Anda di halaman 1dari 20

BAB VI

SISTEM PERWAKILAN: KEPENTINGAN DAN POLITIK

Dalam Ilmu Politik dikenal dua macam sistem perwakilan, yaitu


sistem perwakilan kepentingan, dan sistem perwakilan politik. Yang
pertama terbentuk karena terdapat berbagai macam pengelompokan
berdasar berbagai macam kriteria, setiap kelompok masyarakat, seperti
kelompok petani memiliki kepentingan yang sama, dan
karena itu setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan yang perlu
diperjuangkan. Pengelompokan dalam masyarakat bukan hanya
berdasarkan Konstitusi yang menjamin hak warga negara berserikat dan
menyatakan pendapat tetapi karena secara alami merupakan karakter
manusia berkelompok. Yang kedua terbentuk karena semua negara
demokrasi di dunia ini menerapkan demokrasi perwakilan sehingga ada
yang diwakili, seperti orang (rakyat) dan ruang (daerah) dan ada pula
yang mewakili, seperti dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan
daerah. Berikut penjelasan masing-masing sistem perwakilan.

Sistem Perwakilan Kepentingan


Dalam masyarakat terdapat berbagai macam pengelompokan
masyarakat berdasarkan berbagai macam kriteria. Pertama,
pengelompokan masyarakat berdasarkan jenis kelamin (pria dan
perempuan), suku bangsa (Jawa, Madura, Minangkabau, Batak, Bali,
Bugis, Minahasa, dsbnya), ras (Tionghoa, Melayu, Arab, dsbnya), agama
(Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dsbnya) dan Aliran
Kepercayaan, dan kriteria lainnya.
Kedua, pengelompokan berdasarkan pekerjaan. Pekerjaan dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu okupasi dan profesi. Pekerjaan berupa
okupasi merupakan jenis pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian dan
ketrampilan karena hanya memerlukan tenaga dan melihat bagaimana
orang lain melakukannya. Mereka yang bekerja jenis ini tidak menerima
gaji melainkan upah. Pekerjaan sebagai petani, buruh, nelayan, asisten
rumah tangga, dan sejenisnya merupakan contoh Okupasi. Tipe pekerjaan
lainnya adalah profesi yang memerlukan keahlian dan ketrampilan
melakukannya, dan keahlian dan ketrampilan ini diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan. Mereka yang bekerja dalam tipe pekerjaan
seperti ini tidak menerima upah melainkan menerima honor (baik berupa
materi maupun nonmateri). Pekerjaan sebagai dokter, tenaga medis
(perawat dan bidan), dokter gigi, guru dan dosen, wartawan (jurnalis,
reporter), pustakawan, pengacara, akuntan, dan sejenisnya merupakan
contoh pekerjaan yang disebut profesi.

1
Ketiga, pengelompokan berdasarkan hobby, seperti olah raga
(berbagai macam jenis olah raga), dan minat pada berbagai jenis seni,
seperti musik, vokal, sastra, film, dan tari. Keempat, pengelompokan
berdasarkan jenis usaha yang dikelola, seperti tekstil, hotel dan restaurant,
transportasi, developer, farmasi, distribusi logistik, penerbit dan lain
sebagainya. Kelima, pengelompokan berdasarkan komitmen
pemberdayaan kelompok masyarakat marjinal, seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat, dan Organisasi Nonpemerintah. Lima macam
pengelompokan ini hanya yang tampak menonjol saja karena masih
banyak macam pengelompokan lainnya.
Karena setiap kelompok dari berbagai macam pengelompokan
tersebut mempunyai kepentingan yang sama sehingga mereka
membentuk organisasi. Organisasi seperti ini dalam masyarakat disebut
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sedangkan dalam Ilmu Politik
disebut Kelompok Kepentingan (interest group). Organisasi ini
merupakan sarana mewujudkan dan memperjuangkan kepentingan
bersama suatu kelompok. Sebagian kepentingan bersama dapat
diwujudkan secara internal tetapi sebagian kepentingan bersama
kelompok tersebut hanya dapat diwujudkan bila kebijakan publik yang
dibuat dan dilaksanakan oleh Pemerintah mendukungnya. Karena itu
organisasi yang dibentuk juga berusaha mempengaruhi kebijakan
Pemerintah.
Setiap tahun Gubernur menetapkan Upah Minimum Regional yang
harus dibayar manajemen perusahaan. Karena itu berbagai macam
organisasi buruh, seperti Federasi Buruh, dan Serikat Pekerja, dan
organisasi penguhasa, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia berusaha
mempengaruhi Pemerintah Daerah agar keputusan Gubernur tentang
UMR sesuai dengan tuntutan mereka.
Yang menjadi unsur saling berhubungan secara fungsional dalam
sistem perwakilan kepentingan adalah kepentingan dan kelompok
kepentingan. Sistem perwakilan kepentingan muncul karena: (1) setiap
kelompok masyarakat memiliki kepentingan bersama yang sebagian
diantaranya hanya dapat dipenuhi oleh Kebijakan Publik yang dibuat dan
dilaksanakan Pemerintah; (2) warga negara memiliki kebebasan
berkumpul, berasosiasi, dan menyatakan pendapat; dan (3) karena harus
mendengarkan suara berbagai kelompok masyarakat, maka Pemerintah
juga mendorong pembentukan organisasi seperti itu demi memudahkan
proses musyawarah. Bila kepentingan kelompok disuarakan oleh suatu
organisasi, maka Pemerintah akan mendengarkan suara yang diajukan
oleh organisasi yang mewakili kelompok masyarakat. Kelompok
kepentingan kemudian berfungsi memperjuangkan kepentingan
kelompok masing-masing melalui proses politik.

