Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH LUPUS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tuugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah II dengan Dosen Pembimbing Ibu Ns. Friska Sinaga.,S. Kep.,MNS

KELOMPOK 9:

1. Uli Artha Sitorus 30120117001


2. Ai Utari 30120117006
3. Esra Desyanti Turnip 30120117023
4. Rachel Sitanggang 30120117047
5. Yuni hardiayanti 30120117055

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

Jalan Parahyangan Kav. 8 Blok B/1, Kota Baru Parahyangan

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah prototipe penyakit autoimun,


yang merupakan suatu penderitaan yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
dengan spektrum yang luas dan gangguan imunologi yang beragam yang
melibatkan hampir semua sistem organ (Ramirez, 2004). Saat ini belum ada obat
untuk LES, dan kondisi ini dapat mengancam hidup ketika mempengaruhi organ
utama.
Baru-baru ini, terdapat penurunan dramatis dalam kematian dari semua
penyebab antara pasien dengan LES yang sebagian dapat dikaitkan dengan
kemajuan pengobatan yang menunda perkembangan penyakit dan meminimalkan
kerusakan organ. Bagi banyak pasien yang terdiagnosis LES, penyakit ini terus
memiliki dampak besar pada kehidupan sehari-hari mereka (Julian, 2009).
Mereka tidak hanya secara pasti mengalami berbagai gejala somatik seperti sakit
dan kelelahan ( Katz, 2009; Kozora et al., 2008) tetapi juga mengalami kesulitan
eksistensial, emosional, sosial dan psikologis seperti penurunan ambang batas
stres, kecemasan, depresi dan perubahan peran sosial yang dibawa oleh penyakit
mereka ( Doria, 2004; Mattje, 2006). Semua ini telah dikaitkan dengan penurunan
produktivitas kerja dan memburuknya kualitas hidup (Mok, 2008; Yelin, 2009).
Meskipun demikian, pasien seringkali enggan bahkan kurang patuh untuk
diberikan antidepresan lebih lanjut sebagai tambahan dari berbagai obat yang
diperlukan untuk manajemen dasar LES. Oleh karena itu metode nonfarmakologis
dapat bermanfaat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit lupus?
2. Bagaimana anatomi fisiologi lupus?
3. Bagaimana etiologi lupus?
4. Bagaimana klasifikasi lupus?
5. Apa saja test diagnostik lupus?
6. Apa saja komplikasi lupus?
7. Apa saja manifestasi klinis?
8. Bagaimana asuhan keperawatan lupus?

1.3 Tujuan
1. Mampu menjelaskan pengertian penyakit lupus.
2. Mampu menjelaskan anatomi fisiologi lupus.
3. Mampu menjelaskan etiologi lupus.
4. Mampu menjelaskan klasifikasi lupus.
5. Mampu menjelaskan test diagnostik lupus.
6. Mampu menjelaskan komplikasi lupus.
7. Mampu menjelaskan manifestasi klinis lupus.
8. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan lupus.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian

Salah satu fungsi sistem imun adalah melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme seperti virus, bakteri, dan lainnya dengan cara memproduksi
antibody yang disebut limfosit. Pada kondisi normal, respon imun tidak dapat
dipicu untuk menyerang sel sel tubuh sendiri. Namun dalam kasus tertentu sistem
imun malah menyerang sel sel nya sendiri. Secara normal sistem imun dapat
membedakan sel sel nya sendiri. Namun ada limfosit yang berpotensi bereaksi
terhadap sel sel nya sendiri, hal ini lah yang menyebabkan autoimun. Biasanya
limfosit limfosit ini dalam kondisi tertekan (suppeseed), karena itu setiap orang
secara alami memiliki limfosit limfosit yang berpotensi menimbulkan
autoimunitas. Penyakit auto imun muncul jika ada suatu interupsi pada proses
yang selama ini terkontrol, sehingga limfosit lepas dari tekanan. Ada 2 tipe
autoimunitas yaitu organ- specific type dan non organ specific type. Sedangkan
dalam kasus ini yang akan kami bahas adalah penyakit dengan tipe non spesifik
organ, yaitu penyakit Lupus eritematosus sistemik

Lupus eritematosus sitemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan


oleh penyaki autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang
tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ
yang dapat terkena adalah kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang kronik


dan menyerang berbagai sistem di dalam tubuh. (Silvia & Lorraine, 2006).

