Anda di halaman 1dari 8

TUGAS SEJARAH INDONESIA

Oleh:
Cellyna Rahma Fauzya Kurniawan
XII MIPA 6 / 06

SMA Negeri 1 Kepanjen


Jl.Ahmad Yani No. 48, Ardirejo, Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65163
Website : www.smaneka.sch.id E-mail : admin@smaneka.sch.id

FEBRUARI 2023
Integrasi Timor Timur
Pada tanggal ini 17 Juli, di tahun 1976, Timor Timur secara resmi melakukan
integrasi dengan Indonesia. Timor Timur melakukan integrasi di Indonesia dengan bergabung
menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Wilayah Timor Timur meliputi wilayah bekas kolonial
Portugis di Pulau Timor bagian timur.

Masuknya wilayah Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dilakukan melalui


sebuah operasi yang dikenal dengan nama Operasi Seroja dan menjadi awal ‘pendudukan’
Indonesia bagi Timor Timur sebelum akhirnya Timor Timur berpisah pada 1999.

Sebelum menjadi bagian dari Indonesia, Timor Timur dikuasai oleh Portugis sejak
tahun 1702 hingga 1975. Saat itu, nama Timor Timur dikenal dengan nama Timor Portugis.
Pada 1974, Portugal yang menjadi penguasa Timor Timur memprakasai sebuah proses
dekolonisasi bertahap terhadap wilayah koloninya, termasuk Timor Portugis. Dalam proses
dekolonisasi tersebut terjadi konflik sipil di Timor Timur. Konflik sipil tersebut melibatkan
Uni Demokrasi Timor (UDT), Front Revolusi untuk Timor Timur Merdeka (Fretilin), dan
Asosiasi Demokratik Rakyat Timor (APODETI).

Dalam konflik sipil tersebut, UDT menyatakan dukungannya supaya Timor Timur
merdeka dan menjadi negara yang mandiri, tetapi UDT mengupayakan supaya kemerdekaan
dilakukan secara bertahap. Berbeda dengan UDT, Fretilin mendukung kemerdekaan Timor
Timur secara cepat dan radikal. Namun, dukungan untuk mendirinkan negara Timor Timur
tidak didukung oleh APODETI. APODDETI menghendaki supaya Timor Timur bergabung
dengan Indonesia karena khawatir dengan kondisi perekonomian Timor Timur yang masih
lemah dan belum mapan.

Dalam laporan yang dirilis oleh James Dunn menunjukan bahwa pada Januari 1975,
UDT dan Fretiling membentuk koalisi untuk memperjuangakan kemerdekaan Timor Timur.
Di sisi lain, APODETI yang mendukung integrasi Timor timur dengan Indonesia
mendapatkan dukungan dari militer Indonesia, khusunya dari Komando Operasi Khusus
Indonesia (Kopassus). Di waktu yang bersaam, Pemerintah Australia melaporkan bahwa
militer Indonesia melakukan latihan untuk mempersiapkann invasi ke wilayah Timor Timur.

Laporan dari Australia akhirnya terbukti pada 7 Desember 1975. Saat itu, pasukan
militer Indonesia menyerbu Timor Timur, invansi tersebut kemudian dikenal dengan nama
Operasi Seroja. Dalam Operasi Seroja, pasukan militer Indonesia melawan pasukan Fretilin
dan Falintil. Peperangan antara militer Indonesia dan pasukan kemerdekaan Timor Timur
berlangsung secara sporadis.

Bahkan, dalam The War Against East Timor, dilaporkan bahwa ada 10.000 tentara
yang menduduki Dili dan ada lebih dari 20 ribuan tetntara yang dikerahkan ke daerah Timor
Timur. Mobilisasi besar-besaran militer Indonesia ke wilayah Timor Timur memaksa pejuang
kemerdekaan Timor Timur melarikan diri ke wilayah hutan dan pegunungan untuk
melanjutkan perang secara gerilya.

