Anda di halaman 1dari 9

Kemudahan Berusaha Berinvestasi Di bawah Pengaturan Omnibus Law

Hukum Investasi dan Pasal Modal


PARALEL

Grafita Dyah Ayu Kusumastuti (170602431)

Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
2020
A. Pendahuluan

H. Salim HS dan Budi Sutrisno, mengemukanakan investasi adalah penanaman modal yang
dilakukan oleh investor, baik investor asing maupun domestic dalam berbagai bidang usaha yang
terbuka untuk investasi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. 1Menurut Sunariyah
“Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya
berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan
datang.”2 Dewasa ini banyak negara-negara yang melakukan kebijaksanaan yang bertujuan untuk
meningkatkan investasi baik domestik ataupun modal asing. Hal ini dilakukan oleh pemerintah
sebab kegiatan investasi akan mendorong pula kegiatan ekonomi suatu negara, penyerapan tenaga
kerja, peningkatan output yang dihasilkan, penghematan devisa atau bahkan penambahan devisa.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan investasi Indonesia sangat lambat. Bahkan, target
investasi 2019 sebesar Rp 790 triliun diragukan bisa tercapai. Shinta mengatakan, meskipun terjadi
peningkatan nilai investasi dibandingkan tahun lalu, pada dasarnya iklim usaha Indonesia tidak
banyak berubah. Sejauh ini, belum ada terobosan dalam memperbaiki iklim investasi nasional
yang bisa secara signifikan mendongkrak investasi di Indonesia. Selain itu, perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia, potensi resesi global, dampak perang dagang, dan keluarnya Inggris
dari Uni Eropa akan memperburuk iklim investasi global. Hal itu membuat pemerintah tidak bisa
berharap ada peningkatan signifikan. Sebab, investasi asing langsung (foreign direct
investment/FDI) yang selama ini mendominasi investasi sulit tumbuh karena regulasi yang
terbilang rumit dan membutuhkan dan menghabiskan banyak tenaga dan waktu. Sehingga para
Investor asing enggan untuk menaruh modalnya dalam berusaha di Indonesia.3
Pemerintah menyadari bahwa kerugian dari regulasi dan peraturan yang rumit telah
menjadikan pertumbuhan ekonomi kita terhambat. Untuk itu, upaya penyederhanaan regulasi
mulai dioptimalkan. Hal ini dilakukan agar perbaikannya mampu membuat investasi baik langsung
atau tidak langsung, baik dalam atau luar negeri semakin meningkat. Menyikapi kondisi ini,

1
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal Indonesia, Bayumedia, Malang, 2003, h.10
2
Sunariyah, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, (Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 2003), h.32
3
Leonardo ALcahyo Putra, “Omnibus Law Bisa Dongkrak Investasi 2020”
(https://investor.id/business/kadin-omnibus-law-bisa-dongkrak-investasi-202)/, Diakses pada 22 Februari
2020.
pemerintah mengajukan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR, yakni RUU
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. Upaya penyederhanaan
regulasi melalui Omnibus Law diyakini mampu memperbaiki perekonomian nasional.
RUU yang mencakup 11 klaster dan melibatkan 30 kementerian dan lembaga (K/L) ini akan
diajukan pertengahan bulan ini. Tepatnya setelah tanggal 10 Januari 2020. Presiden Jokowi juga
meminta para menteri terkait agar menyiapkan regulasi turunannya dari RUU Omnibus Law itu
karena pemerintah ingin kerja cepat. Adapun substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
mencakup 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan,
kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan
inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek
pemerintah, serta kawasan ekonomi.4

B. Analisis
Seperti yang kita semua ketahui bahwa salah satu latar belakang diciptakannya RUU Cipta
Kerja adalah karena Pemerintah berpandangan bahwasannya kegiatan Investasi sulit untuk
terlaksana dengan maksimal karena pengaturan regulasi yang begitu rumit dan membutuhkan
banyak waktu dan tenaga. Sehingga Investor dalam atau luar negeri enggan menaruh modal
mereka untuk berusaha di dalam wilayah Republik Indonesia. RUU Cipta Kerja atau yang
sekarang ini tengah dikenal dengan nama Omnibus Law salah satunya mempunyai tujuan untuk
mendukung kegiatan berinvestasi dengan mengatur dan mengubah beberapa hal agar
Pengaturan mengenai hal ini salah satunya diatur dalam Peningkatan Ekosistem Investasi
Dan Kegiatan Berusah. Pasal 7 RUU Cipta Kerja mengatakan bahwasannya: “Peningkatan
ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan pengadaan lahan;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan

4
Vania Halim, “Regulasi Turunan RUU Omnibus Law Akan Disiapkan oleh Para Menteri”
(https://economy.okezone.com/read/2019/12/27/320/2146648/regulasi-turunan-ruu-omnibus-law-akan-
disiapkan-oleh-para-menteri), Diakses pada 22 Februari 2020.
d. penyederhanaan persyaratan investasi.”
Paragrag tntg penyederhanaan
Untuk menelaah lebih dalam lagi mengenai RUU Cipta Kerja maka dalam kesempatan ini
saya akan membahas hal-hal yang diatur didalamnya berkaitan dengan Kemudahan Berusaha dan
Berinventasi jika peraturan ini diundangkan di kemudian hari.
Kemudahan Berusaha
Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law
sedari awal disusun sudah menuai protes terutama oleh para pekerja, pegiat hak asasi manusia,
aktivis perempuan, hingga pencinta lingkungan. Undang-undang sapu jagat itu dituding akan
menghapus banyak ketentuan bagi jaminan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja atau
buruh, tetapi lebih banyak menguntungkan para pengusaha. Intinya, beberapa orang berpendapat
bahwasannya apa pun yang dianggap merintangi peluang investasi akan dihapus dan digantikan
dengan ketentuan yang memudahkan investasi. Namun, kita harus menilik kembali apa-apa yang
tengah diusahakan untuk diatur didalam RUU Cipta Kerja mengenai Kemudahan Berusaha dan
apakah ini membawa dampak yang baik atau buruk bagi bangsa ini kedepannya.
Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang tengah berlaku mengatakan
bahwasannya
“(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.”
Dalam ketentuan ini bahwasannya kita dapat mengetahui bahwa pelaku usaha harus
memperoleh izin lingkungan terlebih dahulu sebelum mereka bisa mendapatkan izin usaha dan
kegiatan karena itu merupakan suatu prasyarat yang harus di taati. Hal in tentu saja bertujuan untuk
melindungi ekosistem lingkungan hidup agar tetap terjaga dan terjamin kelestariannya sebelum
sebuah usaha dibangun. Pasal ini berorientasi terhadap lingkungan hidup, namun kemudian kita
dapat menemukan bahwasannya dalam Pasal 23 Angka 19 Omnibus Law atau RUU Cipta Kerha
disebutkan bahwasannya "Ketentuan Pasal 40 dihapus." Jika ketentuan dalam pasal 40 dihapus,
apakah berarti seorang pelaku usaha tidak diwajibkan untuk mempunyai izin lingkungan untuk
memperoleh izin usaha dan kegiatannya? Bukankah jika begitu maka tujuan awal daripada
dibentuknya izin lingkungan sebagai bentuk kepedulian terhadap kelestarian ekosistem akan sirna?
Dengan ini pelaku usaha akan semakin mudah untuk menjalankan usaha dan enggan untu
memperhatikan batasan-batasan mengenai menggunaan zat-zahapusan izin lingkungan akan
menyulitkan pengawasan, menghilangkan pula ruang keberatan dan upaya hukum yang selama
ini menjadi checks & balances keputusan-keputusan lingkungan, dan mereduksi secara
signifikan kesempatan masyarakat memperjuangkan haknya (termasuk mewakili lingkungan)
dengan gugatan perizinan5.
Dalam hal ini, RUU Cipta Kerja berwacana mengubah sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang semula wajib AMDAL, menjadi peraturan berbasis risiko
(risk-based regulation) yang akan menghilangkan kajian dampak lingkungan atas kegiatan/proyek
di suatu lokasi. Padahal, hal itu tidak akan mungkin dilakukan karena memerlukan data yang
sangat banyak. Hal ini seperti yang tertera di Bagian Kedua Penerapan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko Paragraf 1 Umum Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi “Perizinan Berusaha berbasis
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat
risiko kegiatan usaha.” Kemudian dalam ayat (2) dikatakan bahwa “Penetapan tingkat risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya
dan nilai potensi terjadinya bahaya.”
Selanjutnya, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi juga akan
meningkatkan kerentanan terhadap bencana karena pelanggaran hanya mendapatkan sanksi
administrasi. Sedangkan, ketika terjadi ketikdakpatuhan terhadap sanksi administrasi tersebut
yang berpotensi memperparah kerusakan/pencemaran atau terjadi pengulangan pelanggaran
administrasi, tidak dapat ditegakan menggunakan sanksi pidana, seperti pasal 100 UU 32/2009.
Contoh, dalam pasal yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
RUU Cipta Pasal 98 mengatakan bahwasannya sanksi pidana diringankan bagi siapa pun, termasuk
pengusaha, yang dianggap merusak lingkungan. Sanksinya denda paling sedikit Rp3 miliar atau
paling banyak Rp10 miliar. Padahal, dalam Pasal 98 ayat 1 Undang Undang Nomor 32 Tahun