Systemic Erythematosus system (SLE) adalh penyakit radang yang


menyerang sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis,
dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
Systemic erythematosus system (SLE) adalah suatu penyakit auto imun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah-ubah, penyakit ini
terutama menyerang kulit, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung. (Robins,
2007)

2.2 Anatomi dan Fisiologi


A. System pertahanan tubuh atau system kekebalan tubuh
Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk
menangkal pengaruh factor atau zat yang berasal dari lingkungan, yang asing
bagi tubuh kita.
B. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh

Organ imunitas

Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh meliputi organ-organ


penghasil sel-sel pertahanan tubuh. Organ-organ tersebut adalah sumsum tulang,
kelenjar timus, limpa, dan tonsil.

1) Sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting bagi tubuh. Di
dalam sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis sel yang berperan dalam
pertahanan tubuh. Sejumlah sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan
dalam produksi sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah,
dan sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa.
2) Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung dan paru-paru.
Dalam system limfatik, kelenjar timus merupakan organ yang penting,
terutama pada bayi yang baru lahir karena organ tersebut mengatur
perkembangan limpa dan nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan
mengecil, tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang penting. Menurut
pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti organ biasa tanpa suatu
fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki
fungsi yang teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk
dan mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi. Informasi
ini berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini,
limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram
untuk membentuk antibody melawan mikroorganisme spesifik. Terakhir,
limfosit yang bermuatan informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan
demikian, ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-
sel yang identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan
membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing.
3) Limpa
Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan terletak di sisi kiri
bagian atas abdomen, di antara rusuk terbawah serta lambung. Di dalam limpa
terdapat pembuluh limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah
menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda
asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang
telah dibuat limpa akan mengikuti aliran darah.
Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel pembersih ).
Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah merah atau sel-sel darah
lainnya yang rusak dan tua, serta bahan-bahan lain, yang dibawa darah ke
limpa. Di dalam limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel
darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin ( pigmen empedu )
4) Tonsil

Gambar Tonsil
Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada yang terletak di dekat dasar
lidah, di bagian kiri dan kanan pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di
rongga hidung ( disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi ( sebagai penghasil limfosit ) yang dapat tersebar dari hidung,
mulut dan tenggorok. Tonsil dapat meradang jika sedang “ bertempur “
melawan bibit penyakit.

