NAMA KELOMPOK :
Resty Sutrainy A - 11000117120057
Adikta Nugroho - 11000117130361
Ikhlasa Paregata - 11010116120001
Risa Rizki Dianti - 11010116120057
Auliya Hamida - 11010116120066
Mega Bintang N - 11010116130198
KELAS I
UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS HUKUM 2019
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gerakan mahasiswa adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di
luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan
kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya (wikipedia.com). Dalam
konteks transisi politik Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peranan yang secara
nyata mampu mendobrak rezim otoritarian (Prasetyantoko, 2001: 1). Ini dapat di lihat dari
pengalaman historis bangsa Indonesia bahwa mahasiswa selalu mendapat peranan penting
dalam setiap perjuangan bangsa Indonesia. Seperti pada masa kolonialisme Belanda di
Indonesia, kaum-kaum terpelajar atau mahasiswa Indonesia sejak tahun 1915 telah mengenal
nasionalisme dan memulai gerakan-gerakan mereka dengan mendirikan TRIKORO-DARMO
yang kemudian gerakan-gerakan mahasiswa tersebut terus berspora ke seluruh pelosok
Nusantara. Pada masa pendudukan Jepang muncul Gerakan Bawah Tanah (GBT) yang
dilakukan oleh pemuda-pemuda Indonesia yang bertujuan untuk secepatnya memerdekakan
diri tanpa bantuan Jepang.
Gerakan mahasiswa tidaklah berhenti sampai Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan. Gerakan mahasiswa masih berlanjut pada masa Orde Lama. Ini tentu mendapat
kritikan dari mahasiswa yang memiliki jiwa muda dan berintelektual sehingga mahasiswa
tidak segan-segan untuk menyuarakan tuntutannya dengan TRITURA yang berisi bubarkan
PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet DWIKORA, dan turunkan harga dan
perbaiki sandang-pangan. Tuntutan mahasiswa tersebut berhasil menjatuhkan Soekarno atau
rezim Orde Lama dengan panglima politiknya.
Fenomena sejarah pun berulang pada rezim Soeharto tahun 1998. Gerakan mahasiswa
pun dapat membuat Soeharto mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden.
Terutama peristiwa yang menjadi klimaks dari pengunduran diri Soeharto yaitu pada tanggal
12 Mei 1998 yang di kenal Tragedi Trisakti.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran diatas, terdapat masalah utama yang menjadi kajian penulisan
makalah ini, yaitu:
a. Bagaimana latar belakang peristiwa tragedi Trisakti Mei 1998?
b. Bagaimana proses terjadinya peristiwa tragedi Trisakti Mei 1998?
c. Bagaimana dampak dari peristiwa tragedi Trisakti Mei 1998?
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
a. Menjelaskan bagaimana latar belakang gerakan Trisakti Mei 1998.
b. Menjelaskan proses tragedi Trisakti Mei 1998.
c. Menjelaskan dampak tragedi Trisakti Mei 1998.
BAB II
PEMBAHASAN
Namun, setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei 1997,
situasi politik dalam negeri Indonesia mulai memanas. Pemerintah Orde Baru yang didukung
oleh Golongan Karya (Golkar) berusaha untuk memenangkan secara mutlak seperti pada
pemilu sebelumnya. Sementara itu, tekanan-tekanan terhadap pemerintah Orde Baru di
masyarakat semakin berkembang baik dari kalangan politisi, cendikiawan, maupun kalangan
kampus.
Keberadaan partai-partai politik yang ada di legislatif seperti Parta Persatuan Pambangunan
(PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dianggap tidak
mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Krisis politik sebagai factor
penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, menyebabkan munculnya tuntutan masyarakat
yang menghendaki reformasi baik dalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan di
Indonesia. Masyarakat juga menginginkan agar dilaksanakan demokratisasi dalam kehidupan
social, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masyarakat juga menginginkan aturan hukum
ditegakkan dengan sebenar-benarnya serta dihormatinya hak-hak asasi manusia. Di dalam
kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah terhadap oposisi
sangat besar, terutama terlihat dari perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang
menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.
b. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak
ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945
bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pamerintah
(ekskutif). Namun, pada kenyataanya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan
eksekutif. Oleh karena itu, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena
hakim harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat
pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Seringkali terjadi rekayasa dalam
proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat atau para
pejabat Negara. Sejak gerakan reformasi muncul, masalah hukum juga menjadi salah satu
tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat
mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
Reformasi hukum harus secepatnya dilakukan karena merupakan tuntunan agar siap
menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
c. Krisis Ekonomi
Jelas seperti yang sudah disinggung diatas, krisis moneter yang melanda Negara-
negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin
bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan
likuidasinya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Dalam perkembangan berikutnya, nilai
rupiah melemah dan menembus angka Rp 10000,- per dollar AS. Kondisi ini semakin
diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri yang
memanfaatkan keuntungan sesaat, sehingga kondisi ekonomi nasional semakin bartambah
buruk. Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas
ekonomi lainnya. Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang luar negerinya
yang telah jatuh tempo. Bahkan, banyak perusahan yang mengurangi atau menghentikan
sama sekali kegiatannya. Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas
hidup masyarakat pun semakin bertambah rendah. Kondisi perekonomian semakin
memburuk karena pada akhir tahun 1997 persediaan sembilan bahan pokok (sembako) di
pasaran mulai menipis. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat,
seperti di Irian Barat, Nusa Tenggara Timur, dan termasuk di beberapa daerah di Pulau Jawa.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi Indonesia tidak terlepas dari masalah utang
luar negeri, penyimpangan terhadap Pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang
sentralistik.
d. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Berbagai aksi damai dilakukan para
mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu semakin
bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos
angkutan pada tanggl 4 Mei 1998.
Tuntutan akan reformasi semakin meningkat seiring semakin memburuknya krisis
ekonomi yang meluas menjadi krisis multidimensional dan semakin jelas bahwa Rezim (Orde
Baru) tidak mampu mereformasikan diri. Amien Rais dan Muhammadiyah merupakan salah
satu pengecam paling menonjol pada tahap ini. Demonstrasi mahasiswa semakin marak.
ABRI membiarkan selama demonstrasi dilakukan di dalam kampus (Ricklefs, 2008: 689).
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh
mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi
mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai
akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada
tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang
Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB
sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai
perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun
ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya
di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan
mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya
sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani
turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi
menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih
berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi
Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di
Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore
harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlangsung
sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan
orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan
melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta.
Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan
mencekam. Mahasiswa-mahasiswa yang gugur sebagai pahlawan reformasi pada saat
terjadinya Tragedi Trisakti adalah Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, Hery
Hartanto.
Tragedi Trisakti Mei 1998
Dengan berbagai demontrasi yang terjadi pada bulan Mei 1998 tentunya memberikan
pukulan telak bagi rezim Soeharto. Bagimana tidak dengan adanya penembakan terhadap
mahasiswa Trisakti yang dilakukan oleh penembak jitu menambah kacau suasana di ibukota.
Ricklefs dalam bukunya menyatakan :
“pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik. Kematian mereka, bersama dengan
keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya
reformasi, telah memporak-porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban
sosial. Kerusuhan masal terjadi diberbagai tempat, dengan Jakarta dan Surakarta sebagai
yang terparah (Riclefs, 2008:689)”.
Kerusuhan masal yang kemudian dengan sebutan Peristiwa Mei 1998 itu pecah
dengan ganas dan mencekam setelah terjadinya pembakaran terhadap mahasiswa Universitas
Trisakti di Grogol, Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Berikut Kronologi Insiden
Trisakti yang didapatkan dari Pers Senat Mahasiswa Trisakti dan Arsip berita Kompas 13
Mei 1998 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti {online} :
10.30 -10.45
Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir
depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas
Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan.
Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
10.45-11.00
Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang
yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar
bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan
terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
11.00-12.25
Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
12.25-12.30
Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan
tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke
jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa
menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
12.30-12.40
Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang)
dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib
pada saat turun ke jalan.
12.40-12.50
Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan
menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
12.50-13.00
Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta
Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua
lapis barisan.
13.00-13.20
Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat
(Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara
negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang
terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur
sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
13.20-13.30
Tim negoisasi kembali dan menjelaskan hasil negoisasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat
menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut
merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Dilain pihak pada saat yang
hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
13.30-14.00
Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai
mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa
ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan
bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam
Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
14.00-16.45
Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula
dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan
diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa
tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit
demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus. Polisi memasang police line.
Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
16.45-16.55
Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah
baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk
oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau
bergerak mundur.
