Anda di halaman 1dari 15

Di susun oleh : Rendi Gilar R.

Kelas : XI-MIPA 4

Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984

Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984

Makalah Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 ini hanya


sebagai wacana bagi kita bahwa telah terjadi Pelanggaran HAM (Hak
Azasi Manusia) di masa lalu. Dan patut untuk menjadi pembelajaran
bagi kita semua Semoga untuk kedepannya Hal seperti ini tidak
terulang lagi di Negeri kita yang tercinta ini. Posting ini terkait dengan
posting saya yang sebelumnya Kasus-kasus Pelanggaran HAM di
Indonesia yang di antaranya menyebutkan Kasus Pelanggaran HAM
Tanjung Priok 1984 ini. Karena Makalah ini sangat panjang maka saya
memutuskan untuk membagi menjadi beberapa Postingan dan untuk
memudahkan pembaca di bagian bawah posting sudah saya sediakan
Link untuk melanjutkan ke Halaman berikutnya.

BAB I
PENDAHULUAN

Latar BelakangMasalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan


Pancasila. Pemerintah Orde Baru pada era tahun 1980-an
menginginkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia
sehingga pemerintah saat itu mensosialisasikan Rancangan Undang-
Undang (RUU) No 5/1985 tentang pemberlakuan asas tunggal
Pancasila. Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum.
Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong
adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform
ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia.
Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar
tokoh Islam di Indonesia. Soeharto, dengan gaya anti-komunisnya,
menyatakan tidak perlu khawatir karena Pancasila itu sila pertamanya
adalah Ketuhanan yang Maha Esa, jadi soal-soal spiritual tidak akan
terbengkalai walau digantikan dengan Pancasila.

Namun kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih lemah.


Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum
mampu ditangani oleh pemerintah khususnya kasus-kasus pada masa
Orde Baru. Salah satu kasus tersebut adalah Peristiwa Tanjung Priok
1984. Penelitian ini mengangkat tema Peristiwa Tanjung Priok 1984
sebagai objek penelitian. mengingat peristiwa ini merupakan salah
satu kasus pelanggaran HAM yang dampaknya berkelanjutan hingga
saat ini. Peristiwa Tanjung Priok 1984 berhubungan dengan (RUU) no
5/1985.

Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang kami kaji dalam


makalah ini antara lain :
1. Bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984?
2. Bagaimana proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984?
3. Bagaimana dampak Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 terhadap
masyarakat Tanjung Priok ?

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok
1984.
2. Menjelaskan proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.
3. Menjelaskan dampak Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 terhadap
masyarakat Tanjung Priok.

Teknik PenulisanDalam penulisan makalah ini kami menggunakan


metode deskriptif artinya memberikan gambaran secara umum
mengenai peristiwa Pemberontakan Tanjung Priok yang terjadi di
Indonesia pada tahun 1984. Namun dalam hal pengumpulan sumber-
sumber penulisan makalah, kami menggunakan metode studi
kepustakaan yang didapatkan dari buku-buku yang berhubungan
dengan berbagai macam hal yang berhubungan dengan masa Orde
Baru di Indonesia. Selain itu, pencarian informasi melalui media
internet pun kami lakukan dengan tujuan untuk menambah referensi
dalam penulisan makalah ini.
Sistematika PenulisanPada makalah ini, tim penulis akan menjelaskan
hasil kajian tim penulis dari berbagai sumber yang dimulai dari bab
pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab berikutnya tim penulis akan memaparkan dan menjelaskan
tentang data yang tim penulis peroleh baik dari buku-buku sumber,
internet dan sumber lainnya yang mendukung judul dari makalah ini.
Sehingga pada bab kedua ini tim penulis akan membahas latar
belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984, proses terjadinya
peristiwa Tanjung Priok 1984, dan peristiwa Tanjung Priok tahun 1984
terhadap masyarakat Tanjung Priok.
Bab ketiga merupakan bab penutup dalam makalah ini. Pada bagian
ini, tim penulis menyimpulkan uraian sebelumnya dan mengambil
makna dari kajian yang telah tim penulis bahas dalam bab
sebelumnya.

Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984

sekarang kita bahas Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984


dan ini Posting yang kedua dari pembahasan Makalah Kasus
Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 jika sobat belum membaca
posting pertama biar lebih jelas alurnya silahkan di baca dulu Kasus
Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. untuk posting pembahasan
Latar latar belakang Peristiwa ini agak sedikit karena masih dalam
cakupan yang luas dan untuk posting yang selanjutnya Proses
terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984 akan lebih pada pokok
pemasalahannya. Ok langsung dibaca yuuukk..??

BAB II
PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984

Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984Sebab umum


:EkonomiPertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia yang
spektakuler selama dasawarsa 1970-an, tidak berhasil menciptakan
fundamen ekonomi nasional yang kuat. Hal ini dikarenakan dua pilar
utama pembangunan yaitu ekspor migas dan utang luar negeri,
sehingga ketika dunia mengalami krisis ekonomi dan turunnya harga
minyak secara drastis di awal dasawarsa 1980-an, perekonomian
Indonesia pun terpuruk. Tingkat inflasi juga mengalami peningkatan,
pada tahun 1983 sebesar 13,52% dan pada 1984 menjadi 15,53%
padahal pada tahun 1982 hanya 9,06%. Ini menyebabkan beban biaya
hidup semakin berat. Awal dasawarsa 1980-an merupakan kondisi sulit
bagi sebagian besar rakyat Indonesia untuk menjalani hidup
kesehariannya.Politik

Di bidang politik pada saat yang bersamaan juga sedang terjadi


konstraksi antara pemerintah dengan ormas serta parpol Islam. Untuk
menaklukkan kelompok-kelompok dan parpol Islam, pemerintah pada
tahun 1983 menerapkan kebijakan asas tunggal. Semua ormas dan
partai yang ada di Indonesia harus memiliki kesatuan dan hanya satu
asas, yaitu Pancasila. Maksud dari diterapkannya kebijakan ini adalah
untuk mencabut ormas dan parpol Islam dari akar ideologinya, Islam.
Hal ini tentu saja mendapat tanggapan dan tantangan dari ormas dan
partai Islam. Kondisi ini semakin memperuncing konflik antara
pemerintah dan ormas serta parpol Islam.

Sebab Khusus :Di sekitar Masjid Rawabadak terpasang pamflet dan


poster yang menghasut bersifat SARA. Karena himbauan petugas agar
pamflet-pamflet dan poster-poster itu dihapus atau dicabut tidak
dihiraukan, seorang petugas, pada hari jumat tanggal 7 September
1984, menutup tulisan-tulisan yang bersifat menghasut itu dengan
warna hitam. Selain itu, Sersan Hermanu melakukan pengotoran
mushola dengan menggunakan air comberan dan memasuki mushola
tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Hal ini dikarenakan, Hermanu
masih melihat poster-poster yang menghujat pemerintah ditempel di
Masjid, Penyiraman tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di
sekitar mushola. Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu
untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi
Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada
saat yang sama sebagian masyarakat sudah sangat emosi oleh sikap
Hermanu, motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu dibakar.
Hermanu berhasil diamankan oleh pengurus Masjid dari kemarahan
warga.

Proses Peristiwa Tanjung Priok 1984

Assalamuallaikum Sobat UPHil n RAGHiel Proses Peristiwa Tanjung


Priok 1984 ini posting saya yang ketiga dari tema utama kita Makalah
Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 jika sobat menemukan
halaman ini dan belum sempat membaca posting yang pertama untuk
mempermudah alurnya sobat bisa baca dulu Kasus Pelanggaran HAM
Tanjung Priok 1984 dan untuk posting selanjutnya akan kita bahas
Peristiwa Tanjung Priok 1984 versi Pemerintah. Ok langsung saja
kita mulai..
Proses Peristiwa Tanjung Priok 1984
Tanjung Priok, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh,
termasuk salah satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi
tempat orang-orang desa dan pulau-pulau yang berdekatan guna
mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup di kota Jakarta.
Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus
kependudukan, Tanjung Priok merupakan daerah paling padat, di
mana setiap meter persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus
ini benar atau salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk
yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan
barbar buka setiap malam. (Tim PeduliTapol,: 13)