C. Mekanisme system pertahanan tubuh


System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system pertahanan tubuh
nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik
1) Pertahanan tubuh nonspesifik
Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal masuknya
segala macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh, yang dapat menimbulkan
kerusakan tubuh ( penyakit ) tanpa membedakan jenis zat atau bahan asing
tersebut. Contoh zat-zat asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang
berbahaya bagi tubuh. Yang termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara
lain pertahanan fisik ( kulit dan selaput lendir ), kimiawi ( enzim dan keasaman
lambung ), mekanis ( gerakan usus dan rambut getar selaput lendir ),
fagositosis ( penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih ), serta zat
komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat
asing. Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan eksternal dan
pertahanan internal. Pertahanan eksternal merupakan pertahanan tubuh
sebelum mikroorganisme atau zat asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan
internal merupakan pertahanan tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh
setelah mikroorganisme atau zat asing masuk ke dalam tubuh.
a) Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal
Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi kulit dan lapisan mukosa
berbagai organ.
(1) Kulit
Fungsi kulit bagi pertahanan tubuh adalah ibarat banteng
pertahanan yang kuat dalam peperangan. Di samping berfungsi
melindungi tubuh dari panas, dingin, dan sinar matahari, kulit juga
memiliki kemampuan untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme
yang merugikan. Fungsi perlindungan utama kulit diwujudkan lewat
lapisan sel mati yang merupakan bagian terluar kulit. Setiap sel baru
yang dihasilkan oleh pembelahan sel bergerak dari bagian dalam kulit
menuju ke permukaan luar.
Selain itu, sel-sel kulit juga mampu menghasilkan suatu protein kuat
yang disebut keratin. Senyawa keratin mempunyai struktur yang
sangat kuat dank eras sehingga kulit didekomposisi oleh berbagai
mikroorganisme pathogen. Keratain tersebut terdapat pada sel-sel mati
yang selalu lepas dari permukaan kulit dan digantikan oleh sel-sel
berkeratin yang baru. Sel-sel baru yang berasal dari bawah
menggantikan sel=sel yang sudah using sehingga membentuk
penghalang yang tidak dapat tembus.
Di samping memberikan perlindungan secara fisik, kulit juga member
perlindungan secara kimia. Kulit menghasilkan keringat dan minyak
yang memberikan suasana asam pada kulit. Hal itu dapat mencegah
tumbuhnya mikroorganisme pathogen pada kulit. Keringat
menyediakan zat makanan bagi bakteri dan jamur tertentu yang hidup
sebagai mikroflora normal pada kulit dan menghasilkan bahan-bahan
sisa bersifat asam, seperti asam laktat, yang membantu menurunkan
tingkat pH ( keasaman ) kulit. Media bersifat asam di permukaan kulit
ini menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat bagi
mikroorganisme berbahaya.
Bagaimana jika kulit terluka ? kulit yang terluka merupakan salah satu
jalan masuknya mikroba asing ke dalam tubuh. Meskipun demikian,
kulit juga memiliki respons untuk segera memperbaiki jaringan kulit
yang terluka secara cepat. Ketika terjadi luka, sel-sel pertahanan tubuh
akan segera bergerak ke daerah luka untuk menerangi mikroba asing
serta membuang sisa-sisa jaringan yang sudah rusak. Ke4mudian,
sejumlah sel pertahanan lainnya akan memproduksi benang-benang
fibrin, yaitu suatu protein yang berfungsi untuk menutup kembali luka.
(2) Membran Mukosa

Semua saluran tubuh yang memiliki kontak langsung dengan


lingkungan luar, seperti saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran ekresi, ataupun saluran reproduksi selalu memiliki organ-organ
yang dilapisi oleh lapisan mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada
berbagai saluran tadi memiliki fungsi penting dalam mencegah
masuknya berbagai mikroba asing yang berbahaya. Berikut ini adalah
beberapa contoh pertahanan yang dilakukan lapisan mukosa.

Saluran pencernaan merupakan salah satu pintu gerbang masuknya


berbagai mikroba asing ke dalam tubuh. Mereka masuk ke dalam tubuh
bersama dengan makanan yang kita makan. Mikroba yang masuk
bersama makanan dan sampai di lambung akan mendapat “kejutan”
yang berupa asam klorida (HCI) atau asam lambung yang di hasilkan
oleh lapisan mukosa lambung. Asam lambung menyebabkan sebagian
besar mikroba asing yang masuk ke lambung tidak dapat bertahan
hidup. Sebagian mikroba asing tersebut mungkin berhasil selamat dari
pengaruh asam lambung karena mereka tidak terpapar langsung oleh
asam lambung atau karena mereka mempunyai daya tahan terhadap
asam lambung. Meskipun begitu, mikroba yang lolos itu akan segera
menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus halus.

Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran respirasi, misalnya


trakea, juga merupakan pertahanan tubuh yang sangat penting. Lapisan
mukosa pada trakea menghasilkan mucus yang berupa cairan kental
yang berguna untuk menjerat mikroba asing ataupun partikel asing
lainnya yang masuk bersama udara pernafasan. Di samping itu, pada
lapisan mukosa trakea terdapat sel-sel epitel bersilia yang dapat
bergerak untuk mengeluarkan mukus yang sudah membawa mikroba
agar tidak menuju paru-paru.

Pada mata terdapat kelenjar penghasil air mata yang banyak


mengandung enzim lisozim. Enzim ini dapat merusak dinding sel
bakteri sehingga bakteri tidak dapat masuk menginfeksi mata.

Di samping menyediakan pertahanan fisik dan kimiawi, pada kulit


dan lapisan mukosa juga terdapat mikroorganisme yang secara alami
menempati bagian tertentu tubuh kita. Mikroorganisme ini di kenal
denganistilah mikroflora normal. Mereka tidak membahayakan tubuh
kita, justru secara tidak langsung menguntungkan karena turut
membantu system pertahanan tubuh kita. Banyak mikroorganisme lain
yang tidak merugikan yang hidup dalam tubuh manusia.