16.55-17.00
Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke
dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut
agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar
memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa
sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke
kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba
seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak
tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini
memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat
yang menyamar.
17.00-17.05
Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa
mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan
massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti
menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk
tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta
Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama
mundur.
17.05-18.30
Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan
aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada
mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang
mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat
diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa
dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan
berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan
penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan,
pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan
seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan
massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang
bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke
jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa
mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu
membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi
penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan
gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan
tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan
membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah
mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia
seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang
dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas
orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
18.30-19.00
Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu
mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju
RS.
19.00-19.30
Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap
di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper(penembak jitu) di atas gedung yang masih
dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa
ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan
lampu untuk sembunyi.
19.30-20.00
Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar dari
ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka
ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur
Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara
keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan
aman.
20.00-23.25
Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh
korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan
universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi
01.30
Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya.
Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda
Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua
anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.
Sementara Soeharto pergi ke Kairo untuk menghadiri konfrensi puncak pada tanggal
7 Mei 1998, namun segera kembali tanggal 15 Mei 1998 (Ricklefs, 2008:690). Dan
setibanya di Jakarta demonstrasi semakin merajalela setelah kejadian pembunuhan
mahasiswa Trisakti. Penjarahan dan pembakaran terjadi hampir di seluruh sudut kota Jakarta
dan kota-kota lainnya. Yang menjadi objeknya kebanyakan adalah toko warga masyarakat
etnis Tiongkhoa. Lebih dari seribu orang tewas di Jakarta karena kerusuhan yang terjadi
antara 13-15 Mei. Asvi Warman Adam dalam bukunya mengatakan “waktu pembakaran
hampir pada waktu yang bersamaan pada titik-titik yang jauh jaraknya. Terkesan bahwa
peristiwa itu direkayasa sungguh pun tidak terbukti siapa provokatornya (Asvi Warman
Adam, 2009:54).”
Pada tanggal 18 Mei, Harmoko, ketua MPR, terang-terangan meminta Soeharto untuk
mengundurkan diri demi kepentingan Nasional. Pada tanggal 19 Mei, Soeharto bertemu
dengan sembilan pemimpin Islam terkemuka termasuk Abdurahman Wahid dan Nurholish
Madjid, namun tidak mengikutsertakan Amin Rais. Soeharto meminta pendapat mereka
apakah dia memang seharusnya turun jabatan (Ricklefs, 2008:691).
Pada tanggal 20 Mei direncanakan rapat akbar dilapangan Monas Jakarta. Subuh hari,
Amin Raies mengatakan rapat itu batal. Mahasiswa yang sudah pergi ke Monas mengalihkan
rute demontrasinya ke Gedung MPR/DPR yang waktu itu tidak begitu mendapatkan
penjagaan yang ketat karena aparat keamanan bersiap di Monas. Gedung MPR/DPR berhasil
dikuasai mahasiswa. Siang harinya, 14 Mentri menyatakan tidak bersedia duduk dalam
kabinet baru yang dibentuk Soeharto. Ini tikaman terakhir dari pembantu dekat Soeharto
(Asvi Warman Adam, 2009:54-55).
Akhirnya, pada pagi hari tanggal 21 Mei 1998, awak televisi dipanggil ke istana
negara untuk mengabadikan momen pengunduran diri Soeharto (Ricklefs, 2008:691). Dalam
waktu yang bersamaan pula wakil presiden yaitu B.J Habibie dilantik menjadi Presiden.
Pukul 19.50 sebagai reaksi atas keterangan pers pimpinan DPR/MPR , Jenderal TNI Wiranto
menyampaikan pernyataan pers. Isinya antara lain:
“… Memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR RI agar Presiden Soeharto mengundurkan
diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai
dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum (Pambudi, 2009:15)”.
Sementara itu ribuan masa berhasil masuk Gedung DPR/MPR RI untuk melakukan
tekanan-tekanan terhadap MPR agar Soeharto turun dari jabatannya. Pendudukan gedung
MPR/DPR RI adalah peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk
kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini ribuan mahasiswa dari
berbagai kampus bergabung menduduki gedung MPR/DPR.
