Anda di halaman 1dari 27

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

NANIK IDA ROSINI SH,MH.

DISUSUN OLEH :

ALAN ABDUL HAKIM

ARIE FARHAN

04SIFM001

SISTEM INFORMASI
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG ...........................................................................................


1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................................
1.3 TUJUAN PENULISAN ........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................

2.1 SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA ...............................................................

2.2 DEFINISI KORUPSI,KOLUSI DAN NEPOTISME ...........................................

2.3 DASAR HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI ..............................................

2.4 BERDIRINYA LEMBAGA PENEGAK HUKUM, PEBERANTASAN DAN


PENCEGAHAN KORUPSI .......................................................................................

2.5 SEJARAH PANJANG PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

2.6 BEBERAPA KASUS KORUPSI DI INDONESIA .............................................

BAB III PENUTUP ...................................................................................................

3.1 KESIMPULAN ....................................................................................................

3.2 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah karna berkat rahmat dan hidayah-
Nya, kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Sejarah Korupsi di
Indonesia” pada tanggal 15 Maret 2019 yang sangat sederhana. Tidak lupa juga kami
mengucapkan trima kasih kepada:
Ibu nanik ida rosini, SH, MH. selaku dosen pengajar mata kuliah Materi Pendidikan Anti
Korupsi. Sumber-sumber yang menjadi referensi dalam menyelesaikan pembuatan makalah
ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan, kritik
dan saran yang bersifat membantu untuk kesempurnaan pembuatan makalah ini terutama
pada tugas berikutnya sangat kami harapkan.

Wassalamualaikum wr. wb.

Pamulang, 15 Maret 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media massa
maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara
yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat
sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi
kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak
korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya
untuk memberantasnya.
Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia?
2. Apa saja upaya yang dilakukan dalam mencegah dan memberantas korupsi?

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui sejarah korupsi di Indonesia?
2. Untuk memahami arti dari korupsi itu sendiri?
3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan dalam mencegah dan
memberantas korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Korupsi Di Indonesia


Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan
lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh
penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling
rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di
Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik
terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap
rendah.
Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
korupsi yang sudah di tangani di Indonesia. Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia
tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman
penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar
belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah
masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja kita lihat
bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh
turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang
memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga
Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-
Analis Informasi LIPI).

Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak
opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam
kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan
zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal
tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga
memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita
dikmudian hari.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai
masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah
dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya
korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik
oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),
tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene
merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah
territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen
upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan
menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya
penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia
juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.

Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern
seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta
lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang
bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan
tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.
Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah
korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa
perubahan perundang- undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif
indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang
hukum pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi
semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan diundangkan dalam
Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.

Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia


sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer
Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer
Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi
menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa
pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan
atau perekonomian. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada
tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI
2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan
perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada
KUHP dan KPK. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur
berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi
yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan
sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak
didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang
dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam
pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi
pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol,
undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat,
kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana
korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan
cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk
mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.

Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai masih
sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti
yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi yang merugikan negara
dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi.
Agar terjadi efek jera dan juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga didukung
dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pengadilan.
Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu menyuapnya. Hal ini
menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat kasus korupsi untuk membebaskan diri
dari jeratan hukum dengan jalan menyuap dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan
menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh institusi
hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.
2.2 DEFINISI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

Korupsi dalam bahasa latin disebut corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda
disebut coruptie, dalam bahasa Inggris disebut corruption. Dari bahasa Belanda inilah kata
itu turun ke Bahasa Indonesia “ Korupsi”. Kata harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan,
keburukan, kebejadan, ketidak jujuran, kata-kata ataupun ucapan yang menghina atau
menfitnah. Meskipun kata Corruptio itu luas artinya, namun sering dapat dipersamakan
dengan “penyuapan”.

