Anda di halaman 1dari 24

PELANGGARAN HAM DI INDONESIA

PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984

OLEH
DEWA AYU MADE FEBRIARI
(193213009/ A-13A)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


PROGRAM SARJANA
STIKES WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020

i
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena

berkat rahmat dan karunian-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang

Kasus Tanjung Priok 1984 dengan baik.

Makalah Kasus Tanjung Priok 1984 ini dibuat untuk memenuhi tugas mata

kuliah pelajaran Kewarganegaraan, yang berfungsi sebagai kegiatan untuk

meningkatkan dan mengembangkan kreativitas kerja mahasiswa.

Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah

membantu selama pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah yang

saya buat ini memiliki kekurangan, maka dari itu saya mengharapkan saran dan

kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Mudah-mudahan makalah ini

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Om Shanti.Shanti Shnti Om

UBUD, 22 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2  Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3  Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984


2.1   Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984 ....................................................... 3
2.2  Peristiwa Berdarah Tanjung Priok 1984.................................................................. 5
2.3   Penanganan Kejadian ..............................................................................................10
2.4   Pelanggaran Hak Asasi Manusia .............................................................................15

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan ..................................................................................................................... 19
3.1 Saran............................................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan Pancasila. Pemerintah

Orde Baru pada era tahun 1980-an menginginkan Pancasila sebagai satu-satunya

ideologi di Indonesia sehingga pemerintah saat itu mensosialisasikan Rancangan

Undang-Undang (RUU) No 5/1985 tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila.

Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto akan mendorong adanya asas

Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik untuk

seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia. Keinginan Soeharto ini

ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar tokoh Islam di Indonesia. Soeharto,

dengan gaya anti-komunisnya, menyatakan tidak perlu khawatir karena Pancasila

itu sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, jadi soal-soal spiritual tidak

akan terbengkalai walau digantikan dengan Pancasila.

Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum. Namun

kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini dapat

dilihat dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mampu ditangani oleh

pemerintah, khususnya pada masa Orde Baru, contoh kasus tersebut adalah

Peristiwa Tanjung Priok 1984. Makalah ini mengangkat tema Peristiwa Tanjung

Priok 1984 sebagai objek penelitian, karena mengingat peristiwa ini merupakan

salah satu kasus pelanggaran HAM yang dampaknya berkelanjutan hingga saat

ini. Kemudian Peristiwa Tanjung Priok 1984 juga adalah peristiwa yang

1
berhubungan dengan (RUU) No.5 Tahun 1985 tentang pemberlakuan asas tunggal

Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984?

2. Bagaimana proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984?

3. Bagaimana Penanganan kasus Tanjung Priok 1984?

4. Apa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok 198

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984.

2. Untuk mengetahui proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.

3. Untuk mengetahui Penanganan kasus Tanjung Priok 1984.

4. Untuk mengetahui Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus

Tanjung Priok 1984.

2
BAB II

PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984

2.1  Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984

A Sebab umum

Ekonomi

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia yang spektakuler

selama dasawarsa 1970-an, tidak berhasil menciptakan fundamen ekonomi

nasional yang kuat. Hal ini dikarenakan dua pilar utama pembangunan yaitu

ekspor migas dan utang luar negeri, sehingga ketika dunia mengalami krisis

ekonomi dan turunnya harga minyak secara drastis di awal dasawarsa 1980-an,

perekonomian Indonesia pun terpuruk. Tingkat inflasi juga mengalami

peningkatan, pada tahun 1983 sebesar 13,52% dan pada 1984 menjadi 15,53%

padahal pada tahun 1982 hanya 9,06%. Ini menyebabkan beban biaya hidup

semakin berat. Awal dasawarsa 1980-an merupakan kondisi sulit bagi sebagian

besar rakyat Indonesia untuk menjalani hidup kesehariannya

Politik

Di bidang politik pada saat yang bersamaan juga sedang terjadi konstraksi

antara pemerintah dengan ormas serta parpol Islam. Untuk menaklukkan

kelompok-kelompok dan parpol Islam, pada tahun 1983 pemerintah menerapkan

kebijakan asas tunggal, yaitu pada sidang umum MPR mengeluarkan ketetapan

MPR No II/1983 tentang garis-garis besar haluan Negara bab IV D Pasal 3: “....

demi kelestarian dan pengamalan pancasila, kekuatan-kekuatan politik

khususnya partai politik dan golongan karya harus benar-benar menjadi

3
kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya

asas..”