D. Selasa, 19 Mei 1998
Penjelasan Presiden Soeharto di depan pers disambut kekecewaan oleh para pejabat
dan Staf Wapres, bahkan asisten Wapres Ahmad Watik Pratinya mengatakan “Pak Harto
telah menghianati BJ. Habibie sekaligus mengabaikan berlakunya pasal 8 UUD 1945, karena
tidak mempercayai Wakil Presiden dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat
bahwa presiden sanksi apakah Wakil Presiden dapat melanjutkan tugas-tugasnya, apakah
nanti tidak menjadi sasaran demonstrasi, apakah nanti juga harus mengundurkan diri
(Baharuddin, 2006:28)”.
E. Rabu, 20 Mei 1998
Berdasarkan pada buku Kontroversi Kudeta Prabowo halaman 21 setelah diskusi
hangat, maka pada pukul 22.45 WIB dicapai kesimpulan yaitu :
a. Susunan kabinet diterima sebagai kenyataan.
b. Menyetujui keputusan presiden ditandatangani Pak Harto.
c. Pelantikan dilaksanakan oleh Pak Habibie.
Untuk melaporkan hasil sidang ad Hoc itu, BJ Habibie mencoba menghubungi
Presiden Soeharto tetapi Presiden Soeharto tidak bersedia berbicara dengan BJ Habibie.
Presiden Soeharto malah menugaskan Mensesneg Saadillah Mursyid untuk menyampaikan
bahwa esok harinya (21 Mei 1998) pukul 10.00 WIB Pak Harto akan mengundurkan diri
sebagai Presiden. Sesuai UUD 45’ Presiden menyerahkan kekuasaan dan tanggung jawab
kepada wakil presiden di Istana Merdeka (Bahruddin, 2006:41).
F. Kamis, 21 Mei 1998
Susunan kabinet baru akan diumumkan esok harinya. Setelah upacara pelantikan,
Presiden BJ Habibie kembali ke kediamannya di Kuningan Jakarta untuk memantau
perkembangan situasi terbaru lewat internet. Pukul 22.00 diadakan pertemuan untuk
membentuk Kabinet reformasi pembangunan. Letjen Prabowo bersama Mayjen Muchdi PR
menghadap Habibie pukul 23.00 di Kuningan dengan membawa konsep susunan kabinet
Habibie yang disiapkan oleh Mayjen Kivlen Zen, Fadli Zon dan Din Samsuddin. Hal ini
berani dilakukan Letjen Prabowo karena kedekatannya dengan Habibie selama ini. Prabowo
punya andil mendukung Habibie menjadi Wakil Presiden (Zen, 2004:89-90). Akhirnya pada
pukul 01.30 kabinet reformasi pembangunan terbentuk. Pukul 01.45 pertemuan ditutup
(Pambudi, 2007:22).
Pada tahun 1998, Rezim Soeharto runtuh ditengah-tengah suasana yang mirip dengan
suasana kelahirannya di tahun 1965-1966, yaitu ditengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan,
dan pertumpahan darah dijalan (Ricklef, 2008:659). Soeharto telah mundur dari kursi
presiden RI. ABRI meminta para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR RI untuk
pulang dan pada tanggal 23 Mei, para mahasiswa pun menuruti perintah itu (Ricklef,
2008:692).
Rules :
Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28A yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dalam pasal 28A tersebut jelas
diterangkan bahwa pasal tersebut menjamin hak seseorang untuk hidup. Tetapi, dalam kasus
Tragedi Trisakti 1998, para anggota polisi dan militer/TNI yang terlibat dalam kasus itu telah
merenggut hak hidup mahasiswa Universitas Trisakti dengan cara menginjak, memukuli, dan
menembak mahasiswa secara brutal. Akibat dari peristiwa itu, 6 orang dinyatakan tewas dan
16 orang lainnya mengalami luka parah.
1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yanbg bersifat diskriminatif atas dasar apaun dan
berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
4. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara terutama pemerintah
5. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokrastis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Salah satu kasus pelanggaran Pasal 28I terjadi pada tahun 1998 yang biasa diesbut dengan
“Tragedi Semanggi 1 dan Tragedi Semanggi 2”. Tragedi Semanggi 1 terjadi pada tanggal 11-
13 November 1998, pada masa pemerintahan transisi Indonesia. Kejadian ini menewaskan
sedikitnya 17 warga sipil.
