Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN STASE

KEGAWATDARURATAN PADA KASUS SISTEM SARAF TEPI LOW BACK


PAIN DENGAN INTERVENSI SLOW-STROKE BACK MASSAGE

Dosen Pembimbing Akademik : Ns. Marina Kristi Layun R, M.Kep


Dosen Pembimbing Klinik : Ns. Selvi Mardhina, S.Kep

Oleh :

EVALINA PRASTIKA PUTRI


P1909086

PROGRAM PROFESI NERS


INSTITUSI TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS WIYATA HUSADA
SAMARINDA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN STASE KEGAWATDARURATAN PADA KASUS


SISTEM SARAF TEPI LOW BACK
Oleh :

EVALINA PRASTIKA PUTRI


NIM : P1908086

Laporan ini telah disetujui oleh dosen coordinator dan dosen pembimbing
Keperawatan Gawat Darurat Institut Teknologi Kesehatan Wiyata Husada
Samarinda

Pada tanggal November 2020

MENYETUJUI

Pembimbing Akademik Presptor Klinik Keperawatan


Keperawatan Gawat Darurat Gawat Darurat RSUD Dr.Kanujoso
Institut Teknologi Kesehatan Wiyata Djatiwibowo
Husada Samarinda
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penyusun, Sehingga dengan limpahan
rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan laporan ini dengan judul “
ASUHAN KEPERAWATAN STASE KEGAWATDARURATAN PADA KASUS
SISTEM SARAF TEPI LOW BACK” . Laporan ini dibuat berdasarkan bermacam
sumber buku-buku refrensi dan dari hasil pemikiran penyusun sendiri.
Selama penyusunan laporan ini penyusun banyak mendapatkan masukan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu berbagai penyusunan mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Ns. Marina Kristi Layun Rining, M.Kep Selaku dosen koordinator dan
pembimbing stase keperawatan gawat darurat di ITKES Wiyata Husada
Samarinda
2. Ns. Selvi Mardhina, S.Kep Selaku pembimbing klinik di Unit Instalasi Gawat
Darurat RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan
3. Kedua orangtua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan kepada
penyusun baik bersifat moril maupun material
4. Dan semua teman kelompok 4 yang memberikan dukungan untuk penyusunan
laporan ini

Semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada pembacanya dan dapat dijadikan
acuan terhadap penyusunan laporan berikut nya.

Samarinda, November 2020


DAFTAR ISI

Cover
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Sistem Saraf
B. Fungsi Sistem Saraf
C. Low Back Pain
D. Etiologi
E. Patofisiologi
F. Manifestasi Klinis
G. Pemeriksaan diagnostic
H. Penatalaksanaan
I. Asuhan Keperawatan
BAB III ANALISIS JURNAL
A.
B.
C.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan di Unit Gawat Darurat merupakan pelayanan yang sangat penting
untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan korban. Untuk dapat mencegah
kematian dan kecacatan korban dibutuhkan kemampuan kognitif, afektif maupun
psikomotor untuk dapat menolong dengan cepat dan tepat. Dalam melakukan asuhan
keperawatan pada kasus kegawatdaruratan selalu diawalai dengan melakukan
pengkajian. Pengkajian kegawatdaruratan pada umumnya menggunakan pendekatan A-
B-C (Airway=jalan nafas, Breathing=pernapasan, Circulation=sirkulasi) (Harmano,
Rudi 2016).
Setiap individu tidak terlepas dari aktivitas atau pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Sebagian aktivitas dan pekerjaan tersebut membutuhkan energi dan
kekuatan otot yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan berbagai macam keluhan,
salah satunya adalah nyeri pinggang bawah. Nyeri pinggang bawah merupakan salah
satu kondisi paling sulit di Kelola dan menyumbang paling sedikit 5% dari masalah
yang terlihat dalam praktik umum (Huryah, F 2019).
Nyeri pinggang bawah atau Low Back Pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal
yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah, nyeri pinggang bawah bukanlah suatu
penyakit tapi merupakan gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam. Low Back
Pain merupakan keluhan yang sering terjadi di praktek sehari-hari. LBP adalah nyeri
yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat berupa nyeri local (inflamasi),
maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri yang berasal dari punggung bawah dapat
menjalar pada daerah lain atau sebaliknya (Huryah, F 2019).
Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non-
farmakologi. Terapi farmakologi dengan menggunakan siklooksigenase inhibitor (COX
inhibitor) sering menimbulkan efek samping yaitu gangguan gastrointestinal. Selain itu,
penggunaan jangka panjangnya dapat mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna,
tukak lambung, perforasi dan gangguan ginal (Daniel, 2006).
Salah satu Langkah sederhana dalam upaya menurunkan nyeri dengan
melakukan massage dan sentuhan. Massage dan sentuhan merupakan teknik integrasi
sensori yang mempengaruhi aktifitas system saraf otonom. Relaksasi sangat penting
dalam membantu klien untuk meningkatkan kenyamanan dan membebaskan diri dari
ketakutan serta stress akibat penyakit yang dialami dan nyeri yang tak terkesudahan
(Potter & Perry, 2005).
Teknik untuk melakukan Slow-Stroke-Back Massage dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan, salah satu metode yang dilakukan adalah dengan mengusap kulit
klien secara perlahan dan berirama dengan tangan, dengan kecepatan 60 kali usapan per
menit. Usapan yang Panjang dan lembut dapat memberikan kesenangan kenyamanan
bagi pasien, sedangkan usapan yang pendek dan sirkuler cenderung lebih bersifat
menstimulasi. Keuntungan dari Slow-Stroke Back Massage adalah Tindakan ini dapat
dilakukan dirumah, sehingga memungkinkan pasien dan keluarga melakukan upaya
dalam mengontrol nyeri (Huryah, F 2019)..

