Anda di halaman 1dari 8

A.

Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia


Bebas Aktif
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif selama ini dijalankan dengan
berasaskan pada 3 landasan. dasar prinsip bebas aktif dan berfondasikan pada 3
landasan (idiil, konstitusional, dan operasional Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) telah menetapkan bahwa politik luar negeri yang dijalankan sejak era
pascakemerdekaan sampai sekarang menganut prinsip bebas-aktif. Bebas bermakna
bebas memilih atau menentukan negara yang menjadi sahabat Indonesia tanpa terikat
pada satu ideologi atau blok tertentu. Adapun makna aktif adalah ikut ambil bagian
dalam mengembangkan persahabatan dan kerja sama internasional. Pencetus politik
luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia adalah Mohammad Hatta. Wakil Presiden
Indonesia pertama itu mengemukakan konsep "bebas aktif" saat menyampaikan pidato
berjudul "Mendayung di antara Dua Karang" pada 2 September 1948. Pidato
disampaikan di depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-
KNIP).

Menurut Hatta, penentuan kebijakan politik luar negeri Indonesia perlu ditetapkan
agar Indonesia tidak menjadi objek dalam pertarungan politik internasional. Indonesia
harus tetap menjadi subjek di dunia internasional yang memiliki hak dalam menentukan
sikap sendiri sebagai negara yang merdeka sepenuhnya. Makna politik luar negeri
Indonesia yang "bebas aktif" juga diterangkan dalam Bagian Penjelasan UU Nomor 37
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (PDF), tepatnya penjelasan untuk pasal 3,
yakni sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri
yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang
bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan
tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif
memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam
menyelesaikan konflik.

sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." "Yang dimaksud
dengan diabdikan untuk "kepentingan nasional" adalah politik luar negeri yang dilakukan
guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945." Indonesia memiliki corak politik luar negeri
yang khas. Hal ini terlihat pada pembukaan UUD 1945. Dalam potongan teksnya
disebutkan, “...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Apa Saja Landasan Politik Luar Negeri
Indonesia? Politik luar negeri memerlukan landasan demi menopang kebijakannya.
Untuk NKRI, kebijakan politik luar negeri dilandasi dengan landasan idiil, landasan
konstitusional, dan landasan operasional. Apa yang dimaksud dengan 3 landasan politik
luar negeri Indonesia itu? Jawabannya bisa ditemukan dalam Bagian Penjelasan UU
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (PDF), khususnya terkait pasal 2,
yakni sebagai berikut.

1. Landasan Idiil Landasan idiil Politik Luar Negeri Indonesia adalah Pancasila. Dengan
demikian kebijakan politik luar negeri Indonesia harus dijiwai Pancasilan dan
mencerminkan ideologi bangsa tersebut. Pancasila telah menjadi dasar negara yang
merupakan pedoman hidup bangsa dan sumber hukum di Indonesia. Selain itu,
Pancasila merupakan pedoman dasar untuk menjalani kehidupan berbangsa, bernegara,
sekaligus bermasyarakat. Karena itu, kebijakan politik luar negeri RI pun harus dilandasi
Pancasila.

2. Landasan Konstitusional Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia adalah


Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini termaktub pula di alinea 4 Pembukaan UUD 1945
yang memuat tujuan utama kemerdekaan Indonesia, yakni: "Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social….

3. Landasan Operasional Landasan operasional politik luar negeri Indonesia sebenarnya


dinamis karena mengikuti perkembangan zaman, dan disesuaikan dengan kebijakan
masing-masing pemerintahan pada masanya. Menukil Bagian Penjelasan UU Nomor 37
Tahun 1999, landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), yang menegaskan dasar, sifat, dan pedoman perjuangan
mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia.