2
Setiap struktur masyarakat tersebut memiliki kepentingan yang
relevan dengan unsur masyarakat tersebut. Petani memiliki kepentingan
yang berbeda dengan pedagang, buruh memiliki kepentingan yang
berbeda bahkan bertentangan dengan pengusaha. Suku bangsa atau jenis
kelamin juga memiliki kepentingan sendiri. Setiap cabang olah raga juga
memiliki kepentingan sendiri. Untuk memperjuangkan kepentingan
tersebut mereka yang termasuk dalam salah satu unsur masyarakat
kemudian membentuk kelompok kepentingan atau organisasi
kemasyarakatan. Jadi fungsi Kelompok Kepentingan adalah merumuskan
apa yang menjadi kepentingan Bersama, dan memperjuangkan
kepentingan kelompok tersebut melalui proses politik sehingga menjadi
bagian dari Kebijakan Publik. Dari sini kemudian lahir dua model sistem
perwakilan kepentingan, yaitu sistem perwakilan kepentingan
Korporatisme (baik korporatisme negara maupun korporatisme
masyarakat), dan sistem perwakilan kepentingan Pluralisme.

Dua Model Sistem Perwakilan Kepentingan


Kedua sistem perwakilan kepentingan ini berbeda derajad
kebebasan dalam tiga hal: kebebasan membentuk wadah, kebebasan
dalam merumuskan dan memerjuangkan kepentingan, dan kebebasan
dalam memilih pengurus. Bila ketiga kebebasan ini hanya dijamin secara
terbatas, maka terbentuklah Sistem Perwakilan Kepentingan
Korporatisme Negara. Satu kelompok kepentingan hanya diizinkan
membentuk satu wadah tunggal, seperti kelompok buruh hanya diizinkan
memiliki satu wadah, seperti Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI),
dan kelompok guru hanya diizinkan membentuk satu wadah, yaitu
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan wartawan hanya
diizinkan membentuk satu wadah yang disebut Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI). Perumusan kepentingan tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan pemerintah. Seseorang dapat dipilih menjadi Ketua dan
anggota Pengurus lainnya setelah mendapat restu dari menteri yang
membidangi jenis kepentingan tersebut. Siapa yang menjadi Ketua PWI
dan perumusan kepentingan wartawan harus mendapat restu dari Menteri
Penerangan pada zaman Orde Baru.
Bila ketiga kebebasan tersebut dijamin secara luas, maka
terbentuklah Sistem Perwakilan Kepentingan Pluralisme. Warga
masyarakat bebas membentuk lebih dari satu wadah untuk setiap jenis
kepentingan, seperti kelompok guru di Indonesia sekarang ini diwakili
empat organisasi buruh. Anggota wadah tersebut juga bebas merumuskan
kepentingan dan memilih pengurus. Organisasi Wartawan di Indonesia
sekarang ini tidak hanya PWI tetapi juga Asosiasi Jurnalis Independen.
Organisasi Petani dewasa ini tidak hanya Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) tetapi juga terdapat dua atau lebih organisasi petani

3
lainnya. Akan tetapi apabila hanya satu organisasi dokter, yaitu Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) atau satu organisasi para ekonom, yaitu Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) bukan karena diharuskan oleh
Pemerintah melainkan semata-mata kesepakatan internal organisasi
tersebut.
Korporatisme dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu
korporatisme negara (state cororatism) dan korporatisme masyarakat
(societal corporatism). Bila wadah tunggal untuk suatu kelompok
kepentingan dibentuk atas kesepakatan para anggota suatu kelompok
kepentingan, bukan karena diharuskanlah pemerintah, maka sistem
perwakilan kepentingan ini disebut sebagai korporatisme masyarakat
(societal corporatism). Di Amerika Serikat hanya ada satu organisasi
buruh. Organisasi buruh yang tunggal ini bukan karena diharuskan oleh
pemerintah melainkan kesepakatan kaum buruh sendiri untuk memiliki
suatu organisasi yang efektif dalam memperjuangkan tuntutan. Juga
hanya satu organisasi dokter di Amerika, yaitu American Medical
Association yang didirikan pada tahun 1847 dan diresmikan sebagai
badan hukum pada tahun 1897.
Sistem perwakilan kepentingan korporatism negara dapat ditemui
pada negara yang menerapkan Sistem Politik yang Otoriter yang memang
membatasi kebebasan warga negara. Negara dengan sistem politik
otoriter ini justeru menggunakan semua kelompok kepentingan untuk
mendukung program pembangunan Pemerintah. Indonesia pada masa
Orde Baru menerapkan Sistem Perwakilan Kepentingan Korporatisme
Negara sebagai bagian dari Sistem Politik Otoriter yang diterapkan rezim
Order Baru. Sistem perwakilan politik Pluralisme dapat ditemui pada
negara dengan Sistem Politik Demokrasi yang memang menjamin
kebebasan warga negara. Sejak era reformasi, Indonesia mengadopsi
Sistem Perwakilan Kepentingan Pluralisme. Korporatisme masyarakat
juga dapat ditemui di negara dengan sistem politik demokrasi.