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami konsep teori dan serta dapat mengaplikasi dalam
pemberian asuhan keperawatan pada kegawatdaruratan system saraf tepi low back
pain.
2. Tujuan Khusus
Selama berlangsungnya pembelajaran daring keperawatan gawatdaruratan
mahasiswa diharapkan mampu untuk mengaplikasikan dan mempraktikkan asuhan
keperawatan pada kegawatdaruratan system saraf tepi low back pain.

C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat bagi pasien
Diharapkan mendapatkan asuhan keperawatan yang aman dan terhindari dari
kesalahan dalam memberikan asuhan keperawatan
2. Manfaat bagi Pelayanan Keperawatan
Dapat menjadi masukan dan pertimbangan bidang keperawatan dalam membimbing
perawat dilapangan untuk berupaya menurunkan kesalahan dalam setiap pemberian
asuhan keperawatan, sehingga profesi keperawatan menjadi salah satu profesi yang
mampu memberikan asuhan keperawatan yang aman sesuai SOP pada
kegawatdaruratan sistem saraf.
3. Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bidang keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sistem Saraf


System saraf adalah system yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan
aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah makanan dan
lainnya. System saraf tersusun dari jutaan serabut sel saraf (neuron) yang berkumpul
membentuk suatu berkas (faskulum). Neuron adalah komponen utama dalam system
saraf.
Berdasarkan letak kerjanya system saraf terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Sistem Saraf Pusat
Otak
Otak merupakan organ paling besar dan paling kompleks pada system saraf. Otak
terdiri atas lebih dari 100 milliar neuron dan serabut terkait. Jaringan otak memiliki
konsistensi seperti gelatin. Organ semisolid ini memiliki berat 1.400 g (Sekitar 3
pon) pada dewasa.
 Serebrum
 Hipokampus
Merupakan bagian dari daerah medial pada lobus temporalis, berperan penting
dalam proses mengingat (memori), suatu fenomena yang kompleks. Terdapat
tiga tingkatan memori :
a. Memori jangka pendek akan hilang setelah beberapa detik atau menit
b. Memori jangka menengah berlangsung selama beberapa hari dan akan
hilang
c. Memori jangka Panjang disimpan dan berlangsung seumur hidup
 Ganglia basal
Ganglia basal terdiri atas beberapa struktur substansia grisea subkortikal yang
terkubur di dalam hemisfer serebri. Struktur ini adalah putamen, nucleus
kaudatus, substansia nigra, nucleus subtalamikus dan globus palidus. Ganglia
basal berperan sebagai stasiun pemroses yang menghubungkan korteks serebri
ke nucleus thalamus. Hamper semua serabut motoric dan sensorik
menghubungkan korteks serebri dan medulla spinalis berjalan melalui jaras
substansia alba dekat nucleus kaudatus dan ganglia pusmen. Jaras ini dikenal
sebagai kapsula interna. Ganglia basal bersama dengan traktur kortikospinal
penting untuk mengkontrol aktivitas motoric kompleks.
 Diensefalon
Diensefalon tersusun atas thalamus dan hipotalamus. Sepasang talami terletak di
antara hemisfer serebri dan superior terhadap batang otak. Substansia grisea
mengelilingi tepi lateral ventrikel ketiga. Hipotalamus membentuk lantai dan
dinding ventrikel ketiga. Struktur penting lain di dalam dan dekat diensefalon
adalah : (1) tractus optikus dan kiasma optikus, (2) kelenjar pituitary pada lantai
diensefalon, dan (3) kelenjar pineal pada atap diensefalon.
 System limbik
System limbik terdiri atas banyak nuclei, termasuk Sebagian dari bagian medial
lobus frontalis dan temporalis (hipokampus), thalamus, hipotalamus, dan ganglia