Arti kata korupsi telah diterima dalam perbendaharaan dalam “Kamus Umum Bahasa
Indonesia “. Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya {Purwadarminto : 1976}

Dengan pengertian korupsi secara harfiah dapatlah ditarik kesimpulan bahwa


sesungguhnya “korupsi” itu sebagai suatu istilah yang luas artinya, bervariasi menurut waktu,
tempat dan bangsa.
Beberapa definisi korupsi menurut para ahli :

1. Korupsi adalah Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, 1976)
2. Korupsi adalah Suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi
menurut waktu tempat dan bangsa (Encyclopedia Americana)
3. Korupsi adalah Dengan melakukan tindak pidana memperkaya diri sendiri yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan / perekonomian negara (
Kamus Hukum Prof. Raden Subekti Tjiprosudibio, SH)
4. Korupsi adalah Penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap
(Corruption the Offering and Accepting of Bribes)

Dari keempat definisi diatas terdapat persamaan persepsi yaitu bahwa korupsi adalah
suatu perbuatan yang buruk yang sudah barang tentu akan menimbulkan kerugian terhadap
negara maupun masyarakat pada umumnya. Sudah tentu apa yang dimaksud yang buruk itu
ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seorang yang
bermoral (berakhlak) baik tentu tidak akan melakukan korupsi.

Pengertian korupsi bisa menjadi lebih luas lagi, perbuatan seperti berbohong, menyontek
di sekolah, mark up, memberi hadiah sebagai pelicin dan sebagainya. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan
dapat merugikan orang lain.

Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan
cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir disemua aspek kehidupan bangsa ini
terlibat korupsi.
Korupsi kini sudah menjadi permasalahan serius di negeri ini. Kasus korupsi tidak lagi
terhitung jumlahnya. Berkembang dengan pesat, meluas dimana-mana, dan terjadi secara
sistematis dengan rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi yang modern. Hampir
setiap hari berita tentang korupsi menghiasi berbagai media. Korupsi dianggap biasa dan
dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit membedakan mana perbuatan korup dan
mana perbuatan yang tidak korup. Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan beberapa instansi antikorupsi lainnya, faktanya negeri ini masih menduduki
rangking atas sebagai negara terkorup di dunia.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri
pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku
materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan”
materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah :
2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa`
korupsi kalau sudah menjabat”. Nur Syam (2000) memberikan pandangan bahwa
penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau
kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu
ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka
jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Dengan demikian, jika menggunakan sudut
pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang
terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara
yang salah dalam mengakses kekayaan.

Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan
ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi
(ICW : 2000) mengidentifikasi empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor
hukum, faktor ekonomi dan faktor organisasi.

1. Faktor Politik

Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi


penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik
untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstelasi politik
(Susanto: 2002). Sementara menurut De Asis, korupsi politik misalnya perilaku curang
(politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal
untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan
teknik lobi yang menyimpang (De Asis : 2000).

2. Faktor Hukum

Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi
lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam
aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa)
sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat
maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang
sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep
yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak
kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan
mengalami resistensi. Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah:
Pertama, tawar- menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di
parlemen, sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktek politik
uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap (political bribery), utamanya
menyangkut perundang-undangan di bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan
yang elastis dan multi tafsir serta tumpang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah
dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan. Sering pula ancaman
sanksinya begitu ringan sehingga tidak memberatkan pihak yang berkepentingan.

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Pendapat ini tidak
mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip oleh Sulistyantoro,
korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling
bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang
bertahan hidup. Namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi
(Sulistyantoro : 2004). Pendapat lain yang menyatakan bahwa kurangnya gaji dan pendapatan
pegawai negeri memang merupakan faktor yang paling menonjol dalam arti menyebabkan
merata dan meluasnya korupsi di Indonesia dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker (1979).
Terkait faktor ekoonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa
kemiskinan merupakan akar masalah korupsi. Pernyataan demikian tidak benar sepenuhnya,
sebab banyak korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak
tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi
justru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi.

4. Faktor Organisasi

Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a)
kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c)
sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung
menutupi korupsi di dalam organisasinya. Karena sebuah organisasi dapat berfungsi dengan
baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola tingkah
laku (yang normatif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan bersama hanya mungkin
apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang telah
ditentukan. Disinilah letaknya bila kurang ada teladan dari pimpinan bisa memicu perilaku
korup. Banyak kejadian justru para pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi, belum
lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga
lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan yang sarat dengan
korupsi.

Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi
menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya
praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga
barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan
kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan
citra pemerintahan yang buruk di mata internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi
kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun
menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan.

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction
effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi
sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara
korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi,
pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan
kesejahteraan (Mauro: 1995). Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan
bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah berupaya
menanggulangi korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif. Di sisi lain
meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa, yang kemudian
bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah
mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya peraktek korupsi,
bukannya memberikan nilai positif, misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata, namun
justru memberikan negative value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya,
anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi, justru dialokasikan
untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke kantong pribadi pejabat. Berbagai
macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila korupsi sudah
merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak masif tindakan korupsi yaitu:

Dampak Ekonomi;
Dampak Sosial dan Kemiskinan masyarakat;
Dampak Biroksasi Pemerintahan;
Dampak Politik dan Demograsi;
Dampak terhadap Penegakan Hukum;
Dampak Terhadap Pertahanan keamanan; dan
Dampak kerusakan Lingkungan.

Definisi korupsi menurut sejumlah negara

Berikut akan dibahas definisi korupsi menurut sejumlah negara (dikutip dari
“pengertian-pengertian dasar korupsi” indonesia corruption watch)

A. Meksiko
Korupsi diartikan sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa pemberian
sogokan, upeti, terjadinya pertentangan kepentingan , kelalaian dan pemborosan yang
memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan keuntungan kepada pelakunya.

B. Nigeria
Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan yang tidak sesuai dengan tugas/jabatannya dan melanggar hak orang lain.

C. Uganda
Korupsi diartikan suatu praktek/perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang
pegawai negeri yang merupakan suatu penyimpangan dari norma dan tidak dapat diketahui
umum secara terbuka, tetapi hanya disembunyikan dari penglihatan masyarakat. Megubah
putusan yang harus diambil oleh pejabat, membuat keputusan yang tidak harus dilakukan
menjadi putusan yang dilaksanakan. Menjadikan suatu putusan dapat dibuat berbeda-beda
dan membuat suatu alternatif dalam suatu putusan, sehingga dengan peraturan-peraturan dan
prosedur tidak lagi menjadi penting

D. Brasilia
Korupsi yang terjadi di pemerintahan brasilia adalah menggunakan secara langsung atau
tidak langsung kekuasaan yang dimilikinya diluar bidang yang harus dilakukannya, yang
pada akhirnya bertujuan memperoleh keuntungan kepada bawahannya, kawannya dan
sebagainya. Korupsi sebagaimana meminta keuntungan (biasanya dalam bentuk keuangan)
yang disebabkan oleh kedudukannya atau menawarkan suatu kesempatan kepada petugas
pemerintah/negara dengan maksud dia akan memperoleh sesuatu jika membantunya.

E. Kamerun
Suatu permintaan, penerimaan atau persetujuan yang dilakukan oleh seseorang pegawai
negeri atau bawahan/pembantunya, baik untuk dirinya sendiri atau orang lain atas tawaran
janji, hadiah atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan dalam menjalankan tugas –tugas
dikantornya yang bersangkutan. Suatu tindakan yang menyalahgunakan pemberian fasilitas
karena kedudukannya tersebut, melakukan suatu tindakan tidak sesuai atau bertentangan
dengan wewenangnya. Meminta atau menerima suatu pemberian dalam bentuk uang atau
sesuatu barang oleh seorang pegawai negeri/pembantunya untuk dirinya sendiri atau orang
lain dengan imbalan untuk suatu perbuatan atau dalam bentuk tidak melakukan perbuatan.
Suatu perbuatan baik yang berupa penawaran hadiah-hadiah, pemberian sesuatu atau sesuatu
imbalan dalam bentuk lainnya bagi suatu perbuatan yang telah dilaksanakan atau dalam hal
tidak melakukan suatu perbuatan.

F. Uni sovyet
Sebagai suatu sistem hubungan tertentu yang melanggar hukum dari suatu aparat negara
yang melanggar kepentingan negara dan masyarakat, dengan motivasi beraneka ragam.

G. Muangthai
Perilaku yang dilarang oleh undang-undang bagi pegawai negeri (pemerintah)

H. Philipina
Korupsi dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang terhadap dana masyarakat dan
pemalsuan dokumen-dokumen

I. India
Perbuatan dari oknum-oknum yang tidak terpuji ingin memperoleh keuntungan (uang)
secepat mungkin dengan menyalahgunakan kedudukan wewenang atau dengan taktik-taktik
yang sengaja memperlambat suatu penyelesaian dengan tujuan agar menjadi gangguan-
gangguan sehingga mau tidak mau orang yang berkepentingan harus berurusan dengan uang
dengan cara jalan belakang.

J. Argentina
Di argentina katakteristik korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang berupa menerima
sesuatu langsung maupun melalui perantara yang berupa uang atau pemberian lain ataupun
janji untuk melakukan sesuatu dalam suatu hubungan yang berkaitan dengan fungsi
(kedudukan) sebagai seorang pejabat/pegawai negeri ataupun menggunakan pengaruh atas
kedudukannya tersebut sebelum pegawai negeri/pejabat lain melakukan sesuatu.
Penyalahgunaan dana pemerintah/negara : tindakan menggunakan dana milik negara yang
dikelola oleh pegawai/pejabat untuk tujuan yang berlainan dengan yang dimaksudkan untuk
hal tersebut.

Pemerasan : tindakan memaksa seseorang agar memberi upah/jasa ataupun suatu pemberian
yang tidak perlu ataupun berlebihan dari apa yang seharusnya.

Definisi korupsi menurut uu no. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Berdasarkan uu no. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
ditemukan definisi korupsi menurut pasal 2 dan pasal 3 adalah sebagai berikut :

Pasal 2 uu no. 31/ 1999 berisi ketentuan : “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak rp
.1.000.000.000,-(satu milyar)

Pasal 3 uu no. 31/1999 berisi ketentuan : “setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

1. Definisi korupsi menurut masyarakat transparasi indonesia (MTI)


Menurut mti, 2006, definisi korupsi adalah sebagai berikut : dari segi semantik
“korupsi” berasal dari bahasa inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata
dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah
atau jebol. Istilah “korupsi” juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau
penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi
telah dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada
catatan administrasinya.

Secara hukum pengertian “korupsi” adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud


dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Menurut
mti pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik
atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau golongan.

2. Definisi korupsi menurut “ transparency international”


Menurut transparency international, korupsi diidetifikasikan sebagai berikut :
“…perilaku dari sebagian pejabat di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri, dimana
mereka memperkaya diri sendiri secara melawan hukum atau orang-orang yang dekat dengan
mereka, dengan menyalah gunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Hal
tersebut mencakup penggelapan dana, pencurian terhadap harta kekayaan perusahaan atau
milik negara melalui praktek-praktek korupsi seperti penyuapan, pemerasan atau
mempengaruhi keputusan.

3. Definisi korupsi menurut bank dunia


Menurut bank dunia, korupsi diidentifikasikan sebagai berikut :
Korupsi yang melibatkan sebagian pegawai baik disektor publik maupun sektor swasta,
dimana mereka memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dan atau orang-orang yang
dekat dengan mereka atau membujuk orang lain untuk melakukannya dengan
menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki.

A. Pengertian Kolusi
Definisi kolusi adalah permfakatan atau kerja sama secara melawan hukum
antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang mana
kerja sama tersebut dapat merugikan orang lain, masyarakat ataupun negara. Dalam KBBI
kolusi adalah kerjasama secara diam-diam (rahasia) untuk maksud tidak terpuji dan/atau
persekongkolan.

B. Pengertian Nepotisme
Definisi nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninnya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara. Kemudian nepotisme juga dapat diartikan dengan suatu
tindakan yang melawan hukum dengan memilih kerabat sendiri, teman sendiri untuk
memegang jabatan tertentu atau kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara dan
teman dalam jabatan perusahaan atau pemerintahan.
Adanya KKN ini tentunya sangat merugikan negara, selain itu juga dapat menghambat
negara Indonesia dalam mencapai tujuan seperti masyarakat yang adil dan makmur. Dan
berikut adalah beberapa kerugian yang akan kita dapat akibat KKN
Kerugian KKN
1. Tindak pidana KKN sangat merugikan negara
2. Tindak pidana KKN sangat merugikan perekonomian negara
3. Tindak pidana KKN dapat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisien tinggi
4. Tindak pidana KKN membuat kepercayaan masyarakat kepada wakil-wakil rakyat
(pejabat-pejabat negara) menjadi berkurang bahkan hilang.
5. Tindak pidana KKN dapat menyebabkan kepercayaan dunia internasional menurun
6. DLL
Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi

a. UU no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi


Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan
negara tapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak siosial dan ekonimi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu di golongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu untuk lebih menjamin
kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindugan
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam
memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perbahan atas UU no.31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. UU no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
c. UU no. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
d. UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Ketetapan MPR no. X/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
KKN
f. UU no. 25 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
g. UU no. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK)
h. Intruksi Presiden Republik Indonesia no. 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan
korupsi
i. Peraturan pemerintah no. 71 tahun 2000 tentang cara pelaksanaan peran serta serta
masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi
j. Peraturan pemerintah no. 63 tahun 2005 tentan sistem manajemen sumber daya manusia
KPK
k. Lembaga Negara/ Pemerintah dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2.4 Berdirinya Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi

1. Sejarah Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi


Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun
1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-
karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-
alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain
mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari
dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap UU
24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri
Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9
orang yang diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan
memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas
korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat.
Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan
Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi,
yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang
diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis
penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Selain Komisi
Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada
tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar
Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai,
Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa Agung
Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari
masyarakat tidak mendapat dukungan. Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan
TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa
Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang
Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran
Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang
dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para
penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini
dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana
Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima
1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya
ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil
dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang terjadi di
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan KPK berhasil
menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai Setjen KPU ke penjara.
Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan namun apa yang telah dilakukan
oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus
korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu
Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas
memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun
belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah
menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan
Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang
terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada
tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana
korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana
serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.

2. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi:


a. Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB
pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi
Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang
menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa Agung Dan Kapolri:
b. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
c. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum.[3]

3. Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi,
merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku
tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :


a. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
b. Mendorong pemerintah melakukan reformasipublic sector dengan mewujudkan good
governance.
c. Membangun kepercayaan masyarakat.
d. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
e. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

4. Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi


a. Upaya Pencegahan (Preventif)
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama, melakukan penerimaan
pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat dihimbau untuk mematuhi
pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi, para pegawai selalu
diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua, menciptakan aparatur
pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi, sistem keuangan dikelola oleh para
pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
b. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
c. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
d. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan
melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat
untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang
bebas korupsi.
2.5 Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam pemerintahan sebuah


negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak luput dari kesungguhan
meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas
korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas
kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan
masyarakat.

Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor.
Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon
kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa
setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih terngiang


dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya bahasa dalam
pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda terdepan dalam
pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang
baru. Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970
bersamaa dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba
meyakinkan rakyat bahwa komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat
besar dan ia juga menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan
korupsi. “Seharusnya tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”

Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara
ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru
dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi
ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan
Angkatan Laut.

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan
pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan
puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang
bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan
wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah
menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini
masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati
dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu
merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti
diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”

Banjir Peraturan Pemberantasan Korupsi

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang
cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan
membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun
1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara
maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang
dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan


Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas
korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak
kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah.
Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi.
Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang
tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat
sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat
dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban
Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan
Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai
Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Reformasi : Perjuangan pemberantasan korupsi masih berlangsung

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan koruptor
dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan
reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR
Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya
pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa
lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus
Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian
menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret
penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan
tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan
berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan
komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang
ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang
seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan
terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang
kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK Lahir, Pemberantasan Korupsi Tak Pernah Terhenti

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul
sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas
korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari agenda yang diamanatkan oleh
ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan
pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan
pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan
konstitusi uang berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan
legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan
RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang melanda system politik
di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian
dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang
disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009.
Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono
diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan
umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung
antara hukum nasional dan hukum internasional.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia


menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan
korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi
telah disandarkan di pundak pemimpin baru negara ini yang akan memulai perjalanan
panjangnya pada bulan Oktober mendatang. Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk
mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai
sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan.
Semoga!

2.6 Beberapa kasus korupsi di indonesia

1.Kotawaringin Timur

KPK resmi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi sebagai tersangka atas
kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambanga (IUP) di daerah itu. Dalam kasus ini,
negara tercatat mengalami kerugian hingga Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dolar AS.

Supian yang juga kader PDIP ini diduga menguntungkan diri sendiri dan korporasi dalam
pemberian IUP kepada tiga perusahaan yakni PT. Fajar Mentaya Abadi (PT. FMA), PT. Billy
Indonesia (PT. BI) dan PT. Aries Iron Maining (PT. AIM) pada periode 2010-2015.

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebut kasus korupsi
Bupati Kotawaringin Timur menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang ditangani oleh
KPK.

"Jadi ini satu kerugian negara paling besar yang kami tahu yang ditangani KPK," kata
Emerson.

2. Kasus BLBI

Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI) yang telah bergulir sejak lebih dari
satu dasawarsa ini juga menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah ada di Tanah
Air. Hingga kini, kasus yang membelit sejumlah petinggi negara dan perusahaan besar ini
masih juga belum menemui titik terang.

BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang mengalami
masalah pembayaran kewajiban saat menghadapi krisis moneter 1998. Bank yang telah
mengembalikan bantuan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL), namun belakangan
diketahui SKL itu diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan.
Menurut keterangan KPK, kerugian negara akibat kasus megakorupsi ini mencapai Rp 3,7
triliun. Penyelesaian kasus besar yang ditargetkan rampung 2018 ini pun kembali molor
hingga 2019.

3. Kasus E-KTP

Kasus pengadaan E-KTP menjadi salah satu kasus korupsi yang paling fenomenal. Kasus
yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto ini telah bergulir sejak
2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus ini dan hingga kini ada
8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka adalah pengusaha Made Oka Masagung, Keponakan Setya Novanto yakni Irvanto
Hendra Pambudi, Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen
Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kemendagri Irman, pengusaha Andi Narogong, Mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto,
Anggota DPR Markus Nari, dan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.

4. Proyek Hambalang

Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional
(P3SON) di Hambalang juga tercatat menjadi salah satu kasus korupsi besar yang pernah ada.
Nilai kerugiannya mencapai Rp 706 miliar.

Pembangunan proyek Hambalang ini direncanakan dibangun sejak masa Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Malarangeng dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun. Proyek
yang ditargetkan rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak hingga akhirnya aliran dana
korupsi terendus KPK.

Aliran dana proyek ini masuk ke kantong beberapa pejabat. Di antaranya Mantan Menpora
Andi Malarangeng, Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso, Anggota DPR
Angelina Sondakh.

5. Soeharto

Mantan Presiden Kedua Soeharto disebut-sebut telah melakukan tindak pidana korupsi
terbesar dalam sejarah dunia. Kekayaan negara yang diduga telah dicuri oleh Soeharto
berkisar antara 15 hingga 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 490 triliun.

Lembaga internasional yang memerangi korupsi yakni Transprency International merilis


bahwa Soeharto menjadi salah seorang tokoh paling korup di dunia. Diperkirakan masih ada
banyak sumber pemasukan keluarga Soeharto dari hasil perusahaan swasta dan kebijakan
yang ia buat untuk memperkaya diri.

Peneliti ICW Emerson Yuntho meminta agar pemerintah dapat segera mengusut tuntas kasus
korupsi terbesar ini. Sebab penyelesaian kasus ini merupakan mandate reformasi.
"Agenda reformasi sebagaimana yang dimuat dalam TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 yang
bicara soal penyelenggaraan negara bebas korupsi. Nah bagi kami, upaya penuntasan kasus
Soeharto ini salah satu bentuk menjalankan amanat Reformasi yang belum tuntas," kata
Emerson.

BAB III

3.1 KESIMPULAN

Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur
“penyelewengan” ataudishonest(ketidakjujuran).
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan
sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak
akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan
yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Pelajaran yang didapat dari uraian diatas sebenarnya korupsi yang terjadi di Indonesia
disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun sebaik apapun sistem pemerintahan,
setegas apapun hukum, dan sebersih apapun aparat akan percuma bila mental pemimpin dan
pejabat negeri ini masih buruk dan korupsi pasti masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang
kita harus menyadarkan para pemimpin untuk memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah
tidak dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti dengan pemimpin yang amanah dan
bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita sebagai generasi muda calon pemimpin
bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan mental agar tetap jujur dan tidak berubah menjadi
mental koruptor.
3.2 DAFTAR PUSTAKA

http://andsbarcaboy.blogspot.com/2016/03/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
http://polmas.wordpress.com/2016/03/03/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-
di-indonesia.
http://makalahsekolah.com/2016/03/03/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia.
http://fikriarahman-smkwadaya.blogspot.co.id/2016/03/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
http://nurulsolikha.blogspot.com/2016/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.

[1] http://andsbarcaboy.blogspot.com/2016/03/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
[2] http://polmas.wordpress.com/2016/03/03/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-
korupsi-di-indonesia.
[3] http://makalahsekolah.com/2016/03/03/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia.
[4] http://fikriarahman-smkwadaya.blogspot.co.id/2016/03/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
[5] http://nurulsolikha.blogspot.com/2016/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.

Wijayanto ; Zachrie, Ridwan [ed.]. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.]. 2004. Jalan Panjang
Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan Tifa.

Chalid, Hamid ; Johan, Abdi Kurnia. 2010. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman : Orde
Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia.

Wawancara dan berbagai sumber lain

Anda mungkin juga menyukai