Anda di halaman 1dari 12

TUGAS SEJARAH

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK III

TIARA VERONICA

RINA PANDUWINATA XII IPA 2

ANNISAH DWI M.

SHELLA OKTAVIA

SMA NEGERI 1 LEBONG UTARA

TAHUN PELAJARAN 2013/2014

KABUPATEN LEBONG
C. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998

Agenda-Agenda Utama B.J Habibie

Turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei


1998 merupakan awal era Reformasi di Indonesia. Naiknya B.J Habibie
menggantikan Soeharto menjadi Presiden merupakan awal dari
perkembangan politik, ekonomi, dan social pasca 21 Mei 1998. Dengan
kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang carut-marut, Habibie dihadapkan
pada tuntutan untuk menciptakan Indonesia baru yang bebas KKN dan
merealisasikan semangat reformasi.

Menurut M.C. Ricklefs (sejarawan Australia), terdapat lima bidang


konsiderasi utamapemerintahan Presiden Habibie, yaitu :

1) Masa depan reformasi


2) Masa depan ABRI
3) Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari
Indonesia
4) Masa depan Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya
5) Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia

Di sisi lain, sebagian kalangan mahasiswa dan ahli hukum melihat


bahwa pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia
tidak konstitusional. Hal ini didasari oleh Pasal 9 UUD 1945 yang
berbunyi, Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan bersungguh-sungguh di
hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat. Faktanya peralihan kepemimpinan dari Soeharto ke B.J Habibie
pada 21 Mei 1998 tidak dilakukan di depan MPR/DPR, melainkan hanya
di depan ketua Mahkamah Agung dan hanya bertempat di Istana Negara.
Hal ini menimbulkan perpecahan persepsi di kalangan mahasiswa dan
beberapa kelompok masyarakat.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Habibie membentuk susunan
kabinet yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan, yang
berfokus pada pemulihan ekonomi Indonesia yang hancur akibat krisis di
Asia. Kabinet ini beranggotakan 16 menteri yang berfokus pada 5 bidang
kerja utama, diantaranya:

1) Melakukan proses rekapitulasi perbankan Indonesia


2) Melaksanakan likuidasi bank-bank yang bermasalah
3) Memperbaiki angka nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat hingga mencapai angka kurang dari Rp 10.000,-
4) Membangun konstruksi baru perekonomian Indonesia
5) Melaksanakan syarat-syarat reformasi eonomi yang diberikan oleh
IMF kepada Indonesia.

Sekilas, tampaknya program-program pemulihan ekonomi ini


bertujuan untuk benar-benar mengembalikan kesejahteraan rakyat.
Namun, sedikit yang mendasari bahwa kebijakan perekonomian ini
hanyalah bagian dari Structural Adjustment Program (Program
Penyesuian Struktural) yang dicanangkan IMF bagi Indonesia.
Pemotongan subsidi bagi usaha kecil dan pemberian subsidi
kesejahteraan sosial yang paling dibutuhkan saat krisis justru tidak
terwujud.

Pemberian Amnesti dan Munculnya Kebebasan Berpendapat

Pada masa pemerintahan B.J Habibie, kebebasan pers


dikembalikan pada tempat semula. Bahkan tahanan-tahanan politik orde
baru yang dimasukkan ke penjara dengan tuduhan subversive, seperti
Mochtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas diberikan amnesty dan
dibebaskan semasa itu. Amnesti pembebasan Mochtar Pakpahan dan Sri
Bintang Pamungkas ini kemudian dikukuhkan dalam Keppres No. 80
Tahun 1998. Kebebasan berpendapat dan berkumpul kembali diangkat.
Kal ini dapat terlihat dari munculnya berbagai partai politik dari berbagai
golongan dan ideologi. Presiden Habibie merencanakan pemilu yang
benar-benar jujur dan adil. Hal ini terwujud pada tahun 1999 yang
mengikut-sertakan 48 partai politik.

Selain itu, Presiden Habibie juga mengeluarkan sebuah kebijakan


untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertugas
mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan 13-14 Mei
1998 di Jakarta. TGPF diketuai oleh ketua Komnas HAM pada masa itu,
Marzuki Darusman. TGPF membawahi institusi-institusi seperti
Departemen Luar Negeri (Deplu), Lembaga Bantuan Hukum (LBH),
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kejaksaan, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), ABRI, dan Kepolisian.

