Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI KORUPSI

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA


Makalah ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah Pendidikan
dan Budaya Anti Korupsi Semester III

Dosen Pengampu : Ahmad Farid Rivai,MPH.

Disusun oleh :
Nindi Dwi Yuliana
17115
Tingkat 2C

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH CIREBON
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjakan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Korupsi di Indonesia’’. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata
kuliah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi yang nantinya dapat digunakan
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuannya.

Penyusun menyadari bahwa dalam proses prnyusunan makalah ini masih


jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penyusunanya. Namun demikian,
penyusun telah berupaya dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, masukan, saran, kritik,
dan usul yang sifatya untuk perbaikan dari berbagai pihak khususnya Bapak/Ibu
sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Dan harapan penyusun semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Cirebon, 19 September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN ........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1


1.2 Tujuan .................................................................................................. 1
1.3 Sistematika Penulisan .......................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN .................................................................................. 3

2.1 Pengertian Korupsi ............................................................................... 3


2.2 Sejarah Korupsi .................................................................................... 4
2.3 Lembaga Penegakan Hukum................................................................ 9
2.4 Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ............................................. 11

BAB 3 PENUTUP ........................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 15


3.2 Saran ..................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, korupsi telah menjadi kebiasaan zaman lampau. Korupsi


menjadi budaya dalam sistem tersebut, dimana kekuasaan menjadi harga mati
bagi kalangan ningrat dan golongannya.
Korupsi merupakan tindakan penyimpangan dalam kehidupan sosial,
budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Perilaku korupsi sudah terjadi
dimana-mana. Antara pengusaha dan pejabat birokrat yang mempunyai
kekuasaan atau antara warga bertaraf ekonomi menengah ke bawah. Sepertinya
dalam berbagai perbincangan, kata korupsi merupakan kata yang sudah tidak
aneh lagi. Seolah telah menjadi bahasa lumrah dalam perbincangan.
Korupsi sudah tidak dianggap lagi sebagai pelanggaran etika individual
melainkan dianggap sebagai pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan
umum. Para anggota dewan, birokrasi, dan penegak hukum masih menganggap
bahwa korupsi merupakan tindakan pelanggaran etika individual yang harus
dihindari.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi
2. Mengetahui sejarah korupsi
3. Mengetahui lembaga penegakan hukum
4. Mengetahui pencegahan dan pembetantasan korupsi

1.3 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam tugas membuatan makalah ini sebagai


berikut: Bab 1 pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah, tujuan
makalah, dan sistematika penulisan. Bab 2 pembahasan, bab ini menjelaskan
tentang sejarah korupsi di Indonesia, lembaga penegakan hukum dan

1
pencegahan pemberantasan korupsi. Bab 3 penutup, pada bab akhir ini berisikan
beberapa kesimpulan dan saran.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Coruption atau Corruptus yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, atau memutarbalikkan. Kemudian
muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Selain
itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korupsi adalah penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Ditinjau dari segi hukum, korupsi adalah sebuah kejahatan. Di
Indonesia, Singapura dan Malaysia, korupsi adalah kejahatan yang serius dan
pelakunya mendapat sanksi hukum yang maksimal. Dari sudut pandangan
ekonomi, korupsi adalah gejala pemborosan yang merugikan. Biasanya korupsi
adalah hasil kerja sama antara pengusaha dan penguasa. Baik perusahaan
maupun negara menampung kerugian. (Rahardjo, 1999: 13)
Aristoteles yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan
sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi
moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga
para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh
hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri. (Mansyur
Semma, 2008:32)
Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri,
penyalahgunaan wewenang kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu
kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan
menerina hadiah terkait janggung jawab yang dijalani.

3
2.2 Sejarah Korupsi

Korupsi sudah berlangsung dari zaman kebesaran Romawi hingga masa


keadidayaan Amerika Serikat saat ini. Korupsi sulit hilang, bahkan semakin
menggurita di beberapa masa terakhir kini. Korupsi layaknya sebuah “epidemi”
penyakit. “Epidemi” ini sudah mendunia sehingga sebagai penyakit global,
korupsi tidak mengenal tapal batas dan limit waktu. Hal ini juga yang
menyebabkan pada tanggal 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyetujui Konvensi Antikorupsi Sedunia. Ini tentu tidak terlepas dari
kekuatan korupsi sebagai musuh bersama masyarakat dunia (The Common
Enemy). Dalam hal ini Indonesia juga termasuk dalam deretan sebagai “pasien”
penderita penyakit korupsi stadium akut. Corruption Perception Index yang
diterbitkan oleh Transparency International Indonesia mungkin bisa
mendeskripsikan keterpurukan harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia
internasional.
Di Indonesia korupsi telah menjadi kebiasaan sejak zaman lampau.
Korupsi menjadi tradisi dalam corak birokrasi patrimonial, yang
mengejewantahkan bentuknya dalam sistem masyarakat feodal. Corak dan
sistem seperti ini tetap dipertahankan sebagai sebuah kewajaran, justru karena
masyarakat memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar telah terjadi
sejak dahulu, sesuatu yang terwariskan. Korupsi di Indonesia telah ada dari dulu
sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut
hingga era reformasi. Korupsi telah berakar jauh ke masa silam, tidak saja di
masyarakat Indonesia, akan tetapi hampir di semua bangsa. Korupsi sudah
berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad
pertengahan dan sampai sekarang. Mochtar Lubis menjelaskan, awal mula
kelahiran korupsi sejak masa feodalisme masih berkuasa hingga ke masyarakat
modern dengan bentuk-bentuk korupsi yang semakin beragam. Di masa feodal
di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia, tanah-tanah yang luas adalah pemilik
para raja dan raja menyerahkan pada para kaum bangsawan untuk melakukan
pengawasan terhadap tanah-tanah tersebut.
Melalui kaum bangsawan yang ditugaskan melakukan pengawasan
tersebut, rakyat dan pembesar yang menempatinya dipunguti pajak, sewa, dan

4
upeti. Situasi tersebut juga terdapat dalam kerajaan-kerajaan Indonesia di
zaman dahulu. Pada waktu itu dalam nilai budaya dan masyarakat yang berlaku,
dianggap sebagai hal yang wajar. Jejak akar budaya ini pada struktur kekuasaan
di masa lalu yang disebutnya sebagai kekuasaan “birokrasi patrimonial“. Istilah
ini berasal dari Max Weber dan didefinisikan sebagai bentuk kekuasaan yang
hidup dan berkembang pada masa feodalisme di masa lalu yang masih besar.
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan
berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman
penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Pertama, Fase Zaman
Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh
adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah
masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja
kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara
bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Lalu,
kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji
merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng
Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis
Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah,
mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya
adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan
“abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu
bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang
menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki
potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita
dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek
korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik
bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial
(terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang
dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh
penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang

5
(lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat,
digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap
hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya
penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan
orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan
praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di
zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh
penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang
tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut
tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai
di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh
subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal
pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup,
bahkan hingga saat ini.
Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan.
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif indonesia sebenarnya
sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum
pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku
bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan
diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal
17 agustus 1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum
positif Indonesia, pada waktu seluruh wilayah indonesia dinyatakan dalam
keadaan perang berdasarkan UU nomor 74 tahun 1957 jo nomor 79 tahun 1957.
Baru setelah itu istilah yuridis korupsi digunakan, yaitu dengan adanya

6
Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat
(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957).
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di
Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini
ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik
untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan
yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang
pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat
secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta
Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan
peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki
oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta
benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu
putusan dari Pengadilan Tinggi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI
2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI
387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah
dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI
4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal
27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002
(LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang
hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Dengan kata lain Pasal
103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar
KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
KUHP.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui
Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang
Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat
menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit.
Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan
sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku
korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada
korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana
mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi
dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga
hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian
telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol,

8
undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran
serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya.
Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan
tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia
Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB
tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset
para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi
ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu
yang penting dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang
pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.

2.3 Lembaga Penegakan Hukum

Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk


lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di
beberapa negara didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini
pertama kali didirikan oleh Parlemen Swedia dengan nama
Justitieombudsmannen pada tahun 1809. Peran lembaga ombudsman yang
kemudian berkembang pula di negara lain--antara lain menyediakan sarana bagi
masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga
Pemerintah dan pegawainya.

Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan
masyarakat serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi
lembaga pemerintah maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu
peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian serta pengetahuan
masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur
dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Di Hongkong dibentuk
lembaga anti korupsi yang bernama Independent Commission against
Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA).
Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas
korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

9
Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi
adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah.
Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil
oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian korupsi besar-besaran umumnya
terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta. Dengan otonomi yang diberikan
kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota
negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat
pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.

Lembaga yang harus perhatikan adalah dari tingkat kepolisian,


kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah
jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak),
jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena
kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena
tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti
pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Yang
menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki
keinginan yang kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi, atau
justru terlibat dalam berbagai perkara korupsi.

Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti


Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga
ini sama sekali ‘tidak punya gigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang
melibatkan pejabat tinggi.

Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga


banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah
(DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan
rakyat, anggota parlemen justru melakukan berbagai macam korupsi yang
‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR dan DPRD yang terbukti
melakukan korupsi menambah panjang daftar korupsi di Indonesia. Untuk itu
kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau ‘mencontreng’ pada saat
Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya
integritas. Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan mengeluarkan suatu

10
kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Salah-salah kebijakan tersebut
justru digunakan bagi kepentingan beberapa pihak bukan bagi kepentingan
rakyat. Untuk itulah ketika Parlemen hendak mengeluarkan sebuah kebijakan
yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak, masyarakat sipil (civil
society) termasuk mahasiswa dan media harus ikut mengawal pembuatan
kebijakan tersebut.

2.4 Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi

Masalah korupsi bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Berbagai


kebijakan telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang
bersih dan bebas dari KKN. Secara faktual Majelis Permusyawaratan Rakyat
mengamanatkan dalam TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1989 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, yang kemudian
ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.
Tujuan yang ingin dicapai dalam upaya tersebut adalah
Penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif harus sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat, yakni
adanya penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugas
secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari praktik KKN di segala
bidang, sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Upaya pemberantasan korupsi untuk menuju terciptanya pemerintahan
yang bersih nuansanya nampak lebih kental. Untuk mencapai sasaran
pembangunan penyelenggaraan negara menuju terciptanya tata pemerintahan
yang bersih dan berwibawa teersebut, maka Presiden telah mengeluarkan
Peraturan Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah dan Kebijakan Penyelenggaraan Negara 2004-2009, yang diarahkan
untuk:
a) Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam benuk
praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme

11
b) Meningkatkan kualitas penyelenggara administrasi negara
c) Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan. Selain kontribusi aparat hukum, partisipasi dan dukungan
dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemberantasan tindak perilaku korupsi. Ada beberapa upaya yang dapat
ditempuh masyarakat umum dalam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain sebagai berikut :
d) Upaya pencegahan (preventif). Dapat dilakukan dengan menanamkan
semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
e) Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa. Yaitu menumbuhkan rasa memiliki
tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik serta tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
f) Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Yaitu dengan
membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya serta melakukan kontrol
sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat
pusat/nasional.
Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui beberapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah
korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya
Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat
(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang
mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari :
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini
ada dua, yaitu tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik
untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung

12
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan
yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang
pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat
secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta
Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan
peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki
oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta
benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu
putusan dari Pengadilan Tinggi.
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor
42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum
Angkatan Laut
2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari
berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat
kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS
1949.Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.

13
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

14
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan


wewenang kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau
hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait
janggung jawab yang dijalani. Korupsi sudah berlangsung dari zaman
kebesaran Romawi hingga masa keadidayaan Amerika Serikat saat ini. Korupsi
sulit hilang, bahkan semakin menggurita di beberapa masa terakhir kini.
Korupsi di Indonesia telah ada dari dulu sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era reformasi. Korupsi telah berakar
jauh ke masa silam, tidak saja di masyarakat Indonesia, akan tetapi hampir di
semua bangsa.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, badan legislatif Indonesia telah
membuat Undang-Undang yang mengatur tindak pidana korupsi tersebut,
Undang-Undang ini telah ada sejak tahun 1960 dan mengalami beberapa kali
perubahan hingga saat ini. Undang-Undang tersebut yaitu UU No 24 Tahun
1960, UU No 3 Tahun 1971, UU No 31 Tahun 1999, dan UU No 20 Tahun
2001.
Korupsi yang semakin hari semakin berkembang dengan pesat dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kurang atau dangkalnya
pendidikan agama dan etika sehingga mempermudah pejabat untuk melakukan
korupsi, kurangnya sanksi yang keras, kurangnya gaji dan pendapatan pegawai
negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat,
lemahnya pengawasan terhadap para penyelenggara negara, faktor budaya atau
kebiasaan dimana pejabat melakukan korupsi dianggap sebagai hal yang biasa
dan cenderung dilakukan terus-menerus.
Hampir semua orang di negeri ini sudah mulai melakukan perilaku
korupsi mulai dari taraf yang rendah hingga sampai taraf tinggi. Contoh kasus
yang sering kita dengar adalah kasus suap daging impor, kasus dana kas uang
Sidoarjo, kasus pengadaan alat simulator SIM, dan lain-lain. Korupsi ini

15
memiliki dampak besar bagi segala aspek kehidupan, baik dari bidang ekonomi,
sosial, politik, maupun hukum. Upaya pemberantasan korupsi haruslah
dilakukan baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat agar tercipta bangsa
Indonesia yang bersih dari korupsi.

3.2 Saran
Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang
bobrok dan sungguh membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan
negara dicuri untuk kepentingan segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa
dengan tindakannya akan membuat sengsara berjuta-juta rakyat ini. Tentu untuk
mengatasi masalah korupsi ini adalah tugas berat namun tidak mustahil untuk
dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk mengatasi, mencegah
tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama (mengingatkan bahwa
korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama),
dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor
sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa
malu kepada pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan
pelaku terorisme. Tugas kita semua sebagai warga negara ikut serta dalam
upaya pemberantasan korupsi agar korupsi tidak semakin membudaya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan, dan Keadilan. Bandung: Fokus
Prasojo, Eko. 2009. Reformasi Kedua. Jakarta: Salemba Humanita
Rahardjo, Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi. Yogyakarta: UII Press
Santosa, Kholid O. 2004. Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945.
Bandung: Sega Arsy
http://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf. diakses 18
September 2013 17 september 2018, pukul 17.00 WIB

17

Anda mungkin juga menyukai