Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN ANALISIS (PROJECTING CITIZEN)

KEWARGANEGARAAN
BLOK RESPIRASI II
“Dampak UU Cipta Kerja terhadap Sektor Kesehatan”

Disusun Oleh :

Desak Made Paramestri Dyah Parameswari 019.06.0021


Kadek Artana Kusumajaya 019.06.0045
I Wayan Agus Merta Wiguna 019.06.0043
Ni Wayan Paramitha Putri 019.06.0071
Putu Shanti Ayudiana Budi 019.06.0082

Dosen :
Dr. L.M. Hayyanul Haq, SH.,LLM.,Ph.D

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wacana RUU Omnibus Law secara resmi disampaikan Presiden Joko


Widodo pada 20 Oktober 2019 dalam pidato pelantikannya sebagai presiden
terpilih untuk periode kedua. Jokowi dalam pidatonya menegaskan ada dua
omnibus law yang disiapkan, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU
Pemberdayaan UMKM. Kedua omnibus law ini masuk dalam agenda ketiga
prioritasnya selama lima tahun ke depan. Ia menyebutkan segala bentuk kendala
regulasi harus disederhanakan, harus dipotong, harus dipangkas. Wacana omnibus
law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019
pada 12 Desember 2019. Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan
HAM bersama Badan Legislasi DPR RI pada 5 Desember 2019 lalu telah
menetapkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law
Perpajakan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas
Tahun 2020. Kedua RUU Omnibus Law tersebut menurut Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merupakan arahan Presiden Jokowi
guna meningkatkan iklim investasi dan daya saing dalam berbagai kesempatan.

Omnibus Law Cipta Kerja Berkaitan dengan pembentukan Omnibus law


Cipta Kerja, pemerintah sebagaimana disampaikan Kepala Biro Hukum,
Persidangan dan Hubungan Masyarakat Kemenko Perekonomian, I Ketut Hadi
Priatna mengklaim bahwa sampai akhir bulan Januari 2020 sudah berupaya
mengidentifikasi berbagai undang-undang (UU) yang sekiranya bersentuhan atau
beririsan dengan Omnibus law Cipta Kerja. Disebutkan bahwa ada sekitar 81 UU
yang terdampak Omnibus law Cipta Kerja. Jumlah UU terdampak omnibus law
bertambah banyak dari pembahasan terdahulu yang semula 79 UU dengan 1.244
Pasal menjadi 81 UU (Tempo.co, 2020). Yang menarik adalah pertama, Omnibus
law Cipta Kerja yang telah diserahkan ke DPR RI oleh pemerintah, merupakan
produk Rancangan UU (RUU) yang sangat luas cakupan pengaturannya. Hal ini
akan membutuhkan waktu dan konsentrasi penuh dalam pembahasan RUU ini
agar tidak ada aturan yang sebelumnya ada dalam UU terpisah menjadi hilang
dalam Omnibus law Cipta Kerja ini. Kedua, belum juga Omnibus law Cipta Kerja
ini ditanda tangani oleh Presiden untuk selanjutnya disampaikan ke DPR untuk
dibahas bersama, RUU ini sudah mendapatkan respons yang berbeda dari para
pemangku kepentingan terhadap substansi. Sebagai contoh, para pengusaha yang
tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengharapkan RUU
omnibus law yang telah disusun pemerintah bisa segera disahkan sehingga bisa
cepat diimplementasikan. Namun ada beberapa catatan bahwa untuk mendorong
efektivitas pelaksanaan RUU ini maka diperlukan dukungan oleh peraturan
turunan yang sejalan. Selain itu juga dibutuhkan keterbukaan dari pemerintah
mengenai draf RUU agar setiap komponen masyarakat yang terdampak dari
omnibus law dapat memahami regulasi ini (Cnbcindonesia.com, 2020). Pendapat
yang berbeda disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) Said Iqbal menyoroti soal pembahasan Omnibus law Cipta Kerja yang
disebutnya dibahas secara tertutup. Menurutnya, omnibus law tersebut
dikhawatirkan hanya untuk kepentingan pengusaha, bukan buruh.
Ditambahkannya bahwa diyakini ada 6 hal yang berpotensi merugikan buruh jika
omnibus law diberlakukan. Enam poin itu antara lain terkait hilangnya upah
minimum diganti upah per-jam, hilangnya pesangon, diperbolehkan outsourcing
dan pekerja kontrak tanpa batas, tenaga kerja asing, jaminan pensiun dan
kesehatan dihilangkan hingga sanksi pidana pengusaha yang melanggar aturan
ketenagakerjaan dihilangkan. Pendapat yang sama juga disampaikan Ketua
Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi (Detik.com, 2020). Respon
lain terkait dengan substansi, peneliti Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Abra El Talattov, mengatakan bahwa pembentukan BUMN
khusus ditemukan dalam klaster kelima pembahasan RUU Cipta Kerja. Klaster
tersebut membahas sektor minyak dan gas bumi. Di antaranya berisi, pemerintah
sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat membentuk BUMN Khusus untuk
melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Kebijakan itu berpotensi
menimbulkan benturan BUMN khusus dengan induk perusahaan. Dalam klausul
itu disebutkan bahwa pembentukan BUMN khusus dapat dilakukan oleh beberapa
badan, termasuk oleh PT Pertamina (Persero). Dikawatirkan, seandainya RUU itu
disahkan, ada potensi benturan antara BUMN Khusus dengan tugas Pertamina
sebagai induk holding migas. Sebab, keduanya memiliki fungsi dan semangat
yang sama. Kekhawatiran selanjutnya muncul seumpama BUMN khusus
diberikan wewenang mengendalikan serta mengawasi efektivitas kegiatan usaha
hulu migas. Untuk itu, pemerintah harus mempertimbangkan adanya risiko
intervensi berlebihan negara terhadap operasional kegiatan hulu. Apalagi
seandainya BUMN khusus tersebut menjalin kerja sama dengan badan usaha atau
badan usaha tetap (Tempo.co, 2020).
BAB II