Setelah operasi militer besar-besaran dan semakin terdesaknya pasukan


kemerdekaan Timor Timur, akhirnya Indonesia secara resmi melakukan aneksasi wilayah
Timor Timur dan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 pada 17 Juli 1976
yang menjadi dasar integrasi wilayah Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi
dasar hukum pembentukan Provinsi Timor Timur.
Keruntuhan Orde Baru
Pada tahun 1997, krisis ekonomi yang melanda Thailand, mulai berdampak pada
perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mulai merosot hingga Rp
15.000/dollar. Harga-harga kemudian melambung tinggi, jumlah utang luar negeri mencapai
163 miliar dollar AS lebih, pengangguran dan kemiskinan penduduk meningkat tajam,
banyaknya bank bermasalah, pertumbuhan ekonomi minus 20% – 30%, dan KKN dikalangan
para pejabat Pemerintah menyebabkan krisis kepercayaan dari masyarakat. Kondisi krisis
ekonomi dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah ini kemudian mendorong ribuan
mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Tuntutan para mahasiswa adalah sebagai
berikut :

1. Pemerintah segera mengatasi krisis ekonomi.


2. Menuntut dilaksanakannya reformasi di segala bidang.
3. Menuntut dilaksanakannya sidang istimewa MPR.
4. Meminta pertanggungjawaban presiden.

Pada 12 Mei 1998, terjadi Tragedi Trisakti, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas
tertembak oleh aparat keamanan saat berdemonstrasi yang kemudian dikenal sebagai
pahlawan reformasi. Peristiwa penembakan tersebut tidak membuat mahasiswa menjadi
takut, malah sebaliknya membuat ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dari
seluruh Indonesia berdemonstrasi di berbagai kampus di Jakarta. Puncaknya dari demonstrasi
mahasiswa terjadi pada tanggal 19–21 Mei 1998 di depan Gedung DPR/MPR Jakarta. sampai
tanggal 21 Mei 1998 di Istanah Merdeka Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan
sekaligus pengambilan sumpah jabatan oleh BJ. Habibie sebagai presiden ke 3 Indonesia.
Berikut pidato Pengunduran diri Presiden Soeharto.

Kerusuhan besar pada 14 Mei 1998 tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi merembet ke
kota-kota yang lain, seperti Solo, Surabaya, Medan, Makassar dan Padang. Mahasiswa
bersama-sama rakyat yang berdemonstrasi di jalan-jalan semakin gencar menuntut Presiden
Soeharto untuk mundur dari jabatannya.
Krisis Moneter, Politik, Hukum dan Kepercayaan
di Akhir Orde Baru
Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan Kepercayaan Masa Orde Baru yang melanda
Thailand pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar
mata uang negaranegara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Korea dan Indonesia. Rupiah
yang berada pada posisi nilai tukar Rp.2.500/US$ terus mengalami kemerosotan. Situasi ini
mendorong Presiden Soeharto meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF).
Persetujuan bantuan IMF dilakukan pada Oktober 1997 dengan syarat pemerintah Indonesia
harus melakukan pembaruan kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan ekonomi. Diantara
syarat-syarat tersebut adalah penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Namun
usaha ini tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah, melalui Bank Indonesia
dengan melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar rupiah yang terus
merosot. Nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp.4000/US$ pada Oktober terus melemah
menjadi sekitar Rp.17.000/ US$ pada bulan Januari 1998. Kondisi ini berdampak pada
jatuhnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang
menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besarbesaran.

Kondisi ini membuat Presiden Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada
tanggal 15 Januari 1998 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara
Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michele Camdesius. Namun, kemudian
Presiden Soeharto menyatakan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa
Indonesia pada sistem ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia
tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut. Situasi
tarik menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi semakin
memburuk.

