Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

SEJARAH AWAL KORUPSI di INDONESIA

DOSEN PENGAJAR: Adi Purnomo Santoso, SH., MH.

KELOMPOK 3
Amelia Elisabeth 173112330050031
Ihsan Dwi Laksono 173112330050034
Clarissa Maharani 173112330050046
Adela Nanda 173112330050074
Muh. Ilyansah 173112330050083
Javier Loebby 173112330050084
M. Isa Bustomi 173112330050103
Bilqisthi Putri 173112330050114
Bagas Saputra 173112330050117
Dzikri Zulkarnain 173112330050118
Ahmad Syarifudin 183112706450170

Universitas Nasional
2019
Kata Penghantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sejarah Awal Korupsi di Indonesia” ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun oleh
Kami untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangannya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak untuk perbaikan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta,23 april 2019

Penulis
Daftar isi
KataPengantar ........………………………………………………………..

Daftar Isi ………………………………………………….

Bab I. Pendahuluan ……………………………………………………………..


A. Latar Belakang …………………………………………………….............
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………..

Bab II. Pembahasan ……………………………………………………………..

Bab III. Penutup …...………………………………………………………...


A. Kesimpulan …………………………………………………………..............
B. Saran ………………………………………………………..............

Daftar Pustaka ……………………………………………………………..


BAB.I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati
posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia
semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang. Perkembangan korupsi di Indonesia
juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan
korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat dalam
perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari
banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang, seperti
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja maksimal.Tetapi
antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga dan waktu
yang dimiliki KPK.

Menurut sejarawan Onghokham, korupsi marak karena ada perubahan


manajemen keuangan yakni antara uang negara dan uang pribadi yang sulit
dilakukan pejabat. Karena pada masa kerajaan, tradisi yang ada adalah uang negara
adalah uang raja. Uang desa adalah uang lurah. Ada pergeseran makna jabatan masa
lalu dan masa kini. Jual beli jabatan pada masa lalu, ternyata juga sesuatu yang legal.
Pemangku jabatan memang harus orang yang berduit agar saat menjabat bisa menyetor
upeti kepada raja.

Dalam tulisan ini, kami akan menjelaskan secara rinci perkembangan sejarah awal
korupsi di Indonesia

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal korupsi di Indonesia?
2. Siapa kah yang berpengaruh dalam perkembangan sejarah korupsi
di Indonesia?
3. Kenapa bisa terjadi Korupsi di Indonesia?
BAB II
Pembahasan
Era Orde Lama
Di Era Orde Lama, antara 1951–1956, isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal
seperti “Indonesia Raya” yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan
dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel.

Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang
pertama di Indonesia, dimana atas intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo, Ruslan
Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie
Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang
diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri
Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap(kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan
Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin


Harahap(kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan
Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang
mengangkat isu korupsi di koran lokal mereka, justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena
dianggap sebagai lawan politik Sukarno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958


dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH
Nasution untuk mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil
nasionalisasi dibawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun
kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling
subur mulasi saat ini. Kolonel Soeharto, yang menjabat sebagai Panglima Diponegoro saat
itu, diduga terlibat dalam kasus korupsi gula. Akhirnya ia diperiksa oleh:

 Mayjen Suprapto
 S Parman
 MT Haryono, dan
 Sutoyo

Mereka semua dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima
Diponegoro yang diduduki oleh Kolonel Soeharto, akhirnya diganti oleh Letkol Pranoto,
Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto,
yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat D.I.
Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

Dari sinilah sebagian masyarakat sudah tahu sejak dulu, bahwa plot Gerakan 30
September 1965 yang sebenenarnya dibuat untuk membunuh para dewan Jenderal pada masa
lalu itu sebagai dendam, memiliki dampak yang akhirnya meluas dan menguntungkan bagi
satu pihak. Bahkan plot ini memiliki beberapa keuntungan lainnya. Hasilnya adalah sejarah
kelam Indonesia, dengan bantuan Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, yang pada masa
itu memiliki musuh ideologi: Komunisme, yang mana pada masa sebelumnya musuhnya
adalah Nazi, dan pada masa kini musuhnya adalah ISIS yang ternyata buatan mereka juga
dan termsuk dalam Operation False Flag untuk memerangi musuh terakhir mereka: Islam.