TGPF kemudian melakukan tugasnya mengusut peristiwa seputar


kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 secar kronologis. Pejabat-pejabat
militer itu antara lain Mayjen Sjafrie Sjamsoedin, Mayjen Sutiyoso, Mayjen
(Pol.) Hamawi Nata, Mayjen Zacky Anwar Makarim, Lenjen (Purn.)
Prabowo Subianto, Mayjen Soeharto (Komandan Korps Marinir), dan
beberapa pejabat terkait di lingkungan Polda Metro Jaya. Hasil uji Balistik
menyatakan bahwa peluru tersebut ditembakkan dari senjata laras
panjang merek Styer. Namun perkembangan politik dan hukum
pengungkapan fakta tragedi penembakan ke empat mahasiswa Trisakti
berjalan sangat lamban hingga saat ini.

Presiden Habibie mencanangkan adanya kebebasan berkumpul


dan menyampaikan pendapat di muka umum. Presiden Habibie
mengeluarkan satu kebijakan, yang tertuang dalam Undang-Undang No. 9
Tahun 1998 yang berisi tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang
dinyatakan dalam Pasal 9 (2) UU No. 9 1998, dapat berupa unjuk rasa
atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Selain itu
Presiden Habibie juga mencabut UU No. 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan UU No. 26 Tahun
1999.

Permasalahan Dwi Fungsi ABRI

Kemunculan Dwi Fungsi ABRI awalnya merupakan konsep yang


diajukan oleh Jendral A.H Nasution pada 11 November 1958. Dalam
pidatonya yang berjudul Jalan Tengah, Jendral Nasution menyatakan
bahwa tentara juga merupakan kekuatan sosial politik yang berperan di
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Posisi militer pada era reformasi
tidak mendapat tempat yang cukup baik di hati masyarakat. Peristiwa
penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998nmenyulut
sikap antipasi masyarakat. Tuntutan untuk menghapus Dwi Fungsi ABRI
menjadi isu utama dalam agenda reformasi. Presiden Habibie
menanggapinya dengan menerapkan berbagai kebijakan, antara lain
adalah memisahkan Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kepolisian Republik Indonesia
memiliki otonomi sendiri dengan nama Kepolisian Negara Republik
Indonesia. ABRI diubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Pembenahan Dwi Fungsi ABRI dilaksanakan dengan mereduksi
keberadaan ABRI di dalam DPR dengan menetapkan hanya 38 kursi dari
75 kursi yang berasal dari ABRI. Dengan demikian pelaksanaan doktrin
Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan dapat di eliminir secra bertahap.

Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan

Dalam sidang MPR tanggal 10-13 November 1998, terdapat


perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-
perundangan. Fokus pembenahan sektor hukum dan perundang-
undangan ini mengacu pada 12 ketetapan besar yang dibagi menjadi 3
bagian besar, yaitu:

Bagian ketetapan yang terdiri dari 6 ketetapan MPR baru, antara


lain :
1) Tap. MPR No.X/MPR/1998, yang berisi mengenai pokok-pokok
pelaksanaan reformasi pembangunan Indonesia, sebagai
kerangka dasar untuk penyelamatan dan normalisasi kehidupan
nasional sebagai haluan negara Indonesia.
2) Tap MPR No. XI/MPR/1998, yang berisi mengenai pelaksanaan
dan penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih dari
unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
3) Tap MPR No. XIII/MPR/1998, yang berisi mengenai
pembatasan masa tugas presiden dan wakil presiden Republik
Indonesia.
4) Tap MPR No. XV/MPR/1998, yang berisi mengenai proses
penyelenggaraan otonomi daerah.
5) Tap. MPR No. XVI/MPR/1998, yang berisi tentang kehidupan
politik ekonomi bangsa dalam rangka melanggengkan konsep
demokrasi ekonomi.
6) Tap. MPR No. XVII/MPR/1998, yang berisi mengenai
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Bagian ketetapan yang terdiri dari 2 ketetapan yang mengubah dan
menambah ketetapan yang lama.
1) Tap. MPR No. VII/MPR/1998, yang berisi mengenai perubahan
dan penambahan terhadap Tap. MPR No. I/MPR/1983 yang
membahas mengenai peraturan tata tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
2) Tap. MPR No. XIV/MPR/1998. Ketetapan ini mengubah dan
menambahkan Tap. MPR No. III/MPR/1998 yang membahas
mengenai pelaksanaan Pemilihan Umum.
Bagian yang berisi 4 ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan-
ketetapan MPR terdahulu, yaitu :
1) Tap. MPR No. III/MPR/1998. Ketetapan ini berkaitan dan
menyangkut Tap. MPR No. IV/MPR/1983 yang membahas
mengenai referendum.
2) Tap. MPR No. IX/MPR/1998. Ketetapan ini mencabut Tap. MPR
No. II/MPR/1998 yang membahas mengenai Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN).
3) Tap. MPR No. XII/MPR/1998. Ketetapan ini mencabut Tap. MPR
No. V/MPR/1998 yang membahas mengenai pemberian tugas
serta wewenang khusus kepada presiden selaku Mandataris
MPR untuk menyukseskan dan mengamankan pembangunan
nasional sebagai wujud pengalaman Pancasila.
4) Tap. MPR No XVIII/MPR/1998. Ketetapan ini mencabut Tap.
MPR No. 11/MPR/1978 yang berisi tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4 atau Ekaprasetia
Pancakarsa). Ketetapan ini juga menetapkan Pancasila sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia.