Pada masa periode Reformasi, yang dimulai dari masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie, substansi landasan operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat di
Ketetapan (TAP) MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Di antara isi TAP MPR itu
termasuk sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan
luar negeri Indonesia, yaitu: menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif
menuju pencapaian tujuan nasional; ikut serta di dalam perjanjian internasional dan
peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia; memperbaiki performa,
penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-
aktif di semua bidang; meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai
pemulihan ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional dan
internasional; mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga; mengintensifkan
kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan
memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
C.Peran Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia
4.ASEAN
ASEAN merupakan singkatan dari Association of Southeast Asian Nations yang
mana berarti merupakan nama untuk negara-negara yang berada di Asia Tenggara. Semua kata
atau frasa ASEAN adalah Bahasa Inggris dan memiliki maknanya masingmasing. Bila diartikan
secara umum, ASEAN adalah suatu perserikatan atau organisasi antar bangsa yang wilayahnya
berada di kawasan Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara pernah menjadi kawasan dingin
karena menjadi tempat yang strategis baik secara geo-ekonomi dan geo-politik. Negara-negara
seperti Vietnam dan Filipina menjadi basis untuk masing-masing blok yaitu Timur dan Barat.
Konflik militer juga terjadi antara Laos, Kamboja, dan Vietnam. Selain itu, konflik bilateral juga
terjadi antara Indonesia dan Malaysia serta Kamboja dan Vietnam. Diperparah lagi dengan
timbulnya konflik internal di beberapa negara yaitu Indonesia, Thailand, dan Vietnam.
Permasalahan-permasalahan tersebut tidak hanya berdampak pada stabilitas pertahanan namun
juga stabilitas ekonomi negara-negara di Asia Tenggara. Akhirnya, para pemimpin Negara-negara
di Asia Tenggara tergerak untuk menciptakan suasana aman dan damai. Hingga pada tanggal 8
Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, ditandatanganilah Deklarasi ASEAN dengan sebutan
Deklarasi Bangkok. Pada awalnya, hanya lima negara yang tergabung, namun sampai hari ini,
jumlah anggota ASEAN adalah sepuluh negara. Negara pendiri awal Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand, bersatu dan menciptakan front bersama melawan penyebaran
komunisme dan mendukung stabilitas politik, ekonomi, dan sosial di tengah meningkatnya
ketegangan di Asia-Pasifik. Lima Menteri Luar Negeri yang menandatangani dokumen
pembentukan ASEAN yakni di antaranta Adam Malik dari Indonesia, Narciso R. Ramos dari
Filipina, Tun Abdul Razak dari Malaysia, S. Rajaratnam dari Singapura, dan Thanat Khoman dari
Thailand. Dokumen inilah yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi ASEAN. Pada tahun 1976,
para anggota menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, yang
menekankan saling menghormati dan tidak mencampuri urusan negara lain.Memasuki abad 21
di tahun 2007, sepuluh anggota mengadopsi Piagam ASEAN, sebuah dokumen konstitusional
yang memberikan pengelompokan status hukum dan kerangka kelembagaan. Piagam tersebut
mengabadikan prinsip-prinsip inti dan menggambarkan persyaratan untuk keanggotaan. Di sisi
lain pada tahun 2011, ketika Timor Leste mengajukan permohonan keanggotaan, tidak semua
anggota mendukung aksesinya.Piagam tersebut menetapkan cetak biru untuk sebuah komunitas
yang terdiri dari tiga cabang: Komunitas Ekonomi ASEAN (MEA), Komunitas Politik-Keamanan
ASEAN, dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN.
ASEAN dibentuk untuk beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut:

1. ASEAN dibentuk untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial, serta


budaya di Asia Tenggara melalui usaha bersama dengan semangat yang setara dan kemitraan.

2. ASEAN dibentuk untuk memajukan perdamaian serta stabilitas regional di kawasan Asia
Tenggara dengan menghormati supremasi hukum serta patuh pada prinsip PBB.

3. ASEAN dibentuk untuk memajukan kerjasama, rasa saling membantu dalam konteks Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

4. ASEAN dibentuk untuk mempererat hubungan internasional dan regional antar negara di Asia
Tenggara.

5.Organisasi Konferensi Islam


OKI adalah singkatan dari Organisasi Kerja Sama Islam yang dahulu bernama Organisasi
Konferensi Islam. Berikut sejarah berdirinya OKI -- OKI merupakan singkatan dari Organisasi Kerja
Sama Islam (Organisation of Islamic Cooperation/OIC) yang dahulu bernama Organisasi
Konferensi Islam. OKI adalah organisasi internasional yang terdiri dari 57 negara anggota yang
tersebar di seluruh dunia. Indonesia termasuk salah satu anggota OKI. Sejarah berdirinya OKI
berawal dari peristiwa pembakaran masjid Al-Aqsa di Yerusalem pada 1969.

Saat itu, para pemimpin negara Islam langsung menyelenggarakan pertemuan pada 25
September 1969 atau 12 Rajab 1389 Hijriah di Rabat, Maroko. Dalam pertemuan inilah OKI
didirikan dengan penandatanganan piagam OKI. Organisasi ini awalnya berdiri sebagai solidaritas
sesama muslim di dunia untuk melindungi tempat-tempat suci umat Islam. Pada 1970, digelar
pertemuan pertama Konferensi Menteri Luar Negeri Islam (ICFM) di Jeddah, Arab Saudi. Pada
pertemuan ini, disepakati lokasi sekretariat OKI berada di Jeddah yang dipimpin oleh sekretaris
jenderal.

OKI adalah singkatan dari Organisasi Kerja Sama Islam yang dahulu bernama Organisasi
Konferensi Islam. Berikut sejarah berdirinya OKI.(Foto bendera negara OKI: AFP Photo/Stringer)
Jakarta, CNN Indonesia -- OKI merupakan singkatan dari Organisasi Kerja Sama Islam
(Organisation of Islamic Cooperation/OIC) yang dahulu bernama Organisasi Konferensi Islam. OKI
adalah organisasi internasional yang terdiri dari 57 negara anggota yang tersebar di seluruh
dunia. Indonesia termasuk salah satu anggota OKI.
Sejarah berdirinya OKI berawal dari peristiwa pembakaran masjid Al-Aqsa di Yerusalem pada
1969. Saat itu, para pemimpin negara Islam langsung menyelenggarakan pertemuan pada 25
September 1969 atau 12 Rajab 1389 Hijriah di Rabat, Maroko. Dalam pertemuan inilah OKI
didirikan dengan penandatanganan piagam OKI. Organisasi ini awalnya berdiri sebagai solidaritas
sesama muslim di dunia untuk melindungi tempat-tempat suci umat Islam.

Pada 1970, digelar pertemuan pertama Konferensi Menteri Luar Negeri Islam (ICFM) di Jeddah,
Arab Saudi. Pada pertemuan ini, disepakati lokasi sekretariat OKI berada di Jeddah yang dipimpin
oleh sekretaris jenderal. Pada ICFM ketiga yang digelar pada 1972, OKI membuat piagam yang
berisi tujuan dan prinsip dasar organisasi yakni untuk memperkuat solidaritas dan kerja sama di
antara negara-negara anggota. OKI yang semula terdiri dari 30 anggota pendiri berhasil
memperluas keanggotaan menjadi 57 negara anggota. Pada 28 Juni 2011, OKI mengubah
namanya yang semua Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerja Sama Islam. OKI
terdiri dari badan-badan utama yakni KTT Islam, Dewan menteri Luar Negeri, Sekretariat
Jenderal, Komite Al-Quds, dan tiga komite permanen terkait teknologi, ekonomi, serta informasi
dan budaya. organisasi ini bekerja sama dengan PBB dan organisasi antar pemerintah lainnya
untuk melindungi kepentingan umat Islam. Saat ini OKI memiliki sejumlah program yakni OKI-
2021 yang fokus pada 18 bidang prioritas dengan 107 tujuan. Beberapa bidang prioritas meliputi
isu perdamaian dan keamanan, Palestina dan Al-Quds, pengentasan kemiskinan, terorisme,
investasi dan keuangan, serta ketahanan pangan. Program ini diperbarui setiap 10 tahun sekali.

6.Deklarasi Djuanda
Menteri RI Djuanda Kartawidjaja menandatangani Deklarasi Djuanda, tepatnya 13 Desember
1957. Dengan adanya Deklarasi Djuanda, Indonesia menyatakan kedaulatan atas wilayah laut
Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, wilayah laut di Indonesia tidak dalam satu kesatuan
karena setiap pulau dipisahkan oleh perairan internasional.

Latar belakang lahirnya Deklarasi Djuanda

Pada masa awal kemerdekaan, wilayah Indonesia terdiri dari delapan provinsi yaitu Sumatera,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Borneo, Sulawesi dan Maluku. Sebagian
provinsi tersebut berada di pulau-pulau yang berbeda.13 Desember 2019, peta wilayah
Indonesia saat itu masih mengacu pada Peta Kolonial Belanda yang disebut Teritoriale Zeeen en
Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) terbitan 1939. Dalam peta itu disebut bahwa luas laut
Indonesia hanya 3 mil laut.Berdasarkan peta itu, laut Jawa, Selat Karimata, Laut Flores, Laut
Arafuru, Sulawesi dan lainya menjadi laut bebas atau perairan internasional.
Perairan internasional adalah zona bebas yang bisa dilalui oleh kapal-kapal dari berbagai negara,
tanpa perlu izin dari pemerintah Indonesia. Sehingga setiap negara boleh melakukan kegiatan
apa pun, baik yang menguntungkan atau merugikan kedaulatan Indonesia. Kondisi ini membuat
wilayah Indonesia seolah tidak berada dalam satu kesatuan. Padahal, Indonesia memiliki sekitar
17 ribu pulau yang harus dijaga kesatuan dan pertahanannya. Indonesia tentu keberatan dengan
TZMKO 1939. Sampai akhirnya, pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Indonesia Djuanda
Kartawidjaja membuat sebuah deklarasi. Djuanda ingin mengubah sistem ketatalautan dan zona
teritorial Indonesia. Melalui deklarasi yang dibuatnya, Djuanda menegaskan kepada negara lain
bahwa wilayah laut di sekitar kepulauan nusantara, merupakan laut yang menjadi wilayah
kesatuan dan kedaulatan Indonesia.

