PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok
1984.
2. Menjelaskan proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.
3. Menjelaskan dampak Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984
terhadap masyarakat Tanjung Priok.
3
2.1.2 Sebab Khusus :
Di sekitar Masjid Rawabadak terpasang pamflet dan poster yang
menghasut bersifat SARA. Karena imbauan petugas agar pamflet-pamflet dan
poster-poster itu dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, seorang petugas, pada
hari jumat tanggal 7 September 1984, menutup tulisan-tulisan yang bersifat
menghasut itu dengan warna hitam. Selain itu, Sersan Hermanu melakukan
pengotoran mushala dengan menggunakan air comberan dan memasuki
mushola tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Hal ini dikarenakan, Hermanu
masih melihat poster-poster yang menghujat pemerintah ditempel di Masjid,
Penyiraman tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di sekitar mushala.
Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf dan
mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak
mengakui perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian masyarakat sudah
sangat emosi oleh sikap Hermanu, motor dinas Babinsa yang dikendarai
Hermanu dibakar. Hermanu berhasil diamankan oleh pengurus Masjid.
5
orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Syarifuddin
Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang
berdampingan dengan mushalla As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan
mengajak kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna
membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam
kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini
menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya disudahi dan
dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. Para jama’ah yang
berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari
kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata
seorang marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe
dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan mushalla As-Sa’adah dan seorang
lain lagi yang ketika itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muhammad Nur,
salah seorang yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
keempat orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang
kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka-mereka yang
ditangkap itu.
Pada hari berikutnya, para tetangga mushalla yang masih menyimpan
kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama Amir Biki,
karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira di
Jakarta. Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya
tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai
salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat.Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyampaikan
ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial,
diantaranya adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki
berbicara dengan keras yang isinya menyam-paikan ultimatum agar membebaskan
para tahanan paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan
mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.
Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demonstran
bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat. Sebelum massa tiba di
tempat yang dituju, sekonyong-konyong mereka telah dikepung dari dua arah oleh
pasukan bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan dengan tentara yang
sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol,
mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Lalu terdengar
suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan
moncong bedilnya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru
berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur
berlumuran darah. Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari
menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik-
cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad
manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka
yang tidak begitu parah beru-saha lari dan berlindung ke tempat-tempat di
sekitarnya. Sembari tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka-
luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua
korban dibawa ke RS militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain
diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok.
Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran
untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam setelah
pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny Murdani datang
mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan
oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.
7
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada
pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah-
ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana
hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan
penguasa. Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan
umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas
tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan
nonpribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah : Tanggung Jawab Siapa?
Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 :26) dijelaskan bahwa proses
terjadinya tragedi Priok pada hari senin, 10 September 1984 ketika seorang
petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan
kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas keamanan berhasil
menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang.
Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan
pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk
mengatahui nasib keempat orang yang ditahan, masyrakat sepakat bergerak
ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di
Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat
menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko, M.Nasir,
tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu.
Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi
ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak
dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini
senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal
Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa
Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut
pembebasan mereka yang ditahan. Ia juga berpesan agar selama perjalanan
massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para
mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat
pengajian. Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat
bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima
meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang
petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif,
namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan
keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil
mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur
kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah
membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan
tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban
pun tidak dapat dihindari. Setelah datang pasukan keamnanan lainnya,
barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa
rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali
petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan
terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha
perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata
tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu. Aparat yang bersenjata itu
menghujani tembakan terhadap ribuan massa dengan leluasa. Teriakan minta
tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada di barisan depan bertumbangan
bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap,
menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut
tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu tempat.
9
ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui
kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul
Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang
tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam
Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Hari Sabtu tanggal 8 September 1984, dua orang petugas Koramil
(Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV
Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang
tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi
hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Hari Minggu tanggal 9 September 1984, peristiwa hari Sabtu (8
September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat
tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan
kepada jamaah kaum muslimin.
Hari Senin tanggal 10 September 1984, beberapa anggota jamaah
Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang
mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya
dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan
lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW,
diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu,
membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan
oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan
penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua
Mushala as-Sa’adah.
Hari Selasa tanggal 11 September 1984, Amir Biki menghubungi
pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah
yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki
ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko
66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk
menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat.
Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Hari Rabu tanggal 12 September 1984, dalam suasana tantangan
yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang
sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus
berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang
bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi,
dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah
pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim.
Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak
bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus
memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak
apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu
bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu
berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian
menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ
sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar
betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke
tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan
“mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar!
Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di
hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu
bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh
menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat!
Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka
yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak
lagi sampai mati.
11
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda
sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas
mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis
ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-
pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah
pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah
tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari
jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang
patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah
umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu
untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan
melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua
buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang
terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sesudah mobil truk
besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran
yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di
sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim
dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor
Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan
perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan
jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7
meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu
diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu
di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan
diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah
pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron,
di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda
10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju
Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke
kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan
bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron
berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat
saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok
tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak
Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa
pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini
karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-
bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di
mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor
petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya
ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12
September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke
kantor Satgas Intel Jaya.
13
Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas,
belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM
dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif menyatakan korban sebanyak
79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24
orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban hanya 28 orang.
Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok
begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September,
menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Hingga kini, peristiwa Tanjung Priok massih menyisakan misteri. Korban yang
meninggal tidak diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan
mengalami cacat seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya,banyak diantara
mereka yang menjadi koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong adanya
asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik
untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia. Keinginan Soeharto ini
ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar tokoh Islam di Indonesia.
Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu,
mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun
tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk
ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got,
bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar.
Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Mubaligh Abdul
Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila.
Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang
berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki,
Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat
orang yang ditahan terdengar semakin keras.
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi
satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani. Massa sama
sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir.
Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak
maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam.
Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari
moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Kemudian, datang konvoi truk
militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan.
Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki.
Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta.
Tanjung Priok banjir darah.
DAFTAR PUSTAKA
15
A. Sumber Buku
B. Sumber Internet
HASIL DISKUSI
PERTANYAAN :
1. Lia Meilani
a. Bagaimana kelanjutan dan penyelesaian peristiwa Tanjung
Priok 1984 pada saat ini ?
b. Selain dampak jatuhnya korban, bagimana dampak pada
pemerintahan Soeharto ? Apakah mengancam stabilitas politik
dan ekonomi ?
2. Mina Holilah
a. Bagimana hubungan antara pemerintah dengan Organisasi Islam ? Poin
apa sajakah yang bisa menyatakan bahwa peristiwa Tanjung Priok 1984 ini
dikatakan sebgai Gerakan Pengacau Keamanan ?
b. Tanjung Priok dikenal dengan jawaranya, bagaiman posisi jawara pada
saat peristiwa Tanjung Priok 1984 ?
3. Dede Wahyu Firdaus
a. Bagaimana peranan militer khususnya Benny Moerdani ?
b. Bagaimana tindak lanjut dan penyelesaian peristiwa Tanjung Priok 1984
pada saat ini ?
4. Irma Nurchaeda
Mengapa fenomena Tanjung Priok 1984 bisa terulang pada peristiwa Tanjung
Priok 2010 ? Apakah ada hal yang menarik di daerah Tanjung Priok ?
5. Abdullah Farid
a. Apa yang melatarbelakangi Soharto
membuat Pancasila sebagai asas
tunggal ?
b. Siapakah pembisik Soeharto pada
peristiwa Tanjung Priok 1984 ini ?
MEMAMBAHKAN :
1. Giovana 2. Isni Rianti
Enggriani
3. Arif
17
Nugraha
4. Elin Liani
5. Rifky
Azhari
6. Didi
Sopyan
7. Irma
Nurchaeda
8. Ade
Maman