dihapus dan ditambahkan persyaratan Surat
Keterangan Fiskal (SKF). Wajib pajak juga harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia
yang pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah tanggal 15 Agustus 2011.

Industri pionir yang dimaksud beleid ini adalah industri logam hulu; industri pengilangan
minyak bumi; industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
industri permesinan yang menghasilkan mesin industri; industri pengolahan berbasis hasil
pertanian, kehutanan, dan perikanan; industri telekomunikasi, informasi, dan komunikasi;
industri transportasi kelautan; industri pengolahan yang merupakan industri utama di
Kawasan Ekonomi Khusus; dan/ atau infrastruktur ekonomi selain yang menggunakan skema
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Jangka waktu fasilitas adalah 5 sampai dengan 15 tahun. Dengan diskresi Menteri Keuangan,
fasilitas dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.

Positif-Negatif

Dari hasil analisis terhadap pelaksanaan PMK-130/PMK.011/2011, kajian tersebut


menyimpulkan penerapan tax holiday memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif berupa
pembangunan infrastruktur dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sisi negatifnya,
implementasi tax holiday kurang efektif karena hanya diikuti oleh 6 wajib pajak, sehingga
efek terhadap laju investasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak signifikan. Tax holiday
juga bukan faktor penentu utama yang mendorong para investor menanamkan modalnya.

Tax holiday dianggap kurang menarik oleh investor dibandingkan tax allowance. Karena tax
holiday yang ditawarkan dalam PMK ini bersifat profit-based. Artinya, wajib pajak harus
mengalami keuntungan terlebih dahulu agar dapat memperoleh fasilitas. Pada kenyataannya,
banyak investor yang justru mengalami kerugian di tahun-tahun awal. Salah satu contoh tax
allowance adalah penerapan Pasal 31A Undang-undang PPh, berupa pengurangan
penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah investasi.

Kebijakan ini juga hanya terbatas pada investor yang memiliki modal besar sehingga
segmennya dapat dikatakan sangat sempit. Di samping itu, fasilitas ini dapat memicu
kompetisi pajak antarnegara yang merugikan (harmful tax competition). Penentuan saat
dimulainya tax holiday juga kurang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak.

Hasil lain dari evaluasi terhadap PMK ini adalah masih lebarnya diskresi dan proses
pemberian insentif dipandang kurang transparan. Selain itu, terdapat definisi yang perlu
dirinci lebih jelas terutama mengenai teknologi baru dan investasi modal, perlunya
peningkatan aktivitas pengawasan pascapemberian fasilitas, serta kurang kuatnya payung
hukum tax holiday.
Sementara, analisis terhadap penerapan PMK-159/PMK.010/2015 menunjukkan, sampai
dengan kajian tersebut disusun, belum ada wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas yang
ditawarkan. Hal ini ditengarai karena pengetatan syarat pemberian tax holiday. Seperti
adanya penghapusan ketentuan terkait tax sparing, penambahan syarat dan ketentuan (seperti
DER dan SKF), serta penghapusan fasilitas pengurangan PPh terutang sebesar 50 persen.

Rekomendasi

Kajian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan dalam implementasi
tax holiday di masa yang akan datang, antara lain:

Wajib pajak penerima fasilitas harus dipastikan melaksanakan kewajiban perpajakannya


dengan baik dan benar. Ditjen Pajak perlu melakukan pengawasan dan evaluasi secara
berkala. Upaya ini akan terbantu jika ada penambahan klausul kepatuhan perpajakan lain,
seperti kepatuhan pelaporan SPT baik PPh maupun PPN.

Rekomendasi lainnya berupa memperpendek otorisasi dan proses pemberian insentif pajak;
memperkecil batasan jumlah investasi; dan membangun decision support system untuk
menentukan batasan persentase maupun jangka waktu yang tepat pada jenis usaha tertentu,
agar lebih terstandar dan sistematis; serta mengevaluasi dan mendesain ulang kebijakan
insentif pajak. Alternatif insentif dalam bentuk selain tax holiday (misalnya tax allowance
yang tepat sasaran) layak dipertimbangkan.

Selama ini, memang ada anggapan bahwa kebijakan tax holiday di Indonesia lebih
menyerupai ‘gula-gula’ penarik minat investasi. Jika tak ada, selalu dirindu. Jika pun ada, tak
selalu laku. Agar lebih diminati, pemanis itu perlu dikemas lebih menarik. Bahkan dapat
ditambah kandungannya dengan multivitamin agar lebih menyehatkan. Dan yang paling
penting adalah takarannya harus pas. Terlalu banyak ‘permen’ tentu tidak baik, bukan?

http://kemenperin.go.id/artikel/5457/Tax-Holiday-Harus-Diperluas

Tax Holiday Harus Diperluas


UNILEVER DAN CHANDRA ASRI BEBAS PAJAK
JAKARTA-Fasilitas pembebasan pajak dengan jangka waktu tertentu (tax
holiday) harus diperluas ke berbagai sektor strategis guna menarik investasi
dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Proses untuk
memperoleh fasilitas dan insentif itu juga harus dipermudah.

