Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SENGKETA INTERNASIONAL
SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN TIMOR LESTE

NAMA : DIANA ROSEMALYA SYAHPUTRI


NIM : 183124330050016
SEMESTER :2
MATA KULIAH : HUKUM ADAT
DOSEN : LASMAULI N. SIMARMATA, SH., MH

UNIVERSITAS MPU TANTULAR


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
TAHUN AJARAN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Di era modern ini banyak sekali negara yang melakukan hubungan
dengan negara lain untuk memenuhi kebutuhan negaranya. Hubungan yang
dijalin tersebut terikat dengan hukum internasional. Tentu kita mengetahui
dengan adanya hukum internasional sangat berdampak positif dalam menjaga
ketertiban hubungan internasional. Namun, belum tentu suatu hubungan
hukum yang terjadi antara para pihak tidak selalu berjalan lancar. Adakalanya
timbul ketidakserasian yang kemudian menimbulkan sengketa diantara kedua
belah pihak. Wilayah merupakan hal yang sering disangkut pautkan dengan
kedaulatan. Saat wilayah suatu negara dilanggar oleh negara lain, sama dengan
mengganggu kedaulatan suatu negara.
Sama halnya dengan negara Indonesia dan Timor Leste, karena suatu
wilayah kedua negara tersebut bersengketa. Timor leste merupakan suatu
negara yang dulunya termasuk kedalam wilayah Indonesia. Setelah merdeka
pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Leste resmi memisahkan diri dan membentuk
negara baru yaitu Republic Rakyat Demokratik Timor Leste. Persoalan
kemerdekaan Timor Leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi pemerintah
Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah memilih
opsi untuk memerdekaan Timor Leste.
Persoalan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia tidak selesai sampai
disitu saja, masalah pelik yang sering muncul yakni masalah perbatasan. Ada
beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia – Timor Leste yang masih belum
disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara tersebut. Oleh karena itu,
makalah ini disusun untuk mengupas lebih jauh lagi konflik antara Indonesia dan
Timor Leste atas perebutan wilayah perbatasan tersebut juga dan mengupas
penyebab dan berbagai cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah-masalah yang akan dibahas :

1.      Sengketa Perbatasan Indonesia – Timor Leste

2.      Penyebab sengketa antara Indonesia – Timor Leste

3.      Cara penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor Leste


1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui sengketa internasional antara Indonesia – Timor Leste


2. Untuk pengetahui penyebab sengketa antara Indonesia – Timor Leste
3. Untuk mengetahui seberapa jauh penyelesaian sengketa antara Indonesia–
Timor Leste
4. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa antara Indonesia–Timor Leste
1.4 MANFAAT
1. Memberi  pengetahuan bagi peserta didik tentang sengketa internasional
antaraIndonesia – Timor Leste
2. Menambah wawasan peserta didik dan masyarakat umum tentang
penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor Leste

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SENGKETA ANTARA INDONESIA DENGAN TIMOR LESTE


Timor Leste merupakan bagian dari wilayah Indonesia setelah pemerintah
Indonesia menginvasikan wilayah tersebut. Namun karena adanya berbagai
macam gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi ABRI (sekarang
TNI) terhadap Timor Leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan
menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang akhir tahun 1990-
an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu Indonesia
juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998 yang
terkenal dengan sebutan reformasi. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose
Ramos Horta untuk meminta dukungan internasional guna menekan pemerintah
Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 agustus 1999 pemerintah Indonesia
dibawah presiden Habibie mengadakan referendum untuk Timor Leste dan
akhirnya Timor Leste ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Kemerdekaan Timor Leste membuktikan bahwa pemerintah Indonesia


tidak dapat menjaga wilayah kedaulatannya. Kemerdekaan yang diberikan  itu
juga tidak menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapi Indonesia malah
timbul persoalan-persoalan baru. Masalah perbatasan menjadi hal yang lumrah
untuk diperdebatkan mengingat kedua negara tersebut hanya berbatasan
dengan tapal batas. Hingga sekarang pemerintah Indonesia dan Timor Leste
masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan
seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan.
Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di
Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor
Leste, dengan luas 1.069 hektare dan Batas lainnya yang masih bermasalah
terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang
juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga
perbatasan yang banyak memakan korban jiwa, memang pada tahun 2005
pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu di Bali untuk membahas
masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang isu politik dan
ekonomi antar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan
persoalan.

