0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
375 tayangan12 halaman
Tugas sejarah ini membahas perkembangan politik Indonesia setelah Presiden Soeharto digantikan oleh BJ Habibie pada 21 Mei 1998. Habibie berupaya mereformasi sistem dengan memberikan amnesti kepada tahanan politik, memperkenalkan kebebasan berekspresi, dan memisahkan fungsi ABRI menjadi TNI dan Kepolisian. Ia juga mereformasi hukum dengan menghapus undang-undang yang bertentangan dengan reformasi.
Tugas sejarah ini membahas perkembangan politik Indonesia setelah Presiden Soeharto digantikan oleh BJ Habibie pada 21 Mei 1998. Habibie berupaya mereformasi sistem dengan memberikan amnesti kepada tahanan politik, memperkenalkan kebebasan berekspresi, dan memisahkan fungsi ABRI menjadi TNI dan Kepolisian. Ia juga mereformasi hukum dengan menghapus undang-undang yang bertentangan dengan reformasi.
Tugas sejarah ini membahas perkembangan politik Indonesia setelah Presiden Soeharto digantikan oleh BJ Habibie pada 21 Mei 1998. Habibie berupaya mereformasi sistem dengan memberikan amnesti kepada tahanan politik, memperkenalkan kebebasan berekspresi, dan memisahkan fungsi ABRI menjadi TNI dan Kepolisian. Ia juga mereformasi hukum dengan menghapus undang-undang yang bertentangan dengan reformasi.
KABUPATEN LEBONG C. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
Agenda-Agenda Utama B.J Habibie
Turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei
1998 merupakan awal era Reformasi di Indonesia. Naiknya B.J Habibie menggantikan Soeharto menjadi Presiden merupakan awal dari perkembangan politik, ekonomi, dan social pasca 21 Mei 1998. Dengan kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang carut-marut, Habibie dihadapkan pada tuntutan untuk menciptakan Indonesia baru yang bebas KKN dan merealisasikan semangat reformasi.
Menurut M.C. Ricklefs (sejarawan Australia), terdapat lima bidang
konsiderasi utamapemerintahan Presiden Habibie, yaitu :
1) Masa depan reformasi
2) Masa depan ABRI 3) Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia 4) Masa depan Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya 5) Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia
Di sisi lain, sebagian kalangan mahasiswa dan ahli hukum melihat
bahwa pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia tidak konstitusional. Hal ini didasari oleh Pasal 9 UUD 1945 yang berbunyi, Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan bersungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Faktanya peralihan kepemimpinan dari Soeharto ke B.J Habibie pada 21 Mei 1998 tidak dilakukan di depan MPR/DPR, melainkan hanya di depan ketua Mahkamah Agung dan hanya bertempat di Istana Negara. Hal ini menimbulkan perpecahan persepsi di kalangan mahasiswa dan beberapa kelompok masyarakat. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Habibie membentuk susunan kabinet yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan, yang berfokus pada pemulihan ekonomi Indonesia yang hancur akibat krisis di Asia. Kabinet ini beranggotakan 16 menteri yang berfokus pada 5 bidang kerja utama, diantaranya:
1) Melakukan proses rekapitulasi perbankan Indonesia
2) Melaksanakan likuidasi bank-bank yang bermasalah 3) Memperbaiki angka nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga mencapai angka kurang dari Rp 10.000,- 4) Membangun konstruksi baru perekonomian Indonesia 5) Melaksanakan syarat-syarat reformasi eonomi yang diberikan oleh IMF kepada Indonesia.
Sekilas, tampaknya program-program pemulihan ekonomi ini
bertujuan untuk benar-benar mengembalikan kesejahteraan rakyat. Namun, sedikit yang mendasari bahwa kebijakan perekonomian ini hanyalah bagian dari Structural Adjustment Program (Program Penyesuian Struktural) yang dicanangkan IMF bagi Indonesia. Pemotongan subsidi bagi usaha kecil dan pemberian subsidi kesejahteraan sosial yang paling dibutuhkan saat krisis justru tidak terwujud.