5
Rahmat Maulana Sidik dkk, “Menakar Isi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja & UMKM”(
https://igj.or.id/menakar-isi-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-umkm/), Diakses pada 22 Februari 2020.
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusak lingkungan diancam
penjara 3 tahun atau paling lama 10 tahun dan denda Rp3-10 miliar.

Kemudahan Berinvestasi
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
misalnya, dalam Pasal 39 di RUU Cipta Kerja diatur bahwasannya “Pelaku Usaha Perkebunan
dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penanaman modal.” Yang
dimana menurut ketentuan ini maka yang dimaksud pelaku usaha perkebunan adalah setiap orang
yang mempunyai atau tidak mempunyai keahlian dalam bidang perkebunan namun berkecimpung
dibisnis perkebunan dapat berupa badan hukum atau perseorangan dalam negeri atau asing selama
menaati apa-apa yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini
dirasa menjadi berbeda dan terkesan lebih sederhana dalam prosedur jika membandingkan dalam
Pasal 39 dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 yang tengah berlaku yang berbunyi
bahwasannya:
“1. Usaha Perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia oleh Pelaku Usaha Perkebunan dalam negeri atau penanam modal asing
2. Penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum asing; atau
b. perseorangan warga negara asing.
3.Penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang melakukan Usaha
Perkebunan harus bekerja sama dengan Pelaku Usaha Perkebunan dalam negeri dengan
membentuk badan hukum Indonesia.” Dalam pengaturan pasal ini mengatur bahwasannya jika
suatu pelaku usaha asing atau pananam modal asing baru dapat melaksanakan penanaman
modalnya jika terlebih dulu telah bekerja sama dengan pelaku usaha perkebunan dalam negeri dan
telah membentuk badan hukum Indonesia. Hal ini tentu saja telah mencerminkan penyerderhanaan
salah satu regulasi yang mengatur mengenai penanaman modal.
Namun, dari sisi sistem dan tata hukum, masih terjadi perdebatan antara para ahli mengenai
penerapannya dalam sistem hukum di Indonesia. Prof. Maria Farida Indrati mengingatkan bahwa
Omnibus Law lebih tepat diterapkan pada Negara yang menganut sistem hukum common law
(anglo saxon) bukan civil law (eropa kontinental) seperti Indonesia. 6Namun, penerapannya tetap
dipaksakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hasrat penarikan investasi asing sebagai satu-
satunya solusi perbaikan ekonomi domestik. Padahal, tidak ada jaminan dengan menggunakan
strategi omnibus law akan menarik investasi asing.7