Mikroorganisme tersebut memberikan dukungan bagi system


pertahanan tubuh dengan cara mencegah mikroba asing berdiam dan
berkembang biak di dalam tubuh karena masuknya mikroba asing
tersebut merupakan ancaman bagi mikroflora normal tubuh.

b) Pertahanan Nonspesifik Internal

Tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing dapat di tahan oleh kulit
ataupun lapisan mukosa sehingga mereka dapat lolos masuk ke dalam
tubuh. Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu dengan
pertahanan tubuh nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi
fagositosis, respon peradangan, sel natural killer (NK), dan senyawa anti
mikroba.

 Fagosistosis
Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda asing, terutama
mikroba, oleh sel-sel tertentu. Khususnya sel-sel darah putih (Ingat lagi
pelajaran tentang system sirkulasi). Berbagai sel yang dapat melakukan
fagositosis, antara lain neotrofil,monosit, makrofag, dan eosinofil.

 Respon Peradangan
Yaitu salah satu bagian tubuh terluka dan pada bagian yang terluka
tersebut terjadi pembengkakan yang berwarna kemerahan. Peradangan
adalah tanggapan atau respon cepat setempat terhadap krusakan jaringan
yang di sebabkan oleh teriris, tergigih, tersengat, ataupun infeksi
mikroorganisme. Tanda-tanda suatu bagian tubuh mengalami
peradangan, antara lain berwarna kemerahan, terasa nyeri, panas, dan
membengkak. Mengapa respons peradangan juga merupakan salah satu
bentuk pertahanan tubuh dan bagaimanakah terjadinya peristiwa
peradangan tersebut?

Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi mikroba akan menyebabkan


pembuluh darah arteriola prakapiler mengalami dilatasi (pelebaran serta
peningkatan permeabilitas)dan pembuluh venula pascakapiler
menyempit. Hal itu akan meningkatkan aliran darah pada pada daerah
yanh terluka sehingga bagian tersebut meningkat suhunya dan berwarna
kemerahan. Sementara itu, pembekakan (udema) pada bagian yang
meradangdisebabkan oleh meningkatnya cairan yang keluar dari jaringan
akibat peningkatan permeabilitas kapiler darah. Pelebaran dan
peningkatan pemeabilitas pembuluh darah itu di picu oleh senyawa kimia
histamin. Sember utama histamine adalah sel-sel mast(sel-sel besar pada
jaringan ikat) dan basofil dalam darah. Keduanya bersama-sama dengan
keeping-keping darah melekat pada pembuluh darah yang rusak.
Pelebaran diameter dan pemeabilitas pembuluh darah akan
meningkatkan laju aliran darah dan unsure-unsur pembekuan darah (
keeping-keping darah) ke darah yang mengalami luka atau infeksi.
Pembekuan darah tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba
penginfeksi agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Kerusakan
jaringan juga mengirimkan senyawa kimia kemokin yang berfungsi
memanggil sel-sel fagosis untuk segera dating ke daerah yang terluka
tersebut. Pada respons peradangan, fagosist yang pertama kali berperan
adalah neutrofil dan diikuti monosit yang berubah menjadi makrofag.
Neurofil akan memangsa mikroba pathogen. Neurofil dapat mendeteksi
kehadiran mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin. Opsosin adalah
anti bodi lain yang di bentuk dalam aliran darah atau protein komplemen
khusus yang di aktifkan oleh kehadiran mikroba. Begitu opsonin melekat
pada mikroba, mikroba tersebut di telan dan di cerna oleh neurofil.
Sementara itu, disamping memangsa mikroba pathogen, makrofag juga
berfungsi membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak dan sisa-sisa
neurofil yang mati.