Tragedi Semanggi 2 adalah kelanjutan dari Tragedi Semanggi 1. Tragedi Semanggi 2 ini
terjadi pada tanggal 24 September 1999. Tragedi ini terjadi karena mahasiswa melakukan
aksi menentang diberlakukannya UU-PKB. Pada kejadian tersebut banyak mahasiswa yang
menjadi korban kekerasan para tentara. Selain itu seorang mahasiswa dan sebelas orang
lainnya tewas dan 217 orang luka-luka. Jadi dapat disimpulkan bahwa Tragedi Semanggi 1
dan 2 telah melanggar HAM pasal 28I ayat 1 tentang hak untuk hidup dan hak untuk tidak
disiksa.
Aplication :
Berikut adalah upaya yang sudah pernah dilakukan untuk menyelesaikan kasus tersebut :
6 Juni 1998
Tiga minggu setelah tragedi terjadi, pengadilan militer untuk kasus tragedi Trisakti dimulai di
Mahkamah Militer 11-08 Jakarta dengan terdakwa Lettu Polisi Agustri Heryanto dan Letda
Polisi Pariyo.
31 Maret 1999
18 Juni 2001
9 Juli 2001
Rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo
Surjoguritno. Isi laporan : 1. F-PDI P, F PDKB, F PKB (3 fraksi ) menyatakan kasus Trisakti,
Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat. Sedangkan F- Golkar, F- TNI/Polri,
F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran
HAM berat pada kasus TSS.
30 Juli 2001
Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan II dibentuk oleh Komnas
HAM.
Januari 2002
21 Maret 2002
KPP HAM Trisakti menyimpulkan 50 perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam pelanggaran
HAM berat.
11 Maret 2003
Kejaksaan Agung menolak melakukan penyidikan untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II
karena tidak mungkin mengadili kasus sebanyak 2 kali (prinsip ne bis in idem).
30 Juni 2005
Komisi Hukum dan HAM DPR merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI agar kasus
Trisakti Semanggi I dan II dibuka kembali. Putusan terhadap hal ini akan dinyatakan dalam
rapat paripurna DPR RI, 5 Juli 2005. Dukungan juga datang dari Fraksi-fraksi di DPR, yaitu
F PKS, F PDIP dan F PDS.
6 Juli 2005
Rapat Pimpinan DPR gagal mengagendakan pencabutan rekomendasi Pansus DPR 2001
yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. Padahal beberapa hari
sebelumnya tingkat Komisi III DPR telah bersepakat untuk membatalkan rekomendasi
tersebut.
5 Maret 2007
Rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan Kejaksaan Agung RI. Dalam rapat ini
Kejaksaan Agung tetap bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk
pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, Komisi III juga memutuskan pembentukan Panitia
Khusus (PANSUS) orang hilang.
13 Maret 2007
April 2015
Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12
Mei 1998. Komisi itu terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan;
Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen
Negara; serta Komnas HAM.
30 Januari 2017
Kesimpulan
Tragedi Trisakti ‘98 merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang
pernah terjadi di Indonesia. Dimana dalam kasus ini, berujung pada penganiayaan dan
meninggalnya mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi untuk menurunkan Soeharto
oleh aparat penegak hukum. Namun usaha tersebut tidak berujung sia-sia, karena dari
kejadian-kejadian tersebut orde baru berganti menjadi era reformasi dengan turunnya
presiden Soeharto kala itu. Namun demikian pun yang disayangkan adalah banyaknya korban
jiwa dan korban luka-luka yang timbul akibat peristiwa ini.
Mahasiswa yang tergabung dalam Forkot (forum kota) berhasil menduduki gedung
DPR dan MPR dan dari sanalah berhasil mendesak Soeharto lengser dari kursi Presidennya.
Struktur dan tatanan pemerintah juga ikut berubah. Selain itu di masyarakat juga terjadi
perubahan sosial. Dimana masyarakat yang tadinya kurang memiliki kebebasan dalam
menyuarakan aspirasi akibat resresifnya pemerintah menjadi terbuka. Kemudian, mulai
dilindungi Hak Asasi Manusia menjadi salah satu indikator perubahan sosial di Indonesia
setelah jatuhnya Orde Baru. Satu catatan yang harus digaris bawahi dari peristiwa tersebut
bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan jangan hanya menyuarakan hal-hal yang berbau
politik saja tetapi sebaiknya juga memberikan porsi lebih untuk menyuarakan nasib
masyarakat.