Akibat keputusan tersebut mendapat reaksi keras dari beberapa kelompok

masyarakat diantaranya petisi 50 dan juga masyarakat Tanjung Priok. Karena

berdasarkan keputusan tersebut semua ormas dan partai yang ada di Indonesia

harus memiliki kesatuan dan hanya satu asas, yaitu Pancasila. Maksud dari

diterapkannya kebijakan ini adalah untuk mencabut ormas dan parpol Islam dari

akar ideologinya, Islam. Hal ini tentu saja mendapat tanggapan dan tantangan dari

ormas dan partai Islam. Kondisi ini semakin memperuncing konflik antara

pemerintah dan ormas serta parpol Islam.

B Sebab Khusus:

Di sekitar Masjid As-Sa’adah terpasang pamflet dan poster yang bersifat

SARA’. Karena himbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu

dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, akhirnya seorang petugas Babinsa Kodim

yaitu Sersan Hermanu pada hari jumat tanggal 7 September 1984, mencabut

pamflet-pamflet tersebut dengan memasuki Masjid tanpa membuka sepatu dan

melakukan pengotoran mushola dengan menggunakan air got. Apa yang

dilakukan Sersan Hermanu tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di

sekitar Masjid. Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk

meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap

bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian

masyarakat yang sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu akhirnya membakar

motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu. Hermanu berhasil diamankan

oleh pengurus Masjid dari kemarahan warga. Namun justru pihak kodim malah

4
menangkap empat orang warga yang dianggapnya bertanggungjawab atas

pembakaran motor petugas tersebut. Dan penangkapan keempat tersangka tersebut

kemudian menjadi pemicu terjadinya peristiwa yang lebih

2.2 Peristiwa Berdarah Tanjung Priok 1984

Pada tahun 1984 Terjadi pengkritisan terhadap penerapan pancasila

sebagai satu-satunya asas, pengkritisan terhadap pelarangan pemakaian jilbab

terhadap remaja putri disekolah-sekolah, dan program berencana. Tepatnya pada

tanggal 7 September 1984 Sersan Satu Hermanu, Bintara Pembina Desa (Babinsa)

Kodim 0502 yang beragama Khatolik datang ke musholla As-Sa’adah. Dia

meminta jamaah mencabut pamflet-pamflet yang menempel di Masjid yang

bersifat SARA, yaitu mengkritisi penerapan pancasila sebagai satu-satunya asas,

pelarangan pemakaian jilbab terhadap pelajar putri dan Keluarga Berencana.

Karena himbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu

dicabut tidak dihiraukan, pada tanggal 8 September 1984 Sersan Satu Hermanu

kembali mendatangi Masjid As-Sa’adah, karena Hermanu masih melihat poster-

poster yang menghujat pemerintah ditempel di Masjid, kemudian ia masuk tanpa

membuka sepatu dan memerintahkan rekanya melepas famplet. Karena susah

membuka famplet, akhirnya Hermanu menyiram dengan air got, bahkan ia sampai

menginjak Al-Quran dan menodongkan pistol kepada jamaah yang di musolla

yang berusaha melarang perbuatanya.

Akibat dari perbuatan Hermanu, berita tersebut akhirnya menyebar

keseluruh daerah priok dan menyulut kemarahan dari umat Islam. Dari provokasi

ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.

Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada

5
saat yang sama sebagian masyarakat sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu,

motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu dibakar. Hermanu berhasil

diamankan oleh pengurus Masjid dari kemarahan warga.

Namun pihak aparat justru menangkap empat orang warga yang

dianggapnya sebagai yang bertanggungjawab atas pembakaran motor petugas

tersebut. Adapun empat orang itu adalah M. Noor sebagai orang yang memang

bertanggung jawab atas pembakaran motor, kemudian Syarifudin Rambe dan

Sofwan Sulaiman sebagai orang yang dituduh bertanggung jawab terhadap

pembakaran motor, dan Ah. Sahi sebagai ketua Mushola As-Sa’adah.

Penangkapan keempat tersangka tersebut kemudian menjadi pemicu terjadinya

peristiwa yang lebih besar.

Pada tanggal 11 September 1984 Amir Biki salah seorang pimpinan Posko

66, dia adalah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk

menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat.