PEMBAHASAN

Pro Kontra UU Cipta Kerja

a. Judul RUU Tidak Mencerminkan Muatan

Lampiran II angka 3 UU 12/ 2011 menyebutkan nama Peraturan


Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu)
kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi
Peraturan Perundang– undangan. Secara teknis penamaan omnibus law ini sebagai
RUU Cipta Kerja dengan satu frasa yang singkat tepat, namun sebagai gambaran
isi suatu peraturan perundang-undangan, ia sama sekali tidak menggambarkan
muatan peraturan perundangan-undangan yang hendak ( 1 ) dibentuk. Apabila
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH), RUU ini
sama sekali tidak mencerminkan semangat perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang dimuat UU PPLH. Pasal 1 angka 2 UU PPLH secara tegas
menyebutkan yang dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pengertian ini didasarkan pada
semangat perlindungan terlebih dahulu dan selanjutnya diikuti oleh pengelolaan
yang baik dan tepat.

b. Kritik Program Legislasi Nasional (Prolegnas) SuperPrioritas

UU 12/ 2011 menentukan tahapan pembentukan peraturan


perundangundangan meliputi (1) perencanaan, (2) penyusunan, (3) pembahasan,
(4) pengesahan atau penetapan, dan (5) pengundangan. Selanjutnya, Pasal 16 UU
12/ 2011 menyebutkan perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Merujuk Siaran Pers Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019
pada 12 Desember 2019 yang menyebutkan RUU Omnibus Law yang jadi
inisiatif Pemerintah ini sebagai Prolegnas Super Prioritas Tahun 2020 merupakan
suatu hal yang mengada-ada. UU 12/ 2011 sama sekali tidak mengenal frasa
“Prolegnas Super Prioritas.”

c. Penyusunan RUU Tidak Partisipatif

"Pada kesempatan ini saya mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk


bersama-sama dengan pemerintah berada dalam satu visi besar untuk menciptakan
hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif dan responsif demi terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat konstitusi kita,"
kata Presiden Joko Widodo di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28
Januari 2020. Apabila benar RUU ini ditujukan untuk kepentingan rakyat dan
tidak abai terhadap aspek lingkungan hidup, maka Task Force yang dimaksud
tentunya mengakomodir perwakilan organisasi buruh, organisasi lingkungan
hidup dan organisasi kerakyatan lainnya serta kelompok pemuda dan mahasiswa
dalam penyusunannya. Bukti nyata kepemimpinan Kadin dalam perumusan
Naskah Akademik dan RUU menguntungkan kelompok bisnis dapat dilihat dari
muatan RUU yang menghapus beberapa ketentuan UU PPLH terkait
pertanggungjawaban hukum karhutla yang pernah diuji oleh APHI dan GAPKI di
Mahkamah Konstitusi pada 2017. Uji materiil yang diajukan dua asosiasi bisnis
ini dicabut karena desakan publik.

d. Bertentangan Dengan Asas Keterbukaan Asas keterbukaan merupakasan


salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Penjelasan
Pasal 5 huruf g UU 12/2011 menyebutkan yang dimaksud dengan “asas
keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Sebelum RUU Cipta Kerja diserahkan kepada DPR, sempat beredar dokumen
RUU Cipta Lapangan Kerja. Masing-masing Kementerian tidak memberi
konfirmasi secara tegas dan jelas apakah draft yang bereda merupakan RUU yang
akan diserahkan Pemerintah kepada DPR

