Kelas : XI-MIPA 4
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok
1984.
2. Menjelaskan proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.
3. Menjelaskan dampak Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 terhadap
masyarakat Tanjung Priok.
BAB II
PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984
Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto, di luar keberhasilannya dalam bidang
ekonomi, banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban
jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas
dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik
menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada
pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam
ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para
mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua
kata menyentil kebijakan penguasa. Mereka mengecam kebijakan
pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah
larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta
masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan nonpribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah : Tanggung Jawab Siapa?
Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 :26) dijelaskan bahwa proses
terjadinya tragedi Priok pada hari senin, 10 September 1984 ketika
seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja,
dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas
keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya
dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap
empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan
sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib
keempat orang yang ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor
Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada saat
itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan
bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin
Maloko, M.Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah
peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon
dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila
keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini
senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang
Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang
menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim
untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan. Ia juga berpesan
agar selama perjalanan massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan
ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan
agar tidak keluar dari pusat pengajian. Sampai di depan Polres Jakarta
Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan
aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara
Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan
menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu
keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif,
namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi
dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan
keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan
celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat
mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak
yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan
tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke
tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari. Setelah
datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi
mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali
petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis
dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah
usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit
dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu. Aparat
yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa
dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang
berada di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih
selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-
sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh
korban dan menguburkannya di suatu tempat.
Peristiwa Tanjung Priok 1984 versi Warga ini posting saya yang
keLima dari tema utama kita Makalah Kasus Pelanggaran HAM Tanjung
Priok 1984 jika sobat menemukan halaman ini dan belum
sempat membaca posting yang pertama untuk mempermudah alurnya
sobat bisa baca dulu Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 dan
untuk posting selanjutnya akan kita bahas Akhir dari Peristiwa
Tanjung Priok 1984. Dan bagaimana kasus Tanjung Priok menurut
Warga langsung saja…
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda
sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan.
Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-
senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk
besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di
jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang
dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah
dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah
umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Hallo Sobat Posting saya yang keEnam ini merupakan Akhir dari
makalah Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. jika sobat
menemukan Halaman ini di Google sangat saya sayangkan jika sobat
tidak membaca mulai dari awal karena pasti binggung hehehe…Untuk
ke awal makalah silahkan Klik disini.
Kesimpulan
Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong
adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform
ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia.
Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar
tokoh Islam di Indonesia.
Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu,
mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'.
Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat
Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram
dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga
marah dan motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus
mushola diciduk Kodim. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat
pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di
Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang
berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir
Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat
melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras.
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat
polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu
menangani. Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah
hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tanpa peringatan terlebih dahulu,
tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan
terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik
yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari
moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Kemudian, datang
konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas
massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam
hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke
perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok
banjir darah.