Anda di halaman 1dari 5

Demokrasi di Bidang Ekonomi

Bagaimana demokrasi diterpakan dala bidang ekonomi? Apakah demokrasi ekonomi juga
diterapkan di Indonesia? Apakah UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara
juga membuat ketentuan tentang demokrasi ekonomi? Coba perhatikan isi UUD 1945 pasal 33
berikut ini!

Ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan
Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara
Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yasng terkandung didalammya dikuasai oleh negara
dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmran rakyat
Ayat (4) : Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional

Perlu kalian ketahui bahwa isi pasal 33 UUD 1945 sebelum diadakan perubahan hanya terdiri dari
ayat(1) , (2) dan (3) tersebut. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, namun ayat ayat
tersebut mengisyaratkan berlakunya demokrasi ekonomi. Hal itu tercermin pada kata kata: usaha
bersama, bersifat kekeluargaan dan untuk kemakmuran rakyat. Setelah dilakukan perubahan
terhadap UUD 1945, muncullah pasal 33 ayat (4) tersebut. Perubahan itu semakin menguat
berlaskunya demokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian di ndonesia

Salah satu bentuk kegiatan badan usaha yang bersifat demokratis adalah koperasi. Sejalan dengan
semangat demokrasi, koperasi terkenal dengan semboyannya “dari anggota, oleh anggota, dan
untuk anggota” coba bandingkan dengan pernyataan Abraham licoln tentang demokrasi yang
telah dikutip sebelumnya. Dalam koperasi, pemegang kekuasaan tertinggi adalah rapat anggota.
Rapat anggota itu diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.

Dalam pasal 5 undang undang no. 25 tahun 1992 tentrang koperasi dinyatakan dengan prinsip
prinsip koperasi sebagai berikut:
1. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2. pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing
masing
4. pemberian balas jasa terbatas terhadap modal
5. kemandirian

Demokrasi di Bidang Budaya

Sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku
politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak
selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup.

Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan RUU merupakan
kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uang pelicin” kepada para petinggi politik
untuk mendapatkan dukungan
partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur
merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.

Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika


datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para
pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk
memperbarui budaya politik.

Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari


budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda
dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman
reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian
melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di
sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan “budaya politik
aji mumpung”.

Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa
yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama
budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh
pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan
bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final
membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap
calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar
kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang
baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek
dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian
hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.

Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para


pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik
berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat
dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita,
misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan
pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang
datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari
latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi
feodal atau militer.

Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang


pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku
politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris para
politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya
dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan
yang kurang beruntung.

Bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat


menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana
kita men-definisi-kan “kehidupan politik” yang ideal. Namun, secara
umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik
disebut “pendidikan manusia seutuhnya”.
Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak
menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika,
empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini,
jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda
yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka
persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan,
memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma,
dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para
ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum.
Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga sarjana muda atau D-2/D-3.

Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-


insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan
perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.

Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu


perlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depan
perlu diadakan ketentuan, untuk menjadi anggota DPRD dan DPR
diperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yang
harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir
generasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebih
bertanggung jawab daripada yang ada kini.

Dapatkah ini kita capai? Semoga.

Kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab. Sebab pertama, konsep
budaya politik terlalu abstrak alias vague. Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep
budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik
harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara? Jika pada level
individu, apakah dia bisa digeneralisasi? Kalau pada level negara, apakah dia mencerminkan
individu? Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau relijius misalnya), bagaimana
menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang
ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel
residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu
menjelaskan sebuah fenomena. Alias, kalau sudah mentok dan otak sudah malas berpikir, tinggal
bilang: “yah emang udah budayanya begitu”…hehehehe

Sebab kedua ia ditinggalkan adalah bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness.
Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, bila
sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan kambing hitam latar
belakang gagalnya demokrasi itu.

Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian dari para comparativists.
Ada beberapa penyebabnya, diantaranya adalah mulai tersedianya data set global mengenai
budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya
politik dikaji secara lebih saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya
politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.

Sebab lain berkembangnya kajian budaya politik adalah munculnya karya-karya akademis yang
solid dan lebih kaya mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering disebut dalam hal ini.
Pertama adalah Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy Work (1993). Selama satu
dekade Putnam melakukan penelitian, ia membandingkan Italia bagian utara dan selatan dan dia
sampai pada kesimpulan bahwa Italia sebelah utara lebih makmur dan demokratis karena densitas
network dan asosiasi kemasyarakatan di sana jauh lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan.
Penyebabnya adalah trust antara anggota masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi.

Selanjutnya, trust menjadi social capital yang membentuk basis bagi civil society. Sementara di
Italia selatan, berkembang apa yang disebut oleh Banfield sebagai amoral familial , dimana orang
hanya mempercayai anggota keluarganya. Keadaan semacam ini menjadi lahan amat subur untuk
nepotisme dan terbentuknya masyarakat yang tertutup.

Ilmuwan politik kedua adalah Ronald Inglehart yang melakukan banyak kajian mengenai budaya
politik dengan data empirik, antara lain dengan menggunakan dataset dari World Value Survey
itu. Ada artikel Ingelhart yang seru, judulnya Trust, Well-being and Democracy. Walaupun ada
beberapa kritik untuk tulisan itu, tetapi artikel ini cukup memprovokasi pikiran.

Salah satu temuan Inglehart adalah mengenai tingkat interpersonal trust yang dihubungkan
dengan tradisi agama dan budaya serta tingkat pembangunan ekonomi. Ingelhart menggunakan
data World Value Survey dan juga data World Bank (Purchasing Power Parity Estimates).
Pertanyaan dalam World Value Survey itu kira-kira adalah: “apakah menurut Anda orang lain bisa
dipercaya?”

Hasilnya: level interpersonal trust tertinggi ditemukan di negara-negara dengan tradisi Protestan
(tertinggi adalah Norwegia, kurang lebih 65 persen responden di sana menyatakan bahwa orang
lain bisa dipercaya). Level interpersonal trust yang tinggi juga ditemukan di negara dengan
tradisi Confusian (yakni tertinggi Cina dengan 50 persen lebih, Jepang, lalu Taiwan, dan Korea
Selatan). India, yang bisa dikategorikan sebagai negara miskin, juga memiliki level of trust yang
tinggi, hampir 40 persen, lebih tinggi dari Korea Selatan.

Masyarakat Islam membukukan catatan rendah dalam hal trust kepada orang lain ini. Kurang
lebih 20 persen saja dari responden di beberapa negara bertradisi Islam (seperti Bangladesh dan
Azerbaijan) yang menyatakan bisa mempercayai orang lain.

Saya jadi ingat sebuah tulisan Reinald Khasali, pakar manajemen UI itu. Dalam sebuah emailnya
yang beredar luas di internet dia menceritakan pengamatannya bahwa level personal trust orang
Indonesia amat rendah. Contoh sederhana mengenai rendahnya level of trust yang dia berikan
adalah bahwa di Indonesia, sejak kecil kita diajarkan untuk membuat tanda tangan yang susah,
agar tidak mudah dipalsukan orang lain. Padahal di negara maju seperti Amerika, kata Reinald
Khasali, justru tanda tangan itu seharusnya bisa dibaca dan dikenali.

Studi Inglehart juga menemukan bahwa masyarakat bertradisi Katolik juga memiliki level trust
yang rendah. Terendah adalah Brazil dengan hanya 3 persen saja responden di sana yang
menyatakan bisa mempercayai orang lain. Gap-nya sungguh besar bila dibandingkan dengan
Norwegia yang 65 persen itu. Masyarakat Katolik di beberapa negara lain (Perancis, Austria,
Portugal, Italia, Belgia misalnya), berada di kisaran 20 hingga 30 persen. Masyarakat Filipina dan
Peru yang bertradisi Katolik juga rendah tingkat kepercayaannya pada orang lain: kurang dari 10
persen yang menyatakan percaya pada orang lain.
Mengapa masyarakat Katolik memiliki tingkat kepercayaan pada orang lain yang rendah
dibandingkan dengan Protestan? (Inglehart tidak memberi penjelasan apa-apa mengenai
masyarakat Islam). Menurutnya, hal itu merefleksikan prinsip bahwa organisasi horizontal dan
terdesentralisasi seperti gereja Protestan lebih kondusif dibandingkan dengan organisasi hierarkis
yang remote (pusat gereja Katolik di Roma tentu jauh dari Brazil misalnya). Gereja Protestan
lebih kecil, terdesentralisasi dan lebih terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat lokal. Karena itu,
secara natural, gereja Protestan lebih mendorong partisipasi masyarakat di tempatnya berada.
Tampaknya kesimpulan Inglehart ini konsisten dengan pengamatan Max Weber yang klasik
mengenai etika Protestant yang mendorong tumbuh berkembangnya kapitalisme.

Banyak sekali hal menarik dari tulisan Inglehart ini. Walaupun ada beberapa substansi ataupun
metodologi dari studi Inglehart ini yang bisa diperdebatkan (misalnya, dia tidak menjelaskan
peran budaya politik dalam konteks masyarakat yang sedang menjalani proses transisi menuju
demokrasi) tapi Inglehart dengan konsisten menunjukan bahwa budaya politik bisa dikaji dengan
data-data empirik. Karena itu, studi budaya politik kembali menarik. Mungkin relevan juga untuk
kembali dikembangkan dalam studi politik Indonesia. Karena sebelumnya banyak karya besar
klasik dunia mengenai budaya atau nasionalisme misalnya, merupakan hasil kajian mengenai
Indonesia. Seperti studi yang dibuat oleh antropolog ternama Clifford Geertz, Bennedict
Anderson mengenai Imagined Communities, atau ilmuwan politik terkenal Arendt Lijphart yang
pernah mengkaji Papua.

Anda mungkin juga menyukai