Anda di halaman 1dari 3

Kebijakan Pembangunan pada Pemerintahan Orde Baru di Bidang Ekonomi

Beberapa hal yang menjadi bagian dari kebijakan ekonomi pada masa
pemerintahan orde baru yaitu:

1. Repelita

Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah kebijakan orde baru
dalam bidang ekonomi yang dimulai pada tahun 1969 sampai tahun 1994. Upaya
pemerintah orde baru untuk meningkatkan ekonomi secara nasional berhasil
dengan menggunakan Repelita, diantaranya  terwujudnya swasembada pangan
nasional pada tahun 1984. Repelita dibagi menjadi beberapa tahap Pelita
(Pembangunan Lima Tahun) seperti berikut ini:

 Pelita I yang dimulai pada 1 April 1969 – 31 Maret 1974 untuk


meningkatkan taraf hidup rakyat dan menekankan pembangunan pada bidang
pertanian.
 Pelita II dimulai pada 1 April 1974 – 31 Maret 1979 yang dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebanyak rata – rata 7 persen setahun.
 Pelita III sejak 1 April 1979 – 31 Maret 1984 yang menekankan tujuan
Trilogi Pembangunan.
 Pelita IV sejak 1 April 1984 – 31 Maret 1989 berhasil melaksanakan
keluarga berencana dan swasembada pangan serta perumahan.
 Pelita V dimulai pada 1 April 1989 – 31 Maret 1994 menyasar sektor
pertanian dan industri untuk ekspor.
 Pelita VI yang bertujuan untuk membangun sektor pertanian dan industri
ekspor.

2. Trilogi Pembangunan

Selain itu juga adanya wacana pembangunan nasional dalam istilah Trilogi
Pembangunan yang dijadikan landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi dan
sosial dalam pelaksanaan pembangunan negara. Ada tiga aspek dalam trilogi
pembangunan yaitu:

 Stabilitas ekonomi nasional yang sehat dan dinamis


 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
 Pemerataan pembangunan serta hasil – hasilnya yang menuju terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.
3. Pemulihan di Bidang Ekonomi Mulai 1966 – 1973

Tujuan dasar dari kebijakan orde baru adalah pembangunan ekonomi negara
dengan bergabung kembali ke dalam jajaran ekonomi dunia yaitu menjadi anggota
IMF (International Monetary Fund), menjadi anggota PBB kembali dan anggota
Bank Dunia pada kurun waktu akhir tahun 1960an. Langkah ini akhirnya memulai
aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara Barat dan juga Jepang ke
Indonesia. Kemudian untuk mengatasi hiperinflasi, Soeharto mengandalkan para
teknokrat ekonomi yang sebagian besar dididik di Amerika Serikat untuk
membuat rencana guna memulihkan ekonomi.

Pada akhir 1960an penciptaan stabilitas harga dilakukan melalui kebijakan yang
melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang atau pencetakan uang. Juga
membebaskan kontrol pasar untuk memulihkan mekanisme pasar bebas,
menerapkan UU Penanaman Modal Asing pada 1967 dan UU Penanaman Modal
Dalam Negeri pada 1968. Penetapan kedua UU ini mengundang investor sehingga
pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 10% di tahun 1968.

4. Pertumbuhan Ekonomi dan Intevensi Pemerintah (1974 – 1982)

Kebijakan orde baru tetap menjaga pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat
diatas angka 5%. Indonesia saat itu juga mendapat keuntungan secara signifikan
dari perdagangan minyak di tahun 1970an sehingga sektor publik mampu
berperan besar dalam perekonomian dengan berinvestasi dalam pembangunan
daerah, sosial, infrastruktur dan mendirikan industri dalam skala besar. Namun
sebagai akibat dari rakyat yang merasa diabaikan dari keuntungan ini
terjadi sejarah peristiwa Malari pada tahun 1974, yang berawal dari protes
terhadap banyaknya pemodal asing di Indonesia. Sejak itu aturan mengenai
investasi asing diperketat dan diganti dengan kebijakan memberi perlakuan
khusus terhadap pribumi.

5. Ekspor dan Deregulasi sejak 1983 – 1996

Hutang luar negeri bertambah dengan jatuhnya harga minyak sejak awal 1980an
dan reposisi mata uang pada tahun 1985 sehingga pemerintah harus melakukan
berbagai kebijakan orde baru untuk memulihkan kondisi makro ekonomi.
Berbagai tindakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi didorong oleh
ekspor, seperti pembebasan bea cukai termasuk impor dan pengulangan devaluasi
rupiah. Selain itu pemerintah juga mengizinkan berbagai pendirian bank swasta
baru, kebebasan bank asing beroperasi di luar Jakarta, yang kemudian justru
menjadi masalah yang menambah krisis di Indonesia pada akhir 1990an

Anda mungkin juga menyukai