Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di
media massa maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan
oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh
masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah
merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi
kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti
melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas
tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.
Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi,
namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Sejarah Korupsi Di Indonesia?

1.2.2 Bagaimana Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

1.2.3 Bagaimana Berdirinya Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan


dan Pencegahan Korupsi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui Sejarah Korupsi Di Indonesia.

1.3.2 Mengetahui Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1.3.3 Mengetahui Berdirinya Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan


dan Pencegahan Korupsi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Korupsi Di Indonesia


Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak
orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan
sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian
perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi
paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga
mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga
kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang
melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang
tetap rendah.
Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di
Indonesia. Korupsi yang sudah di tangani di Indonesia. Secara garis besar,
budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase
sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
seperti sekarang ini.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada
prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan
dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman
kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari
yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling
membalas dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang
memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang,
ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan
kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien
Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia- Analis Informasi LIPI).
Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai
terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya
adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan

2
“abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu
bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula
yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga
memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan
pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek
korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik
bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial
(terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang
dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh
penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang
(lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-
pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah
Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka
yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau
pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri
dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara eksplisit,
sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan
dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas
bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di
zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan
oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu
warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan
yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya
semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru
Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5
(besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Di
Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi

3
masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah
dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Keberadaan
tindak pidana korupsi dalam hukum positif indonesia sebenarnya sudah ada
sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana 1
januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi
semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan
diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi
di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer
Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan
oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah
kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang-
undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa
pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain,
atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Masa Undang-
Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI
2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI
387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah
dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134,
TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya
pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor
30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki
banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan
tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi
Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang
kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang
semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah
dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah
diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang
tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi
minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan
pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan
penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang
pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian
tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi
dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian
dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama
dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani
konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk
mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam
KUHP dinilai masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai
diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti yang di berlakukan di
Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi yang merugikan negara
dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup dan tanpa
remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan juga sebagai pelajaran bagi
pejabat-pejabat baru.

5
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga
didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian,
Kejaksaan, hingga Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan
bila koruptor mampu menyuapnya. Hal ini menyebabkan mudahnya para
pejabat yang terjerat kasus korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan
hukum dengan jalan menyuap dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak
apapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi
ke pihak kepolisian akan menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada
upaya pelemahan KPK oleh institusi hukum lain yang takut diselidiki
mengenai kasus korupsi di dalamnya.[1]

2.2 Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh pemerintah
sejak kemerdekaan, baik dengan menggunakan peraturan perundang-
undangan yang ada maupun dengan membentuk peraturan perundang-
undangan baru yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak
pidana korupsi. Di antara peraturan perundang-undangan yang pernah
digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi adalah:

1. Delik korupsi dalam KUHP.

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/


Peperpu/013/1950.

3. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

4. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih


dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang


Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6
7. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

8. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-


undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.

10. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation


Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

11. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat


dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

12. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan


Korupsi.

2.3 Berdirinya Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan dan Pencegahan


Korupsi
1. Sejarah Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya
sudah dimulai sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang
pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu
lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk
mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu
perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN,
dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut
Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan
dari dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2
Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para

7
anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri,
Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini
kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari
1970, untuk memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah
diambil pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah
yang lebih efektif untuk memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden
M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat. Anggota-anggotanya
adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan
Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono
menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang
dipenjara karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977,
divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat
adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara
seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Selain
Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi
Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis
mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara
Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini
dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini
berada di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk
sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa,
polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan. Bahkan oleh
Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI
yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya,
TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang

8
Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah
Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf
Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para
penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30
Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki
5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh
Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana
Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri,
KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi.
Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan
sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor
(Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus
korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang terjadi di
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan KPK
berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai
Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai
kalangan namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak
memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di
Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai
dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh
Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas
memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri

9
keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun
Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah menurunkan tim ke lima negara,
yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain
itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang
terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang
dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada
dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus
dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap
pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri
asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.[2]
2. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi:
a. Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas
korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan
penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember
2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden
Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang
menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa Agung Dan Kapolri:
b. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi.
c. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI,
selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn
upaya penegakan hukum.
3. Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-

10
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi,
merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi
para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
a. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
b. Mendorong pemerintah melakukan reformasipublic sector dengan
mewujudkan good governance.
c. Membangun kepercayaan masyarakat.
d. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi
besar.
e. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

4. Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi


a. Upaya Pencegahan (Preventif)
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan
mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama, melakukan penerimaan
pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat
dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-
gung jawab yang tinggi, para pegawai selalu diusahakan
kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua, menciptakan
aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi,
sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung
jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
b. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang
terbukti melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan
pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.

11
c. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan
publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai
dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek
hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan
dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan
untuk kepentingan masyarakat luas.
d. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-
pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik
mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW
lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan
reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang
bebas korupsi.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta
selalu mengandung unsur “penyelewengan” ataudishonest(ketidakjujuran).
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-
an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di
Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis
politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi
krisis multidimensi.
Pelajaran yang didapat dari uraian diatas sebenarnya korupsi yang
terjadi di Indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun
sebaik apapun sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih
apapun aparat akan percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini
masih buruk dan korupsi pasti masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang
kita harus menyadarkan para pemimpin untuk memperbaiki mentalnya, dan
apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti dengan
pemimpin yang amanah dan bermental baik serta siap susah demi rakyat.
Kita sebagai generasi muda calon pemimpin bangsa sudah seharusnya
menjaga hati dan mental agar tetap jujur dan tidak berubah menjadi mental
koruptor.
3.2 Saran
Bagi para pembaca agar setelah mebaca makalah ini dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari agar negara Indonesia terbebas
dari adanya tindakan korupsi.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://andsbarcaboy.blogspot.com/2016/03/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
http://polmas.wordpress.com/2016/03/03/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-
pidana-korupsi-di-indonesia.
http://makalahsekolah.com/2016/03/03/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-
di-indonesia.
http://fikriarahman-smkwadaya.blogspot.co.id/2016/03/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
http://nurulsolikha.blogspot.com/2016/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.

14

Anda mungkin juga menyukai