Sistem Perwakilan Politik


Semua negara demokrasi di dunia ini mengadopsi demokrasi
perwakilan (representative democracy) setidak-tidaknya untuk sebagian
besar urusan pemerintahan. Sejumlah negara demokrasi memang
menyerahkan pengambilan keputusan kepada rakyat melalui referendum
untuk sejumlah kecil isu publik, seperti euthanasia (mercy killing) dan
perkawinan sejenis. Tidak ada negara demokrasi yang berukuran kecil
sekalipun (baik dari segi luas wilayah maupun jumlah penduduk) yang
menggunakan demokrasi langsung. Mengapa semua negara demokrasi
menerapkan demokrasi perwakilan? Banyak faktor yang menjadi
penyebab, seperti luas wilayah, jumlah penduduk, kemajemukan
masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal sehingga aspirasi dan

4
kepentingan juga beragam bahkan bertentangan, kompleksitas
permasalahan negara, dan tidak semua warga negara peduli pada isu
publik. Semua faktor ini menyebabkan pengambilan keputusan tidak
mungkin diserahkan kepada setiap warga negara. Dengan kata lain
diperlukan representasi politik.
Konsep Representation setidak-tidaknya digunakan dalam kajian
Sosio-linguistik, dan Ilmu Politik. Dalam sosio-linguistik, kata dalam
bahasa dipandang mewakili arti dan makna tertentu, bahkan kata yang
sama acapkali mewakili makna yang berbeda dalam konteks yang
berbeda. Dalam Ilmu Politik, representasi politik diartikan sebagai
kegiatan menghadirkan aspirasi dan kepentingan mereka yang diwakili
dalm proses pembuatan keputusan politik. Untuk mengetahui apa yang
menjadi aspirasi dan kepentingan mereka yang diwakili, maka sang
Wakil perlu bertemu dan mendengarkan mereka yang diwakili tersebut.
Sang Wakil perlu memahami dan merumuskan aspirasi dan kepentingan
rakyat mulai dari yang tak terungkapkan, samar-samar, rasan-rasan
(kekecewaan ataupun harapan) sampai pada yang terungkap secara
ekplisit menjadi alternatif kebijakan publik untuk diperjuangkan dalam
proses pengambilan keputusan politik. Representasi politik berarti
mewakili kepentingan yang diwakili, yang berarti responsif terhadap
kepentingan yang diwakili. Representasi politik berarti menempatkan
aspirasi rakyat sebagai bagian dari kebijakan publik.
Konsep Representasi Politik setidak-tidaknya mengandung empat
1
unsur:
(a) Pihak yang Diwakili (represented): penduduk (orang), daerah
(ruang), bangsa dan negara.
(b) Pihak yang Mewakili (representatives): individu, partai politik,
NonGovernmntal Organization (NGO), dsbnya.
(c) Hal yang Diwakili: aspirasi, kepentingan, dan pendapat.
(d) Cara Mewakili : Mandat/Delegasi, Trustee/ Independen.
Dalam sistem politik demokrasi terdapat dua hal yang dipandang
perlu diwakili dalam pembuatan undang-undang, yaitu orang (penduduk,
rakyat, bangsa), dan ruang (wilayah, daerah berupa provinsi atau negara
bagian). Orang yang diwakili merujuk pada penduduk dengan segala
karakteristiknya baik secara horizontal (perbedaan suku bangsa, agama,
ras, jenis kelamin) maupun secara vertikal (pelapisan sosial, klas
1
Standford Encyclopedia of Philosophy: Political Representation,
plato.standford.edu/entries/political-representation/.

5
ekonomi, kasta, dan kekuasaan). Karena itu tidak jarang aspirasi dan
kepentingan penduduk tidaklah homogen melainkan heterogen. Ruang
yang diwakili tersebut merujuk karakteristik wilayah, apakah kontinental
(daratan) ataukah kepulauan, termasuk sumber daya alam daerah tersebut.
‘Tambang emas dan tembaga’ di Papua, ‘hutan dan batubara’ di
Kalimantan, ‘minyak di atas tanah dan minyak di bawah tanah,’ di
Sumatra dan ‘berbagai jenis ikan’ di Laut Banda (Maluku) harus diwakili
dalam proses pembuatan keputusan di Senayan (DPR , DPD dan MPR),
Jakarta, merupakan ungkapan untuk menunjukkan bahwa ruang itu perlu
diwakili dalam pembuatan kebijakan nasional.
Sejumlah negara demokrasi menetapkan dua lembaga perwakilan
yang berbeda untuk mewadahi kepentingan orang dan ruang ini. Dewan
Perwakilan Rakyat (House of Representatives, Parlemen) mewakili
orang/rakyat, sedangkan Senat atau Dewan Perwakilan Daerah mewakili
ruang. Akan tetapi tidak semua negara demokrasi membentuk lembaga
perwakilan yang berbeda untuk mewakili orang dan ruang tersebut.
Banyak negara demokrasi hanya membentuk satu lembaga perwakilan
untuk mewakili aspirasi orang/rakyat dan ruang/wilayah sekaligus. Akan
tetapi perlu dibedakan antara Majelis Tinggi dan Majelis Rendah dari
DPR dan Senat pada pihak lain. Inggris dan Malaysia memiliki Majelis
Tinggi (House of Lords di Inggris, dan Dewan Negara di Malaysia) dan
Majelis Rendah (House of Commons di Inggris dan Dewan Rakyat di
Malaysia) tetapi kedua negara ini tidak menerapkan Bikameral. Amerika
Serikat dan Filipina memiliki DPR dan Senat karena kedua negara ini
mengadopsi Bikameral.