Amir Biki menyampaikan tuntutannya kepada pihak-pihak yang berwajib untuk

meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang

diyakininya tidak bersalah, selambat-lambatnya pukul 23.00 malam hari itu juga.

Namun usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Walaupun dalam suasana tantangan yang demikian, pada tanggal 12

September 1984 acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah

direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala As-Sa’adah tetap dilaksanakan.

Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan

memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang

rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk

6
naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki

berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman

kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-

oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran

meskipun kita menanggung resiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita

harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak

apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan

golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).” Pada saat berangkat

jamaah pengajian dibagi dua, sebagian menuju Polres dan sebagian menuju

Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah

dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan

senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu,

terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu

disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu

militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan

sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang

lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit

histeris, beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota

militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih

banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau

masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh

buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk

7
besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para

jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih

mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang

tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum

tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil

truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk

besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-

selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu

untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke

dalam truk. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-

orang yang terkena tembakan yang tersusun seperti karung goni. Setelah mobil

truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama

kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang

bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya,

sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim

dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim,

jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan

yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu,

di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3

orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari

senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu

jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian

8
yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau

melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang

jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara

Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang

beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, lalu dibawa menuju

Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD). Sesampainya di rumah sakit,

mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara

Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar

mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang

dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.

Namun di sisi lain ada juga yang menyatakan bahwa peristiwa berdarah

Tanjung Priok 1984 adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya

dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan

merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari operasi

militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman

sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.

Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa

survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung

priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah

basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.

Mayoritas  penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari

barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan

kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah

dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai

9
wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah

sekali tersulut berbagai isu.

Bahkan suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum

peristiwa itu terjadi. Upaya-upaya provokatif memancing massa telah banyak

dilakukan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yang sering memutar

film maksiat yang  berdiri persis  berseberangan degan masjid Al-hidayah. Tokoh-

tokoh islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa

oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi islam. Suasana

rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok.

Sebab, di kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para

mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya bebas

sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas

tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan syarifudin Prawiranegara

sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke tanjung priok agar tidak masuk

perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama tanjung

priok.

2.3  Penanganan Kejadian

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Salah satu

dari unsur hukum tersebut adalah adanya jaminan perlindungan dan

penghormatan atas HAM . Yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah,

10
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

Dalam menangani kasus Tanjung Priok 1984 tidak semudah seperti

menangani kasus pelanggaran biasanya, karena kasus Tanjung Priok ini termasuk

ke dalam kasus pelanggaran HAM berat. Seperti yang tertera dalam Undang-

undang Nomor 39 Tahun 1999 Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

yakni:

(1)   Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan

Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum

(2)   Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-

undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun

(3)   Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang

Selain itu, kasus Tanjung Priok 1984 ini merupakan kasus yang terjadi

sebelum adanya undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sehingga

kasus Tanjung Priok ini harus diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, hal ini

tertera juga dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 bahwa

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya

Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM.

Hingga saat ini kasus Tanjung Priok masih belum dapat diselesaikan.

Binsar Gultom seorang Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta, menyatakan

bahwa kasus Tanjung Priok ini telah selesai, yang ditandai oleh pembebasan

Sriyanto pada tahun 2005, serta Purnowo dan Sutrisno Mascung pada tahun 2006.

11
Namun bagi para korban Tanjung Priok hal ini sangat tidak adil dan sangat

mengecewakan, karena banyak aturan hukum yang mengatur tentang HAM, yang

salah satunya yaitu terdapat dalam UUD 1945 BAB XA Tentang Hak Asasi

Manusia, khususnya pasal 28I hingga akhirnya para korban memutuskan untuk

meminta perhatian dari Presiden. Kemudia pada bulan Maret 2006 Kontras

(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi

Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan

dari kasus Tanjung Priok 1984.

