Disusun oleh :
Nindi Dwi Yuliana
17115
Tingkat 2C
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjakan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Korupsi di Indonesia’’. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata
kuliah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi yang nantinya dapat digunakan
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi
2. Mengetahui sejarah korupsi
3. Mengetahui lembaga penegakan hukum
4. Mengetahui pencegahan dan pembetantasan korupsi
1
pencegahan pemberantasan korupsi. Bab 3 penutup, pada bab akhir ini berisikan
beberapa kesimpulan dan saran.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Coruption atau Corruptus yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, atau memutarbalikkan. Kemudian
muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Selain
itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korupsi adalah penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Ditinjau dari segi hukum, korupsi adalah sebuah kejahatan. Di
Indonesia, Singapura dan Malaysia, korupsi adalah kejahatan yang serius dan
pelakunya mendapat sanksi hukum yang maksimal. Dari sudut pandangan
ekonomi, korupsi adalah gejala pemborosan yang merugikan. Biasanya korupsi
adalah hasil kerja sama antara pengusaha dan penguasa. Baik perusahaan
maupun negara menampung kerugian. (Rahardjo, 1999: 13)
Aristoteles yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan
sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi
moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga
para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh
hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri. (Mansyur
Semma, 2008:32)
Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri,
penyalahgunaan wewenang kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu
kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan
menerina hadiah terkait janggung jawab yang dijalani.
3
2.2 Sejarah Korupsi
4
upeti. Situasi tersebut juga terdapat dalam kerajaan-kerajaan Indonesia di
zaman dahulu. Pada waktu itu dalam nilai budaya dan masyarakat yang berlaku,
dianggap sebagai hal yang wajar. Jejak akar budaya ini pada struktur kekuasaan
di masa lalu yang disebutnya sebagai kekuasaan “birokrasi patrimonial“. Istilah
ini berasal dari Max Weber dan didefinisikan sebagai bentuk kekuasaan yang
hidup dan berkembang pada masa feodalisme di masa lalu yang masih besar.
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan
berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman
penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Pertama, Fase Zaman
Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh
adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah
masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja
kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara
bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Lalu,
kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji
merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng
Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis
Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah,
mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya
adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan
“abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu
bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang
menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki
potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita
dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek
korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik
bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial
(terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang
dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh
penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang
5
(lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat,
digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap
hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya
penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan
orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan
praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di
zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh
penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang
tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut
tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai
di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh
subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal
pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup,
bahkan hingga saat ini.
Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan.
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif indonesia sebenarnya
sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum
pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku
bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan
diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal
17 agustus 1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum
positif Indonesia, pada waktu seluruh wilayah indonesia dinyatakan dalam
keadaan perang berdasarkan UU nomor 74 tahun 1957 jo nomor 79 tahun 1957.
Baru setelah itu istilah yuridis korupsi digunakan, yaitu dengan adanya
6
Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat
(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957).
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di
Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini
ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik
untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan
yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang
pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat
secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta
Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan
peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki
oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta
benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu
putusan dari Pengadilan Tinggi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI
2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI
387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah
dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI
4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal
27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002
(LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang
hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Dengan kata lain Pasal
103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar
KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
KUHP.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui
Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang
Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat
menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit.
Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan
sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku
korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada
korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana
mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi
dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga
hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian
telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol,
8
undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran
serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya.
Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan
tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia
Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB
tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset
para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi
ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu
yang penting dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang
pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.
Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan
masyarakat serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi
lembaga pemerintah maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu
peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian serta pengetahuan
masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur
dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Di Hongkong dibentuk
lembaga anti korupsi yang bernama Independent Commission against
Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA).
Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas
korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
9
Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi
adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah.
Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil
oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian korupsi besar-besaran umumnya
terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta. Dengan otonomi yang diberikan
kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota
negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat
pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.
10
kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Salah-salah kebijakan tersebut
justru digunakan bagi kepentingan beberapa pihak bukan bagi kepentingan
rakyat. Untuk itulah ketika Parlemen hendak mengeluarkan sebuah kebijakan
yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak, masyarakat sipil (civil
society) termasuk mahasiswa dan media harus ikut mengawal pembuatan
kebijakan tersebut.
11
b) Meningkatkan kualitas penyelenggara administrasi negara
c) Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan. Selain kontribusi aparat hukum, partisipasi dan dukungan
dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemberantasan tindak perilaku korupsi. Ada beberapa upaya yang dapat
ditempuh masyarakat umum dalam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain sebagai berikut :
d) Upaya pencegahan (preventif). Dapat dilakukan dengan menanamkan
semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
e) Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa. Yaitu menumbuhkan rasa memiliki
tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik serta tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
f) Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Yaitu dengan
membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya serta melakukan kontrol
sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat
pusat/nasional.
Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui beberapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah
korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya
Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat
(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang
mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari :
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini
ada dua, yaitu tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik
untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
12
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan
yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang
pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat
secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta
Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan
peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki
oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta
benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu
putusan dari Pengadilan Tinggi.
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor
42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum
Angkatan Laut
2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari
berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat
kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS
1949.Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.
13
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
15
memiliki dampak besar bagi segala aspek kehidupan, baik dari bidang ekonomi,
sosial, politik, maupun hukum. Upaya pemberantasan korupsi haruslah
dilakukan baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat agar tercipta bangsa
Indonesia yang bersih dari korupsi.
3.2 Saran
Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang
bobrok dan sungguh membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan
negara dicuri untuk kepentingan segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa
dengan tindakannya akan membuat sengsara berjuta-juta rakyat ini. Tentu untuk
mengatasi masalah korupsi ini adalah tugas berat namun tidak mustahil untuk
dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk mengatasi, mencegah
tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama (mengingatkan bahwa
korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama),
dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor
sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa
malu kepada pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan
pelaku terorisme. Tugas kita semua sebagai warga negara ikut serta dalam
upaya pemberantasan korupsi agar korupsi tidak semakin membudaya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan, dan Keadilan. Bandung: Fokus
Prasojo, Eko. 2009. Reformasi Kedua. Jakarta: Salemba Humanita
Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi. Yogyakarta: UII Press
Santosa, Kholid O. 2004. Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945.
Bandung: Sega Arsy
http://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf. diakses 18
September 2013 17 september 2018, pukul 17.00 WIB
17