Anda di halaman 1dari 18

Hukumonline.

com

Salah satu tujuan diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya iklim investasi di Kawasan ASEAN.
Atas dasar itu, dalam UU Cipta Kerja terdapat sektor perindustrian dan perdagangan yang
diharapkan bisa tercapainya pertumbuhan tersebut. Terkait hal ini, penting bagi pelaku usaha
atau stakeholder untuk memahami peraturan turunan dari UU Cipta Kerja dari sektor
perindustrian dan perdagangan.

Dari sektor perindustrian mengenai penjagaan kelangsungan proses produksi dan/atau


pengembangan industri, di mana pemerintah pusat dan daerah memberikan kemudahan untuk
mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong dalam proses produksi. Sedangkan dari
sektor perdagangan penting untuk mengetahui pengendalian ekspor dan impor yang hanya boleh
dilakukan oleh pelaku usaha yang telah memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Atas dasar itu, Hukumonline akan mengadakan Webinar Hukumonline 2021 bertema
"Perkembangan Sektor Perindustrian dan Perdagangan Pasca Undang-Undang Cipta Kerja” yang
akan diadakan pada Selasa, 25 Mei 2021 melalui platform Zoom Webinar. Materi dalam webinar
ini akan dibahas mengenai dasar hukum dan pembahasan UU Cipta Kerja perindustrian dan
perdagangan, perlindungan hukum bagi pelaku usaha dan implikasi hukum, serta pembahasan
prosedur pengenaan sanksi dalam aturan turunan UU  Cipta Kerja sektor perindustrian dan
perdagangan.

Dalam webinar ini akan hadir tiga pembicara kompeten yang siap menjadikan Anda praktisi
hukum andal dalam Hukum Perindustrian dan Perdagangan, yaitu Feby Setyo Hariyono selaku
Kepala Biro Hukum Kementerian Perindustrian, Sri Hariyati selaku Kepala Biro Hukum
Kementerian Perdagangan, dan Michael A. Kaihatu selaku Partner HPRP Law Firm.

Sebagaimana diketahui, diundangkannya peraturan turunan dari UU Cipta Kerja ini diharapkan
dapat mendukung akselerasi pertumbuhan sektor perindustrian dan perdagangan Indonesia serta
mampu bersaing secara global. Kedua sektor tersebut diharapkan dapat memberikan
penyederhanaan perizinan, prosedur dan kemudahan dalam proses berizinan, serta memberikan
kepastian hukum dalam berusaha.

Selain itu, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya meningkatkan iklim
investasi di kawasan ASEAN. Implementasi dari UU Cipta Kerja juga menjadi salah satu
pedoman dalam perjanjian bisnis, baik secara bilateral maupun multilateral. Adanya kewenangan
baru dari sektor perindustrian dan perdagangan dapat memberikan penyederhanaan perizinan,
prosedur dan kemudahan dalam proses berizinan, serta memberikan kepastian hukum dalam
berusaha.

Merujuk data Badan Pusat Statistik, sebelum pandemi Covid-19 yakni kuartal ke-4 2019, kwartal
ke-1 dan ke-2 2020 pertumbuhan industri pengolahan dan jasa perdagangan menunjukan
persentase yang negatif. Adanya pandemi Covid-19 semakin memperburuk keadaan dan demi
memulihkan perekonomian Indonesia diperkirakan memerlukan waktu yang cukup panjang.
Sehingga optimalisasi sektor perindustrian dan perdagangan dalam Undang-Undang Cipta Kerja
diharapkan secara optimal memulihkan perekonomian Indonesia

