Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tuugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah II dengan Dosen Pembimbing Ibu Ns. Friska Sinaga.,S. Kep.,MNS
KELOMPOK 9:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mampu menjelaskan pengertian penyakit lupus.
2. Mampu menjelaskan anatomi fisiologi lupus.
3. Mampu menjelaskan etiologi lupus.
4. Mampu menjelaskan klasifikasi lupus.
5. Mampu menjelaskan test diagnostik lupus.
6. Mampu menjelaskan komplikasi lupus.
7. Mampu menjelaskan manifestasi klinis lupus.
8. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan lupus.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Salah satu fungsi sistem imun adalah melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme seperti virus, bakteri, dan lainnya dengan cara memproduksi
antibody yang disebut limfosit. Pada kondisi normal, respon imun tidak dapat
dipicu untuk menyerang sel sel tubuh sendiri. Namun dalam kasus tertentu sistem
imun malah menyerang sel sel nya sendiri. Secara normal sistem imun dapat
membedakan sel sel nya sendiri. Namun ada limfosit yang berpotensi bereaksi
terhadap sel sel nya sendiri, hal ini lah yang menyebabkan autoimun. Biasanya
limfosit limfosit ini dalam kondisi tertekan (suppeseed), karena itu setiap orang
secara alami memiliki limfosit limfosit yang berpotensi menimbulkan
autoimunitas. Penyakit auto imun muncul jika ada suatu interupsi pada proses
yang selama ini terkontrol, sehingga limfosit lepas dari tekanan. Ada 2 tipe
autoimunitas yaitu organ- specific type dan non organ specific type. Sedangkan
dalam kasus ini yang akan kami bahas adalah penyakit dengan tipe non spesifik
organ, yaitu penyakit Lupus eritematosus sistemik
Organ imunitas
1) Sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting bagi tubuh. Di
dalam sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis sel yang berperan dalam
pertahanan tubuh. Sejumlah sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan
dalam produksi sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah,
dan sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa.
2) Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung dan paru-paru.
Dalam system limfatik, kelenjar timus merupakan organ yang penting,
terutama pada bayi yang baru lahir karena organ tersebut mengatur
perkembangan limpa dan nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan
mengecil, tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang penting. Menurut
pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti organ biasa tanpa suatu
fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki
fungsi yang teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk
dan mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi. Informasi
ini berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini,
limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram
untuk membentuk antibody melawan mikroorganisme spesifik. Terakhir,
limfosit yang bermuatan informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan
demikian, ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-
sel yang identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan
membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing.
3) Limpa
Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan terletak di sisi kiri
bagian atas abdomen, di antara rusuk terbawah serta lambung. Di dalam limpa
terdapat pembuluh limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah
menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda
asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang
telah dibuat limpa akan mengikuti aliran darah.
Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel pembersih ).
Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah merah atau sel-sel darah
lainnya yang rusak dan tua, serta bahan-bahan lain, yang dibawa darah ke
limpa. Di dalam limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel
darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin ( pigmen empedu )
4) Tonsil
Gambar Tonsil
Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada yang terletak di dekat dasar
lidah, di bagian kiri dan kanan pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di
rongga hidung ( disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi ( sebagai penghasil limfosit ) yang dapat tersebar dari hidung,
mulut dan tenggorok. Tonsil dapat meradang jika sedang “ bertempur “
melawan bibit penyakit.
Tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing dapat di tahan oleh kulit
ataupun lapisan mukosa sehingga mereka dapat lolos masuk ke dalam
tubuh. Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu dengan
pertahanan tubuh nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi
fagositosis, respon peradangan, sel natural killer (NK), dan senyawa anti
mikroba.
Fagosistosis
Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda asing, terutama
mikroba, oleh sel-sel tertentu. Khususnya sel-sel darah putih (Ingat lagi
pelajaran tentang system sirkulasi). Berbagai sel yang dapat melakukan
fagositosis, antara lain neotrofil,monosit, makrofag, dan eosinofil.