2.2 PENYEBAB TERJADINYA SENGKETA ANTARA INDONESIA


DENGAN TIMOR LESTE
2.1.1 Pembangunan Jalan di Dekat Perbatasan
Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste
membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut
warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI
sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal
berdasarkan nota kesepakataan kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini
tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste.
Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang
pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik
Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu,
Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru
tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia
dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013.
2.1.2 Insiden Penggiringan 19 Ekor Sapi
Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan
19 ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste
masuk ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam
anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor
sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya dari empat desa di
Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga
Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste.
2.1.3 Pembangunan di Wilayah Zona Netral atau Telah Melebihi
Batas Wilayah.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-
Timor Leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur
Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan
Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan
warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh
pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor
Leste di zona netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati
batas dan masuk ke wilayah Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di
tanah tersebut dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling
ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda tajam
sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste.
Menurut Kepala Desa Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014)
mengatakan, enam titik yang berpotensi konflik itu yakni Subina di Desa Inbate,
Pistana di Desa Nainaban dan Desa Sunkaen, Tububanat di Desa Nilulat, Oben di
Desa Tubu, Nefonunpo dan Faotben di Desa Haumeni Ana.
2.1.4   Membuka lahan pertanian di zona netral
Puluhan warga distrik Oecusi Timor Leste dilaporkan membuka lahan
pertanian di zona netral Sunkaen (Pistana) yang merupakan satu dari empat titik
sengketa antara Indonesia dan Timor Leste yang berada disepanjang perbatasan
Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Luas lahan yang di garap
itu diperkirakan mencapai 3000 meter persegi. Pembukaan lahan tersebut tentu
saja merupakan sebuah pelanggaran.
Kedua negara sudah sepakat untuk menjadikan ke-empat lokasi
sengketa  sebagai daerah netral. Kedua negara tidak boleh melakukan aktifitas
apa pun di daerah itu.  Warga Oecusi secara sepihak telah mengklaim lokasi
Sungkaen sebagai wilayah Timor Leste. Empat titik sengketa di wilayah itu
meliputi Manusasi, Haumeni Ana, Inbate, dan Sungkaen. Pemerintah kedua
negara sudah berulang kali melakukan survei dan pemetaan dilokasi yang
menjadi sengketa. Apalagi tim negosiasi kedua negara memiliki bukti historis dan
sejarah yang berbeda mengenai kepemilikan lahan yang disengketakan.
2.3 PEMBAHASAN KASUS
2.1.1 Masalah Sengketa Perbatasan Indonesia – Timor Leste
Persetujuan Penegasan dan Penetapan Batas RI-RDTL tertuang dalam komunike
bersama yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirajuda dan
Ketua UNTAET Sergio Viera de Mello di Denpasar pada tanggal 2 Februari 2002.
Selanjutnya pemerintah RI dan UNTAET sepakat untuk segera melakukan
peninjauan lapangan sebagai langkah awal menuju penegasan dan penetapan
batas wilayah RI-RDTL.
2.1.2 Wilayah/Area Permasalahan Sengketa
1. Noel Besi / Citrana

Daerah sengketa terletak di Kabupaten Kupang, dengan luas + 1.069


Ha, berawal dari sengketa lahan. Pada waktu Timor Timur masih
bergabung dengan NKRI, daerah Noel Besi/Citrana merupakan daerah
perbatasan Kabupaten Kupang (NTT) dengan kabupaten Ambeno (wilayah
Timor Timur). Daerah ini dialiri Sungai Noel Besi yang bermuara di selat
Ombai dimana sejak jaman Portugis aliran sungai mengalir di sebelah kiri
daerah sengketa.

Dari aspek yuridis, batas Negara menurut Treaty/Traktat 1904


Belanda-Portugis disebutkan muara Sungai Noel Besi mempunyai Azimuth
kompas 300 47’ NW kearah pulau Batek dan dari aspek Teknis (menurut
Toponimi) nama Sungai Noel Besi terdapat di sebelah timur Sungai Nono
Noemna. Mengingat adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam
tentang batas darat kedua Negara, masing-masing merasa perlu adanya
data/analisis yang lebih lengkap dan akurat.