basal. Bagian ini berperan sebagai pusat perasaan dari control ekspresi
emosional (rasa takut, marah, senang, sedih). System limbik (komponen lobus
temporalis) juga menerima serabut saraf dari bulbus olfaktorius sehingga
berperan penting dalam interprestasi bau-bauan.
 Batang Otak
Batang otak terdiri atas otak tengah , pons , dan medulla spinalis oblngata.
Struktur ini terdiri atas jaras asendens, formasio retukularis, dan jarak desendens
motoric dan autonomic.
 Formasio retikularis
Formasio retikularis tersusun atas rangkaian kompleks subtansia grisea (nuclei),
jaras reticular asendens dan jaras reticular desendens. Nuclei formasio retikularis
memanjang dari bagian superior medulla spinalis menuju diensefalon dan
berkomunikasi dengan ganglia basal serebrum dan serebelum.
Formasio retikularis membantu pengaturan Gerakan motoric skeletal dan refleks
spinal. Struktur ini juga menyaring informasi sensorik yang menuju ke korteks
serebri.
 Serebelum
Serebelum terdiri dari atas substansia alba dan grisea. Korteks serebeli
merupakan lapisan tipis substansia grisea yang tersusun atas girus yang dalam
dan Panjang, berjalan parallel yang disebut folia dan dipisahkan oleh sulkus
sereberalis. Fisura dalam membagi serebelum menjadi tiga lobus, tetapi
pembagian fungsional serebelum terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang
dipisahkan oleh suatu pita tipis substansia alba yang disebut sebagai vermis.
Kelanjutan dura meter yang disebut Falkus serebeli memisahkan kedua
hemisfer.
Serebelum mengintergrasikan informasi sensoris berkaitan dengan posisi bagian
tubuh, koordinasi Gerakan otot skelet dan mengatur kekuatan otot yang penting
untuk keseimbangan dan postur. Tiga pasang tractus saraf (pedunculus
serebelaris) berperan sebagai jaras komunikasi. Pedunculus inferior merupakan
jaras sensorik (aferen) dari medulla spinalis dan medulla, yang membawa
informasi terkait posisi bagian tubuh kepada serebelum. Pedunculus media
membawa informasi mengenai aktivitas motoric volunteer (disengaja) dari
korteks serebri ke serebelum. Serebelum juga menerima informasi sensorik dari
reseptor pada otot, tendon, sendi, mata dan telinga dalam. Setelah informasi ini
diintegrasikan dan dianalisis, serebelum mengirimkan implus melalui
pendunkulus superior (jarak aferen) ke batang otak, thalamus dan korteks.
Medula Spinalis
Medulla spinal bagian dari SSP yang dikelilingi dan dilindungi oleh kolumna
vertebralis, berlanjut ke medulla dan di dalamnya terdapat suatu kanalis vertebralis
(ruang didalam kolumna vertebralis) pada 2/5 atas medulla spinalis. Medulla
spinalis kaudalis berakhir di suatu struktur berbentuk kerucut yang disebut konus
medularis setingi vertebra lumbal 1(L-1) dan lumbal kedua (L-2). Medulla spinalis
dibagi menjadi empat area : (1) medulla servikalis , (2) medulla toraklis, (3) medulla
lumbalis, (4) medulla sacral (konus medularis).
Di dalam medulla spinalis, substansia grisea berbentuk kupu-kupu (kebanyakan
tidak mengalami mielinisasi) dikelilingi oleh substansia alba yang Sebagian besar
mengalami mielinisasi. Subtansia alba mengandung tractus asenden dan desenden
yang menghantarkan implus saraf antara otak dan sel di luar SSP. Badan sel saraf
pada substansia grisea dikelompokkan menjadi kelompok nuclei dan lamina
(kelompok atau kolumna yang terdiri atas sel-sel). Tractus pasa substansia alba
tersusun menjadi tiga pasang kolumna: lateralis, posterior dan anterior.
2. Sistem Saraf Tepi
System saraf tepi atau perifer terdiri atas semua neuron selain yang ada pada otak