TAMBAHIN INVEST
Dalam hal ini terdapat beberapa pandangan pakar atau ahli hukum mengenai RUU Cipta
Kerja yang tengah digadang-gadangkan untuk segera diundangkan. Maria Farida, menyampaikan
keberatannnya atas rencana pemerintah ingin mempercepat penyederhanan aturan yang berjumlah
puluhan menjadi satu undang-undang (UU) ini. Menurutnya, mempercepat pembuatan omnibus
law membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Mulai proses pemetaan, penyisiran sejumlah UU,
hingga mencabut pasal-pasal yang saling tumpang tindih di berbagai peraturan. 8 Dia mengatakan
bahwasannya banyak persoalan dalam sistem regulasi kita yang tumpang tindih, bahkan saling
bertabrakan satu UU dengan UU lainnya. Apalagi, gagasan penerapan omnibus law ini lazim
digunakan di negara-negara yang menganut sistem common law. Dia khawatir keinginan
membentuk omnibus law yang mengebu-gebu tanpa didasari kajian matang dan mendalam
berujung sia-sia. Belum lagi, jika omnibus law diterapkan justru malah menimbulkan persoalan
baru dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangan dan akan terjadi ketidakpastian
hukum dan menyulitkan. Dia juga berpendapat jika ingin mempermudah masuknya investasi, tidak
kemudian mengobral agar asing dapat menguasai aset negara serta merta. Dia mengingatkan
mempermudah perizinan investasi terkait hajat hidup orang banyak yang dikuasai negara
berpotensi bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945.
Sementara ahli dan pakar hukum laim, Prof. Jimly Asshidique menyarankan seyogyanya
pembentukan omnibus law diarahkan yang lebih luas, menyeluruh, dan terpadu dalam rangka
penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila dan UUD

6
Agus Sahbani, “Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar”
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3325327d597/plus-minus-omnibus-law-di-mata-
pakar/)/,Diakses pada 22 Februari 2020.
7
Omnibus Law: Payung Hukum Menarik Investasi atau Melegitimasi Eksploitasi? Rahmah Maulana sidik.
8
Ibid,.
Tahun 1945. Sebab, selama ini seringkali antar UU dan produk hukum lain (di bawahnya)
mengatur materi muatan yang serupa/sama (tumpang tindih pengaturan). Hal ini menyebabkan
ketidakterpaduan yang ujungnya menyulitkan penerapan di lapangan. dia juga berpendapat
bahwasannya Penerapan ide UU Omnibus Law itu hendaknya tidak hanya terbatas pada persoalan
perizinan dan kemudahan berusaha.9

c. Kesimpulan
Pemerintah optimis dengan adanya omnibus law ini terutama terkait UU Cipta Lapangan
Kerja dapat menarik minat investor agar mau memarkirkan dananya ke Indonesia. Menurut rilis
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kemarin (24/1/2020), untuk dapat mewujudkan
pertumbuhan ekonomi di angka 6% per tahun maka Indonesia membutuhkan investasi senilai
Rp 4.800 triliun. Realitanya saat ini RI hanya mencatatkan pertumbuhan ekonomi mentok di
angka 5% sejak lima tahun terakhir. Realisasi investasi hingga kuartal tiga tahun 2019 pun
tercatat hanya mencapai Rp 601,3 triliun. Masih sangat jauh dari target.
Untuk dapat menarik investor, maka iklim investasinya harus dibuat kondusif. Banyak
faktor yang dipertimbangkan oleh investor dalam memilih negara mana yang layak untuk diberi
kucuran dana. Investor mengeluhkan aturan di Indonesia yang tidak jelas, tumpang tindih serta
birokrasi berbelit-belit. Tak hanya itu investor juga menilai aturan ketenagakerjaan di Indonesia
juga terlalu kaku. Oleh karena itu, pemerintah membuat gebrakan dengan adanya RUU Cipta
Lapangan Kerja yang saat ini tengah digodok. Namun karena baru pertama kali, alangkah
baiknya pemerintah tak tergesa-gesa dan kembali meninjau urgensi secara komprehensif. Hal ini
dimaksudkan agar kebijakan yang diambil tepat sasaran. Poin lain yang juga harus diperhatikan
pemerintah adalah sebaiknya Omnibus Law tidak perlu menyentuh perubahan yang bersifat
prinsipiil dan mendasar serta memiliki implikasi terlalu besar. Yang terakhir adalah proses yang
transparan dan kredibel tetap diperlukan. Dalam menggodok aturan ini, setiap elemen harus
dilibatkan agar Omnibus Law ini benar-benar menjadi payung hukum milik bersama dan bukan
golongan tertentu saja

9
Ibid,.

Anda mungkin juga menyukai