Pemberian Amnesti dan Munculnya Kebebasan Berpendapat
Pada masa pemerintahan B.J Habibie, kebebasan pers
dikembalikan pada tempat semula. Bahkan tahanan-tahanan politik orde baru yang dimasukkan ke penjara dengan tuduhan subversive, seperti Mochtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas diberikan amnesty dan dibebaskan semasa itu. Amnesti pembebasan Mochtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas ini kemudian dikukuhkan dalam Keppres No. 80 Tahun 1998. Kebebasan berpendapat dan berkumpul kembali diangkat. Kal ini dapat terlihat dari munculnya berbagai partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Presiden Habibie merencanakan pemilu yang benar-benar jujur dan adil. Hal ini terwujud pada tahun 1999 yang mengikut-sertakan 48 partai politik.
Selain itu, Presiden Habibie juga mengeluarkan sebuah kebijakan
untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertugas mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan 13-14 Mei 1998 di Jakarta. TGPF diketuai oleh ketua Komnas HAM pada masa itu, Marzuki Darusman. TGPF membawahi institusi-institusi seperti Departemen Luar Negeri (Deplu), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kejaksaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ABRI, dan Kepolisian.
TGPF kemudian melakukan tugasnya mengusut peristiwa seputar
kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 secar kronologis. Pejabat-pejabat militer itu antara lain Mayjen Sjafrie Sjamsoedin, Mayjen Sutiyoso, Mayjen (Pol.) Hamawi Nata, Mayjen Zacky Anwar Makarim, Lenjen (Purn.) Prabowo Subianto, Mayjen Soeharto (Komandan Korps Marinir), dan beberapa pejabat terkait di lingkungan Polda Metro Jaya. Hasil uji Balistik menyatakan bahwa peluru tersebut ditembakkan dari senjata laras panjang merek Styer. Namun perkembangan politik dan hukum pengungkapan fakta tragedi penembakan ke empat mahasiswa Trisakti berjalan sangat lamban hingga saat ini.
Presiden Habibie mencanangkan adanya kebebasan berkumpul
dan menyampaikan pendapat di muka umum. Presiden Habibie mengeluarkan satu kebijakan, yang tertuang dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 yang berisi tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dinyatakan dalam Pasal 9 (2) UU No. 9 1998, dapat berupa unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Selain itu Presiden Habibie juga mencabut UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan UU No. 26 Tahun 1999.
Permasalahan Dwi Fungsi ABRI
Kemunculan Dwi Fungsi ABRI awalnya merupakan konsep yang
diajukan oleh Jendral A.H Nasution pada 11 November 1958. Dalam pidatonya yang berjudul Jalan Tengah, Jendral Nasution menyatakan bahwa tentara juga merupakan kekuatan sosial politik yang berperan di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Posisi militer pada era reformasi tidak mendapat tempat yang cukup baik di hati masyarakat. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998nmenyulut sikap antipasi masyarakat. Tuntutan untuk menghapus Dwi Fungsi ABRI menjadi isu utama dalam agenda reformasi. Presiden Habibie menanggapinya dengan menerapkan berbagai kebijakan, antara lain adalah memisahkan Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kepolisian Republik Indonesia memiliki otonomi sendiri dengan nama Kepolisian Negara Republik Indonesia. ABRI diubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembenahan Dwi Fungsi ABRI dilaksanakan dengan mereduksi keberadaan ABRI di dalam DPR dengan menetapkan hanya 38 kursi dari 75 kursi yang berasal dari ABRI. Dengan demikian pelaksanaan doktrin Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan dapat di eliminir secra bertahap.
Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan
Dalam sidang MPR tanggal 10-13 November 1998, terdapat
perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang- perundangan. Fokus pembenahan sektor hukum dan perundang- undangan ini mengacu pada 12 ketetapan besar yang dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:
Bagian ketetapan yang terdiri dari 6 ketetapan MPR baru, antara
lain : 1) Tap. MPR No.X/MPR/1998, yang berisi mengenai pokok-pokok pelaksanaan reformasi pembangunan Indonesia, sebagai kerangka dasar untuk penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara Indonesia. 2) Tap MPR No. XI/MPR/1998, yang berisi mengenai pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih dari unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) 3) Tap MPR No. XIII/MPR/1998, yang berisi mengenai pembatasan masa tugas presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. 4) Tap MPR No. XV/MPR/1998, yang berisi mengenai proses penyelenggaraan otonomi daerah. 5) Tap. MPR No. XVI/MPR/1998, yang berisi tentang kehidupan politik ekonomi bangsa dalam rangka melanggengkan konsep demokrasi ekonomi. 6) Tap. MPR No. XVII/MPR/1998, yang berisi mengenai penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Bagian ketetapan yang terdiri dari 2 ketetapan yang mengubah dan menambah ketetapan yang lama. 1) Tap. MPR No. VII/MPR/1998, yang berisi mengenai perubahan dan penambahan terhadap Tap. MPR No. I/MPR/1983 yang membahas mengenai peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2) Tap. MPR No. XIV/MPR/1998. Ketetapan ini mengubah dan menambahkan Tap. MPR No. III/MPR/1998 yang membahas mengenai pelaksanaan Pemilihan Umum. Bagian yang berisi 4 ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan- ketetapan MPR terdahulu, yaitu : 1) Tap. MPR No. III/MPR/1998. Ketetapan ini berkaitan dan menyangkut Tap. MPR No. IV/MPR/1983 yang membahas mengenai referendum. 2) Tap. MPR No. IX/MPR/1998. Ketetapan ini mencabut Tap. MPR No. II/MPR/1998 yang membahas mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 3) Tap. MPR No. XII/MPR/1998. Ketetapan ini mencabut Tap. MPR No. V/MPR/1998 yang membahas mengenai pemberian tugas serta wewenang khusus kepada presiden selaku Mandataris MPR untuk menyukseskan dan mengamankan pembangunan nasional sebagai wujud pengalaman Pancasila. 4) Tap. MPR No XVIII/MPR/1998. Ketetapan ini mencabut Tap. MPR No. 11/MPR/1978 yang berisi tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4 atau Ekaprasetia Pancakarsa). Ketetapan ini juga menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pembenahan sektor hukum dan perundang-undangan ini
membawa kehidupan sosial politik Indonesia menjadi lebih terbuka. Adanya jaminan terhadap pelaksanaan HAM di Indonesia menjadi momentum awal bagi dibukanya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang belum tuntas hingga saat itu. Kemunculan partai-partai politik tidak dapat dihindarkan seiring dengan penetapan kebijakan mengenai pemilihan umum. Era baru dalam reformasi hukum dan perundang-undangan pada masa pemerintahan Presiden Habibie menjadi semacam pemecah kekakuan sistem hukum di Indonesia selama Orde Baru.
Pemilihan Umum 1999
Selama kurun waktu 32 tahun, proses pemilihan umum sangat
didominasi oleh kemenangan Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan Presiden Habibie pada era reformasi berhasil menorehkan sejarah besar, yaitu menyelenggarakan pemilu yang menyertakan hampir seluruh golongan ideologi bangsa. Sejumlah 48 partai politik berpartisipasi dalam pemilihan umum ini. Presiden Habbie memangkas undang-undang yang membicarakan tentang pemilihan umum, susunan, kedudukan, tugas, serta wewenang dari MPR/DPR. Undang-undang ini digunakan semasa Orde Baru, yaitu :
1) UU No. 1 Tahun 1985, yang mengatur tentang Pemilihan Umum.
2) UU No. 2 Tahun 1985, yang mengatur tentang Susunan, Tugas,
dan Wewenang dari lembaga MPR/DPR.
3) UU No. 3 Tahun 1985, yang mengatur tentang sistem kepartaian di
Indonesia. Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa organisasi sosial politik yang diperbolehkan untuk mengikuti pemilihan umum hanyalah PPP, PDI, dan Golkar.
4) UU No. 4 Tahun 1985, yang berisi mengenai pengaturan anti-
subversif.
5) UU No. 5 Tahun 1985, yang berisi tentang eksistensi organisasi
massa di Indonesia.
Sebagai gantinya ditetapkanlah 3 undang-undang politik baru yang
ditandatangani pada 1 Februari 1999. Isinya menyangkut undang-undang mengenai partai politik, proses pemilihan umum, serta susunan dan kedudukan (susduk) MPR, DPR, dan DPRD. Setelah itu presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggotanya terdiri dariwakil parpol dan wakil pemerintah.
Berdasarkan undang-undang yang disahkan pada 1 Februari 1999,
hanya ada 48 partai yang lolos untuk maju dalam pemilu dari 112 partai politik yang mendaftar. Panitia yang bertugas untuk menyaring partai- partai politik itu dinamakan Panitia 11. Sebelumnya dalam Sidang Istimewa MPR yang digelar pada bulan November 1998, MPR telah merombak berbagai hal di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk tentang pemilihan umum.
Sistem pengaturan pemilu 1999 diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999.