dan medulla spinalis. System saraf tepi terdiri atas jaras serabut saraf di antara
system saraf tepi dan semua struktur yang jauh di bagian-bagian tubuh termasuk di
dalam system saraf tepi adalah 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf spinal.
Saraf yang menghantarkan implus ke otak dan medulla spinalis disebut neuron
sensorik (aferen). Saraf yang menghantarkan implus menjauhi otak dan medulla
spinalis disebut neuron motoric (eferen). Kebanyak saraf tercampur, memiliki
komponen sensorik dari motorik.
 Saraf Spinal
Saraf spinal berkembang dari serangkaian radiks saraf yang berkumpul di lateral
medulla spinalis. Tiap saraf spinal terdiri atas radiks dorsalis (sensori) dan radiks
ventralis (motorik) yang bergabung membentuk saraf spinal. Radiks dorsalis
bersal dari posterolateral medulla spinalis. Terdapat 31 pasang saraf spinal; 8
pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang
saraf sacral, dan 1 pasang saraf koksigeal. Area spesifik reseptor sensorik tiap
radiks dorsalis disebut sebagai dermatome sensorik.
Saraf tepi yang tersusun atas pleksus memiliki nama spesifik. Terdapat tiga
pleksus utama :
1. Pleksus servikalis, memberi inervasi otot dan kulit pada leher dan bercabang
untuk membentuk nervus frenikus yang menginervasi diagfragma.
2. Pleksus barkhialis, memberi inervasi otot dan kulit pada bahu, ketiak, lengan,
lengan bawah, dan tangan. Pleksus ini bercabang untuk membentuk nervus
ulnaris, radialis, dan medianus.
3. Pleksus lumbosacral, memberi implus sensorik dan motoric pada otot dan
kulit perineum, daerah gluteal, paha, betis dan kaki. Pleksus ini bercabang
banyak termasuk nervus pudendus, gluteus, femoris, skiatikus, tibialis, dan
fibularis komunis.
 Saraf Kranial
Dua belas pasang saraf kranial berasal dari otak. Kebanyakan saraf kranial
tersusun atas neuron motoric dan sensorik, walaupun ada saraf kranial yang
hanya membawa implus sensorik. Kecuali saraf olfaktorius dan optikus yang
memiliki nuclei dibawah serebrum, semua nuclei saraf kranial terletak dibawah
otak.
3. Sistem Saraf Autonom
System saraf autonomy (SSA) merupakan bagian dari system saraf tepi (SST) yang
mengoordinasi gerakan involunter seperti fungsi visceral, perubahan otot polos dan
jantung, dan respons kelenjar. Walaupun SSA dapat berfungsi secara independent,
control primer SSA berasal dari otak dan medulla spinalis. SSA memiliki dua
bagian yaitu; system saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
 System saraf simpatis mengoordinasi aktivitas untuk menangani stress dan
dirancang untuk aksi sebagai suatu kesatuan periode pendek. Neuron
praganglionik dari system saraf simpatis berasal dari medulla spinalis melalui
radiks motoric (ventralis) saraf torakal dan dua saraf lumbal paling atas (T1-
T2). Akson preganglionic pendek sedangkan akson postganglionic Panjang.
 Sistem saraf parasimpatis berhubungan dengan konservasi dan restorasi
cadangan energi dan dirancang untuk beraksi local dan terpisah untuk durasi
yang panjang. Serabut preganglioner berasal dari batang otak melalui saraf
kranialis dan dari medulla spinalis melalui saraf sinal pada S-4. Serabut
preganglioner memiliki akson yang Panjang yang bersinaps dengan neuron
postganglionic di ganglia dekat atau terletak di dalam organ yang diinervasi.
Tiap neuron postganglionic memiliki akson yang relative pendek. Kebanyakan
(tetapi tidak semuanya), system organ memiliki inervasi simpatis dan
parasimpatis. Sekitar 75% serabut parasimpatis terdapat pada saraf vagus.

