Anda di halaman 1dari 8

Nama : Anisa Salma

Kelas : XII MIPA 7


Absen : 05

Integrasi Timor Timur

Pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, Timor Timut tetap berada di bawah penjajah Portugis. Pada tahun 1974
pemerintah Portugis akan melaksanakan Dekolonisasi daerah-daerah jajahannya, termasuk Timor
(Timor Timur). Dekolonisasi adalah lepasnya negara-negara jajahan dari tangan negara penjajah.
Timor Timur yang sebelum bergabung dengan Indonesia lebih dikenal dengan Republik Demokratik
Timor Leste adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau
Timor.
A. Proses Pra-Integrasi

Titik awal proses penyatuan integrasi bermula saat Portugis yang menduduki wilayah Timor
Timur menerapkan kebijakan dekolonisasi Portugis tahun 1974 pada wilayah koloninya. Sejak saat
itu, rakyat Timor Timur mulai mendirikan partai-partai guna merancang kemerdekaannya. Timor
Timur yang mulai banyak mendirikan partai ini kemudian ‘terjebak’ dalam perang saudara karena
perbedaan pendapat yang sangat mencolok dan tidak kunjung menemui titik terang. Perbedaan
pendapat ini terjadi diantara 3 partai terbesar, yakni Fretilin, UDT, dan Apodeti.
Perang saudara yang melibatkan 3 partai terbesar pada pertengahan 1975 tersebut
memunculkan dua aliansi, Fretilin dengan UDT melawan Apodeti. Akan tetapi, koalisi antara Fretilin
dengan UDT ini tidak berlangsung lama, karena pada 27 Mei 1975 UDT mengumumkan keluar dari
koalisi. Alasan UDT keluar dari koalisinya dengan Fretilin disebabkan karena perbedaan paham.
Selanjutnya, UDT bergabung dengan Apodeti dan berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur dan
juga hubungan dengan Indonesia.
Ketakutan akan menyebarnya paham komunis di Timor Timur tidak hanya dicemaskan oleh UDT dan
Apodeti, tapi juga Indonesia. Setelah pertemuan beberapa wakil UDT ke Jakarta dengan Letjen Ali
Murtopo, diketahui bahwa Fretilin adalah partai komunis. Mengetahui fakta tersebut, Ali Murtopo
mewanti-wanti wakil-wakil dari UDT tersebut untuk terus waspada dengan pergerakan Fretilin.
Kemudian, pada tanggal 11 Agustus 1975 UDT melakukan kudeta dan berhasil menguasai
titik- titik penting pemerintahan dan memukul mundur Fretilin ke pedalaman. UDT juga melakukan
serangkaian demonstrasi anti-komunis. Di lain pihak, setelah dipukul mundur oleh UDT, Fretilin
meminta bantuan militer dari Portugal yang juga merupakan anggota NATO. Praktis di
kemudiaannya, Fretilin lebih unggul.
Melihat kekuatan Fretilin disokong oleh Portugal, pada 20-27 Agustus 1975, UDT akhirnya
bergabung dengan Apodeti untuk melawan serangan Fretilin. Serangan demi serangan yang
dilancarkan Fretilin memaksa para pemimpin dari UDT dan Apodeti untuk mengadakan keputusan
demi rakyat Timor Timur yang semakin menderita akibat perang saudara tersebut. Setelah berunding,
akhirnya pada
7 Desember 1975, UDT dan Apodeti mengumumkan proklamasi kemerdekaan di Balibo yang
menyatakan bahwa Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia.

B. Proses Integrasi

Setelah UDT dan Apodeti, menyatakan bergabung dengan Indonesia, dibentuklah suatu
pemerintahan sementara pada 18 Desember 1975 diatas kapal perang di pelabuhan Dili. Tujuan
didirikannya PSTT adalah untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan, tertib administrasi,
tertib hukum, dan keamanan. PSTT didirikan atas dasar kebulatan tekad rakyat Timor-Timur.
Kemudian, Secara serentak proklamasi pembentukan PSTT diumumkan di New York dan di
Dili. Teks proklamasi tersebut antara lain disampaikan kepada Presiden RI, Sekretaris Jendral PBB,
Dewan Keamanan PBB, dan perwakilan Negara-negara sahabat. Dengan keputusan no.
2/PS/TT/1975, tertanggal 18 September 1975, telah disahkan personalia PSTT, yaitu :
1. Gubernur : Arnaldo dos Reis Araujo (Apodeti)
2. Wakil Gubernur : Lopez da Cruz (UDT)
3. Kepala Dewan Pertimbangan : G. Gomsaves (Apodeti)
4. Kepala Staf Ahli : Ir. Carrascalao (UDT)
5. Kepala Sekretariat : Jeka (Apodeti)