Dua Model Sistem Perwakilan Politik


Sistem perwakilan politik merujuk pada lima aspek. Pertama,
jumlah lembaga perwakilan yang keanggotaanya dipilih melalui Pemilu.
Kedua, jumlah Lembaga perwakilan yang memiliki kewenangan
membuat undang-undang. Ketiga, fungsi lembaga perwakilan: sebagai
miniatur Bangsa (keterwakilan, representativeness) ataukah, akuntabilitas
wakil rakyat kepada konstituen. Keempat, cara mewakili kepentingan
konstituen: mandat/delegasi ataukah perwalian (trustee). Dan kelima,
model representasi politik yang dilaksanakan.
Untuk aspek pertama dan kedua terdapat dua jenis sistem
perwakilan politik, yaitu unikameral dan bikameral. Kedua jenis sistem

6
perwakilan politik ini berbeda dalam dua hal: apakah semua anggotanya
dipilih melalui Pemilu, dan apakah keduanya memiliki kewenangan
membuat undang-undang mengenai sebagian atau semua jenis undang-
undang. Kalau hanya satu lembaga perwakilan saja yang anggotanya
dipilih melalui Pemilu dan satu saja yang memiliki kewenangan membuat
undang-undang, maka sistem perwakilan ini disebut unikameral. Apabila
keanggotaan dua lembaga perwakilan itu dipilih melalui Pemilu dan
keduanya memiliki kewenangan membuat undang-undang, maka sistem
perwakilan ini disebut bikameral. Inggris, Jepang, dan Jerman
menerapkan sistem perwakilan unikameral walaupun di ketiga negara ini
terdapat dua lembaga perwakilan tetapi yang memiliki kewenangan
membuat undang-undang hanya parlemen (Majelis Rendah) saja.
Amerika Serikat, semua negara Amerika Latin (seperti Argentina, Brazil
dan Mexico) dan Filipina menerapkan sistem perwakilan bikameral
karena DPR dan Senat sama-sama memiliki kewenangan membuat
undang-undang dan keanggotaan kedua lembaga ini dipilih melalui
Pemilu.
Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang telah
mengalami Perubahan empat kali, Indonesia memiliki dua lembaga
perwakilan, yaitu DPR mewakili penduduk dan DPD mewakili provinsi.
Berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 22D UUD 1945, sistem perwakilan
apakah yang diterapkan di Indonesia? Keanggotaan DPR dan DPD dipilih
melalui Pemilu tetapi hanya DPR yang memiliki kewenangan membuat
undang-undang. DPD hanya memiliki kewenangan mengajukan RUU
mengenai kepentingan daerah kepada DPR, ikut membahas RUU tentang
kepentingan daerah dengan DPR, dan dapat melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan undang-undang yang menyangkut kepentingan
daerah. Saya menggambarkan sistem perwakilan politik yang diadopsi
Indonesia seperti ini sebagai almost bicameral karena DPD hanya dalam
pengambilan keputusan saja tidak ikut.

Cara Mewakili Konstituen: Delegasi vs. Trustee


Sistem perwakilan politik juga menyangkut bagaimana mewakili
aspirasi yang diwakili. Bagaimana wakil rakyat dan wakil negara
bagian/provinsi mewakili konstituen? Setidak- Wakidiwakili/ konstituen,
yaitu mandat/delegasi dan trustee/perwalian. Mewakili dengan cara
mandat/delegasi berarti “yang mewakili” melakukan konsultasi dan

7
mendengarkan pendapat “yang diwakili” sebelum membuat keputusan di
lembaga perwakilan. Sebelum membuat keputusan di DPR atau Senat,
seorang wakil rakyat berkonsultasi lebih dahulu dengan konstituen.
Dalam cara mewakili sebagai mandate/delegasi sang Wakil tidak
memiliki keleluasaan dalam mengambil keputusan karena sang Wakil
semata-mata bertindak sebagai corong aspirasi dan kepentingan mereka
yang diwakili.
Mewakili dengan cara trustee/perwalian berarti “yang mewakili”
dipercaya mengambil keputusan berdasarkan program yang dijanjikan
pada masa kampanye. Pemilih memberikan suara kepada Partai karena
menilai aspirasinya sesuai dengan program yang ditawarkan Partai. Hal
ini tidak lain karena pada masa kampanye Pemilu, calon anggota DPR
atau Senat sudah menyampaikan kepada rakyat apa saja pola dan arah
kebijakan yang akan diperjuangkan menjadi bagian dari Kebijakan
Publik. Wakil rakyat tidak perlu berkonsultasi lebih dahulu dengan
konstituen karena konstituen sudah mengetahui apa yang akan diputuskan
oleh wakil rakyat. Kalau dalam mandat/delegasi, yang mewakili terikat
pada suara konstituen sedangkan dalam trustee/perwalian, para Pemilih
menempatkan Partai yang dipilih sebagai wali mereka, yaitu
memperjuangkan pola dan arah kebijakan publik yang dijanjikan kepada
rakyat pada masa kampanye Pemilu. Kalau dalam mandat/ delegasi, yang
mewakili secara periodik menyampaikan pertanggung-jawaban
(akuntabilitas) kepada yang diwakili, sedangkan dalam trustee/perwalian,
yang mewakili menyampaikan pertanggung-jawaban pada akhir masa
jabatan.
Wakil rakyat yang dipilih melalui sistem pemilihan umum
mayoritarian (setiap Dapil diwakili satu wakil, calon sebagai peserta
Pemilu, suara diberikan kepada calon, dan penetapan calon terpilih
berdasarkan suara terbanyak) cenderung menggunakan cara
mandat/delegasi dalam mewakili konstituen. Rakyat memilih calon
tertentu karena alternatif kebijakan yang ditawarkan. Akan tetapi karena
seorang wakil rakyat dapat saja mengubah alternatif kebijakan yang akan
diperjuangkan, maka konstituen selalu menuntut Wakil Rakyat
berkonsultasi lebih dahulu.
Sebaliknya wakil rakyat yang dipilih melalui sistem pemilihan
umum proporsional dengan daftar partai (setiap Dapil diwakili oleh
banyak wakil, partai politik sebagai peserta Pemilu, pencalonan dengan

8
sistem daftar partai, pemberian suara kepada partai, dan pembagian kursi
setiap Dapil kepada partai berdasarkan proporsi jumlah suara sah dan
penetapan calon terpilh berdasarkan nomor urut calon dalam daftar
partai), wakil rakyat cenderung menggunakan trustee/perwalian dalam
mewakili kepentingan konstituen. Kepercayaan itu diberikan kepada
partai karena partai politik memiliki ideologi yang diterjemahkan menjadi
alternatif kebijakan publik (memilih satu partai politik berarti memilih
jenis kebijakan publik tertentu). Sangat kecil kemungkinan suatu partai
politik mengubah ideologi/alternatif kebijakan di tengah jalan.