         2. Bijael Sunan/Manusasi

Daerah sengketa meliputi daerah seluas ± 142,7 Ha, dikarenakan


adanya perbedaan persepsi traktat/Treaty juga di sebabkan karena
masalah adat. Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai oleh masyarakat
Timor Barat, namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai masyarakat
Timor Timur (Portugis). Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang Sungai
Noel Miomafo digeser ke utara mengikuti puncak pegunungan/bukit
(watershed) mulai dari puncak Bijael Sunan sampai dengan barat laut
Oben yang ditandai dengan pilar Ampu Panalak.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemindahan batas


wilayah yang dilakukan secara adat dengan melintasi batas antar
Negara/batas Internasional, disaksikan oleh Gubenur Portugis dan NTT
pada saat itu. Pada kasus manusasi terdapat 2 hal yang cukup menarik,
pertama menurut Treaty 1904 garis batas mengikuti Thalweg (walaupun
prinsip median line termasuk disepakati), kedua menurut adat, garis batas
mengikuti punggung bukit (Bukit Oelnasi). Prinsip delineasi berdasarkan
watershed/punggung bukit juga dianut dalam Treaty 1904.

         3. Dilumil/Memo

Daerah bermasalah di Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup


daerah seluas ± 41,9 Ha, berawal dari sengketa lahan yang berada di delta
S. Malibaka sebagai hasil proses pengendapan. Dalam hal ini, pihak RI pada
awalnya menghendaki batas wilayah RI-RDTL berada disebelah timur
Delta, sedangkan RDTL menghendaki di sebelah barat Delta. Namun pada
perkembangan terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL tahun 2004),
pihak RI menghendaki penarikan batas sesuai median line yang membagi
dua river island/delta.

4. Subina-Oben.

Penyelesaian permasalahan unsurveyed hingga sekarang belum ada


kemajuan (titik temu). Oleh karena itu perlu adanya upaya penyelesaian
dengan merujuk pasal 6 Provisional Agreement RI-RDTL (2005) yang
melibatkan Pemda dan masyarakat setempat. Penegasan dan penetapan
batas antar kedua Negara dilakukan lewat forum kerjasama Technical Sub
Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR), yang dibuat
berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan oleh Belanda
dengan Portugis yaitu Colonial Boundary Treaty 1859, Convention 1893
dan Convention 1904, Masalah batas timbul karena adanya perbedaan
fisik lapangan dan penafsiran serta RDTL pernah menjadi salah satu
propinsi NKRI.

            Wilayah yang menjadi sengketa tersebut sering menimbulkan


konflik kekerasan antar warga desa dua negara. Kemiskinan didaerah
tersebut menjadi salah satu penyebab konflik, mengingat daerag free zone
(yang masih diklaim pihak Indonesia – Timor Leste) adalah lahan
persawahan yang cukup subur untuk pertanian. Sehingga terkadang warga
dari Timor Leste melakukan penanaman bibit pertanian dilahan tersebut
yang mana kegiatan tersebut tentunya sangat tidak disukai oleh warga NTT
diperbatasan. Seringnya pihak dari Timor Leste melakukan pembangunan
gedung maupun jalan yang melewati batas yang ditetapkan membuat
pihak Indonesia geram. Bentrok yang sering terjadi di beberapa desa yang
telah disebutkan diatas, perlu ada tindakan tegas dan negosiasi damai
antara dua pihak (Indonesia dan Timor Leste) untuk menyelsaikan konflik
tersebut, sebelum konflik ini berkembang menjadi besar sehingga dapat
menimbulkan korban jiwa.

3. Analisa Konflik Perbatasan Indonesia – Timor Leste

Konflik sendiri secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana dua


atau lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam waktu
yang sama,atau setidaknya aktor-aktor tersebut mempunyai posisi yang
dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang sama.
Secara lebih khusus, untuk sengketa dan konflik perbatasan, Paul K. Huth
menjelaskan ada tiga faktor mengapa wilayah perbatasan sering
disengketakan dan menjadi pemicu konflik, yaitu kandungan sumber daya
alamnya, Komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya
yang strategis secara militer.

Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste


memang lebih disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam)
antara kedua warga negara yakni warga desa Haumeni Ana, Kecamatan
Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan
warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Permasalahan mengenai
penetepan sengketa batas wilayah antar kedua negara juga menjadi
pemicu, namun pendekatan pembangunan ekonomi berupa
kesejahterhaan dan tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam konflik
tersebut.

Resolusi konflik secara umum dapat diartikan sebagai upaya yang


dilakukan untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dengan cara
mencari kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam
konflik.Menurut Vestergaard, resolusi konflik mencakup dua hal utama,
yaitu isu dan relasi (hubungan antar-aktor). Johan Galtung
memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi konflik.
Pertama, pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya untuk
mengurangi atau menghentikan kekerasan melalui intervensi yang
dilakukan oleh pihak penengah, umumnya dilakukan oleh militer. Kedua,
penciptaan perdamaian (peacemaking), yaitu upaya untuk menciptakan
kesepakatan politik antarpihak yang bertikai, baik melalui mediasi,
negosiasi, arbitrasi, maupun konsolidasi. Ketiga, pembangunan
perdamaian (peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan
sosial ekonomi pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara
damai. Dengan tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan
sampai ke akar masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut
tidak pecah kembali.

Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harus bertemu secara


langsung demi menciptakan perdamaian di perbatasan, jangan sampai
ketika konflik tersebut mengalami eskalasi baru dua negara muali
bertindak. Pendekatan semacam ini harus ditinggal, lebih baik mencegah
daripada mengobati. Persoalan kemapanan secara ekonomi maupun yang
disebut sebagai kesejahterahan adalah entry point yang harus segara
mendapat tindakan dari kedua negara. Intervensi militer memang
dibutuhkan dalam ranah pendekatan keamanan secara tradisional namun
pendekatan human security harus lebih diutamakan, karena ini
menyangkut persoalan hak warga negara dan menyangkut nama baik
negara serta keamanan negara tentunya. 

2.4 PENYELESAIAN KONFLIK


Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan
resmi dan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan
diskusi terkait sengketa batas. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012,
kedua negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar
96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut ada di sektor Timur
(Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik
Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan
Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah
enclave Oecussi sepanjang 119,7 km.

Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum


disepakati, hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan
penyelesaian yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste
dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEA menekankan bahwa penyelesaian
perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904
dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika adat-istiadat yang
berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan
agar pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan.

Pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan
bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Hal tersebut
dilakukan, terkait perundingan mengenai batas wilayah darat. Kemlu RI secara
konsisten sudah menyampaikan keberatan atas pembangunan secara permanen
oleh pihak Tinor Leste.  Perwakilan Kemlu RI juga telah melakukan pemeriksaan
lebih lanjut mengenai rincian letak wilayah perbatasan antara Indonesia dan
Timor Leste. Tak hanya Kemlu, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga
bernjanji untuk memeriksa informasi mengenai pendirian bangunan permanen
di wilayah sengketa ini.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sengketa antara Indonesia dan Timor Leste terjadi karena perebutan batas
wilayah yang hingga sekarang belum ada penyelesaiannya. Penyebab sengketa
tersebut karena Timor Leste berulang-ulang kali melanggar kesepakatan yang
telah disepakati tentang batas wilayah tersebut. Hingga sekarang telah dilakukan
berbagai upaya untuk meredam persoalan ini agar tidak ada lagi bentrok yang
hingga menimbulkan korban jiwa seperti pertemuan antara Perdana Menteri
Timor Leste, Xanana Gusmao dan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
melakukan diskusi terkait sengketa batas pada tahun 2012. Upaya diplomatik
juga telah dilakukan dan pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field
survey (survei lapangan bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan
Timor Leste

3.2 SARAN
Ciri khas Indonesia adalah bertindak jika sudah terjadi masalah. Begitu
pula dengan kasus ini setelah mendengar Timor Leste melakukan berbagai
pelanggaran baru bertindak. Pertemuan bilateral antara Indonesia dan Timor
Leste memang perlu dilakukan guna membahas konflik yang terjadi agar tidak
meluas. Harus ada pertemuan lanjutan untuk membahas masalah tersebut,
mengingat sengketa perbatasan ini apaila tidak ditangaani secara serius maka
akibatnya akan besar dan menggangu hubungan antar kedua negara.

Baik pihak Indonesia dan Timor Leste harus bisa memberikan pemahaman
mengenai batas-batas wilayah negara masing-masing. Sehingga masyarakat di
wilayah perbatasan faham betul mengenai tapal batas. Juga Pemerintahan
Indonesia harus melakukan pendekatan Democratic Peace, berupa
pembangunan SDM, ekonomi kesejahterahan dan tentunya pendidikan.
Pendekatan militer juga masih perlu digunakan, untuk mengamankan wilayah
perbatasan, setidaknya pemerintah Indonesia telah membangun penambahan
pos pantau perbatasan di beberapa titik perbatasan yang bersebarangan di
Timor Leste.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/analisa-konflik-perbatasan-
indonesia-timor-leste_5559e93ab67e610c7dd366af

https://nasional.tempo.co/read/news/2007/10/04/058109006/warga-timor-leste-buka-
lahan-pertanian-di-zona-netral

https://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/5559e93ab67e610c7dd366af/analisa-
konflik-perbatasan-indonesia-timor-leste

Anda mungkin juga menyukai