Koja, sebuah lokasi di mana peristiwa Tanjung Priok terjadi,


merupakan daerah hunian kaum buruh galangan kapal, buruh-buruh
pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal dengan
“pekerja serabutan”. Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di
tempat ini. Tanjung Priok sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi
dan mudah sekali tersulut berbagai issu. Penduduknya yang sangat
padat, perputaran barang-barang keluar masuk yang dikirim ke
tempat-tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain itu,
tempat yang sangat miskin ini berdampingan pula dengan rumah-
rumah mewah yang dijaga oleh anjing-anjing galak. Padahal daerah ini
dihuni oleh berbagai golongan penduduk yang berbeda-beda
kulturnya, seperti Banten, Jawa Barat, Madura, Bugis, Sulawesi. Dan
semua daerah yang telah disebutkan, sangat dipengaruhi oleh kultur
Islam.
Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer
kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak
serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan
lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan
dan omongan diantara para jama’ah masjid. Pada pertengahan 1984,
beredar issu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan
penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Di
antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh
terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ahnya dengan
menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab
rancangan undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang
kontroversial.
Pada tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla
kecil bernama “Musholla As-Sa’adah” dan memerintahkan untuk
mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang
dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadual
pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian orang-orang
yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu.
Keesokanharinya, Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu
Hermanu, mendatangi mushola As-Sa’adah untuk menyita pamflet
berbau ‘SARA’. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung
perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas
sepatu, menyiram dinding mushola dengan air got, bahkan menginjak
Al-Qur’an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar.(kesaksian
Abdul Qadir Djaelani)
Pada tanggal 10 September 1984, Beberapa anggota jamaah Mushola
As Sa'adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang
mengotori mushola mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang
kebetulan lewat. Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang
takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan musholla
As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua
tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan
masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam
kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid
ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya
disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran
tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan
kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa
menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang
marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin
Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap
aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan
musholla As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika itu berada di
tempat kejadian. Selanjutnya, Muhammad Nur, salah seorang yang
ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan keempat
orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang
kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka-mereka
yang ditangkap itu.
Pada hari berikutnya, para tetangga musholla yang masih menyimpan
kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama
Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan
beberapa perwira di Jakarta. Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang
berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang
ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki
ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan
Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan
untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat.Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-
sia.
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh
menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai
persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru saja
terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang
isinya menyampaikan ultimatum agar membebaskan para tahanan
paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan
mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.
Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang
demonstran bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat.
Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, sekonyong-konyong mereka
telah dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata berat. Massa
demonstran berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur.
Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol,
mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Lalu
terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang
langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa
demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba
ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat
sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada
saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik-cabik dengan
bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad
manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa
korban luka yang tidak begitu parah berusaha lari dan berlindung ke
tempat-tempat di sekitarnya. Sembari tentara-tentara mengusung
korban yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer,
tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS
militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk
tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah
seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran
untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam
setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny
Murdani datang menginspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya,
sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut
dijadikan daerah operasi militer.

Peristiwa Tanjung Priok 1984 versi Pemerintah

Ketemu lagi Sobat UPHil n RAGHiel Peristiwa Tanjung Priok 1984


versi Pemerintah ini posting saya yang keempat dari tema utama kita
Makalah Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 jika sobat
menemukan halaman ini dan belum sempat membaca posting yang
pertama untuk mempermudah alurnya sobat bisa baca dulu Kasus
Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 dan untuk posting selanjutnya
akan kita bahas Peristiwa Tanjung Priok 1984 versi Warga. langsung
saja seperti apa kasus Tanjung Priok menurut Pemerintah pada saat
itu…

Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto, di luar keberhasilannya dalam bidang
ekonomi, banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban
jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas
dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik
menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada
pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam
ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para
mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua
kata menyentil kebijakan penguasa. Mereka mengecam kebijakan
pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah
larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta
masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan nonpribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah : Tanggung Jawab Siapa?
Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 :26) dijelaskan bahwa proses
terjadinya tragedi Priok pada hari senin, 10 September 1984 ketika
seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja,
dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas
keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya
dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap
empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan
sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib
keempat orang yang ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor
Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada saat
itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan
bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin
Maloko, M.Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah
peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon
dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila
keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini
senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang
Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang
menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim
untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan. Ia juga berpesan
agar selama perjalanan massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan
ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan
agar tidak keluar dari pusat pengajian. Sampai di depan Polres Jakarta
Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan
aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara
Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan
menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu
keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif,
namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi
dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan
keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan
celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat
mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak
yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan
tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke
tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari. Setelah
datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi
mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali
petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis
dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah
usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit
dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu. Aparat
yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa
dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang
berada di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih
selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-
sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh
korban dan menguburkannya di suatu tempat.