Pada saat Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan Kepercayaan Masa Orde Baru semakin
dalam, muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998
di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti Cina. Kelompok ini menjadi sasaran kemarahan
masyarakat karena mereka mendominasi perekonomian di Indonesia. Krisis ini pun semakin
menjalar dalam bentuk gejolak-gejolak non ekonomi lainnya yang membawa pengaruh
terhadap proses perubahan selanjutnya.
Sementara itu, sesuai dengan hasil Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29
Mei 1997, Golkar memperoleh suara 74,5 persen, PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen. Setelah
pelaksanaan pemilu tersebut perhatian tercurah pada Sidang Umum MPR yang dilaksanakan
pada Maret 1998. Sidang umum MPR ini akan memilih presiden dan wakil presiden. Sidang
umum tersebut kemudian menetapkan kembali Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan
lima tahun yang ketujuh kalinya dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden.

Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI,
kekuatan-kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul ke permukaan.
Meningkatnya kecaman terhadap Presiden Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya
gerakan mahasiswa sejak awal 1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-
kampus, seperti ITB, UI dan lain-lain semakin meningkat intensitasnya sejak terpilihnya
Soeharto, Krisis Moneter, Politik, Hukum Dan Kepercayaan Masa Orde Baru

Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan


pula para staf akademis maupun pimpinan universitas. Garis besar tuntutan mahasiswa dalam
aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (sembilan
bahan pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi
kepemimpinan nasional.

Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah


menyebabkan para mahasiswa di berbagai kota mulai mengadakan aksi hingga keluar
kampus. Maraknya aksi-aksi mahasiswa yang sering berlanjut menjadi bentrokan dengan
aparat kemanan membuat Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya
dengan menawarkan dialog. Dari dialog tersebut diharapkan komunikasi antara pemerintah
dan masyarakat kembali terbuka. Namun mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan
pemerintah tidak efektif karena tuntutan pokok mereka adalah reformasi politik dan ekonomi
pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mahasiswa, mitra dialog yang paling efektif
adalah lembaga kepresidenan dan MPR.
Tuntutan dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena
tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena
tidak efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratis. “Reformasi atau mati”. Demikian
tuntutan yang torehkan oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang
di kampus mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes melalui kegiatan
unjuk rasa pada akhir April 1998. Tuntutan Dan Agenda Reformasi Pada Masa Orde
Baru tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi protes yang tumbuh
di lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998. Gerakan ini bertujuan untuk
melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan politik yang berarti, melalui
pelaksanaan reformasi secara total.

Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang


dihadapi bangsa Indonesia. Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-
kampus besar. Namun mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak
mendapatkan respon dari pemerintah. Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam
agenda yaitu:

1. Suksesi kepemimpinan nasional

2. Amendemen UUD 1945

3. Pemberantasan KKN

4. Penghapusan dwifungsi ABRI

5. Penegakan supremasi hukum,

6. Pelaksanaan otonomi daerah

Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.
Berikut ini kronologi beberapa peristiwa penting selama gerakan reformasi yang memuncak
pada tahun 1998.

Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan


pada tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari
Reformasi Nasional. Namun ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada
tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru
aparat keamanan saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur dalam Tuntutan Dan Agenda
Reformasi Pada Masa Orde Baru. Mereka adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan
Lesmana, dan Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti dan
lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan demostrasi di gedung MPR.

Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar.
Pada tanggal 13 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan
Solo. Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir.
Sementara itu, mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan,
para demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.

Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif
aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap
gedung tersebut. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap
yang tegas. Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto
turun dari jabatannya sebagai presiden.

Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu.


Hal ini dinyatakan setelah Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998.
Akan tetapi, upaya ini tidak mendapat sambutan rakyat dalam Tuntutan Dan Agenda
Reformasi Pada Masa Orde Baru.

Momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998 rencananya digunakan tokoh


reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Akan tetapi,
beliau membatalkan rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan
tersebut. Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat
berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri
pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru.
Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri.

Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan


pengunduran dirinya. Itulah beberapa peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun
1998. Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32
tahun.

Anda mungkin juga menyukai