Keterwakilan vs Akuntabilitas
Aspek lain dari sistem perwakilan politik adalah dimensi apakah
yang dikedepankan dalam lembaga perwakilan: keterwakilan
(representativeness) seluruh unsur penduduk ataukah akuntabilitas wakil
rakyat? Sistem perwakilan politik yang lebih mengedepankan
keterwakilan cenderung menghasilkan lembaga perwakilan sebagai
miniatur penduduk atau masyarakat; sejauh mungkin semua unsur
masyarakat terwakili dalam lembaga perwakilan. Hal ini dapat dicapai
apabila anggota DPR/D dipilih melalui sistem pemilihan umum
proporsional dengan daftar partai. Salah satu karakteristik sistem
pemilihan umum ini adalah jumlah kursi yang diperebutkan di setiap
Dapil sangat besar (multi-members constituency).
Sebaliknya, sistem perwakilan politik yang lebih mengedepankan
akuntabilitas wakil rakyat cenderung menghasilkan lembaga perwakilan
yang dapat dikontrol oleh konstituen. Artinya, apabila wakil rakyat tidak
menaati janjinya konstituen dengan segera dapat menuntut
pertanggungjawaban. Apabila pertanggungjawaban tidak memuaskan,
maka konstituen dapat mengajukan petisi untuk menarik (recalled) wakil
rakyat tersebut dari lembaga perwakilan. Atau, setidak-tidaknya
konstituen dapat menjatuhkan vonis: tidak lagi memilih yang
bersangkutan pada Pemilu berikutnya.

Model Anglo-Saxon dan Kontinental


Siapakah yang mewakili konstituen atau bangsa? Setidak-tidaknya
terdapat dua model dalam hal pihak yang mewakili yang diwakili, yaitu
model Anglo-Saxon (Amerika Serikat, Inggris, Australia), dan model
Kontinental (Eropah Barat). Menurut model Anglo-Saxon, Individu

9
anggota DPR atau Senatorlah,-- yang dipilih oleh konstituen menjadi
wakil rakyat atau wakil negara bagian, yang mewakili konstituen (daerah
pemilihan). Menurut model ini, konstituenlah yang diwakili individu atau
senator tersebut. Individu atau Senatorlah yang mewakili konstituen
karena mereka dipilih menggunakan sistem pemilihan umum
mayoritarian (single-member constituency, seorang kandidat dari setiap
partai politik, pemberian suara kepada seorang kandidat, dan
menggunakan formula suara terbanyak).
Karena terpilih berdasarkan suara mayoritas, maka pengambilan
keputusan di dalam lembaga perwakilan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak pula. Karena itu, wakil rakyat atau wakil negara bagian ini
mewakili pihak yang diwakili menggunakan cara mandat/delegasi. Untuk
meneliti apakah wakil rakyat atau wakil negara bagian/provinsi
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituen ataukah tidak,
konstituen atau seorang peneliti cukup mengecek track of record sang
anggota DPR atau Senator dalam pembuatan keputusan di lembaga
perwakilan (apa posisi sang wakil dalam setiap jenis undang-undang yang
diputuskan).
Menurut model Kontinental, yang diwakili dalam pembuatan
undang-undang bukan semata-mata konstituen melainkan mewakili
kepentingan bangsa secara keseluruhan atau seluruh konstituen. Menurut
model ini, partai politik secara kolektiflah yang mewakili bangsa secara
keseluruhan. Partai politiklah yang dipandang mewakili bangsa dan
negara karena partai politik (dengan daftar calon tertutup dan tidak
disebutkan dalam Surat Suara) lah yang dipilih oleh rakyat dalam
pemilihan umum. Karena itu untuk memilih anggota DPR digunakan
sistem pemilih umum proporsional (proportional representation), yang
ditandai oleh daerah pemilihan berukuran besar (multi-members
constituency), partai politik sebagai peserta Pemilu, partai politik
mengajukan daftar nama calon berdasarkan nomor urut (party-list),
pemberian suara kepada partai politik secara kategorik, dan menggunakan
formula pemilihan perwakilan berimbang dan penetapan calon terpilih
berdasarkan nomor urut calon dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
Karena partai politiklah yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan
umum berdasarkan nomor urut calon, dan karena itu partailah secara
kolektif mewakili bangsa secara keseluruhan, maka pengambilan
keputusan di lembaga perwakilan tidak dilakukan oleh individu anggota

10
DPR melainkan oleh fraksi atas nama partai politik. Kalau hendak
meneliti apakah sang wakil memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
yang diwakili ataukah tidak, seorang warga negara atau peneliti tidak
dapat mengecek apa posisi anggota DPR dalam setiap pembuatan
undang-undang karena keputusan tidak dilakukan berdasarkan suara
terbanyak tetapi dapat mengecek apa pendapat fraksi dalam setiap
pembuatan undang-undang.