C. Proses Pasca-Integrasi

Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak
pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan
wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.
Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan,
pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini
diam- diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di
Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet yang komunis memang
tengah berlangsung.
Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan
cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan
mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur. Pengesahan
ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978.
Setelah itu, tanggal 3 Agustus 1976 Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, di gedung DPRD
tingkat 1 Timor Timur melantik gubernur dan wakil gubernur Timor Timur masing-masing Arnaldo
dos Reis Araujo dan Fransisco Lopez da Cruz, dan juga pelantikan ketua dan wakil ketua DPRD
tingkat 1 Timor Timur masing-masing Guilherme Gom Salvez dan Gaspar Correa da Silva Nunes.
Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan banyak
permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “perang dingin” dan runtuhnya Uni
Soviet. Setelah terjadinya insiden Santa Cruz dan diberikan nobel perdamaian kepada pemimpin
Fretilin, yaitu Xanana Gusmao dan Uskup Belo, dukungan rakyat untuk merdeka semakin besar. Pada
masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, hal itu dianggapnya sebagai beban politik dan mahal
secara ekonomi hingga pada akhirnya diputuskanlah bahwa propinsi Timor Timur diberikan
kebebasan untuk merdeka.
Namun hal itu juga melalui beberapa tahapan proses. Salah satunya adalah pelaksanaan jajak
pendapat pada 8 Agustus 199 di Timor Timur. Dalam hal ini, Indonesia tetap bertanggung jawab pada
keamanan pelaksanaan tersebut yang tertuang dalam 2 kesepakatan: Pertama, kesepakatan tentang
modalitas pelaksaan penentuan pendapat via jajak pendapat, Kedua, kesepakatan tentang Polri sebagai
penanggung jawab keamananan. Dapat disimpulkan bahwa Timor Leste atau Timor Timur
memutuskan untuk lepas dari NKRI karena adanya masalah pelanggaran HAM yang terjadi selama
proses integrasi berlangsung.
Runtuhnya Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997.
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang
melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat
terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya
kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum
demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar- besaran dilakukan di
Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat
mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut
adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat
mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai "Pahlawan Reformasi". Menanggapi
aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII
menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas
menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli,
dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14
menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Penyebab - penyebab runtuhnya Orde Baru:
1. Krisis Moneter
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor
masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi
banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang
menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi
kekuatan penghasilan Rupiah.
Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena
serangan bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia
melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju
dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan,
pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh
dari 2,000 dampai 18,000 per US Dollar.
2. Tragedi Trisakti
Tragedi 12 mei 1998 yang menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti. Tragedi
yang sampai saat ini masih dikenang oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia belum jelas
penyelesaiannya hingga sekarang. Tahun demi tahun kasus ini selalu timbul tenggelam. Setiap 12 Mei
mahasiswa pun berdemo menuntut diselesaikannya kasus penembakan mahasiswa Trisakti. Namun
semua itu seperti hanya suatu kisah yang tidak ada masalah apapun. Seperti suatu hal yang biasa saja.
Pemerintah pun tidak ada suatu pernyataan yang tegas dan jelas terhadap kasus ini. Paling tidak
perhatian terhadap kasus ini pun tidak ada. Mereka yang telah pergi adalah:
1. Elang Mulia Lesmana
2. Heri Hertanto
3. Hafidin Royan
4. Hendriawan Sie
Mereka merupakan Pahlawan Reformasi selain mahasiswa lainnya yg ikut berjuang pada saat itu.
3. Penjarahan
Pada tanggal 14 Mei 1998. Jakarta seperti membara. Semua orang tumpah di jalanan. Mereka
merusak dan menjarah toko dan gedung milik swasta maupun pemerintah. Masa pada saat itu sudah
kehilangan kendali dan brutal akibat kondisi yang terjadi di tnah air pada saat itu. Tak hanya itu,
massa juga memburu warga keturunan Cina. Buntutnya, banyakwarga keturunan Cina mengungsi ke
luar negeri. Sebagian lainnya bertahan dalam ketakutan, dan munculah isyu-isyu gak tidak jelas
bahwa pada hari itu terjadi perkosaan masal warga keturunan tiong Hoa.
4. Mahasiswa menduduki gedung MPR
18 Mei
Pukul 15.20 WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR,
yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan
bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto
mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR,
yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pukul 21.30 WIB, empat orang menko (Menteri Koordinator) diterima Presiden Soeharto di
Cendana untuk melaporkan perkembangan, Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk
menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar
mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu". Namun, niat itu
tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah
urusan saya." Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih
pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Pukul 23.00 WIB Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI
menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan
sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Wiranto
mengusulkan pembentukan "Dewan Reformasi". Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan
Forum Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR
5. Soeharto mengundurkan diri
21 Mei
o Pukul 01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan
cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari menyatakan, "Selamat tinggal
pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru".
o Pukul 9.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB.
Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan
meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan
Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya
tak lagi bemomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.
o Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
o Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan
presiden, "ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan
presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga."
o Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang pertama
mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan Kepercayaan di Akhir Masa Orde Baru

Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan Kepercayaan Masa Orde Baru yang melanda Thailand
pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang
negaranegara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Korea dan Indonesia. Rupiah yang berada pada
posisi nilai tukar Rp.2.500/US$ terus mengalami kemerosotan. Situasi ini mendorong Presiden
Soeharto meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF). Persetujuan bantuan IMF
dilakukan pada Oktober 1997 dengan syarat pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan
kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan ekonomi. Diantara syarat-syarat tersebut adalah penghentian
subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Namun usaha ini tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah, melalui Bank Indonesia dengan
melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar rupiah yang terus merosot. Nilai
tukar rupiah yang berada di posisi Rp.4000/US$ pada Oktober terus melemah menjadi sekitar
Rp.17.000/ US$ pada bulan Januari 1998. Kondisi ini berdampak pada jatuhnya bursa saham Jakarta,
bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang menyebabkan terjadinya pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besarbesaran.
Kondisi ini membuat Presiden Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada tanggal 15
Januari 1998 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto
dan Direktur Pelaksana IMF Michele Camdesius. Namun, kemudian Presiden Soeharto menyatakan
bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa Indonesia pada sistem ekonomi liberal. Hal ini
menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50
butir kesepakatan tersebut. Situasi tarik menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis
ekonomi semakin memburuk.
Pada saat Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan Kepercayaan Masa Orde Baru semakin dalam,
muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998 di sejumlah
kota terjadi kerusuhan anti Cina. Kelompok ini menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena mereka
mendominasi perekonomian di Indonesia. Krisis ini pun semakin menjalar dalam bentuk gejolak-
gejolak non ekonomi lainnya yang membawa pengaruh terhadap proses perubahan selanjutnya.
Sementara itu, sesuai dengan hasil Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei
1997, Golkar memperoleh suara 74,5 persen, PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen. Setelah pelaksanaan
pemilu tersebut perhatian tercurah pada Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada Maret 1998.
Sidang umum MPR ini akan memilih presiden dan wakil presiden. Sidang umum tersebut kemudian
menetapkan kembali Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya
dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden.
Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-
kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul ke permukaan. Meningkatnya kecaman
terhadap Presiden Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa sejak awal
1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI dan lain-lain
semakin meningkat intensitasnya sejak terpilihnya Soeharto, Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan
Kepercayaan Masa Orde Baru
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula
para staf akademis maupun pimpinan universitas. Garis besar tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya
di kampus di berbagai kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (sembilan bahan pokok),
penghapusan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi kepemimpinan nasional.
Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para
mahasiswa di berbagai kota mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus. Maraknya aksi-aksi
mahasiswa yang sering berlanjut menjadi bentrokan dengan aparat kemanan membuat
Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog. Dari
dialog tersebut diharapkan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat kembali terbuka. Namun
mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan pemerintah tidak efektif karena tuntutan pokok mereka
adalah reformasi politik dan ekonomi pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mahasiswa, mitra
dialog yang paling efektif adalah lembaga kepresidenan dan MPR.
Tuntutan dan Agenda Reformasi

Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena tatanan
tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak efisien
maupun tidak bersih dan tidak demokratis. “Reformasi atau mati”. Demikian tuntutan yang torehkan
oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang di kampus mereka, atau yang
mereka teriakan saat melakukan aksi protes melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998.
Tuntutan Dan Agenda Reformasi Pada Masa Orde Baru tersebut menggambarkan sebuah titik
kulminasi dari gerakan aksi protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak awal
tahun 1998. Gerakan ini bertujuan untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan
politik yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.
Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi
bangsa Indonesia. Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar.
Namun mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan respon
dari pemerintah. Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda yaitu:
1. Suksesi kepemimpinan nasional
2. Amendemen UUD 1945
3. Pemberantasan KKN
4. Penghapusan dwifungsi ABRI
5. Penegakan supremasi hukum,
6. Pelaksanaan otonomi daerah
Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden. Berikut ini
kronologi beberapa peristiwa penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998.
Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal
20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional. Namun
ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa
Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru aparat keamanan saat demonstrasi menuntut
Soeharto mundur dalam Tuntutan Dan Agenda Reformasi Pada Masa Orde Baru. Mereka adalah
Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika
ribuan mahasiswa Trisakti dan lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan demostrasi di
gedung MPR.
Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar. Pada
tanggal 13 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini
memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara itu, mulai tanggal 14
Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para demonstran mulai menduduki
gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.
Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif aman.
Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap gedung tersebut.
Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas. Akhirnya, tanggal
18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini
dinyatakan setelah Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998. Akan tetapi, upaya ini tidak
mendapat sambutan rakyat dalam Tuntutan Dan Agenda Reformasi Pada Masa Orde Baru.
Momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998 rencananya digunakan tokoh reformasi
Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Akan tetapi, beliau membatalkan
rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan tersebut. Di Yogyakarta,
Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR
Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau
DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet
Pembangunan VII mengundurkan diri.
Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya.
Itulah beberapa peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun, Indonesia memasuki
sebuah era baru yang kemudian dikenal sebagai Masa Reformasi.

Anda mungkin juga menyukai