Perbedaan Isi UU Ketenagakerjaan dan Omnibus Law Cipta Kerja

a. Waktu Istirahat dan Cuti

1) Istirahat Mingguan

Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan: "Istirahat


mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu." Sementara dalam
RUU Cipta Kerja, Pasal 79 ayat (2) huruf b tersebut mengalami perubahan di
mana aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi: istirahat mingguan 1 hari
untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

2) Istirahat Panjang

Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa


pekerja berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing masing satu bulan jika
telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama.
Ketentuannya yaitu pekerja atau buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan
masa kerja 6 tahun. Namun dalam RUU Cipta Kerja regulasi terkait hak cuti
panjang tersebut tak diatur melainkan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan
atau diatur melalui perjanjian kerja sama yang disepakati.
Omnibus Law dan Kekhawatiran Pekerja Jika pekerja mengkhawatirkan
akan hilang atau berkurangnya kesejahteraan akibat Omnibus Law, maka RUU
Ciptaker perlu dikaji secara mendalam dengan mencermati kembali ketentuan-
ketentuan terkait, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan), UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN), dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengara
Jaminan Sosial (UU BPJS). 1. Upah Pekerja menentang RUU Ciptaker karena
dinilai akan menghilangkan upah, yang kemudian akan berdampak pada
hilangnya Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Hari Tua (JHT). Upah berdasarkan
jam kerja (Pasal 88B) akan menurunkan dan bahkan dapat menghilangkan upah,
karena orang yang bekerja di bawah 40 jam per minggu secara otomatis tidak
akan memiliki upah minimum. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, upah adalah
hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Pasal 30).
Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan
dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi [Pasal 88 Ayat
(3)]. Upah minimum dapat terdiri atas: a) upah minimum berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota; b) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah
provinsi atau kabupaten/kota. [Pasal 89 Ayat (1)]. Upah minimum diarahkan
kepada pencapaian kebutuhan hidup layak [Pasal 89 Ayat (2)]. Upah minimum
ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota [Pasal 89 Ayat (3)]. Komponen
serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur
dengan Keputusan Menteri [Pasal 88 Ayat (4)]. Pengusaha dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum (Pasal 90).

Omnibus Law dan Kesejahteraan Pekerja Berdiskusi tentang UU Ciptaker


tidak terlepas dari masalah kesejahteraan pekerja, karena pekerja ibarat nyawa
bagi sebuah perusahaan. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat. RUU Ciptaker menuai banyak kritik selama ini, karena masalah
kesejahteraan pekerja. Alasannya, pekerja mempunyai harapan untuk
mendapatkan penghasilan yang layak, yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Pekerja mencari uang untuk dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan
keluarganya. Menurut Friedlander (1980) sebagaimana dikutip Asis,
kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan
sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu
dan kelompokkelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka
dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan
kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Asis, 2016). Dalam kaitannya
dengan pekerja, kesejahteraan menjadi bagian penting dari setiap usaha di mana
seseorang bekerja untuk mencukupi kebutuhannya serta untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Dan pada akhirnya kualitas hidup yang baik akan berpengaruh
pada kesejahteraan.

Hubungan UU Cipta Kerja dengan Tenaga Kesehatan

CISDI adalah organisasi yang fokus pada isu pembangunan kesehatan


dan penguatan layanan kesehatan primer di Indonesia. UU cipta kerja ini
dinilai tidak hanya merugikan buruh dan pekerja tapi juga mengancam
kualitas, jaminan, keselamatan dan keamanan tenaga kesehatan, ditambah
sulitnya perizinan usaha di sektor kesehatan yang berisiko timbulkan
backlog atau sederetan masalah yang belum tertangani di masa pandemi
Covid-19. Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda mengaku sudah
memperlajari draft dokumen RUU Cipta Kerja dan berbagai perkembangan
dokumen baru yang beredar ke publik.

Hingga saat ini, CISDI masih terus mendalami Undang-undang Cipta


Kerja serta dampak yang ditimbulkan langsung terhadap sederet UU yang
menggatur kesehatan, seperti UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 44/2009 tentang
Rumah Sakit, UU No. 35/2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 18/2012 tentang
Pangan.