Model Representasi Politik: Formalistik atau Substantif


Apakah secara empirik individu anggota DPR atau Senator
mewakili konstituen yang diwakili? Apakah secara empirik partai politik
mewakili kepentingan bangsa? Jawabannya: belum tentu. Karena itu para
ilmuwan politik mengajukan berbagai klasifikasi representasi politik.
Salah satu klasifikasi representasi politik yang cukup sederhana adalah
Representasi Formalistik, Representasi Deskritif, Representasi Simbolik,
dan Representasi Substantif.2 Disebut sebagai Representasi Formalistik
karena menurut UUD, “sang wakil” mendapat otoritas mewakili “yang
diwakili” melalui pemilihan umum, dan “sang wakil” akuntabel kepada
“yang diwakili.” Jenis representasi ini sering pula dinamai electoral
representation karena mendapatkan otoritas mewakili melalui Pemilu.
Karena melakukan representasi kepentingan yang diwakili, representasi
formalistik ini disebut pula sebagai stand for yang diwakili.
Representasi kategori kedua disebut sebagai Representasi
Deskriptif karena suatu kelompok masyarakat, seperti warga negara
berjenis kelamin perempuan, diwakili oleh satu atau lebih warga
kelompok masyarakat tersebut (perempuan diwakili oleh perempuan di
Parlemen). Suatu kelomok etnik diwakili oleh anggota kelompok etnik
tersebut. Representasi Simbolik merujuk pada menghadirkan makna
suatu simbol dalam perumusan suatu kebijakan.
Disebut sebagai Representasi Substantif karena pihak yang
mewakili tidak mendapat otoritas mewakili suatu daerah pemilihan
tertentu melalui pemilihan umum tetapi memiliki komitmen dan
kepedulian memperjuangkan secara substantif (mewakili) kepentingan
berbagai kelompok masyarakat yang tak terwakili. Representasi jenis ini
sering pula disebut sebagai Nonelectoral representation karena tidak
mendapat otoritas mewakili melalui Pemilu atau sebagai Citizen
2
Hanna F. Pitkin, The Concept of Representation, (Berkeley: University of
California, 1967).

11
Representation karena sejumlah individu warga negara merasa
terpanggil memperjuangkan aspirasi dan kepentingan para warga negara
lainnya yang selama ini tidak terwakili dalam pengambilan keputusan.
Pihak yang acapkali melakukan representasi substantif ini tidak hanya
tokoh bangsa (seperti Soekarno dan Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia “atas nama Bangsa Indonesia”) tetapi juga
gerakan sosial baru (Nongovernmental Organizations), dan Organisasi
Keagamaan. Karena memperjuangkan secara substantif kepentingan
berbagai kelompok masyarakat yang selama ini tidak terwakili, maka
representasi substantif disebut pula sebagai acting for alias bertindak atas
nama. Hanya saja representasi substantif ini secara formal (peraturan
perundang-undangan) tidak memiliki kewajiban mempertanggung-
jawabkan tindakannya kepada yang diwakili melainkan secara moral
memiliki kewajiban mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya
kepada yang diwakili.
Kalaupun representasi formalistik mewakili yang diwakili dan
bertanggung-jawab kepada yang diwakili, jenis representasi substantif
harus tetap diberi akses dalam pengambilan keputusan di lembaga
perwakilan karena representasi formalistik memiliki keterbatasan dalam
lingkup kepentingan masyarakat yang diwakili. Di berbagai negara
demokrasi baru, secara empirik yang memperjuangkan kepentingan
lapisan bawah atau pihak yang tertindas bukan partai politik –yang secara
formal dipilih dan diberi gaji dan fasilitas untuk mewakili
konstituen atau bangsa melainkan gerakan sosial baru (NGO,
LSM) ataupun tokoh bangsa atau individu warga negara yang
peduli atau merasa terpanggil.
Fungsi Sistem Perwakilan Politik
Lembaga perwakilan memiliki enam fungsi utama. Pertama,
mengajukan RUU inisiatif untuk kemudian dibahas bersama dengan
Pemerintah. Kedua, membahas RUU yang diajukan oleh Presiden.
Ketiga, menyetujui atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) yang dibuat oleh Presiden. Keempat,
membahas RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Kelima, melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang oleh Pemerintah. Dan
keenam, menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan Presiden
atau memilih satu atau lebih calon penyelenggara negara dari daftar calon
yang diajukan oleh Presiden. Pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran,

12
pengawasan, dan konfirmasi ini sangat berkaitan erat dengan pola
hubungan Presiden dengan DPR dalam bentuk pemerintahan presidensial.
UUD Amerika Serikat mengatur pola hubungan kewenangan
Kongres dan Presiden dalam pelaksanaan fungsi legislatif sebagai
berikut. Kongres (Senat dan DPR) dapat membuat undang-undang
ataupun menetapkan Anggaran tanpa melibatkan ataupun persetujuan
Presiden. Hal ini dapat terjadi bila draft RUU atau Anggaran itu
mendapat persetujuan mayoritas anggota Senat dan DPR. Presiden berhak
mengajukan RUU kepada Kongres tetapi hanya akan dapat menjadi UU
bila disetujui oleh kedua badan Kongres. Berdasarkan hasil Pemilu 2014
(Mid-term Election 2014), baik Senat maupun DPR didominasi oleh
Partai Republik. Karena itu para peminpin Republik di Senat dan DPR
bersumbar kata akan menetapkan UU ataupun Anggaran tanpa
melibatkan Presiden Barack Obama dari Partai Demokrat.
Akan tetapi konstitusi Amerika Serikat memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk melakukan veto terhadap UU ataupun Anggaran
yang disepakati Kongres apabila UU itu dipandang tidak tepat baik dari
segi konstitusi maupun apa yang menjadi kepentingan rakyar Amerika
Serikat. Demi perimbangan kekuasaan, UUD Amerika Serikat
memberikan kewenangan kepada Senat untuk mengalahkan veto Presiden
bila sekurang-kurangnya 60 dari 100 anggota Senat menolak veto
Presiden tersebut. Berdasarkan hasil Pemilu pada awal November 2014,
Partai Republik hanya memperoleh 52 dari 100 kursi Senat sehingga
tidak mampu menolak veto Presiden. Perolehan kursi Partai Republik di
DPR memang semakin bertambah besar. Akan tetapi kalaupun Partai
Republik mencapai 2/3 anggota DPR, Partai Republik tidak akan mampu
mengatasi veto Presiden karena hanya mencapai 52 kursi di Senat. Senat
dan DPR harus mencapai kesepakatan untuk menetapkan suatu undang-
undang. Pada hal belum tentu semua anggota Senat atau DPR dari Partai
Republik akan menyetujui RUU tersebut. Akan tetapi bagaimanapun juga
Presiden Obama niscaya mengalami kesukaran besar dalam menghadapi
Kongres.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setelah mengalami
perubahan sebanyak empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002,
mengatur pola hubungan kewenangan DPR dengan Presiden dalam
pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran secara berbeda dari UUD
Amerika Serikat. Kedua konstitusi ini berupaya menjamin keseimbangan
kekuasaan antara kedua lembaga walaupun sama-sama mengadopsi
bentuk pemerintahan presidensial. Setiap pembahasan RUU menjadi UU
harus melibatkan Presiden. Berapapun jumlah RUU inisiatif yang
diajukan DPR tidak akan pernah menjadi UU bila Presiden tidak bersedia
membahas dan menyetujuinya. Sebaliknya berapun jumlah RUU yang
diajukan Presiden kepada DPR tidak akan pernah berubah menjadi UU