Respon Peradangan
Yaitu salah satu bagian tubuh terluka dan pada bagian yang terluka
tersebut terjadi pembengkakan yang berwarna kemerahan. Peradangan
adalah tanggapan atau respon cepat setempat terhadap krusakan jaringan
yang di sebabkan oleh teriris, tergigih, tersengat, ataupun infeksi
mikroorganisme. Tanda-tanda suatu bagian tubuh mengalami
peradangan, antara lain berwarna kemerahan, terasa nyeri, panas, dan
membengkak. Mengapa respons peradangan juga merupakan salah satu
bentuk pertahanan tubuh dan bagaimanakah terjadinya peristiwa
peradangan tersebut?
2.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor
yang terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk
membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga
berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat
terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-
5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar
monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.
2.4 Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus:
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai discoid Lupus tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit
dan ditampilkan dalam bentk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit
kepala. Ruam ini dapat menjadi jelas terlihat pada daerah kulit yang tekena sinar
ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa
macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul,
bersisik dan merah, tetapu tidak gatal.
b. Dicoid Lupus
Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa mascam organ. Untu
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas paa gangguan kulit dan sendi.
Tetapi pada orang lain seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan
atau jarinan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki
masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini
dapat menjadi aktif (flare)
c. Drug-induced Lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan drugindecude lupus adalah jenis hidralazim (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yamg memakan obat
ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4% dari orang yang mengkonsumsi
obat itu yang akan membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4% itu, sedikit
sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala
lupus ini biasanya hilang dengan sendirinya.
Dari ketiganya, discoid lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid lupus, dan dapat menyerang organ
atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuman kulit dan persendian yang
diserang. Meski begitu, pada orang alain bisa merusak persendian, paru-paru,
ginjal, darah, organ atai jaringan lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Dianosis ditegakan
berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin
tidak memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheymatology (ARC),
yang didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji klinis. Hal ini penting
karena kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat akan tertunda menunggu
kriteria klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007)
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala tersebut.
Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan diferensial, panel
kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-DNA antibodi,
komplemen 3 (C3), komplemen 4 (C4), imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen
cepat (RRR), lupus anticoagulant, dan antipholipid antibodi (Lehman, 2002 dalam
Ward, Susan L and Hislet, Shelton M. 2009).
2.4 Patofisiologi
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan
atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan
jaringan.
b. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit
yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan
livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash)
berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan
yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena
sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-
hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas
berbentuk anular. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung
lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang
berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui
pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi
hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit
mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan
biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi.
Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal
jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE
difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan
kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau
lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah
satu penyebab kematian SLE kronik.
e. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin
ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan
pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor
lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah
jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh
peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
i. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
l. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
2.7 Komplikasi
1. Serangan pada ginjal
Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal).
Kelainan ginjal berat (gagal ginjal).
Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
Lesi dapat terjadi diwajah dengan pola kupu-kupu atau dapt mencakup area yang
luas di bagian tubuh.
Lesi nonspesifik
Rambut rontok (alopesia)
Vaskulitis : berupa garis kecil warana merah pada ujung lipatan kuku dan
ujung jari. Selai itu bisa berupa benjolan merah dikaki yang dapty menjadi
borok.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemrahan jika terkena matahari dan kadang
disertai pusing.
4. Serangan pada sendi dan otot.
Radang sendi pada lupus
Radang otot pada lupus
5. Serangan pada mata.
6. Serangan pada darah
Anemia
Trombositopenia
Ganguan pembekuan
Limfositopenia
Serangan pada hati.
A. PENGKAJIAN
1. Anamnesis :
Penyakit lupus eritematosus sitemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit ini sering
diderita oleh wanita, dengan perbandingan 8:1. Bisa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro,
cina dan filiphina. Lebih sering di derita pada usia 20-40 tahun, yaitu usia produktif.
2. Keluhan Utama:
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal atau
manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat penyakit sekarang
Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar –fotosensitif,
ruam discoid bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthiritis, demam, kelelahan,
nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut
Mulai kapan keluhan dirasakan
Faktor yang memperberat atau memperingan serangan
Keluhan-keluhan lain menyertai
5. Riwayat pengobatan
Kaji apakah pasien mendapatkan terapi dengan klorpromazn, metildopa, hidralasin, prokainamid dan
isoniazid, penisilamin dan kuinidin.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan tidak dapat mensintesa zat-zat penting untuk tubuh.