Adapun penanganan terhadap kasus Tanjung Priok ini, secara rinci dapat

kami sampaikan melalui tabel di bawah ini:

Tanggal Kegiatan
27 Agustus 1999 Press release KPKP (Koalisi Pembela Kasus Priok:

Kontras, YLBHI, API, LBH Jakarta dan ALPERUDI)

mendesak pemerintah untuk:

         Mendesak PUSPOM untuk memanggil Soeharto dan

LB Moerdani, Try Sutrisno dan pentinggi-petinggi mliter

yang terlibat secara langsung kasus Tanjung Priok 12

September 1984 sebagai langkah awal

pertanggungjawabannya

         Memperlihatkan secara serius dan mengadili seluruh

pihak yang terlibat dalam rangkaian pelanggaran hukum

dan HAM atas kasus Priok mulai dari penembakan masal,

pembantaian, penangkapan sewenang-wenang,

pneyiksaan, intimidasi dan penghilangan orang baik sipil

dan militer

12
3 Mei 2000 KPP HAM memeriksa Try Soetrisno dan LB Moerdani
Juni 2000 Komnas HAM menyerahkan hasil KPP HAM Priok

kepada Kejaksaan Agung


11 Juli 2000 Berkas Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran

HAM Tanjung Priok (KP3T) dipulangkan Kejaksaan

Agung ke Komnas HAM untuk dilengkapi kekurangannya


14 Oktober 2000 Hasil penyelidikan diserahkan ke kejaksaan Agung untuk

kedua kalinya
24 Januari-19 Pemeriksaan beberapa saksi korban dan keluarga di

Februari 2001 Kejaksaan Agung


Juli 2002 MA Rahman dalam sebuah pertemuan dengan DPR RI

menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung telah menetapkan

12 tersangka
14 September Pembacaan dakwaan terhadap Sutrisno Mascung CS di

2003 Pengadilan HAM Jakarta Pusat. Komandan regu III daroi

Yon Arhanudse beserta 11 anak buahnya tersebut didakwa

melakukan pelanggaran HAM yang berat meliputi

pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penganiayaan


23 September Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pranowo didakwa

2003 oleh jaksa telah melakukan pelanggaran HAM berat

berupa perampasan kemerdekaan dan penyiksaan


30 September Dakwaan RA butar Butar dibacakan oleh Jaksa di

2003 pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Komandan Kodim

tersebut didakwa melakukan pelanggaran HAM berat

berupa pembunuhan, penganiayaan dan perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang terhadap penduduk

sipil
23 Oktober 2003 Sriyanto (Pasiop Kodim 0502) diajukan ke persidangan

dengan dakwaan telah melakukan pelanggaran HAM berat

13
meliputi: pembunuhan, percobaan pembunuhan dan

penganiayaan
31 Maret 2004 RA Butar Butar di tuntutan 10 tahun penjara
30 April 2004 RA Butar Butar divonis 10 tahun penjara dan wajib

memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap

korban
3 Juli 2004 Pranowo dituntut 5 tahun penjara
8 Juli 2004 Sriyanto dituntut 10 tahun penjara
9 Juli 2004 Sutrisno Mascung CS dituntut 10 tahun penjara
10 Agustus 2004 Pranowo diputus bebas oleh Pengadilan Negeri
12 Agustus 2004 Sriyanto diputus bebas oleh Pengadilan Negeri
29 September Sriyanto dibebaskan oleh hakim Agung ditingkat Kasasi

2005
13 Januari 2006 Mahkamah Agung membebaskan Pranowo ditingkat

kasasi.
28 Februari 2006 Sutrisno Mascung CS dibebaskan pada tingkat kasasi
6 Maret 2006 Kontras mengadu ke Komisi Yudisial

2.4  Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun

1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya

masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari

awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.  Kemiliteran

dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya

sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun,

termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia. Kekuasaan penuh yang

dimilki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan

oposisi politik. Fungsi kekuasaan  militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan

keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk

dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif. Mereka

14
menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan

terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM

paling berat sekalipun.

Menurut undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

yang dimaksud dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan

seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun

tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,

membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang

yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan

tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku.

Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan

pelanggaran hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain.

Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, baik secara

perorangan ataupun kelompok. Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan

dalam dua jenis, yaitu:

a.       Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

1. Pembunuhan masal (genisida)

2. Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan

3. Penyiksaan

4. Penghilangan orang secara paksa

5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b.      Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

1. Pemukulan

15
2. Penganiayaan

3. Pencemaran nama baik

4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya

5.      Menghilangkan nyawa orang lain

Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM

yang bersifat berat. Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 7

disebutkan bahwa, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

1.      Kejahatan Genosida

2.      Kejahatan terhadap kemanusiaan

Namun kelemahan dari pasal ini adalah tidak adanya ketentuan tentang

penyiksaan (torture) yang diatur secara mandiri. Sesuai dengan ketentuan hukum

internasional, penyiksaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM

sekalipun hal itu tidak merupakan bagian dari serangan yang meluas dan

sistematik terhadap penduduk sipil.