(1) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami)


Sel natural killer(Sel NK) adalah suatu limfosit granular yang
berespons terhadap mikroba intra seluler dengan dengan cara
membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk
memgaktivasi makrofag. Sel NK menyerang sel-sel parasit dengan
cara mengeluarka senyawa penghancur yang disebut profin. Sel NK
dapat melisiskan dan membunuh sel-sel kanker serta virus sebelum
kekebalan adaptis diaktivkan.
(2) Senyawa Antimikroba
Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki kemampuan menghasilkan
senyawa, khususnya protein yang berfungsi sebagai pertahanan
tubuh nonspesifik. Cara kerja protein antimikroba ini terutama adalah
untuk menghancurkan sel-sel mikroba yang masuk atau atau untuk
menghambat agar mikroba asing tersebut tidak dapat berproduksi.
Protein antimikroba yang berperan dalam pertahanan non spesifik ini
adalah protein komplemen dan interferon.
(3) Protein Komplemen
Protein komplemen merupakan agen antimikroba yang terdiri atas
sekitar 20 protein serum. Peotein komplemen dihasilkan oleh hati dan
beredar di dalam pembuluh darah dalam keadaan tidak aktif. Adanya
infeksi mikroba akan mengaktifkan protein pertama dan selanjutnya
akan mengaktifkan protein kedua, demikian seterusnya, melalui
serangkaian reaksi yang berurutan. Protein komplemen yang telah
aktif akan bekerja secara sistematis untuk melisiskan berbagai
mikroba penginfeksi.
(4) Interferon
Interferon merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh makrofag
sebagai respon adanya erangan virus yang masuk ke dalam tubuh.
Interferon merupakan senyawa antivirus yang bekerja
menghancurkan virus dengan cara menghambat perbanyakan virus
dalam sel-sel tubuh.

2) Pertahanan tubuh spesifik


Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan tubuh nonspesifik
akan berhadapan dengan pertahanan tubuh yang lebih canggih, yaitu
pertahanan tubuh spesifik. Pada pertahanan tubuh spesifik, sel-sel pertahanan
dapat merespon keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun sel yang
abnormal dengan cara yang spesifik. Pertahanan tubuh spesifik dikenal juga
dengan nama system kekebalan.
Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan tubuh
spesifik, disebut antibody, yang dilakukan oleh limfosit. Limfosit merupakan
sel utama dalam system kekebalan. Limfosit dapat ditemukan di dalam
sumsum tulang., pusat limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian.
Limfosit memiliki peran sangat penting untuk melawan penyakit-penyakit
menular yang utama, seperti aids, kanke, rabies, dan TBC. Bahkan, pilek tidak
lain adalah perang yang dikobarkan limfosit untuk mengusir virus flu dari
tubuh.
Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan antibody yang
dihasilkan oleh limfosit. Ada dua macam limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit
T, keduanya mengalami pembelahan sel yang cepat dalam menanggapi
kehadiran antigen spesifik, tetapi fungsi keduanya berbeda ( walaupun saling
bergantung )
Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca ( stem cells )di dalam sumsum
tulang. Limfosit B dinamakan juga sel-sel B ( berasak dari kata Bone Marrow
/ sumsum tulang ) . jika diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “
pabrik senjata “ di dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody yang
nantinya akan digunakan untuk menyerang musuh. Jumlah limfosit B atau sel
B adalah 25% dari jumlah total limfosit tubuh.
Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit bermigrasi ke
kelenjar timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit tersebut akan membelah diri
dan mengalami pematangan. Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini
dinamakan limfosit T ( dari timus ). Limfosit T disebut juga sel T. jumlahnya
mencapai 70% dari seluruh jumlah limfosit tubuh. Sel T berfungsi sebagai
bagian dari system pengawasan kekebalan.
Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka setelah diaktifkan
oleh antigen. Berdasarkan perannya setelah diaktifkan oleh antigen, sel T
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu
a) Sel T sitotoksik ( cytotoxic T cell )
sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang memiliki antigen asing,
misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel
cangkokan.
b) Sel T penolong ( helper T cell )
sel T yang membantu sel B mengenali dan menghasilkan antibody untuk
melawan antigen, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan
yang sesuai, serta mengaktifkan makrofag.
c) Sel T penekan ( suppressor T cell )
sel T yang menekan produksi antibody sel B dan aktivitas sel T sitotoksik
serta sel T penolong untuk mengakhiri reaksi kekebalan. ( Pujiyanto, 2014
)

2.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor
yang terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk
membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga
berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat
terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE

a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-
5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar
monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang


memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S
dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari
penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA,
tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang
diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah
molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak
dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri
dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah
berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid. Musai (2010).