Di dalam perturan ini ditetapkan bahwa peraturan pemilihan umum bersifat campuran antara sistem proporsional dan sistem distik. Dari 48 partai politik yang ikut pemilihan umum pada tanggal 7 Juni 1999, terdapat 5 partai besar yang menempati urutan tertinggi, yaitu PDI-P, Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Hasil perolehan suara dari masing-masing partai politik ini mencerminkan jumlah kursi yang menjadi haknya di dalam MPR/DPR. Perolehan jumlah suara secara keseluruhan ini juga digunakan untuk menghitung pembagian antara wakil-wakil yang berasal dari utusan golongan maupun yang berasal dari utusan daerah. Selanjutnya MPR menggelar Sidang Umum MPR untuk menentukan presiden Republik Indonesia selanjutnya.
D. KONDISI SOSIAL & EKONOMI MASYARAKAT PASCA-REFORMASI
Dalam hal Pembenahan masalah krisis multidimensi sebagai akibat
dari krisis moneter Asia 1997, Indonesia menunjukkan hasil yang sangat lamban dibandingkan Negara-negara Asia lainnya. Berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan Negara menjadi sangat kompleks seiring dengan kejatuhan ekonomi tersebut. Tigginya tingkat intensitas konflik Politik Internal dalam negeri membuat konsentrasi penanganan masalah ekonomi dan sosial menjadi tidak optimal. Drorongan IMF untuk menerapkan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural ) di Indonesia tidak menambah ringan beban ekonomi bangsa. Penyebabnya adalah bahwa paket-paket kebijakan yang disodorkan oleh IMF tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya melihat satu sudut pandang yaitu Ketahanan Ekonomi. Ketahanan sosial masyarakat akibat penerapan kebijakan IMF yang hanya mengacu pada ketahanan ekonomi tidak begitu diperhatikan. Premis IMF yang melihat bahwa adanya peningkatan ketahanan ekonomi suatu Negara akan secara langsung berimbas pada peningkatan ketahanan sosial masyarakat, kemudian terpatahkan dalam kasus Indonesia. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia tidak menunjukkan hasil yang membaik.
Memburuknya kondisi sosial dan ekonomi Indonesia
Pascareformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan penghapusan subsidi bagi masyarakat yang disodorkan oleh IMF. Kebijakan itu tidak memperbolehkan pemerintah memberikan bantuan subsidi apapun bagi sector perekonomian dalam negeri. Proteksionisme terhadap sector perekonomian dalam negeri pun dilarang. IMF melihat bahwa perbaikan perekonomia bangsa akan lebih efektif apabila diserahkan pada kekuatan ekonomi pasar. Akan tetapi, disatu sisi, krisis ekonomi yang melanda Indonesia berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat. Sementara disisi lain, pemerintah tidak memberikan subsidi yang signifikan untuk meningkatkan perekonomia masyarakat, baik itu dalam bentuk subsisi usaha maupun proteksionisme terhadap sector ekonomi local.
Meningkatnya masalah sosial pun menjadi tak terhindarkan dari
adanya krisis ekonomi ini. Meningkatnya angka pengangguran, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi, dan makin meningginya angka kriminalitas menjadi warna dari krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia Pasca-reformasi. Menurunnya investasi asing di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab melambatnya kinerja ekonomi ini. Akan tetapi, agenda reformasi yang mengedepankan perbaikan ekonomi bangsa tetap menjadi focus utama setiap pemerintahan di Indonesia. Perwujudan lapangan pekerjaan menjadi hal yang konkret untuk menanggulangi krisis multidimensi tersebut.
Proyek pembenahan kondisi ekonomi dan sosial yang dicanagkan
pemerintahan era reformasi, antara lain berfokus pada hal-hal sebagai berikut.
1. Meningkatkan lapangan pekerjaan seoptimal mungkin. Metode
yang diterapkan pemerintah adalah dengan menggalakkan investasi asing sebagai potensi pembukaan lapangan pekerjaan baru. 2. Menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Tujuannya adalah memberikan kemudahan masyarakat dalam mendapatkan akses kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau. 3. Optimalisasi fasilitas umum bagi masyarakat. Tujuannya adalah memberikan akses yang mudah bagi masyarakat kepada pemenuhan kebutuhan dasar, seperti air minum, listrik, bahan bakar, dan angkutan umum dengan harga yang terjangkau. 4. Mengoptimalkan sector pendidikan, yang bertujuan untuk memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak. 5. Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses lesehatan. Caranya adalah dengan menyediakan tempat berobat, dokter, dan obat dengan yang harga terjangkau.