Anda di halaman 1dari 4

III.

PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Mulainya Konflik Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Konflik territory sering menjadi suatu masalah domestik yang bisa berkembang
menjadi persoalan dua negara ataupun lebih, bahkan menjadi suatu masalah
internasional. Eskalasi konflik dan dampak dari konflik tersebut menjadi suatu ukuran
dalam memetakan konfik tersebut masuk pada wilayah. Konflik perbatasan secara
level analisa dibedakan menjadi beberapa level, pertama yakni sengketa perbatasan
domestik yang terjadi didalam suatu negara itu sendiri, biasa sengketa antar batas
kota/kabupaten maupun provinsi. Kedua yakni sengketa perbatasan antara dua
negara, misalkan terjadi antara Indonesia-Timor leste, India-Pakistan, Kamboja –
Thailand dan beberapa contoh lainnya. Ketiga yakni persoalan sengketa perbatasan
yang melibatkan dua negara atau lebih, misalkan sengekta klaim wilayah Laut Cina
Selatan yang melibatkan banyak negara Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia bahkan
Indonesia bisa saja terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan.
Dalam buku Land, Conflict, and Justice : a Political Theory Territory
menjelaskan mengenai konflik perbatasan dengan menggunakan beberapa
pendekatan, misalkan yang disebutkan diatas mengenai level analisa konflik
perbatasan dengan menggunakan tiga pendekatan. Konsep cosmopolitanism
ditawarkan, bagaimana bahwa sudah tidak umum lagi untuk hari mengatakan
mengenai suatu perbatasan wilayah negara (bourderless), cosmopolitanism yang
berarti suau konsep mengenai tatanan masyarakat internasional tanpa batas wilayah
negara, yang mengasumsikan bahwa tidak ada penduduk negara tapi yang ada hanya
penduduk dunia.
Persoalan konflik perbatasan yang tidak kunjung usai menjadi salah satu faktor
atas tawaran konsep cosmopolitanism tersebut. Namun konsep tersebut seolah masih
bersifat utopis, karena permasalahan kedaulatan negara menjadi persoalan yang
belum bisa dijwab juga ole kolers. Bagi penulis cosmopolitanism bukan menjadi
suatu solusi interaktif dalam mengelola konflik perbatasan, Negara tetapa menjadi
actor yang penting untuk memenuhi hak warga negaranya. Yang menjadi entry
point dalam buku ini yakni bagaimana persoalan konflik perbatasan sudah seharusnya
ditinggal dan beralih pada konsepsi masyarakat internasional.
Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan
referendum atas nasib Timor Leste, dan akhirnya dari hasil referendum tersebut
rakyat Timor Timur berkendak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Timor Leste
dulunya adalah wilayah jajahan dari portugis, namun pada tahun sekitar 1975an
Indonesia menginvasi Timor Leste dan akhirnya menjadi wilayah negara
Indonesia.Berbagai macam gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi
ABRI (TNI) terhadap Timor Leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan
menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang akhir tahun 1990-an
atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu Indonesia juga
mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998 yang terkenal
dengan sebutan reformasi.
Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan
internasional guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 agustus
1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan referendum untuk
Timor Leste dan akhirnya Timor Leste ingin memisahkan diri Indonesia. Namun
Timor Timur resmi merdeka dari Indonesia 20 mei 2002 dan berganti nama menjadi
republic rakyat demokratik Timor Leste setelah bergabung menjadi anggota PBB.
Persoalan kemerdekaan Timor Leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi
pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah
memilih opsi untuk memerdekaan Timor Leste. Persoalan disintegrasi Timor Leste
dari Indonesia tidak selesai sampai disitu saja, masalah pelik yang sering muncul
yakni masalah perbatasan. Ada beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia –
Timor Leste yang masih belum disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara
tersebut. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah
perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di
dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih dipersoalkan
antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare dan Batas
lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor
Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste,
seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan
yang banyak memakan korban jiwa, memang pada tahun 2005 pemerintah Indonesia
dan Timor Leste bertemu di Bali untuk membahas masalah tapal batas kedua negara.
Namun seiring berkembang isu politik dan ekonomiantar kedua negara, wilayah
perbatasan tersebut masih menyisakan persoalan. Pada Oktober 2013, Pemerintah
Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-
Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah
melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh
50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona
bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor
Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang
pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik
Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan
Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru tersebut
kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan warga
Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013.
Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19
ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk
ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI
Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut.
Sementara itu, ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-
jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta,
Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang terkumpul dari
media massa, warga masih berjaga-jaga di perbatasan. Sengketa perbatasan tersebut
harus mendapat tindakan dengan melakukan komunikasi politik berupa pertemuan
maupun negosiasi ulang, sehingga konflik tersebut tidak berkembang dan malah
menjadi konflik yang besar dan terbuka.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor
Leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-
Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara,
Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe,
Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan Kantor
Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang
masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah
Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh
pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara
kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat
TNI perbatasan dan tentara Timor Leste.MenurutKepala Desa Haumeni Ana, Petrus
Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam titik yang berpotensi konflik itu yakni
Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa Nainaban dan Desa Sunkaen, Tububanat di
Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu, Nefonunpo dan Faotben di Desa Haumeni Ana.
Walaupun jika kita melihat konflik perbatasan memang kejadian yang muncul
agaknya lebih bersifat komunal antar warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste
dan desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara,
NTT. Namun dua warga desa yang berbeda negara ini menyebabkan isu konflik
maupun eskalasinya menjadi urusan dua negara yakni Indonesia dan Timor Leste.
Bagi penulis untuk mencegah konflik tersebut agar tidak berkembang, tidak perlu
adanya intervensi dari pihak luar karena apabila ada intervensi dari pihak luar
khususnya Australia bisa jadi konflik tersebut malah akan semakin rumit dan mudah
sekali dipolitisasi, mengingat ada kepentingan yang kuat pihak Australia di Timor
Leste.

REFERENSI

Sumantra Bose, Kashmir : Roots of Conflict , Path of Peace .Harvad University


Press. USA. 2003hal 15-20

Avery Kolers, Land, Conflict, and Justice : a Political Theory Territory.Cambridge


University Press. New York. 2009. Hal 40-42 dalam
www.kompasiana.com/analisa-konflik-perbatasan-indonesia-timor-leste
diakses pada 23 Maret 2019

Harmen Batubara, “Wilayah perbatasan, Wujudkan Penyelesaian Perbatasan RI-


Timor Leste sebagai Simbol Kebersamaan” dalam
http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-wujudkan-
penyelesaian-perbatasan-ri-timor-leste-sebagai-simbol-kebersamaan/, diakses
pada 23 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai