Anda di halaman 1dari 2

Jakarta, CNN Indonesia -- Penegakan hukum dan pengawasan yang lemah terhadap hak-hak

buruh menjadi persoalan klasik yang tidak kunjung tuntas. Banyak kasus pelanggaran hak-hak
buruh oleh pengusaha yang belum memperoleh titik temu.

Kasus paling hangat yang membuat kepala orang menggeleng ialah pengusaha asing yang
kabur membawa upah seluruh karyawan. Ada pula beberapa perusahaan yang melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Sebanyak 3.000 karyawan PT Selaras Kausa Busana (SKB) belum menerima gaji sejak
Agustus 2018. Para buruh terpaksa gigit jari lantaran direktur perusahaan yang berasal dari
Korea Selatan malah membawa kabur modal perusahaan sebesar Rp90 miliar yang
seharusnya menjadi gaji karyawan.
Tak tinggal diam, serikat pekerja telah mengadukan kasus tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja
Kota Bekasi hingga Kementerian Ketenagakerjaan, Namun, perjuangan belum membuahkan
hasil.

Sebelumnya, bergulir pelanggaran hak pekerja lain yang belum rampung. Sebanyak 254 eks-
karyawan PT Modern Sevel Indonesia (MSI) belum memperoleh upah yang totalnya senilai
Rp7,2 miliar. Karyawan pengelola ritel Sevel Eleven (Sevel) itu sudah menuntut haknya selama
lebih dari satu tahun
Belum lagi, kasus pelanggaran upah minimum oleh beberapa perusahaan. Adapula perusahaan
yang belum mendafarkan pekerjanya sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan.

Menanggapi fenomena kasus pelanggaran hak pekerja, Kasubdit Pengawasan Norma Waktu
Kerja, Waktu Istirahat, dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) FX
Watratan menjelaskan pihaknya melakukan pengawasan mengacu kepada Standar
Operasional Prosedur (SOP) atau ketentuan yang berlaku.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, saat ini tim pengawas
ketenagakerjaan merupakan otonomi daerah, sehingga pengawasan ketenagakerjaan berada
di level provinsi. Sebelumnya, tim pengawas berada hingga tingkat kabupaten dan kota.

Analisis:
Bisa kita lihat dari kasus diatas bahwa pelanggaran terhadap hak-hak buruh sampai sekarang
tidak tuntas-tuntas dikarenakan banyaknya pengusaha-pengusaha yang tidak memikirkan hak-
hak para buruhnya. Dan pada berita tersebut juga banyak contoh kasus-kasus pelanggaran hak
para pekerja. Maka dari itu, pemerintahan daerah pun melakukan pengawasan pada sejumlah
daerah yang rawan terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak pekerja tersebut.
tirto.id - Selasa, 22 November 2016 lalu, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan
membebaskan Tigor dan Obed (pengabdi bantuan hukum), Hasyim (mahasiswa), dan 23 buruh
dari semua dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum. Mereka ditangkap karena aksi
menuntut pembatalan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada 30
Oktober 2015.

Pemberian upah yang layak kepada pekerja sudah diatur berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat
(2) dan 28D ayat (2), yang menyebutkan warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan, upah,
dan penghidupan yang layak. Kovenan Internasional Mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya Pasal 7 juga menegaskan bahwa seseorang berhak mendapatkan pekerjaan dan upah
yang layak yang tidak bersifat diskriminatif.

Penangkapan Tigor, Obed, Hasyim, dan kawan-kawan pekerja lainnya memperlihatkan


buruknya perlindungan hak para pekerja/buruh Indonesia. Ini bisa terjadi kepada siapa saja.

Tidak Ada Jaminan Hak Bagi Pekerja di Indonesia


ITUC Global Rights Index yang dilansir International Trade Union Confederation
menggambarkan negara-negara terburuk di dunia bagi pekerja dengan memberi peringkat 139
negara dalam skala mulai 1-5 berdasarkan tingkat penghormatan terhadap hak-hak pekerja.

Hak-hak pekerja tidak ada di negara-negara dengan nilai 5 dan pelanggaran terjadi secara tidak
teratur di negara-negara yang mendapat nilai 1. Indeks tersebut mencakup standar
ketenagakerjaan utama yang diakui secara internasional, khususnya hak sipil, hak untuk
berunding secara kolektif, hak untuk mogok kerja, hak untuk mendirikan atau bergabung
dengan serikat pekerja dan hak untuk berserikat secara bebas.

Sejak 2015, rata-rata nilai indeks negara-negara di Eropa adalah 2. Sementara negara-negara
di Asia Pacific adalah 4. Pada tingkat ASEAN, hanya Singapura yang mendapat nilai 3. Nilai ini
mengindikasikan adanya pelanggaran hak secara regular, baik dari pemerintah dan/atau
perusahaan yang secara teratur mencampuri hak pekerja. Mereka juga gagal untuk menjamin
aspek penting dari hak-hak ini.

Sementara, nilai indeks Indonesia berada di bawah Singapura dan Thailand. Pada 2014 dan
2015, Indonesia memperoleh nilai 4, artinya ada pelanggaran hak pekerja yang dilakukan
secara sistematis. Dalam hal ini, pemerintah dan/atau perusahaan terlibat dalam upaya serius
untuk menghancurkan suara kolektif pekerja yang menempatkan hak-hak dasar di bawah
ancaman.
Analisis:

Bisa kita lihat diatas bahwa pekerja di Indonesia tidak diberikan hak untuk mendapatkan upah. Dalam
berita diatas juga menjelaskan bahwa Indonesia bahwa pelanggaran hak terhadap para pekerja sudah
sering terjadi. Maka dari itu, pemerintah juga harus menanggapi hal tersebut dan juga harus dapat
menanggulanginya.

Anda mungkin juga menyukai