Adapun dalam laporannya Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T menyatakan

bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Tanjung Priok

antara lain, berupa:

1. Pembunuhan kilat (summary killing).

Tindakan pembunuhan kilat (summary killing) ini terjadi depan Mapolres

Jakarta Utara akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh

satu regu dibawah pimpinan Sutrisno Mascung dkk. Para anggota pasukan ini

masing-masing membawa peluru tajam 5-10. Akibat tindakan ini telah

mengakibatkan 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan.

16
2. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and

detention).

Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dilakukan aparat TNI

setelah terjadinya peristiwa Tanjung Priok yang dilakukan terhadap orang-orang

yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Semua

korban berjumlah 160 orang yang ditangkap tidak sesuai prosedur dan tanpa surat

perintah. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur

dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis.

3. Penyiksaan (torture)

Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan

Rumah Tahanan Militer Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror

dari aparat.

4. Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance)

Fakta-fakta tindakan ini terjadi dalam tiga tahap, antara lain: pertama,

menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan

keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-

diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi

penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua,

menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat

kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat.

Ketiga, adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta

identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut

sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara

pasti.

17
BAB III

PENUTUP

3.1     Simpulan

1. Latar Belakang peristiwa disebakan oleh sebab umum, yaitu ekonomi dan

politik serta sebab khusus.

2. Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12

September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan

sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar.

Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan

akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Peristiwa ini

dilatarbelakangi oleh munculnya ketetapan MPR No II/1983 tentang garis-garis

besar haluan Negara bab IV D Pasal 3.Kemudian terjadi peristiwa perampasan

brosur dan pamflet yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan

Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.

     3. Kasus Tanjung Priok 1984 mengalami penanganan oleh pengadilan HAM dari

tahun 26 Agustus - 6 Maret 2006. Hingga akhirnya para korban memutuskan

untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudian pada bulan Maret 2006

Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke

Komisi Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang

signifikan dari kasus Tanjung Priok 1984

Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yang

bersifat berat. Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut berupa Pembunuhan

kilat (summary killing), Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful

18
arrest and detention), Penyiksaan (torture), dan Penghilangan orang secara paksa

(enforced or involuntary disappearance).

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami

tentang pokok bahasaan mengenaai pelanggaran ham di indonesia. Tentunya

kritik daan saaran yaang membangun sangat dihaarapkan dalam menyukseskaan

makalah ini untuk mencappai kata sempurna.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, (2001). Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak

Asasi Manusia Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi

Dan Supremasi Hukum

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

www.google.co.id/www.kontras.org/tpriok/data/Komnas/HAM/tentang/Kasus/Tan

jung/Priok.doc diakses pada 19 Oktober 2020 jam 07.55

David Bourchier; Vedi R. Hadiz (2003). Indonesian Politics and Society: A

Reader. RoutledgeCurzon. hlm. 140. ISBN 978-0-415-23750-5.

Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik

Indonesia, ±1942-1998. PT Balai Pustaka. 2008. hlm. 642. ISBN 978-979-407-

412-1. Linton, S (2006), "Accounting for Atrocities in Indonesia" (PDF), The

Singapore Year Book of International Law (dalam bahasa Inggris), 10: 199–231,

diakses tanggal 22 oktober 2020

Kompas, PT Kompas Media Nusantara,. "Sudah Saling Memaafkan".

Diakses tanggal 2020-10-22.

Junge 2008, hlm. 17. Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre.The

Jakarta Post 2009, Victims 'may not.

The Jakarta Post 2000, FPI members attacks.Setiono 2008.

20
The Jakarta Post 2009, Victims report to UN.

The New York Times 1984, Around the World;. Erlanger 1990, Jakarta Journal;

Echoes.

Taufiqurrahman 2004, I was tortured.

KontraS, Massacre of Tanjung Priok. Saraswati 2003, Tanjung Priok rights.

The Jakarta Post 2003, Soeharto blamed.

The Jakarta Post 2003, Court urged to pursue.

21

Anda mungkin juga menyukai