Pembenahan sektor hukum dan perundang-undangan ini


membawa kehidupan sosial politik Indonesia menjadi lebih terbuka.
Adanya jaminan terhadap pelaksanaan HAM di Indonesia menjadi
momentum awal bagi dibukanya kasus-kasus pelanggaran HAM di
Indonesia yang belum tuntas hingga saat itu. Kemunculan partai-partai
politik tidak dapat dihindarkan seiring dengan penetapan kebijakan
mengenai pemilihan umum. Era baru dalam reformasi hukum dan
perundang-undangan pada masa pemerintahan Presiden Habibie menjadi
semacam pemecah kekakuan sistem hukum di Indonesia selama Orde
Baru.

Pemilihan Umum 1999

Selama kurun waktu 32 tahun, proses pemilihan umum sangat


didominasi oleh kemenangan Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan
Presiden Habibie pada era reformasi berhasil menorehkan sejarah besar,
yaitu menyelenggarakan pemilu yang menyertakan hampir seluruh
golongan ideologi bangsa. Sejumlah 48 partai politik berpartisipasi dalam
pemilihan umum ini. Presiden Habbie memangkas undang-undang yang
membicarakan tentang pemilihan umum, susunan, kedudukan, tugas,
serta wewenang dari MPR/DPR. Undang-undang ini digunakan semasa
Orde Baru, yaitu :

1) UU No. 1 Tahun 1985, yang mengatur tentang Pemilihan Umum.

2) UU No. 2 Tahun 1985, yang mengatur tentang Susunan, Tugas,


dan Wewenang dari lembaga MPR/DPR.

3) UU No. 3 Tahun 1985, yang mengatur tentang sistem kepartaian di


Indonesia. Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa organisasi
sosial politik yang diperbolehkan untuk mengikuti pemilihan umum
hanyalah PPP, PDI, dan Golkar.

4) UU No. 4 Tahun 1985, yang berisi mengenai pengaturan anti-


subversif.

5) UU No. 5 Tahun 1985, yang berisi tentang eksistensi organisasi


massa di Indonesia.

Sebagai gantinya ditetapkanlah 3 undang-undang politik baru yang


ditandatangani pada 1 Februari 1999. Isinya menyangkut undang-undang
mengenai partai politik, proses pemilihan umum, serta susunan dan
kedudukan (susduk) MPR, DPR, dan DPRD. Setelah itu presiden
membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggotanya terdiri
dariwakil parpol dan wakil pemerintah.

Berdasarkan undang-undang yang disahkan pada 1 Februari 1999,


hanya ada 48 partai yang lolos untuk maju dalam pemilu dari 112 partai
politik yang mendaftar. Panitia yang bertugas untuk menyaring partai-
partai politik itu dinamakan Panitia 11. Sebelumnya dalam Sidang
Istimewa MPR yang digelar pada bulan November 1998, MPR telah
merombak berbagai hal di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan,
termasuk tentang pemilihan umum.

Sistem pengaturan pemilu 1999 diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999.


Di dalam perturan ini ditetapkan bahwa peraturan pemilihan umum
bersifat campuran antara sistem proporsional dan sistem distik. Dari 48
partai politik yang ikut pemilihan umum pada tanggal 7 Juni 1999, terdapat
5 partai besar yang menempati urutan tertinggi, yaitu PDI-P, Golkar, PKB,
PPP, dan PAN. Hasil perolehan suara dari masing-masing partai politik ini
mencerminkan jumlah kursi yang menjadi haknya di dalam MPR/DPR.
Perolehan jumlah suara secara keseluruhan ini juga digunakan untuk
menghitung pembagian antara wakil-wakil yang berasal dari utusan
golongan maupun yang berasal dari utusan daerah. Selanjutnya MPR
menggelar Sidang Umum MPR untuk menentukan presiden Republik
Indonesia selanjutnya.