"Selain tujuh undang-undang di atas, ada indikasi UU Cipta Kerja


berdampak pada UU Tenaga Kesehatan dan UU Pendidikan Dokter. Namun
kami masih terus mendalami UU Cipta Kerja selagi menunggu dokumen
versi final dari DPR RI. Kami juga masih terus berkonsultasi dengan teman-
teman hukum untuk memastikan tidak ada interpretasi yang salah sehingga
kita dapat melakukan tindak lanjut dengan tepat sesuai kebutuhan," tutup
Olivia. Alih- alih mengurusi UU cipta kerja yang terkesan diburu-buru
padahal menyangkut hajat hidup orang banyak dan memiliki permasalahan
yang kompleks. Seharusnya pemerintah dan DPR-RI fokus menangani
pandemi Covid-19 yang menurut CISDI masih jauh panggang dari api.

Kemampuan tes dan lacak kasus Indonesia belum me menuhi standar


WHO meskipun jumlah kasus terus meningkat. Per 6 Oktober 2020, jumlah
kasus di Indonesia mencapai 311.176 kasus dengan kematian mencapai
11.374 kasus atau 3,7 persen dengan populasi sebesar 268.583.016 jiwa,
pemeriksaan di Indonesia seharusnya mencapai minimal 268.583 orang per
minggu atau 38.369 orang per hari agar memenuhi standar WHO, yaitu 1 tes
setiap 1.000 orang per minggu. Namun, agar bisa mengalahkan pandemi,
dibutuhkan strategi tes dan lacak yang masif dan drastis. Sebagai contoh,
Malaysia yang jumlah populasinya hanya sepersembilan dari populasi
Indonesia, melakukan 30.000 tes per hari untuk berhasil mengalahkan
pandemi. Dimana data Kawal Covid-19 menunjukkan bahwa dibutuhkan
hingga 300.000 tes per hari untuk Indonesia mampu melandaikan kurva
epidemi. Sayangnya, hingga saat ini rasio tes Indonesia masih jauh dari
standar WHO, yaitu hanya 0,1 orang diperiksa berbanding 1.000 orang per
minggu.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa UU Cipta


Kerja memiliki pengaruh terhadap UU Ketenagakerjaan yang secara langsung
akan berdampak besar bagi seluruh tenaga kerja. Pada sector kesehatan juga
tentunya mendapatkan pengaruh yang signifikan terhadap diberlakukannya
Hukum Omnibuslaw ini sehingga kelompok kami menyimpulkan bahwa UU
Cipta Kerja memiliki pengaruh terhadap UU yang menggatur kesehatan, seperti
UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 24/2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 36/2009 tentang
Kesehatan, UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 35/2009 tentang
Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
UU No. 18/2012 tentang Pangan serta UU lainnya yang memiliki pengaruh
besar terhadap sector Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Asis, S. (2016). BAB II. Kajian Literatur. Diakses dari


https://www.academia.edu/36393771/BAB_ II_KAJIAN_LITERATUR,
pada 4 Februari 2020.

CNN Indonesia. 2020.


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201006214833-532-
555197/perbedaan-isi-uu-ketenagakerjaan-dan-omnibus-law-cipta-kerja

Detik.com. Diakses dari https://finance.detik.com/ berita-ekonomi-bisnis/d-


4866914/serba-serbiomnibus-law-yang-ditolak-keras-buruh?, pada 21
Januari 2020.

Doing Business 2020: Comparing Business Regulation in 190 Economies. (2019,


October 24).

Fikri, A. (2019, Desember 28). Merugikan, Buruh Tolak Rancangan Omnibus


Law Cipta Lapangan Kerja. Tempo.co. Diakses dari https://
bisnis.tempo.co/read/1288685/merugikanburuh-tolak-rancangan-omnibus-
law-ciptalapangan-kerja, pada 14 Januari 2020.

Indraini, A. (2020, Januari, 21). Serba-Serbi Omnibus Law yang Ditolak Keras
Buruh.

Isi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Jaminan PHK hingga Bonus Gede.
(2020, Februari, 21). Diakses dari https://kumparan. com/cermati-
content/isi-ruu-omnibus-lawcipta-lapangan-kerja-jaminan-phk-
hinggabonus-gede-1ssqmPkZGhW, pada 1 Maret 2020.

WALHI. 2020. RUU Cipta Kerja: Cilaka Cipta Investasi, Perkeruh Kondisi Krisis
Multidimensi. ;
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/12/16031941/omnibus-law-cipta-
lapangan-kerja-ganti-nama ,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e2ff22ba4994/presiden-minta-
dukungan-terkait-omnibus-law/, https://walhi.or.id/surat-terbuka-walhi-
menolak-hadir-dalam-pembahasan-ruu-omnibus-law-cilaka ,
https://nasional.tempo.co/read/1308489/kontras-singgung-pemerintah-yang-
tertutup-soal-omnibus-law-cilaka/full&view=ok

World Bank Group. Diakses dari https://


www.doingbusiness.org/en/reports/globalreports/doing-business-2020, pada
1 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai