(makalah)
KELOMPOK 1
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah pendidikan
dan budaya anti korupsi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia....................................................................2
2.2 Apa saja upaya yang dilakukan dalam mencegah dan memberantas korupsi...........6
BAB 3 PEMBAHASAN.................................................................................................11
3.1 kesimpulan.................................................................................................................12
3.2 saran...........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu
besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah
mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya
korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama
350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang
sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah
adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten
atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang
suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau
pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan
menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya
budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan
orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan
praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman
modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial,
tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-
pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang
akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru
Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar)
Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Di Indonesia langkah-
langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah
dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa
perubahan perundang- undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum
positif indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab
undang-undang hukum pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan
3
unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi
dan diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di
Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer
Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan
Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap
perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk
kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak
langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Masa Undang-
Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan
atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi Undang- undang Nomor
31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai
modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang
ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian
pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada
orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi
4
minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3
undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah
pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi
pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai
kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran
serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama
dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi
PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset
para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai
masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi
koruptor seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana
korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman
seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan juga sebagai
pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga
didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga
Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu
menyuapnya. Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat kasus
korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan menyuap dari hasil
uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan menjadi percuma. Bahkan
beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh institusi hukum lain yang takut
diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.
5
B. Berdirinya Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi
1. Sejarah Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah
dimulai sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan, penuntutan
dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi
UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi
Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak
becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN,
dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor
Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya
masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa
Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini
kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah,
dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk
memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat
Komisi Empat. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo,
I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen
Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena
korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai
negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim
Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi
20 tahun). Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri
Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis
mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk.
6
Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15
Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa
Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai
terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat
UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang
beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan.
Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI
yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK
dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung
pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan
memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang
luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi,
Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri,
KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi. Sepuluh
kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan sudah dua kasus
korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun
Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK
adalah korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan
dan penyidikan KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa
pegawai Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai
7
kalangan namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan
harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan
Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief
dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan
Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan
diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim
Pemburu koruptor diberitakan sudah menurunkan tim ke lima negara, yaitu
Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu Tim pemburu
koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar negeri
sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang
diketuai oleh Hendarman Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus
dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang
diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka
pengembalian keuangan secara optimal.[2]
2. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi:
a. Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia
oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah
mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa
Agung Dan Kapolri:
b. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
8
c. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain
denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan
hukum.
9
dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang
tinggi, para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua, menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang
tinggi, sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis
tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
b. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana.
c. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-
rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
d. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri
dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di
Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang
menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang bebas korupsi.[5]
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12