B. Fungsi Sistem Saraf


Untuk mengendalikan semua aktivitas motoric, sensorik, otonom, dan perilaku.
Berbagai gangguan neurologis dapat menyebabkan seorang pasien mendatangi unit
gawat darurat (UGD). Gangguan neurologis melibatkan beberapa bagian system saraf
termausk system saraf pusat, system saraf perifer, dan system saraf otonom. Gangguan-
gangguan dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi, ketidakseimbangan fisiologis, atau
trauma. Tingkat keparahan bervariasi dari ketidaknyamanan yang bersifat minor sampai
dengan kondisi yang mengancam jiwa dan membutuhkan intervensi medical bedah
segera. Walaupun, fungsi normal system saraf telah berubah, pengkajian airway,
breathing, dan circulation, perlu dikaji dan diberikan intervensi yang tepat terlebih
dahulu, sebelum dilakukan pengkajian neurologis yang terfokus.

C. Lower Back Pain


Nyeri punggung bawah (lower back pain) merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal
yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah suatu
penyakit tapi merupakan gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam. Lower Back
Pain merupakan nyeri kronik atau acut didalam lumbal yang biasanya disebabkan
trauma atau terdesaknya otot para vertebra atau tekanan, herniasi dan degenerasi dari
kelemahan otot, osteoarthritis dilumbal sacral pada tulang belakang . (Huryah, F 2019)

D. Etiologi
Tulang belakang merupakan organ mekanik yang sering digambarkan sebagai
suatu derek (crane) dengan kemampuan menyangga berat badan, menjaga
keseimbangan, dan melawan berbagai tarikan sebagai akibat dari pekerjaan sehari-hari
maupun aktivitas rekreasional. Walaupun tulang belakang memiliki kemampuan luar
biasa untuk menahan Sebagian besar tekanan mekanis, tulang belakang tidak dapat
dipaksa melebihi batas kemampuannya. Kekuatan yang melebihi kapasitas jaringan
tulang belakang untuk meregang akan menyebabkan cedera dan nyeri,
Penyebab dari nyeri punggung masih belum diketahui dengan jelas dan masih
belum dapat dijelaskan dengan mendetail. Banyak grup peneliti telah menyerah dalam
usaha untuk menjelaskan penyebab dari nyeri punggung bawah dan kemudian malah
menjelaskan beberapa kondisi tanda bahaya (red flag) yang berkaitan dengan gangguan
ini. Empat kelompok permasalahan yang dapat menyebabkan nyeri punggung adalah
sebagai berikut :
1. Berasal secara biomekanis dan destruktif, misalnya kompresi diskus vertebralis,
herniasi diskus vertebralism cedera torsio, dan vibrasi. Permasalahan-
permasalahan tersebur dapat terlihat pada klien yang memiliki pekerjaan yang
membutuhkan kerja mengangkat yang berat dan berulang pada posisi
membungkus atau pekerjaan mengoperasikan mesin yang bergetar.
2. Bersifat destruktif, misalnya infeksi, tumor dan gangguan rematik. Kondisi-
kondisi tersebut dapat memberikan tekanan pada saraf tulang belakang atau
akarnya, atau bahkan mengubah struktur dari tulang vertebra.
3. Permasalahan degenerative antara lain osteoporosis dan stenosis tulang
belakang. Osteoporosis dapat menyebabkan tulang vertebra kolaps dan
mengakibatkan kompresi dari akar-akar saraf. Kanal spinal dapat menyempit
dan menekan saraf-saraf, suatu kondisi yang disebut stenosis spinal, dan sering
kali terjadi pada orangtua. Keparahannya berkisar dari terjebaknya satu akar
saraf hingga kompresi dari keseluruhan saraf tulang belakang.
4. Gangguan-gangguan lain, termasuk yang tidak mempunyai penyebab fisiologis
yang jelas, tetapi mengakibatkan hilangnya penghasilan serta munculnya nyeri.
Terdapat data-data baru yang menunjukkan bahwa ada pengaruh psikologis yang
kuat pada respons klien terhadap nyeri punggung bawah. Faktor penentu utama
untuk disabilitas karena nyeri punggung bawah tampaknya didasarkan pada
apakah klien mengalami depresi, tidak Bahagia dalam tempat kerjanya, atau
terlibat dalam letigasi. Masalah-masalah psikososial ini tidak akan
menghilangkan nyeri yang sesungguhnya. Cara otak memproses nyeri sungguh
rumit. Aspek psikososial mungkin menekan jalur serotonergic dan membatasi
sekresi dari endorphin.

E. Patofisiologi
Beban yang berat memiliki berbagai efek terhadap diskus intervertebralis, badan
dari vertebra, faset dan ligament-ligamen tulang belakang. Pada beban berat yang
menekan (compressive loads), serabut anuler dari diskus mengalami peregangan.
Tulang vertebra juga mengalami tekanan dan dapat patah pada end-plate-nya. Ligamen-
ligamen tulang belakang cenderung dapat melengkung dengan mudah dan sendi faset
hanya dapat sedikit menahan kompresi.
Akibatnya adalah diskus dapat mengalami herniasi. Ketika diskus hanya
menonjol, anulusnya, anulusnya masih sempurna. Ketiks terjadi hernia, anulus biasanya
robek, sehingga menghasilkan ekstrusi dari nucleus pulposus. Kompresi dari akar saraf
tulang belakang dapat terjadi karena herniasi diskus tadi. Diskus yang memisahkan dan
memberi bantalan vertebra mendapatkan inervasi oleh ujung-ujung saraf halus. Ketika
diskus menimpa nervus skiatikus, kondisi ini dan nyeri yang dihasilkan disebut skiatika.
Skiatika adalah bentuk nyeri yang parah dan konstan di daerah kaki yang muncul di
sepanjang jalur nervus skiatik dan cabang-cabangnya.