Pemerintah tidak perlu pelit memberikan fasilitas tax holiday atau insentif
perpajakan lainnya hanya karena khawatir penerimaan pajak menurun. Sebab,
meski dalam jangka pendek fasilitas tersebut mereduksi setoran pajak, dalam
jangka panjang fasilitas itu justru mendongkrak penerimaan negara dan
menciptakan lapangan kerja.

Demikian kesimpulan wawancara Investor Daily dengan Wakil Ketua Umum


Kadin Bidang Industri, Riset, dan Teknologi Bambang Sujagat, Direktur Indef
Enny Sri Hartarti, dan pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia Nina Sapti di Jakarta,Selasa (15/1).

Mereka diminta komentar atas terbitnya keputusan menteri keuangan (KMK)


tentang tax
holidayuntuk PT Unilever Oleochemical Indonesia dan PT Chandra Asri
Petrochemical.

Seperti dikemukakan Menteri Perindustrian MS Hidayat, Selasa, aturan tax


holiday untuk dua per usahaan itu sudah ditandatangani menteri keuangan
pada akhir Desember lalu.

Tax holiday diberikan kepada Unilever terkait investasi pabrik pengolahan


minyak sawit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke senilai Rp
1,27 triliun dan Chandra Asri yang membangun pabrik butadiene di Cilegon-
Banten senilai Rp 1,3 triliun.

Fasilitas tersebut diberikan dalam bentuk pembebasan pajak penghasilan (PPh)


selama jangka waktu 5-10 tahun, terhitung sejak tahun pajak dimulainya
produksi komersial. Setelah berakhir,wajib pajak diberikan pengurangan PPh
badan sebesar 50% dari pajak penghasilan terutang selama dua tahun.

Enny Sri Hartarti menyayangkan kenapa hanya dua perusahaan yang


memperoleh tax holiday, padahal peraturan menteri keuangan yang mengatur
kriteria teknis tax holiday sudah keluar sejak Agustus 2011."Apakah memang
hanya dua perusahaan ini yang memenuhi kriteria mendapat tax holiday,"kata
dia.

Dia juga mengkritik lambatnya kinerja birokrasi, sehingga pemrosesan


permohonan tax holiday berjalan satu tahun lebih. Pasalnya,waktu pemrosesan
sebetulnya tidak memerlukan waktu lama bila pemerintah punya standar
operasional prosedur dan evaluasi perhitungan.

Menurut Enny, tax holiday digunakan pemerintah sebagai kebijakan untuk


meningkatkan
daya saing dan sebagai insentif bagi investor meningkatkan investasinya. Dia
menilai, meski dalam jangka pendek ada potensi pendapatan pajak berkurang,
pemerintah bisa mendapatkan manfaat lebih besar dalam jangka
panjang,karena berkembangnya investasi baru. Selain itu, ketika Indonesia
kini menghadapi defisit neraca perdagangan, dibutuhkan insentif khusus agar
terjadi investasi baru di sektor-sektor prioritas, seperti hilirisasi hasil tambang
dan penciptaan lapangan kerja.

"Industri-industri yang mampu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan


ekonomi dan berdampak positif terhadap lapangan kerja perlu diberikan
insentif juga, apakah bentuknya tax holidayatau insentif pajak lainnya,"kata
dia.Enny juga melihat sektor usaha menengah kecil/UKM dan industri
berorientasi lokal yang memiliki kandungan impor kecil dan berorientasi
ekspor harus mendapatkan insentif.

Senada dengan Enny, Bambang Sujagat mengatakan, objek tax holiday perlu
diperluas, terutama pada investasi-investasi yang memberikan nilai tambah
seperti hilirisasi, padat karya, dan sharingteknologi tinggi."Pemerintah jangan
hanya melihat dari potensi berkurangnya penerimaan pajak karena pemberian
tax holiday, tetapi dampak jangka panjang dari investasi tersebut sangat
besar,"kata Bambang.

Bambang mendesak pemerintah aktif menyosialisasikan tax holiday agar


investor yang memenuhi syarat tertarik untuk mengajukan permohonan.

Dihubungi terpisah, Nina Sapti menegaskan, Indonesia harus banyak belajar


dari negara lain seperti Tiongkok dalam menyediakan tax holiday. Negeri
Tirai Bambu itu cukup piawai dalam menarik minat investor luar negeri
dengan menyediakan banyak insentif.

Menurut dia, kriteria investor yang berhak mendapat tax holidayatau insentif
lainnya perlu jelas agar menarik sebanyak mungkin investor.Namun, dia tetap
mengingatkan insentif tersebut perlu ada batas waktunya.