2.4 Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus:
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai discoid Lupus tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit
dan ditampilkan dalam bentk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit
kepala. Ruam ini dapat menjadi jelas terlihat pada daerah kulit yang tekena sinar
ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa
macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul,
bersisik dan merah, tetapu tidak gatal.
b. Dicoid Lupus
Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa mascam organ. Untu
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas paa gangguan kulit dan sendi.
Tetapi pada orang lain seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan
atau jarinan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki
masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini
dapat menjadi aktif (flare)
c. Drug-induced Lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan drugindecude lupus adalah jenis hidralazim (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yamg memakan obat
ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4% dari orang yang mengkonsumsi
obat itu yang akan membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4% itu, sedikit
sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala
lupus ini biasanya hilang dengan sendirinya.
Dari ketiganya, discoid lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid lupus, dan dapat menyerang organ
atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuman kulit dan persendian yang
diserang. Meski begitu, pada orang alain bisa merusak persendian, paru-paru,
ginjal, darah, organ atai jaringan lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Dianosis ditegakan
berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin
tidak memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheymatology (ARC),
yang didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji klinis. Hal ini penting
karena kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat akan tertunda menunggu
kriteria klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007)
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala tersebut.
Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan diferensial, panel
kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-DNA antibodi,
komplemen 3 (C3), komplemen 4 (C4), imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen
cepat (RRR), lupus anticoagulant, dan antipholipid antibodi (Lehman, 2002 dalam
Ward, Susan L and Hislet, Shelton M. 2009).

2.4 Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Kerusakan
organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :

 Sel T dan sel B menjadi otoreaktif

 Pembentukan sitokin yang berlebihan

 Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :

1. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen


dikompleks imun maupun sitokin dalam tubuh

2. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

3. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul


tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan
atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan
jaringan.

2.5 Test Diagnostik


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Tes Anti ds-DNA
- Batas normal: 70-200 IU/mL
- Negatif: <70 IU/mL
- Positif: >200 IU/ml
Antibodi ini ditemukan pada 65%-80% penderita dengan SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleusis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
enyebab penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya
mendekatai negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman)
Antibodi anti-DNA merupakan suptipe dari antibodi antinukleus
(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang
double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan menyerang single-stranded
DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE
tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleka antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana
and Pagana, 2002)
b. Tes Antinuclear antibodies (ANA)
- Harga normal: nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang
lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang
inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,
hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan
kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan
menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap
SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium
yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes
serologi yang lain untul menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro), atau anti SSB (La) (Pagana and
Pagana, 2002)
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, coombs test, anti-histon, narker reaksi
inflamasi (eryhrocley sedimentation rate/EST atau C-Reactive protein/CRP)kadar
komplemen (C3 dan C4), complete Blood Count (CBC), urinalisasi, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ruam kulit atau lesi yang khas
b. Rotgen dada menunjukan pleuritis atau perikarditis
c. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukan adanya gesekan
pleura atau jantung
d. Analisa air kemih menunjukan adanya darah atau protein lebih 0,5 mg/hari
atau +++
e. Hitung jenis darah menunjukan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
f. Biopsi ginjal
g. Pemeriksaan saraf

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala
terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi.
Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau
didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/
bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang
paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau
artralgia (93 %) dan sering kali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri
mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ;
kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan.
Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa
menyebabkan deformitas, kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi
pada berbagai tempat, dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat
pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah
kaput femoris.

b. Gejala mukokutan

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit
yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan
livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash)
berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan
yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena
sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-
hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas
berbentuk anular. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung
lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang
berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui
pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi
hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit
mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan
biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi.
Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.

c. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal
jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE
difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan
kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau
lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah
satu penyebab kematian SLE kronik.

d. Kardiovaskular Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat


(efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

e. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin
ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan
pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor
lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah
jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh
peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.

g. Hati dan Limpa


Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.

h. Kelenjer Getah Bening


Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa
limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini
kadangkadang disangka sebagai limfoma.

i. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.

j. Susunan Saraf Tepi


Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara.

k. Susunan Saraf Pusat


Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik
dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan
gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/
halusinasi
disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar
menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah
dilihat. Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis
tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya
baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang
dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan
psikosis steroid sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe
grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe
Jackson, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan
sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas
Faktorfaktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin
di pleksus koroideus.

l. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

2.7 Komplikasi
1. Serangan pada ginjal
 Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal).
 Kelainan ginjal berat (gagal ginjal).
 Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).