Bkpm.go.id

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan omnibus law yang mengatur perubahan
peraturan beragam sektor dengan tujuan memperbaiki iklim investasi dan mewujudkan kepastian
hukum.
Terobosan Omnibus Law memungkinkan 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal direvisi
dengan UU Cipta Kerja yang mengatur multisektor. Dengan demikian, revisi memangkas pasal-
pasal yang tidak efektif. Terobosan ini diperlukan untuk memperbaiki iklim berusaha,
memperbaiki kebijakan horizontal dan vertikal yang saling berbenturan, meningkatkan indeks
regulasi Indonesia yang masih rendah, mengatasi fenomena hyper regulation dan kebijakan tidak
efisien, serta UU yang bersifat sektoral dan sering tidak sinkron.
Tujuan utama dari UU Cipta Kerja adalah mendorong investasi, mempercepat transformasi
ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan berusaha, mengatasi
masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral.
Pengesahan UU Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan
ekonomi yang baik.
Menciptakan Lapangan Kerja
Indonesia memiliki visi untuk menjadi 5 besar negara dengan ekonomi terkuat di dunia, serta
memiliki PDB Rp 27 juta per kapita per bulan pada tahun 2045. Harapannya UU Cipta Kerja
dapat membuat iklim investasi kondusif akan menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga
mengurangi pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta produktivitas pekerja
meningkat.
Cipta Kerja memiliki beberapa kebijakan strategis. Kebijakan tersebut adalah peningkatan
ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, perlindungan dan kesejahteraan pekerja, kemudahan,
pemberdayaan, dan perlindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selain itu,
kebijakan lainnya adalah peningkatan investasi pemerintah dan proyek strategis nasional.
UU Cipta Kerja Dorong Investasi
Pandemi COVID-19 menghadirkan cukup banyak tantangan selama 2 tahun terakhir.
Perekonomian global mengalami permasalahan yang serupa. Pemerintah Indonesia terus
berusaha untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengesahkan
Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendorong investasi
dengan sistem perizinan yang sederhana. Proses perizinan kegiatan usaha kini telah diubah dari
berbasis izin menjadi berbasis risiko. Sistem yang disebut Perizinan Berbasis Risiko bisa
didapatkan secara daring melalui Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA).
Perizinan berbasis risiko merupakan sistem perizinan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha.
Tingkat risiko tersebut dibagi menjadi rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi.
Selain itu, beberapa faktor lain juga dipertimbangkan seperti peringkat skala kegiatan usaha dan
luas lahan sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Sistem perizinan yang lebih mudah dan cepat tentu sangat membantu perbaikan ekonomi negara.
Hal ini dikarenakan dengan sistem perizinan yang baik akan membuat calon investor lebih
tertarik berinvestasi di Indonesia.
Persyaratan Investasi Dipermudah
Persyaratan investasi menjadi lebih mudah dengan UU Cipta Kerja. Pertama, menetapkan bidang
usaha penanaman modal yang didorong untuk investasi. Kriteria investasi yang dimaksud
mencakup teknologi tinggi, investasi besar, berbasis digital, dan padat karya. Kedua, untuk
kegiatan usaha UMKM dapat bermitra dengan modal asing. Ketiga, status Penanaman Modal
Asing (PMA) hanya dikaitkan dengan batasan kepemilikan asing. Persyaratan keempat dan
terakhir, ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dihapus karena akan diatur dalam
Perpres Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM).
Dengan UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah diharapkan akan mendorong masuknya
investasi yang berkualitas sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Penjelasan Umum UU Cipta Kerja

Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko


merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan
jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan. Perizinan Berusaha dan
pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan
perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan
Perizinan Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design)
proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui
penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan
sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di samping itu melalui
penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun
substansi yang harus dilakukan pengawasan.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu, perlindungan
hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya, perlindungan kebutuhan layak kerja
melalui upah minimum, perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan
kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu yang masih
diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan,
pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis
data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M,
kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan
investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatan proyek strategis nasional
paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui
pembentukan lembaga pengelola investasi dan penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan
proyek strategis nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut
diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya,


diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-
Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu
persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak
efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama.

Detik.com

Omnibus Law menjadi rujukan dan dasar bagi lahirnya undang-undang lain maupun peraturan di bawah
undang-undamg, seperti misalnya peraturan pemerintah (PP).
Dalam konteks hukum, omnibus law adalah aturan hukum atau konsep pembuatan regulasi yang
menggabungkan beberapa aturan dari substansi pengaturannya berbeda.