F. Manifestasi Klinis
Rupture atau herniasi dari diskus lumbalis menyebabkan nyeri punggung bawah
yang menjalar kearah bawah mengikuti nervus skiatik ke dalam paa posterior yang
terjadi karena kompresi pada akar saraf tulang belakang. Umumnya, nyeri skiatika
terjadi awalnya di pantat dan menjalar ke bawah di paha belakang kemudian ke kaki dan
pergelangan kaki. Herniasi diskus dapat pula menyebabkan nyeri di selangkangan.
Klien sering kali mengalami spasme otot dan hiperestesia (kebas dan kesemutan) pada
area distribusi dari akar saraf yang terganggu. Nyeri akan bertambah parah dengan
mengejan (batuk, bersin, buang air besar, menekuk, mengangkat barang , dan
mengangkat kaki-lurus) atau duduk dalam jangka Panjang dan akan berkurang dengan
posisi berbaring-miring dengan lutut ditekuk. Gerakan apapun pada tungkai bawah yang
meregangkan saraf akan menyebabkan nyeri dan penahanan tak sadar. Mengangkat kaki
dengan lurus pada sisi yang terganggu akan sangat terbatas. Ekstensi komplit dari kaki
tidak dimungkinkan jika paha difleksikan pada perut (tanda Lasegue). Dapat ditemukan
penurunan reflek-refleks tendon dalam.
Manifestasi dari stenosis spinal umumnya dimulai secara perlahan dan terjadi
karena tekanan yang terjadi pada akar-akar saraf saat mereka keluar dari vertebra.
Manifestasi paling umum adalah nyeri menusuk pada saat berdiri dan berjalan,
parestesia, dan rasa berat di kaki yang secara progesif bertambah berat dengan berjalan.
Terdapat perbaikan yang signifikan dalam manifestasi klinis tersebut dengan Gerakan
fleksi badan, membungkuk, atau duduk. Manifestasi dari stenosis spinal harus
dibedakan dari klaudifikasi.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X Vertebra : Mungkin memperlihatkan adanya fraktur,
dislokasi , infeksi, osteoarthritis atau scoliosis
2. CT-Scan : Berguna untuk mengetahui penyakit yang
mendasari seperti adanya lesi jaringan lunak tersembunyi disekitar kolumna
vertebralis dan masalah diskus intervertebralis
3. Ultrasonography : Dapat membantu mendiagnosa penyempitan
kanalis spinalis
4. MRI : Memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi
patologi tulang belakang
5. Meilogram dan discrogram : Untuk mengetahui diskus yang mengalami
degenerasi atau protrusi diskus
6. Venogram efidural : Digunakan untuk mengkaji penyakit diskus
lumbalis dengan memperlihatkan adanya pergeseran vena efidural
7. EMG (Elektromiogram) : Digunakan untuk mengevaluasi penyakit serabut
syaraf tulang belakang (Radikulopati)