D. KONDISI SOSIAL & EKONOMI MASYARAKAT PASCA-REFORMASI

Dalam hal Pembenahan masalah krisis multidimensi sebagai akibat


dari krisis moneter Asia 1997, Indonesia menunjukkan hasil yang sangat
lamban dibandingkan Negara-negara Asia lainnya. Berbagai
permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan Negara menjadi sangat
kompleks seiring dengan kejatuhan ekonomi tersebut. Tigginya tingkat
intensitas konflik Politik Internal dalam negeri membuat konsentrasi
penanganan masalah ekonomi dan sosial menjadi tidak optimal.
Drorongan IMF untuk menerapkan Structural Adjustment Program
(Program Penyesuaian Struktural ) di Indonesia tidak menambah ringan
beban ekonomi bangsa. Penyebabnya adalah bahwa paket-paket
kebijakan yang disodorkan oleh IMF tersebut sebenarnya tidak sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan
tersebut hanya melihat satu sudut pandang yaitu Ketahanan Ekonomi.
Ketahanan sosial masyarakat akibat penerapan kebijakan IMF yang
hanya mengacu pada ketahanan ekonomi tidak begitu diperhatikan.
Premis IMF yang melihat bahwa adanya peningkatan ketahanan ekonomi
suatu Negara akan secara langsung berimbas pada peningkatan
ketahanan sosial masyarakat, kemudian terpatahkan dalam kasus
Indonesia. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia tidak
menunjukkan hasil yang membaik.

Memburuknya kondisi sosial dan ekonomi Indonesia


Pascareformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan
penghapusan subsidi bagi masyarakat yang disodorkan oleh IMF.
Kebijakan itu tidak memperbolehkan pemerintah memberikan bantuan
subsidi apapun bagi sector perekonomian dalam negeri. Proteksionisme
terhadap sector perekonomian dalam negeri pun dilarang. IMF melihat
bahwa perbaikan perekonomia bangsa akan lebih efektif apabila
diserahkan pada kekuatan ekonomi pasar. Akan tetapi, disatu sisi, krisis
ekonomi yang melanda Indonesia berakibat pada menurunnya daya beli
masyarakat. Sementara disisi lain, pemerintah tidak memberikan subsidi
yang signifikan untuk meningkatkan perekonomia masyarakat, baik itu
dalam bentuk subsisi usaha maupun proteksionisme terhadap sector
ekonomi local.

Meningkatnya masalah sosial pun menjadi tak terhindarkan dari


adanya krisis ekonomi ini. Meningkatnya angka pengangguran,
melambatnya laju pertumbuhan ekonomi, dan makin meningginya angka
kriminalitas menjadi warna dari krisis multidimensi yang dihadapi oleh
Indonesia Pasca-reformasi. Menurunnya investasi asing di Indonesia juga
menjadi salah satu penyebab melambatnya kinerja ekonomi ini. Akan
tetapi, agenda reformasi yang mengedepankan perbaikan ekonomi
bangsa tetap menjadi focus utama setiap pemerintahan di Indonesia.
Perwujudan lapangan pekerjaan menjadi hal yang konkret untuk
menanggulangi krisis multidimensi tersebut.

Proyek pembenahan kondisi ekonomi dan sosial yang dicanagkan


pemerintahan era reformasi, antara lain berfokus pada hal-hal sebagai
berikut.

1. Meningkatkan lapangan pekerjaan seoptimal mungkin. Metode


yang diterapkan pemerintah adalah dengan menggalakkan
investasi asing sebagai potensi pembukaan lapangan pekerjaan
baru.
2. Menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
Tujuannya adalah memberikan kemudahan masyarakat dalam
mendapatkan akses kebutuhan pokok dengan harga yang
terjangkau.
3. Optimalisasi fasilitas umum bagi masyarakat. Tujuannya adalah
memberikan akses yang mudah bagi masyarakat kepada
pemenuhan kebutuhan dasar, seperti air minum, listrik, bahan
bakar, dan angkutan umum dengan harga yang terjangkau.
4. Mengoptimalkan sector pendidikan, yang bertujuan untuk
memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk
memperoleh pendidikan yang layak.
5. Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses lesehatan.
Caranya adalah dengan menyediakan tempat berobat, dokter, dan
obat dengan yang harga terjangkau.

Anda mungkin juga menyukai