2. Serangan pada jantung dan paru


 Pleuritis
 Pericarditis
 Efusi pleura
 Efusi pericard
 Radang otot jantung atau myocarditis
 Gagal jantung
 Perdarahan paru ( batuk darah)
3. Serangan sistem saraf
 Sistem saraf pusat
1) Cognitive dysfunction
2) Sakit kepala pada lupus
3) Sindrom anti-phospholipid
4) Sindrom otak Fibromyalgia
 Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan dilengan dan kaki
 Sistem saraf otonom
Ganguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan jaringan otak, dapat,
menyebabkan kematian sel-sel otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke
dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.

4. Serangan pada kulit


 Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi discoid.
 Ciri-cir lesi spesifik ditemukan oleh sonthiemer da Gilliam pada akhir 70an:

 Berparut , berwarna merah (erythematous), berbentuk koin yang sangat


sensitive terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit
subakut/cutaneous lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi
tidak berparut berbentu koin.

 Lesi dapat terjadi diwajah dengan pola kupu-kupu atau dapt mencakup area yang
luas di bagian tubuh.

 Lesi nonspesifik
 Rambut rontok (alopesia)
 Vaskulitis : berupa garis kecil warana merah pada ujung lipatan kuku dan
ujung jari. Selai itu bisa berupa benjolan merah dikaki yang dapty menjadi
borok.
 Fotosensitivitas : pipi menjadi kemrahan jika terkena matahari dan kadang
disertai pusing.
4. Serangan pada sendi dan otot.
 Radang sendi pada lupus
 Radang otot pada lupus
5. Serangan pada mata.
6. Serangan pada darah
 Anemia
 Trombositopenia
 Ganguan pembekuan
 Limfositopenia
 Serangan pada hati.

2.8 Asuhan Keperawatan

A. PENGKAJIAN

1. Anamnesis :
Penyakit lupus eritematosus sitemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit ini sering
diderita oleh wanita, dengan perbandingan 8:1. Bisa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro,
cina dan filiphina. Lebih sering di derita pada usia 20-40 tahun, yaitu usia produktif.
2. Keluhan Utama:
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal atau
manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat penyakit sekarang
 Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar –fotosensitif,
ruam discoid bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthiritis, demam, kelelahan,
nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut
 Mulai kapan keluhan dirasakan
 Faktor yang memperberat atau memperingan serangan
 Keluhan-keluhan lain menyertai
5. Riwayat pengobatan
Kaji apakah pasien mendapatkan terapi dengan klorpromazn, metildopa, hidralasin, prokainamid dan
isoniazid, penisilamin dan kuinidin.