13
bila DPR tidak menyetujuinya. RAPBN yang dipersiapkan dan diajukan
oleh Presiden tidak akan pernah menjadi APBN bila DPR tidak
menyetujuinya. Bila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diajukan oleh
Presiden, maka Presiden dapat membentuk Peraturan Pemerintah untuk
memberlakukan APBN tahun sebelumnya. Singkat kata, Presiden dan
DPR memiliki kedudukan yang setara dalam pembuatan legislasi dan
anggaran. Yang menyimpang dari pola hubungan eksekutif dengan
legislatif dalam pemerintahan presidensial adalah kewenangan DPR
memilih dari para calon yang diajukan Presiden. Seharusnya kewenangan
DPR bukan memilih melainkan melakukan konfirmasi atas calon yang
diajukan (menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan
Presiden).
Untuk melaksanakan keenam fungsi tersebut, anggota DPR
dibekali sejumlah hak, seperti hak menyatakan pendapat, dipilih atau
memilih, mengajukan pertanyaan, mengajukan interpelasi, mengajukan
hak angket, dan melakukan amandemen. Sebagian besar hak ini harus
dilakukan secara kolektif diantara anggota, seperti hak interplasi, hak
angket, dan hak amandemen. Yang dapat digunakan secara individual
adalah hak bertanya.
Proses pengambilan keputusan di lembaga perwakilan dapat
dibedakan menjadi empat model. Pertama, model ‘hidmad kebijaksanaan’
melalui proses deliberasi, musyawarah, dialog berdasarkan argumentasi
yang masuk akal. Pandangan seseorang diterima bukan karena
dikemukakan oleh partai yang menguasai mayoritas kursi DPR melainkan
karena pandangan yang dikemukakan disertai alasan yang masuk akal
dan didukung oleh data yang memadai pula. Ketika seseorang menerima
pandangan pihak lain yang lebih dapat diterima tidak berarti dia kalah
melainkan karena menganggap pandangan itu sesuai dengan pandangan
dan kepentingannya. Inilah yang disebut rule by reason. Kedua, model
kompromi dalam perumusan suatu pasal atau kebijakan publik. Ketiga,
model pemungutan suara berdasarkan suara terbanyak (voting). Dan
keempat, model bancakan atau bagi-bagi Pasal, alokasi anggaran, dan
posisi.

***

Sistem Perwakilan Kepentingan

Dalam masyarakat terdapat Berbagai Macam Pengelompokan


berdasarkan Berbagai Macam Kriteria:

14
Jenis Kelamin: Pria dan Perempuan
Umur: Muda dan Lansia
Pekerjaan:
(a) Okupasi, sepert Petani, Buruh, Nelayan, dan Asisten
Rumah Tangga;

(b) Profesi, seperti Dokter, Pengacara,


Akuntan, Guru/Dosen, dan Wartawan;
(c) Usaha, seperti Tekstil, Farmasi,
Perumahan, Hotel dan Restoran, dan
Transportasi
Hobby, seperti Olah Raga (berbagai jenis Olah Raga)

Setiap Kelompok Memiliki Kepentingan yang Sama. Setiap


Kelompok membentuk Organisasi sebagai sarana untuk
mencapai kepentingan yang sama tersebut. Organisasi ini
disebut Kelompok Kepentingan.

Kelompok Kepentingan Dibentuk karena


(1) Terdapat kepentingan yang sama untuk diperjuangkan
(2) Setap Warga Negara memiliki Hak Berserikat, Hak
Menyatakan Pendapat
(3) Pemerintah dan DPR wajib Mendengarkan Suara
Rakyat, maka akan lebih mudah bila setiap kelompok
memiliki wadah untuk menyuarakan kepentingan
kelompok.

Sistem Perwakilan Kepentingan dapat dibedakan menjadi Dua


Model berdasarkan Derajad Kebebasan dalam Tiga Hal:

15
(a) Kebebasan Membentuk Wadah
(b) Kebebasan Merumuskan dan Memperjuangkan
Kepentingan
(c) Kebebasan Memilih Pengurus.

Kedua Model Sistem Perwakilan Kepentingan:


(1) Korporatisme Negara:
(a) Dibatasi hanya diizinkan membentuk Satu Wadah
untuk Satu Kelompok Kepentingan
(b) Rumusan Kepentingan yang dapat Diperjuangkan
Harus Sesuai Kebijakan Pemerintah
(c) Pengurus Organisasi Harus Telah Mendapat
Persetujuan Pemerintah.