Tujuan Omnibus Law

UU Cipta Kerja diharapkan akan menjadi bagian dari upaya pemulihan ekonomi nasional, khususnya
dalam mendorong transformasi ekonomi agar mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Tujuan dibuatnya UU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat
Indonesia secara merata, di seluruh wilayah NKRI.

Tujuan Omnibus Law adalah sebagai berikut:

Peningkatan ekosistem investasi


Kemudahan berusaha
Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja
Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional
Manfaat Omnibus Law

Dikutip dari Booklet UU Cipta Kerja terbitan Kemenko Perekonomian RI, manfaat Omnibus Law cipta
kerja adalah untuk memperbaiki iklim investasi dan mewujudkan kepastian hukum.

Berikut adalah manfaat Omnibus Law:

Penyederhanaan dan penyelarasan perizinan

Omnibus Law Cipta Kerja memberi dampak manfaat untuk penyederhanaan perizinan dalam berusaha ,
yakni dengan menyederhanakan dan mengintegrasikan perizinan dasar dari sejumlah UU yang terkait
dengan izin lokasi, lingkungan dan bangunan gedung.

Pencapaian investasi yang berkualitas

Mendorong investasi dalam mempercepat transformasi ekonomi. Untuk mempercepat transformasi


ekonomi, tentunya investasi perlu ditingkatkan sejalan dengan kenaikan daya saing Indonesia di
internasional.

Menciptakan lapangan kerja berkualitas untuk kesejahteraan pekerja

Omnibus Law Cipta Kerja juga bermanfaat untuk penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, melalui
pengaturan terkait dengan peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.

Pemberdayaan dan perlindungan UMKM dan Perkoperasian

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga memberikan manfaat bagi produktivitas yang lebih tinggi
terhadap usaha mikro. Dengan begitu, pemberdayaan UMKM dan perkoperasian bisa memiliki kenaikan
daya saing.
UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 44

UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 44 masuk dalam Paragraf 7 tentang Perindustrian. Adapun
UU Ciptaker dalam Pasal ini mengubah atau memperbaharui Perizinan Berusaha dan syarat-syarat
investasi dalam sektor Perindustrian. Jadi Pasal 44 ini mengubah UU 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.

UU 3 tahun 2014 tentang Perindustrian sendiri adalah pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian yang sudah tidak sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan industri
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Industri saat ini sudah berkembang pesat
dengan disrupsi-disrupsi yang dahsyat. Kemungkinan tidak lama lagi juga UU yang ini akan diperbaharui
lagi jika perkembangan dalam bidang industri sudah tidak didukung oleh regulasi ini. UU 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja jelas mendisrupsi banyak sekali Undang-Undang, bagaimanapun juga ini merupakan
tuntutan perkembangan zaman, dan pasti juga akan berubah lagi pada masanya.

Mencoba mengingat kembali apa itu perindustrian. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang
bertalian dengan kegiatan industri. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah
bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Industri Hijau adalah Industri
yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya
secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Industri Strategis adalah Industri
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau
menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan
pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.

Paragraf 7
Perindustrian

Pasal 44

Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan
Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Perindustrian, beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) diubah sebagai
berikut:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

Pembangunan sumber daya Industri meliputi:

a. pembangunan sumber daya manusia;


b. pemanfaatan sumber daya alam;

c. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;

d. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi;

e. penyediaan sumber pembiayaan; dan

f. penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong bagi industri.

2. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 48A

1. Untuk menjaga kelangsungan proses produksi dan/atau pengembangan industri, Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan kemudahan untuk
mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong sesuai dengan rencana kebutuhan industri.

2. Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kemudahan dalam mengimpor bahan
baku dan/atau bahan penolong untuk industri sesuai dengan rencana kebutuhan industri.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan
penolong diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

1. Pemerintah Pusat melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan


Standardisasi Industri.

2. Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman
tata cara.

3. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

4. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

1. Setiap Orang dilarang:

a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang
tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; atau

b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang


tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan
secara wajib.
2. Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman
tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk
impor barang tertentu.

5. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

1. Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 dilakukan melalui penilaian kesesuaian.

2. Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi.

3. Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan
secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian
yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian
kesesuaian diatur dalam Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

1. Pemerintah Pusat mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.

2. Dalam melaksanakan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Pusat dapat menunjuk lembaga terakreditasi.

7. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84

1. Industri Strategis dikuasai oleh negara.

2. Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Industri yang:

a. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup
orang banyak;

b. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau

c. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara.

3. Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. pengaturan kepemilikan;

b. penetapan kebijakan;

c. pengaturan Perizinan Berusaha;

d. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan

e. pengawasan.

4. Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan
melalui:

a. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat;

b. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta; atau

c. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

5. Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit
meliputi:

a. penetapan jenis Industri Strategis;

b. pemberian fasilitas; dan

c. pemberian kompensasi kerugian.

6. Perizinan Berusaha terkait Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
diberikan oleh Pemerintah Pusat.

7. Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d
dilakukan paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk.

8. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi penetapan Industri Strategis
sebagai objek vital nasional dan pengawasan distribusi.

9. Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101

1. Setiap kegiatan usaha Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

2. Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Industri kecil;
b. Industri menengah; dan

c. Industri besar.

3. Perusahaan Industri yang telah memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib:

a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki;
dan

b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta
pengangkutan.

9. Pasal 102 dihapus.

10. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104

Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
ayat (3) dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

11. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105

1. Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.

2. Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.

3. Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.

12. Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 105A sehingga berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 105A

Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri yang berada di kawasan ekonomi khusus
dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kawasan ekonomi khusus yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

13. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106

1. Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
2. Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi
Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota
yang:

a. belum memiliki Kawasan Industri;

b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan
Industrinya telah habis; atau

c. terdapat Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki zona industri.

3. Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) juga berlaku bagi:

a. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup yang berdampak luas; atau

b. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya


memerlukan lokasi khusus.

4. Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan
Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di kawasan
peruntukan Industri.

5. Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

14. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 104,
Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata
cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 115

1. Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan
Industri.

2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:

a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau

b. penyampaian informasi dan/atau laporan.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 117

1. Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri
dan kegiatan usaha Kawasan Industri.

2. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui
pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri.

3. Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit meliputi:

a. sumber daya manusia Industri;

b. pemanfaatan sumber daya alam;

c. manajemen energi;

d. manajemen air;

e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara;

f. Data Industri dan Data Kawasan Industri;

g. standar Industri Hijau;

h. standar Kawasan Industri;

i. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan
usaha Kawasan Industri; dan

j. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan.

4. Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga terakreditasi.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha
Kawasan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Demikianlah bunyi UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 44 yang mengubah UU 3 tahun 2014
tentang Perindustrian.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan terhadap 25 (dua puluh

lima) peraturan perundang-undangan terkait perindustrianyang telah dipilih, maka

maka disimpulkan adanya 71 permasalahan peraturan perundang-undangan, yakni

dimensi Pancasila (1 temuan), dimensi ketepatan jenis puu (1 temuan), dimensi

disharmoni pengaturan (13 temuan), dimensi kejelasan rumusan (36 temuan), serta

permasalahan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan (20 temuan).

2. Beberapa ketentuan di dalam Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi objek

analisis dan evaluasi hukum ditemukan bertentangan pengaturannya dengan UndangUndang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau Peraturan Pemerintah

Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Perindustrian yaitu sebagai

berikut:

a. Industri Strategis di Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang

Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri

b. Koordinasi Pengawasan dipasar Permenperin No 4 Tahun 2018 Tentang Tata

Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib

c. Pelaporan dari masyarakat dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4

Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi

Industri Secara Wajib

d. Koordinasi Penyidikan dengan Polri dalam Peraturan Menteri Perindustrian

Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan

Standardisasi Industri Secara Wajib

e. Importir bahan bakar lain di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun

2019 Tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi


Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri

f. Izin Usaha Kawasan Industri di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45

Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin

93

Perluasan Kawasan Industri Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha

Berintegrasi Secara Elektronik

g. Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan di Peraturan Menteri Perindustrian

Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin Usaha Industri dan Izin

Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara

Elektronik.

h. Ruang Lingkup Pembangunan Sumber Daya Industri dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya

Industri

i. Ruang Lingkup Pembangunan Sumber Daya Industri dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan

Industri Nasional 2015-2035

j. Pemberian izin usaha kecil, menengah di dalam Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 Tentang Pengawasan Dan

Pengendalian Usaha Industri Rokok

3. Terdapat beberapa Perbedaan definisi antar peraturan perundang-undangan

a. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan

Industri dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 Tentang

Tata Cara Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan

Bidang Perindustrian mengenai definisi SNI

b. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan

Industri dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Bidang Perindustrian mengenai definisi Pelaku Usaha

4. Masih terdapat banyaknya salah penulisan (typo) di dalam peraturan perundangundangan terkait
perindustrian:

a. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang

Pembangunan Sumber Daya Industri

b. Dilompatinya penulisan Bab IV dalam Peraturan Menteri Perindustrian

Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem Informasi Industri Nasional

94

c. Dilompatinya penulisan Bab III dalam Peraturan Menteri Perindustrian

Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor

Dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai Bahan Baku Dan Bahan

Penolong Industri

d. Typo Penulisan angka dasar mengingat dari angka 2 langsung menuju angka

4 melewati angka 3 di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/MIND/PER/12/2017 tentang Lembaga


Sertifikasi Industri Hijau

e. Typo bab yang sama yaitu Bab X Sanksi dan BAB X Ketentuan Peralihan di

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri

Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara

Elektronik

f. Typo terhadap kata Pperusahaan yang seharusnya Perusahaan di dalam

pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7

/2014 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Usaha Industri Rokok

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan, rekomendasi yang

dihasilkan adalah:

1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian di rekomendasikan

untuk diubah terutama terkait definisi industri


2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,

Pembinaan dan Pengembangan Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk

diubah

3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri

beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor

Komoditas Perikanan Dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan

Penolong beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan

Prasarana Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

95

6. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri beberapa

pasal di rekomendasikan untuk diubah

7. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri beberapa

pasal di rekomendasikan untuk diubah

8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya

Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

9. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk

Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 beberapa ketentuan di rekomendasikan

untuk diubah khususnya lampiran III

10. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri

Melalu Proyek Putar Kunci di rekomendasikan tetap

11. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Tata Cara

Pengawasan Pemberlakukan Standardisasi Industri Secara Wajib beberapa pasal di

rekomendasikan untuk diubah

12. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Akun Sistem

Informasi Industri Nasional beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

13. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara
Penerbitan Rekomendasi Ekspor Dan Rekomendasi Impor Bahan Bakar Lain Sebagai

Bahan Baku Dan Bahan Penolong Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk

diubah

14. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 02/M-IND/PER/1/2014 Tentang Pedoman

Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

15. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Dan

Pengawasan Industri Minuman Beralkohol beberapa pasal di rekomendasikan

untuk diubah

16. Peraturan Menteri Perindustrian No 17 Tahun 2018 tentang Pedoman Nomenklatur

Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan

Pemerintahan di Bidang Industri di rekomendasikan tetap

17. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/12/2017 tentang Lembaga

Sertifikasi Industri Hijau beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

96

18. Peraturan Menteri Perindustrian No 35 Tahun 2019 Penerbitan Pertimbangan

Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk

Produk Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib di rekomendasikan tetap

19. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam

Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha Berintegrasi Secara Elektronik di

rekomendasikan untuk di cabut

20. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerbitan Izin

Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Perizinan Berusaha

Berintegrasi Secara Elektronik rekomendasikan untuk di cabut

21. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2006 tentang Pengembangan

Jasa Konsultasi Industri Kecil dan Menengah di rekomendasikan tetap

22. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7 /2014 Tentang


Pengawasan Dan Pengendalian Usaha Industri Rokok beberapa pasal di

rekomendasikan untuk diubah

23. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar

Nasional Indonesia Bidang Industri beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

24. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 Tentang Besaran

Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi Usaha Industri beberapa

pasal di rekomendasikan untuk diubah

25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Penerbitan Izin

Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Kerangka Pelayanan Berizinan Berusaha

Terintegrasi Secara Elektronik beberapa pasal di rekomendasikan untuk diubah

Anda mungkin juga menyukai