Peristiwa Tanjung Priok 1984 versi Warga

Peristiwa Tanjung Priok 1984 versi Warga ini posting saya yang
keLima dari tema utama kita Makalah Kasus Pelanggaran HAM Tanjung
Priok 1984 jika sobat menemukan halaman ini dan belum
sempat membaca posting yang pertama untuk mempermudah alurnya
sobat bisa baca dulu Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 dan
untuk posting selanjutnya akan kita bahas Akhir dari Peristiwa
Tanjung Priok 1984. Dan bagaimana kasus Tanjung Priok menurut
Warga langsung saja…

Menurut Abdul Qadir Djaelani


Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh
aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung
Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit
banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut
adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa
Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi
pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif
terhadap Umat Islam Indonesia”.

Hari Sabtu tanggal 8 September 1984, dua orang petugas Koramil


(Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushola as-Sa’adah di
gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram
pengumuman yang tertempel di tembok mushola dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian
remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Hari Minggu tanggal 9
September 1984, peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushola
as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari
pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaian kepada jamaah
kaum muslimin.

Hari Senin tanggal 10 September 1984, beberapa anggota jamaah


Mushola as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil
yang mengotori mushola mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang
kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan
ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung,
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya
dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil
itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah
tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang
jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushola as-Sa’adah. Hari Selasa
tanggal 11 September 1984, Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang
berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang
ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki
ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan
Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan
untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-
sia.

Hari Rabu tanggal 12 September 1984, dalam suasana tantangan


yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya,
yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushola as-
Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir
Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik
mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di
hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik
mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki
berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah.
Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung
jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung
risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus
memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh
merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah
perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan
jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua:
sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ


sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi
pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah
pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-
mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah
dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur
dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan
sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka,
selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu
bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam
jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak,
“Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih
sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau
masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda
sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan.
Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-
senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk
besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di
jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang
dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah
dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah
umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer


itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan
melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-
orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian
itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan
mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan
membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim


dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor
Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak
meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya
3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu
jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan
jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan
jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian
itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk,
menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut
oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di
saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang
beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu
dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke


kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan
bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara
Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan
mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok
tidak boleh terjadi apabila Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib
Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya,
apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada
media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian
sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September
1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi
Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan
bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4
orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya
ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada
tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki
sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

Akhir dari Peristiwa Tanjung Priok 1984

Hallo Sobat Posting saya yang keEnam ini merupakan Akhir dari
makalah Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. jika sobat
menemukan Halaman ini di Google sangat saya sayangkan jika sobat
tidak membaca mulai dari awal karena pasti binggung hehehe…Untuk
ke awal makalah silahkan Klik disini.

Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984


Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah,
jiwa yang melayang. Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam,
terutama mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi dengan
statemen-statemen cita-cita Negara Islam. Jumlah korban dalam
tragedi masih simpang siur. Pemerintah dalam laporan resminya yang
diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa
korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Menurut hasil
investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk
peristiwa Tanjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum
terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM
dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif menyatakan korban
sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan
meninggal 24 orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban
hanya 28 orang.

Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung


Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12
September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan
berurusan dengan aparat. Hingga kini, peristiwa Tanjung Priok masih
menyisakan misteri. Korban yang meninggal tidak diketahui
pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat
seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya, banyak diantara mereka
yang menjadi koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong
adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform
ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia.
Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar
tokoh Islam di Indonesia.
Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu,
mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'.
Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat
Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram
dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga
marah dan motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus
mushola diciduk Kodim. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat
pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di
Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang
berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir
Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat
melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras.
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat
polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu
menangani. Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah
hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tanpa peringatan terlebih dahulu,
tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan
terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik
yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari
moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Kemudian, datang
konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas
massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam
hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke
perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok
banjir darah.

Anda mungkin juga menyukai