(2) Pluralisme: setiap Kelompok Kepentingan Bebas:


(a) Membentuk Satu atau Banyak Wadah
(b) Merumuskan dan Memperjuangkan Kepentingan
(c) Memilih Pengurus.

Sistem Perwakilan Kepentingan Korporatisme Negara


Digunakan untuk Mendukung Sistem Politik Otoriter.

Sistem Perwakilan Kepentingan Pluralisme Diterapkan oleh


Sistem Politik Demokrasi.

Sistem Perwakilan Politik

16
Demokrasi: Langsung dan Perwakilan
Demokrasi Langsung: Pemilih yang Membuat Keputusan
Demokrasi Perwakilan: Wakil Rakyat yang Membuat
Keputusan atas Nama Rakyat

Semua Negara Demokratis Mengadopsi Demokrasi Perwakilan


walaupun untuk Beberapa Isu Menggunakan Demokrasi
Langsung

Tujuh Aspek Sistem Perwakilan Politik:


(1) Apa yang Diwakili
(2) Siapa yang Mewakili
(3) Apa Substansi yang Diwakili
(4) Bagaimana Mewakili Kepentingan
(5) Berapa Jumlah Lembaga Perwakilan Politik
(6) Apa Karakter Lembaga Perwakilan Politik
(7) Tipe Representasi yang Dilakukan.

Apa yang Diwakili:


(a) Orang atau Rakyat
(b) Ruang atau Daerah Provinsi atau Negara Bagian

Siapa yang Mewakili:


(a) Anggota Dewan
(b) Partai Politik

Apa Substansi yang Diwakili:


(a) Aspirasi : Harapapan atau Kecemasan yang Berkaitan
dengan Kehidupan
(b) Pendapat: Setuju atau Tidak Setuju terhadap suatu
Rencana Kebijakan.

17
Bagaimana Mewakili Kepentingan:
(a) Mandat/Delegasi: Anggota Dewan Konsultasi dengan
Konstituen sebelum Membuat Keputusan
(b) Perwalian/Trustee: Aspirasi yang Diwakili Sesuai
dengan Pola dan Arah Kebijakan yang Ditawarkan
Partai pada Kampanye Pemilu.

Berapa Jumlah Lembaga Perwakilan Politik:


(a) Unikameral
(b) Bikameral.

Unikameral:
(a) Hanya Satu Lembaga Perwakilan Politik
(b) Semua Anggotanya Dipilih Melalui Pemilu
(c) Mempunyai Kewenangan Membuat Undang-Undang.

Bikameral:
(a) Dua Lembaga Perwakilan Politik: Satu Mewakili
Rakyat, dan Satu Lagi Mewakili Daerah Provinsi atau
Negara Bagian
(b) Semua Anggotanya Dipilih Melalui Pemilu
(c) Keduanya Mempunyai Kewenangan Membuat Semua
atau Sebagian Jenis Undang-Undang.

Karakter Lembaga Perwakilan Politik:


(a) Representativeness (Keterwakilan) atau Miniatur
Bangsa
(b) Akuntabilitas.

18
Lembaga Perwakilan Politik yang Berkarakter Miniatur Bangsa
Cenderung Diwakili Partai dan Menggunakan Sistem Pemilu
Proporsional Daftar Calon Partai.

Lembaga Perwakilan Politik yang Berkarakter Akuntabilitas


Cenderung Diwakili Anggota Dewan dan Menggunakan Sistem
Pemilu Mayoritarian atau Pluralitas (First Pass The Post).

Tipe Representasi yang Dilaksanakan:


(a) Formalitas
(b) Deskriptif
(c) Simbolik
(d) Substantif.

Anggota Dewan atau Partai Politik Peserta Pemilu yang


Memiliki Kursi di DPR cenderung Melaksanakan Tipe
Formalitas, yaitu menjadi representasi karena Dipilih Melalui
Pemilu.

Yang Melaksanakan Tipe Representasi Substantif pada negara


Demokrasi Baru cenderung diwakili oleh Organisasi Masyarakat
Sipil (NGO, Media, dan Ormas), Tokoh Bangsa, ataupun
Akademisi.

Representasi seperti ini acapkali disebut sebagai Nonelectoral


representation karena tidak mendapat otoritas mewakili
melalui Pemilu atau sebagai Citizen Representation karena
sejumlah warga negara merasa Terpanggil Menyuarakan
Aspirasi Masyarakat.

19
Fungsi Sistem Perwakilan Politik, seperti DPR dan DPD/Senat:
(a) Membentuk Undang-Undang (legislasi):
Mengajukan RUU Inisiatif, dan Membahas RUU yang
Diajukan Presiden
(b) Menyetujui atau Menolak Peraturan Pemerintah
Penggangti Undang-Undang (Perppu)
(c) Menetapkan APBN (budget): Menyetujui atau Menolak
RAPBN yang Diajukan Presiden
(d) Melaksanakan Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-
Undang dan APBN
(e) Menyetujui atau Memilih seorang atau lebih menjadi
Penyelenggara Negara.

Model Pembuatan Keputusan di DPR dan DPD/Senat:


(1) Rule by Reason: Musyawarah untuk Mufakat,
Deliberatif, Dialog
(2) Kompromi
(3) Pemungutan Suara
(4) Kolutif (bancaan).

Tata Tertib DPR dan DPRD menyebut dua model pembuatan


keputusan, yaitu Musyawarah untuk Mufakat, dan Pemungutan
Suara. Model yang Paling Banyak Digunakan (kolutif alias
bancaan) justeru tidak disebut dalam Tata Tertib DPR atau
DPRD.

20

Anda mungkin juga menyukai