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman
oksigen.
4. Kurang pengetahuan b/d dengan kurangnya sumber informasi.
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret.
C. INTERVENSI
NO INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL
1 Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan
Kaji kemampuan pasien untuk
melakukan tugas /AKS normal, catat
laporan kelelahan,keletihan, dan
kesulitan menyelesesaikan tugas
2 Kaji kehilangan/ ganguan keseimbangan Menunjukan perubahan neuroilogi karena
gaya, jalan kelemahan otot. defisiensi vitamin B mempengaruhi keamanan
pasien/resiko cedera.
3 Awasi TD,nadi, pernafasan, selama dan Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
sesudah aktivitas. Catat respons terhadap jantung dan paru-paru untuk membawa
tingkat aktivitas (misl, peningkatan jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
denyut jangtung/TD,distrimia,
pusing,dispnea,takipnea,dan
sebagainya.)
4 Berikan lingkugan tenang. Pertahankan Meningkatkan istirahat untuk menurunkan
tirah baring bila diindikasikan. Pantau kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan
dan batasi pengunjung, telepon dan rengangan jantung dan paru-paru.
ganguan berulang tindakan yang tak
direncanakan.
5 Ubah posisi pasien dengan perlahan atau Hipotensi postural atau hipoksia serebral
pantau terhadap pusing dapat menyebabbkan pusinh, berdenyut, dan
peningkatan resiko cidera.
6 Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan Memperthankan tingkat energy dan
untuk meningkatkan istirahat. Pilih meningkatkan rengangan pada pasien jantung
periode isirahat dengan periode aktivitas dan pernapasan.
7 Berikan bantuan dalam membantu bila perlu harga diri ditingklatkan
aktivitas/ambulasi bila perlu bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
memungkinkan pasien untuk
melakukanya sebanyak mungkin.
8 Rencanakan kemajuan aktivitas dengan Meningkatkan secara bertahap tingkat
pasien, termasuk aktivitas yang pasien aktivitas sampai normal dan memperbaiki
pandang perlu tingkatkan tingkat tonus otot/stamina tanpa kelemahan
aktivitas sesuai toleransi. meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
9 Gunakan teknik penghematan Mendorong pasien melakukan banyak dengan
energy,mis mandi dengan duduk, duduk membatasi penyimpanan energy dan
untuk melakukan tugas-tugas. mencegah kelemahan.
10 Anjurkan pasien untuk menghentikan Rengangan /sters kardiopulmuonal
aktivitas bila palpasi, neyri dada, nafas berlebihan/sters dapat menimbulkan
pendek, kelemahan, pusing terjadi. keompensasi/kegagalan.
11 Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi nafas misalnya dengan obstrusi jalan nafas dan dapat/tak
mengi,krekels,ronchi. dimanifestasikan adanya bunyi nafas
adventius. Missal, penyebaran,krekels basah
(bronchitis), bunyi nafas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema) atau tak adanya
bunyi nafas (asma berat)
12 Kaji atau pantau frekuensi pernafasan Takipnea bisanya ada pada beberapa derjat
catat rasio inspirasi.ekpirasi. dan dapat ditemukan pada penerimaaan atau
selama sters/adanya proses infeksi akut.
Pernafasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang disbanding ekspirasi.
13 Catat adanya derajt dipnea, misalnya Peninggian kepala tempat tidur
keluhan lapr udara, gelisah, ansietas, mempermudah fungsi pernfasan dengan
distress pernafasan,pengguanan otot mengunakan gravitasi. Namun pasien dengan
bantu nafas. distes berat akan mencari posisi yang paling
mudah untuk bernafas. Sokongan tangan/kaki
dengan meja, bantal dan alin-lain membantu
menurunkan kelemahan otot dan dapat
sebagai alat ekspansi dada.
14 Memposisi pasien semi fowler Memberikan pasien beberapa cara mengatasi
dan mengontrol dispnea.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat
disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang
belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan
perjalanan penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya
penyakit SLE adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan. Diagnosis
penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan
beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak
sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk
memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan
memperbaiki hasil induksi remisi.