Deklarasi Djuanda yang ditandatangani pada 13 Desember 1957 berbunyi sebagai berikut:
Dewan menteri, dalam sidangnya pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 1957 membicarakan
soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia. Perdana Menteri Djuanda dengan jawaban
Pemerintah ditangannya waktu berjalan menuju mimbar untuk memberikan pidatonya di sidang
Konstituante. Perdana Menteri Djuanda dengan jawaban Pemerintah ditangannya waktu
berjalan menuju mimbar untuk memberikan pidatonya di sidang Konstituante. Deklarasi Djuanda
yang ditandatangani pada 13 Desember 1957 berbunyi sebagai berikut: Dewan menteri, dalam
sidangnya pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan
Negara Republik Indonesia. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan Negara
Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu
kesatuan yang bulat.

Isi Deklarasi Djuanda

Deklarasi Djuanda yang ditandatangani pada 13 Desember 1957 berbunyi sebagai berikut:

-Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang memiliki corak tersendiri

-Wilayah laut di kepulauan nusantara merupakan kedaulatan mutlak Indonesia

-Batas teritorial laut Indonesia sepanjang 12 mil diukur dari titik terluar pulau .

7.Jakarta Informal Meeting


JAKARTA informal meeting dilakukan sebanyak dua kali, JIM I pada Juli 1987 dan JIM II pada
febuari 1889 di Jakarta. JIM I mempertemukan kedua negara yang berselisih untuk pertama kali
dan membuahkan hasil gencatan senjata yaitu Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja dan
diturunkannya PBB ke perbatasan Kamboja. Menjadi salah satu pendiri dan anggota ASEAN,
Indonesia memainkan peran untuk mewujudkan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Salah
satu cara yang berhasil dilakukan adalah dengan menggelar Jakarta Informal Meeting atau JIM.
Diadakan di Bogor pada 5-28 Juli 1988 dan Jakarta pada 19-21 Februari 1989, Jakarta Informal
Meeting bertujuan untuk mewujudkan perdamaian atau menyelesaikan konflik bersenjata
antara dua negara bertetangga di Semenanjung Indocina, Kamboja dan Vietnam. Melalui
pertemuan tersebut, Indonesia berhasil memfasilitasi kedua negara untuk berunding dan
menyelesaikan konflik berdarah yang terjadi selama bertahun-tahun.

Latar Belakang Jakarta Informal Meeting

Kamboja dan Vietnam merupakan dua negara yang sudah berkonflik cukup lama hingga menelan
banyak korban. Mengutip jurnal ilmiah berjudul Peran Indonesia dalam Proses Penyelesaian
Konflik Kamboja (Periode 1984-1991) yang ditulis oleh Maradona Runtukahu, konflik antara
Kamboja dan Vietnam dipicu oleh pergolakan dan besarnya ketegangan politik dalam negeri.
Puncak konflik Kamboja-Vietnam terjadi pada akhir 1978 ketika terjadi bentrokan antara rezim
Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam bentrokan tersebut terjadi pembantaian warga keturunan
Vietnam di Kamboja yang membuat Vietnam akhirnya menyerbu Kamboja dengan tujuan
menghentikan genosida tersebut. Rezim Khmer Merah pun akhirnya berhasil digulingkan berkat
invasi Vietnam pada Januari 1979. Kemudian, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja yang
dipimpin oleh Heng Samrin.

Namun, tindakan ini tentu mendapat penolakan dari berbagai pihak Kamboja dan menyebabkan
perang yang terus berlanjut dan terus memakan korban tanpa ada tanda-tanda penyelesaian.
Hal inilah yang akhirnya mendorong Indonesia beserta negara ASEAN lainnya untuk
mengupayakan mediasi guna mencari penyelesaian yang damai, adil, dan menyeluruh.
Diprakarsai oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, Jakarta Informal Meeting diadakan
untuk menyelesaikan konflik Kamboja-Vietnam.

Tujuan JIM

Perang Kamboja dan Vietnam merupakan perang besar yang diperkirakan menelah dua juta
jiwa.Konflik ini memicu Indonesia untuk turun tangan melakukan shuttle dioplomacy yaitu
Indonesia sebagai perantara akan menemui kedua belah pihak yang berselisih untuk
mengusahakan perdamaian.
Sejarah Indonesia
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
1. Maria Simangunsong
2. Tilmak Cahyani
3. Lastiar Siagian
4. Shinta Baringbing
5.Armando Siangian

Anda mungkin juga menyukai