Namun dalam hal ini, khususnya Indonesia pada masa itu, CIA memiliki operasi
khusus yang dinamakan The Black Operation untuk menumbangkan Orde Lama. Operasi
menggulingkan Orde Lama oleh CIA dengan cara propaganda media pada masa itu tak
mempan. Maka CIA menggunakan cara lain, yaitu pecah belah rakyat indonesia dengan cara
menghasut. Hal ini pun berhasil.

Pada masa itu hasutan sangat dipercayai, apalagi juga yang menghasut orang yang
terpandang dan disegani. Hal ini berhasil karena pada masa itu belum ada media seperti
sekarang yang mana bisa dicari sumber kebenaran berita itu secara langsung ke sumbernya
dan secara real time. Kala itu kambing hitam dibuat, terjadilah pembunuhan ratusan ribu
nyawa setelah Orde Lama tumbang, bahkan ada yang meyakini jutaan rakyat Indonesia
dicabut nyawanya oleh penguasa Orde Baru tak lama setelah Orde Lama berhasil
ditumbangkan.

Jadi sejatinya, semua itu berawal dari korupsi, dan pihak yang membasminya, dianggap
sebagai musuh, dan harus ditumbangkan untuk merebut kekuasaan, karena ideologi AS
adalah faham Kapitalisme, dan musuh Kapitalisme adalah Nazi dan Sosialis Komunisme
yang mana ideologi tersebut tidak memperbolehkan orang atau sekelompok orang menjadi
sangat kaya raya.

Ideologi pembagian harta secara lebih adil merata kepada warga lain yang tak punya ini
pastinya tidak disukai oleh para kapitalis elit dunia, seperti keluarga dinasti Rothschild,
Rockefeller, JP Morgan, Oppenheimer dan beberapa dinasti ultra kaya dunia, yang selama ini
membuat revolusi, peperangan dan pecah belah sepanjang sejarah dunia. Keberhasilan
membuat pecah belahnya masyarakat Indonesia dengan membuat taktik tersebut, akhirnya
digunakan CIA di banyak negara hingga kini yang mana semuanya meraih sukses, termasuk
di Timur Tengah yang menyebabkan “Arab Springs” yang juga berhasil. Taktik adu domba
ini juga akan terus digunakan oleh CIA pada masa yang akan datang.

Era Orde Baru


Di Era Orde Baru atau New Order, undang-undang anti korupsi memiliki Dasar
Hukum: UU 3 tahun 1971. Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan anti-
korupsi tentang Penyelenggara Negara yang bersih. Tapi karena kuatnya dari KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), serta tak adanya restu politik, progam ini kurang efektif membasmi
koruptor.

Apalagi mereka yang berada di posisi strategis. Korupsi dimulai dari penguasaan
tentara atas bisnis-bisnis strategis. Hal inilah yang membuat pemberantasan korupsi justru
menjadi tumpul. Pada masa Orde Lama, semua pajak yang disematkan dalam setiap
perdagangan, baik ekspor maupun impor disesuaikan dengan nilai barang yang dikirim.
Besaran nilai ditentukan oleh pemerintah daerah setempat.

Namun usai tragedi gerakan 30 September, dan Orde Baru berkuasa, kebijakan
berubah. Kebijakan ekspor tak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Kondisi ini
menyebabkan perpindahan besar-besaran kantor pusat yang bermula berada di daerah ke
Jakarta. Dalam kebijakan awal, perizinan ekspor impor barang harus dilakukan di Jakarta.
Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan membangun kantor cabang di ibu kota. Namun,
pemerintah Orde Baru memutuskan mengubah sistem perpajakan di mana perhitungan pajak
ditentukan sepenuhnya oleh pusat.

Itulah yang menjadi awal mula korupsi, kebijakan yang sebelumnya didasarkan kepada
daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik. Kondisi itu menyebabkan terjadinya
kongkalikong antara pengusaha dan birokrat agar cepat merealisasikan permintaan mereka.
Sejak saat ini korupsi justru semakin mewabah dan mengakar kuat di segala sendi-sendi
penting pemerintahan dan swasta layaknya kanker. Selain itu pada awal era ini muncul
kebijakan pemerintah untuk para pemodal asing masuk ke Indonesia dalam berbagai bidang
karya, termasuk untuk penambangan. Pada masa ini seluruh kekayaan alam Indonesia mulai
dikuras habis-habisan.

Mulai dari minyak bumi, nikel, tembaga, emas, mangan, batu bara dan seluruhnya,
dikuasai pemodal asing. Begitu pula perusahaan-perusahaan asing lainnya yang mulai masuk
menguasai berbagai bidang strategis lain. Beberapa diantaranya membuat perusahaan
bernama Indonesia agar terlihat seperti perusahaan nasioal agar tak kentara. Hal ini terjadi
selama berpuluh-puluh tahun lamanya dan menjadikannya bak “cuci otak” bagi rakyat
Indonesia. Dimana ketika terjadi korupsi di depan mata, orang sudah menganggapnya sebagai
suatu hal yang biasa karena sudah terbiasa. Keadaan ini sangat tidak baik, karena selain di
cuci otak ke dalam alam bawah sadar, juga akan membuat suatu “generasi yang hilang” di
masa depan.

Masyarakat akan susah untuk merubah watak, sikap dan sifat, serta mental dan cara
berpikirnya. Semua akan memiliki jiwa korupsi dalam berbagai cara. Inilah yang tak
diketahui oleh pejabat di era Orde Baru. Pada masa ini struktur pemerintahan sangat kuat
namun tak terbuka kepada rakyat. Dimana dari kepala negara, dewan legislatif, dewan
yudikatif, menteri dan gubernur hingga walikota dan bupati semua dipilih langsung dari atas,
bukan dari bawah.

Pada masa Orde Baru ini, kasus korupsi begitu merebak dari warga ultra kaya hingga
komunitas yang bisa dibilang semi primitive. Budaya “uang rokok” sogok-menyogok dan
sejenisnya, semua cuci otak dan terjadi pembiaran, dimana gaji dan kemewahan seseorang
tidak sebanding walau pakai rumus matematika sekalipun yang banyak menimbulkan tanda
tanya. Contoh kecil misalnya, pegawai negeri bisa punya rumah mewah, polisi bisa punya
mobil mahal, tentara bisa punya beberapa rumah. Memang tidak mengapa untuk memiliki
semua itu, namun tidak mungkin didapat dengan gaji pada masa lalu. Hitungan matematika
tidak berlaku.

Pegawai yang sebelumnya hanya berniat memiliki rumah kontrakan, kini bisa membeli
satu bahkan lebih. Rising demandini juga menyebabkan praktik kolusi antara pengusaha,
birokrat dan politikus akibat proyek-proyek yang seluruhnya ditangani kekuasaan. Tak hanya
itu, korupsi yang menjangkiti pejabat maupun PNS di negeri ini terjadi akibat adanya
perubahan gaya hidup akibat overcentralistic atau sentralistik yang berlebihan.

Dimana akhirnya setiap orang terdorong menjadi konsumerisme dengan berdirinya


berbagai pusat perbelanjaan, serta tingginya keinginan untuk memiliki sesuatu. Budaya
feodal juga diyakini masih mengikat sebagian besar masyarakat. Ketika pejabatnya korupsi,
tindakan serupa juga diikuti bawahannya.
Alhasil, pengawasan tidak bisa dilakukan karena atasannya keburu merasa berdosa.
Korupsi yang dilakukan pusat juga diikuti daerah. Disinilah mulai ada istilah “korupsi
berjama’ah”, dan tak ada satupun yang berani melawan mereka karena strukturnya kuat dan
tertutup. Bicara pejabat yang korupsi pada masa ini adalah suatu ketabuan bahkan dapat
mengancam nyawa. Bahkan di ruang tertutup, seakan tembok pun bisa tahu dan seakan dapat
menjadi mata-mata untuk mengadu. Rakyat tahu semuanya, namun tetap tutup mulut tak
berani bersuara, apalagi bertindak.

Era Reformasi
Di Era Reformasi, undang-undang anti korupsi memiliki Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999 ,
UU 20 tahun 2001.

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi, yaitu:

1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi), adalah suatu tindak pidana yang dengan
penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau
kepentingan rakyat/umum

2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),adalah lembaga negara yang dibentuk dengan


tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.

3. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), adalah Lembaga pemerintah


nonkementerian Indonesia yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan yang berupa Audit, Konsultasi, Asistensi, Evaluasi,
Pemberantasan KKN serta Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan sesuai dengan peraturan
yang berlaku. ,,

4. Kepolisian

5. Kejaksaan

Namun apa yang terjadi tidaklah signifikan. Walau sudah pada peyot menjadi nenek
dan kakek, para koruptor pada masa Orde Baru masih banyak menduduki sebagai pejabat di
legislatif pusat hingga ke daerah-daerah di era Reformasi ini. Salah satu penyebabnya adalah:
sudah banyaknya modal mereka untuk tetap dapat berkuasa sebagai anggota MPR, DPR,
DPRD dan pejabat lainnya seantero Indonesia. Semua ini karena “cuci otak” pada era Orde
Baru yang sedemikian lamanya, terjadi terus dan terus dan terus selama puluhan tahun.

Selain itu, pada masa Reformasi tidak lagi diberlakukan pemilihan pejabat dari atas
seperti masa Orde Baru, namun dipilih melalui pemilihan dari rakyat daerahnya berupa
pilkada. Disinilah uang bisa dimainkan. Siapa yang kuat modal, dialah yang menang, dan itu
terbukti. Setelah menjabat, mereka mencari modal awal tadi untuk balik kembali. Dan setelah
itu korupsi berlanjut terus dan terus. Maka para koruptor juga yang akhirnya naik sebagai
pejabat daerah, dan juga legislatif daerah di DPRD.
Dengan mental korupsi yang sudah terpatri dan diturunkan kepada generasi muda
sebagai bagian “cuci otak” sejak masa lalu, seakan bom waktu yang tinggal menunggu untuk
meledak. Dulu, yang dapat melakukan korupsi, terutama “dengan aman” hanyalah pejabat.
Kini giliran yang belum dapat “merasakannya” mulai naik menjadi pejabat. Mereka yang
dulu hanya dapat melihat, ingin juga merasakannya

Maka semua “anak baru” pun pada masa ini ingin pula merasakannya. Bom waktu
sudah mulai meledak.Korupsi tetap berlanjut akibat “cuci otak” alam bawah sadar mereka
tanpa sadar, selama puluhan tahun.Namun mereka tak mengira bahwa pada masa ini, badan-
badan “pemburu” koruptor juga sudah terbentuk. Maka banyak dari mereka yang akhirnya
masuk bui, ratusan jumlahnya, itu pun yang katahuan karena cara mereka yang dianggap
“masih junior”.

Sementara koruptor pada masa lalu yang sudah berpengalaman, tetap bermain cantik
dan seakan bersih karena pengalamannya. Tapi perlu diakui pula bahwa pada masa
Reformasi terutama di tahun 1998, kegiatan jahat ini semakin menurun, tapi bukan berarti
berhenti. Namun pada masa ini terjadi perlambatan ekonomi dunia secara global. Kelesuan
perekonomian dunia juga ikut mempengaruhi perekonomian regional.

Ditambah maraknya “uang haram”, atau orang awam pada masa kini menyebutnya
sebagai “uang setan” yang biasa mereka hamburkan di negeri ini, ikut menurun
peredarannya.Apalagi yang bermain adalah pengusaha-penguasaha besar dan para politikus
sejak masa lalu. Namun harus pula diakui, tak sedikit kader-kader partai politik pada masa ini
yang memang berkualitas. Banyak kader-kader muda partai yang jauh lebih jujur, namun
“kalah modal” dan menjadi kader pemilihan di urutan ke seribu, mungkin. Oleh karena itulah
mereka yang muda dan jujur ini, tak akan pernah terpilih.
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran
Daftar Pustaka
https://www.google.com/amp/s/indocropcircles.wordpress.com/2017/09/14/sejarah-singkat-
awal-mula-kasus-korupsi-di-indonesia/amp/ di akses 22 april 2019

Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi. Yogyakarta: UII Press
Prasojo, Eko. 2009. Reformasi Kedua. Jakarta: Salemba Humanita

Anda mungkin juga menyukai