Nina sependapat bahwa objek tax holiday perlu diperluas, termasuk sektor
manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja."Pemerintah perlu
menunjukkan keberpihakan dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan dan
pemberantasan kemiskinan dengan mendorong sektor manufaktur. Untuk itu,
sektor manufaktur butuh insentif,"kata Nina.

Enny Sri Hartati, Bambang Sujagat, dan Nina Sapti yakin bahwa fasilitas tax
holiday maupun insentif lain mampu memperbaiki iklim investasi dan
mendongkrak saya saing perekonomian nasional.Dalam pandangan Nina
Sapti, daya saing bisnis Indonesia kalah dibanding negara lain karena
minimnya keringanan pajak dan aturan yang masih tumpang tindih.

Berbondong-bondong
Dirjen Basis Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah
Susanto mengatakan, keluarnya KMK pembebasan pajak untuk Unilever dan
Chandra Asri diyakini mampu merangsang investor mempercepat realisasi
investasinya di Indonesia."Investor lain bisa melihat bahwa pemerintah serius
dengan fasilitas tax holiday sehingga mereka akan berbondong-bondong
menanamkan modalnya di Indonesia,"kata Panggah.
Sementara itu, Kepala Pusat Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu
Industri (BPKIMI) Kemenperin Harris Munandar menyatakan, kedua
perusahaan tersebut baru bisa menikmati fasilitas tax holiday setelah
berproduksi komersial.

Die menyebutkan pula, salah satu anak perusahaan Sinarmas Group berencana
membangun pabrik oleokimia terbarukan di Dumai, Riau,senilai Rp 2-2,8
triliun dan berharap dapat memperoleh tax holiday."Kami sedang mengkaji.
Ada dokumen yang harus dilengkapi,"kata Harris.

Kriteria
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 130/PMK.011/2011, tax holiday
berlaku untuk industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang
luas, memberi nilai tambah, dan ekster nalitas yang tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Adapun industri pionir yang dimaksud adalah logam dasar, pengilangan


minyak bumi/kimia dasar,permesinan, industri yang bergerak pada bidang
sumber daya terbarukan, dan industri peralatan komunikasi. Syarat lainnya,
penerima fasilitas ini harus mempunyai rencana penanaman modal minimal
sebesar Rp 1 triliun. Wajib pajak juga harus me-nempatkan dana di perbankan
Indonesia minimal 10% dari rencana total investasinya dan tidak boleh dita-rik
sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal.

Berdasarkan informasi yang dijaring Investor Daily dari Kemenperin dan


BKPM, selain Unilever dan Chandra Asri, ada beberapa perusahaan yang
mengajukan dan berminat memperoleh fasilitas tax holiday.

Sedikitnya ada 10 perusahaan, yakni PT Krakatau Posco yang membangun


pabrik baja bernilai investasi US$ 6 miliar di Cilegon, Honam Petroleum
Corporation dari Lotte Group (berencana membangun pabrik petrokimia
senilai US$ 5 miliar),PT Hankook Tire Indonesia, PT Indoferro (investasi US$
130 juta untuk pembangunan pabrik pig iron),PT Caterpillar (investasi pabrik
alat berat US$ 150 juta), PT Aneka Tambang Tbk, PT Indorama Tbk
(membangun pabrik poliester senilai US$ 265 juta), Kuwait Petroleum
Company, anak usaha Sinarmas, serta pabrik serat ban dari Jerman.

Direktur Utama PT Antam Alwin Syah Lubis menuturkan, pihaknya sudah


mengajukan tax holiday untuk dua proyek hilirisasinya senilai US$ 2
miliar,yakni proyek feronikel di Halmahera Timur dan? proyek smelter grade
Alumina di Tayan, Kalimantan Barat.

Prosedur untuk memperoleh fasitas tax holiday diatur melalui Peraturan


Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 93 Tahun 2011 Tentang
Penerbitan Pedoman dan Tata Cara Pengajuan Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau dikenal tax holiday di sektor
Industri. Investor yang ingin mendapatkan tax holiday harus mengajukan
kepada menteri perindustrian (menperin).

Menperin kemudian menugaskan dirjen terkait untuk memberikan


rekomendasi kepada kepala BPKIMI untuk diverifikasi. Kepala BPKIMI
melaporkan kembali kepada menperin untuk menentukan apakah calon
investor layak menerima tax holiday. Berikutnya, menperin menyampaikan
rekomendasi BPKIMI kepada komite verifikasi di Kementerian Keuangan
yang diketuai oleh wakil menteri keuangan.

Menurut Harris Munandar, proses versifikasi untuk memperoleh tax holiday


hanya memerlukan waktu 22 hari kerja hingga maksimal satu bulan.

Anda mungkin juga menyukai