6. Riwayat penyakit keluarga


Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau penyakit
autoimun yang lain.
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kulit
Ruam eritomatus,plak eritomatus pada kulit kepala, muka atau leher. Lesi akut pada kulit yang terdiri
atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau platum durum.
2. Kardiovaskuler
Frction rub pericardium yang menyertai miokarditas dan efusi pleura. Lesi eritomatous papuler dan
purpura yang menjadi nekrosis menunjukan ganguan vaskuler terjadi di ujung jari , kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
3. Sistem muskuloskletal
Pembengkakakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung
jari kaki. Tangan,siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
6. Sistem renal
Edema dan hematuria
7. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SPP
lainya.
Dikaji secara Sistematis
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas tambahan,
sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi,
patut dicurigai efusi pleura
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung (s1, s2, s3), bunyi systolic click (ejeksi
clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup periction yang menyertai miokarditis dan
efusi pleura. Lesi eritematousus pa[uler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
dibawah atau sis lateal tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tinkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif dan
resfon otak: compos metis sampai coma (kualitatif), orientasi pasien. Sering terjadi depresi dan
psikosis juga serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tampung (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, BB dan tinggi badan, turgor kulit, nyeri tekan, apakah
ada hepatomegali, dan pembesaran limpa.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan tidak dapat mensintesa zat-zat penting untuk tubuh.
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman
oksigen.
4. Kurang pengetahuan b/d dengan kurangnya sumber informasi.
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret.
C. INTERVENSI
NO INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL
1 Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan
Kaji kemampuan pasien untuk
melakukan tugas /AKS normal, catat
laporan kelelahan,keletihan, dan
kesulitan menyelesesaikan tugas
2 Kaji kehilangan/ ganguan keseimbangan Menunjukan perubahan neuroilogi karena
gaya, jalan kelemahan otot. defisiensi vitamin B mempengaruhi keamanan
pasien/resiko cedera.
3 Awasi TD,nadi, pernafasan, selama dan Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
sesudah aktivitas. Catat respons terhadap jantung dan paru-paru untuk membawa
tingkat aktivitas (misl, peningkatan jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
denyut jangtung/TD,distrimia,
pusing,dispnea,takipnea,dan
sebagainya.)
4 Berikan lingkugan tenang. Pertahankan Meningkatkan istirahat untuk menurunkan
tirah baring bila diindikasikan. Pantau kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan
dan batasi pengunjung, telepon dan rengangan jantung dan paru-paru.
ganguan berulang tindakan yang tak
direncanakan.
5 Ubah posisi pasien dengan perlahan atau Hipotensi postural atau hipoksia serebral
pantau terhadap pusing dapat menyebabbkan pusinh, berdenyut, dan
peningkatan resiko cidera.
6 Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan Memperthankan tingkat energy dan
untuk meningkatkan istirahat. Pilih meningkatkan rengangan pada pasien jantung
periode isirahat dengan periode aktivitas dan pernapasan.
7 Berikan bantuan dalam membantu bila perlu harga diri ditingklatkan
aktivitas/ambulasi bila perlu bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
memungkinkan pasien untuk
melakukanya sebanyak mungkin.
8 Rencanakan kemajuan aktivitas dengan Meningkatkan secara bertahap tingkat
pasien, termasuk aktivitas yang pasien aktivitas sampai normal dan memperbaiki
pandang perlu tingkatkan tingkat tonus otot/stamina tanpa kelemahan
aktivitas sesuai toleransi. meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
9 Gunakan teknik penghematan Mendorong pasien melakukan banyak dengan
energy,mis mandi dengan duduk, duduk membatasi penyimpanan energy dan
untuk melakukan tugas-tugas. mencegah kelemahan.
10 Anjurkan pasien untuk menghentikan Rengangan /sters kardiopulmuonal
aktivitas bila palpasi, neyri dada, nafas berlebihan/sters dapat menimbulkan
pendek, kelemahan, pusing terjadi. keompensasi/kegagalan.
11 Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi nafas misalnya dengan obstrusi jalan nafas dan dapat/tak
mengi,krekels,ronchi. dimanifestasikan adanya bunyi nafas
adventius. Missal, penyebaran,krekels basah
(bronchitis), bunyi nafas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema) atau tak adanya
bunyi nafas (asma berat)
12 Kaji atau pantau frekuensi pernafasan Takipnea bisanya ada pada beberapa derjat
catat rasio inspirasi.ekpirasi. dan dapat ditemukan pada penerimaaan atau
selama sters/adanya proses infeksi akut.
Pernafasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang disbanding ekspirasi.
13 Catat adanya derajt dipnea, misalnya Peninggian kepala tempat tidur
keluhan lapr udara, gelisah, ansietas, mempermudah fungsi pernfasan dengan
distress pernafasan,pengguanan otot mengunakan gravitasi. Namun pasien dengan
bantu nafas. distes berat akan mencari posisi yang paling
mudah untuk bernafas. Sokongan tangan/kaki
dengan meja, bantal dan alin-lain membantu
menurunkan kelemahan otot dan dapat
sebagai alat ekspansi dada.
14 Memposisi pasien semi fowler Memberikan pasien beberapa cara mengatasi
dan mengontrol dispnea.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat
disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang
belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan
perjalanan penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya
penyakit SLE adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan. Diagnosis
penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan
beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak
sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk
memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan
memperbaiki hasil induksi remisi.

Anda mungkin juga menyukai