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan (Muttaqin, 2013
a. Pada LBP akut : Imobilisasi (lamanya tergantung kasus), pengaturan berat
badan, posisi tubuh dan aktivitas, modalitas termal (terapi panas dan dingin)
massase, traksi (untuk distraksi tulang belakang), Latihan: jalan, naik sepeda,
berenang (tergantung kasus), alat bantu (antara lain korset, tongkat)
b. LBP Kronik : psikologik, modulasi nyeri (TENS, akupuntur, modalitas termal),
Latihan kondisi otot, rehabilitasi vakosional, pengaturan berat badan posisi
tubuh dan aktivitas.
2. Medis
a. Farmakoterapi
 LBP akut : Asetamenopen, NSAID, musele relaxani, opioid (nyeri
berat), injeksi epidural (steroid, lidokain, opioid) untuk nyeri radikuler
 LBP kronik : Antidepresan trisiklik (amitriptilin) antikonvulsan
(gabapentin, karbamesepin, okskarbasepin, fenitoin), alpa blocker (klonidin,
prazosin), opioid (kalau sangat diperlukan)
b. Invasif non bedah
 Blok saraf dengan anestetik local (radikulopati)
 Neurolitik (alcohol 100%, fenol 30% (nyeri neuropatik punggung bawah
yang intractable)
c. Bedah
 HNP, indikasi operasi :
1) Skiartika dengan terapi konservatif selama lebih dari empat minggu :
nyeri berat/intractable/menetap/progresif
2) Defisit neurologic memburuk
3) Sindroma kauda
4) Stenosis kanal : setelah terjadi konservatif tidak berhasil
5) Terbukti adanya kompresi radiks berdasarkan pemeriksaan
neurofisiologik dan radiologic.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Riwayat Kesehatan
 Identifikasi klien
 Riwayat Penyakit
Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian)
 Riwayat Penyakit Sekarang
a) Diskripsi gejala dan lamanya
b) Dampak gejala terhadap aktifitas harian
c) Respon terhadap pengobatan sebelumnya
e) Riwayat trauma
 Riwayat Penyakit Sebelumnya
a) Immunosupression (supresis imun)
b) Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
c) Nyeri yang paling berat di pagi hari (spondiloartopati seronegative: arthritis
psoriatic, spondiloartropati reaktif, sindroma fibromyalgia)
d) nyeri pada saat duduk (HNP, kelainan faset sendi, stenosis kanal, kelainan
otot paraspinal, kelainan sendi sakroilikal,
spondylosis/spondilolisis/spondilolistesis, NPB-Spesifik)
e) Adanya demam (infeksi)
f) Gangguan normal (dismenore, pasca-monopause/andropause)
g) Keluhan visceral (referred pain)
h) Kelemahan motoric ekstremitas bawah
i) lokasi dan penjalaran nyeri
 Pola aktivitas dan Latihan
Cara berjalan : pincang, diseret, kaku
 Pola tidur dan istirahat
Pasien LBP sering mengalami gangguan pola tidur dikarenakan menahan nyeri
yang hebat
 Pola kognitif dan persepsi
Perilaku penderita apakah konsisten dengan keluhan nyerinya
 Pemeriksaan Punggung
Inspeksi : kepala meliputi ukuran, bentuk, kontur, dan kesimetrisan. Kaji tulang
belakang dan punggung mengenai kesimetrisan. Carilah adanya lipatan kulit,
lipoma, bercak berambut (hipertrikosis) atau sinus dermalis sepanjang tulang
belakang.
Palpasi : inspeksi dan palpasi kesejajaran tulang belakang. Perhatikan apakah
terdapat deviasi dari kurvatura normal. Palpasi otot paravertebral untuk mencari
massa, nyeri pelunakan atau spasme.
Perkusi : Perkusi lembut pada prosesus spinosus dapat menghasilkan nyeri,
yang merupakan penemuan yang abnormal.
 Pemeriksaan saraf kranial
SARAF KRANIAL DAN FUNGSINYA
NOMOR NAMA FUNGSI
I. Olfactory Penciuman
II. Optic Penglihatan
III. Oculomotor Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi pupil,
pergerakan ekstraokular
IV. Trochlear Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V. Trigeminal Mengunyah, mengatupkan rahang, Gerakan rahang
lateral, refleks kornea, sensasi wajah
VI. Abducens Deviasi mata lateral
VII. Facial Gerakan wajah, perasa, lakrimasi dan salivasi
VIII. Vestibulocochlear Keseimbangan, pendengaran
IX. Glossopharyngeal Menelan, gangguan refleks, perasa pada lidah
belakang
X. Vagus Menelan, gangguan refleks, viscera abdominal,
fonasi
XI. Spinal accessory Gerakan kepala dan bahu
XII. Hypoglossal Gerakan lidah

2. Diagnosa Keperawatan
 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma, mengangkat beban
berat)
 Gangguan mobilits fisik berhubungan dengan nyeri
 Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri

J. Intervensi Keperawatan
SDKI SIKI SLKI
Nyeri akut berhubungan Kontrol nyeri Manajemen nyeri
dengan Agens cedera Definisi : Definisi :
traumatis Tindakan untuk meredakan Mengidentifikasi dan mengelola
Definisi : pengalaman sensorik pengalaman sensorik atau emosional
Pengalaman sensorik atau Kriteia hasil : yang berkaitan dengan kerusakan
emosional yang berkaitan 1. Melaporkan nyeri terkontrol jaringan atau fungsional dengan onset
dengan kerusakan jaringan (5) mendadak atau lambat dan berintensitas
actual atau fungsional,dengan 2. Kemampua mengenali onset ringan hingga berat dan konstan.
onset mendadak atau lambat dan nyeri (5) Tindakan :
beritensitas ringan hingga berat 3. Kemampuan mengenali Observasi
yang berlangsung kurang dari 3 penyebab nyeri (5) 1. Identifikasi lokasi,
bulan. 4. Kemampuan menggunakan karakteristik,durasi,frekuensi,kualit
Penyebab : teknik non-farmakologis (5) as,intensitas nyeri
1. Agen cedera fisik (trauma) 5. Keluhan nyeri penggunaan 2. Identifikasi skala nyeri
Gejala dan tanda mayor : analgesic (5) 3. Identifikasi faktor yang
Subjektif memperberat dan memperingan
1. Mengeluh nyeri nyeri
Objektif 4. Identifikasi pengaruh nyeri pada
1. Tampak meringis kualitas hidup
2. Gelisah Teraupetik
3. Frekuensi nadi meningkat 1. Berikan teknik nonfarmakologis
4. Sulit tidur untuk mengurangi rasa nyeri
Gejala dan tanda minor : 2. Kontrol lingkungan yang
Objektif memperberat rasa nyeri
1. Tekanan darah meningkat 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
2. Nafsu makan berubah
3. Proses berpikir terganggu Edukasi :
4. Berfokus pada diri sendiri 1. Jelaskan strategi meredakan nyeri
2. Jelaskan penyebab,periode dan
Kondisi klinis terkait : pemicu nyeri
Cedera traumatis 3. Ajarkan teknik nonfarmaokologis
untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
Gangguan mobilitas fisik Mobilitas fisik Dukungan mobilisasi
berhubungan dengan Definisi : Definisi :
gangguan musculoskeletal Kemampuan dalam gerakan fisik Memfasilitasi pasien untuk
Definisi : dari satu atau lebih ekstremitas meningkatkan aktivitas pergerakan
Keterbatasan dalam gerakan secara mandiri. fisik.
fisik, dari satu atau lebih Kriteria hasil : Tindakan :
ekstremitas secara mandiri 1. Pergerakan ekstremitas (5) Observasi
Penyebab : 2. Kekuatan otot (5) 1. Identifikasi adanya nyeri atau
1. Nyeri 3. Rentang gerak (ROM) (5) keluhan fisik lainnya
2. Gangguan muskuloskeletal 4. Nyeri (5) 2. Monitor frekuensi jantung dan
Gejala tanda mayor : 5. Gerakan terbatas (5) tekanan darah sebelum memulai
Subjketif mobilisasi
1. Mengeluh sulit 3. Monitor kondisi umum selama
menggerakkan ektremitas melakukan mobilisasi
Objektif Terapeutik
1. Kekuatan otot menurun 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
2. Rentang gerak (ROM) dengan alat bantu (mis, pagar
menurun tempat tidur)
Gejala tanda minor : 2. Libatkan keluarga untuk membantu
Subjektif pasien dalam meningkatkan
1. Nyeri saat bergerak pergerakan
2. Merasa cemas saat bergerak Edukasi
Objektif 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
1. Gerakan terbatas mobilisasi
2. Sendi kaku 2. Anjurkan melakukan mobilisasi
3. Gerakan tidak terkoordinasi dini
Kondisi klinis terkait 3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
Trauma harus dilakukan (mis, duduk
ditempat tidur, duduk disisi tempat
tidur,pindah dari tempat tidur ke
kursi)
Gangguan pola tidur Pola Tidur Dukungan Tidur
berhubungan dengan nyeri Definisi : Definisi :
Definisi : Keadekuatan kualitas dan Memfasilitasi siklus tidur dan terjaga
Gangguan kualitas dan kuantitas kuantitas tidur yang teratur
waktu tidur akibat faktor Kriteria hasil : Tindakan :
eksternal. 1. Keluhan sulit tidur (5) Observasi
Penyebab : 2. Keluhan tidak puas tidur (5) 1. Identifikasi faktor pengganggu
1. Nyeri punggung 3. Kemampuan beraktivitas (5) tidur
Gejala tanda mayor : Terapeutik
Subjketif 1. Lakukan prosedur untuk
1. Mengeluh sulit tidur meningkatkan kenyamanan (mis,
2. Mengeluh tidak puas tidur pijat, pengaturan posisi)
Gejala tanda minor : Edukasi
Subjektif 1. Jelaskan pentingnya tidur cukup
1. Mengeluh kemampuan selama sakit
beraktivitas menurun 2. Ajarkan relaksasi otot autogenic
Kondisi klinis terkait atau cara nonfarmakologi lainnya
Nyeri

BAB III
ANALISIS JURNAL
Low Back Pain adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung
bawah antara sudut bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosacral (sekitar
tulang ekor) yakni daerah L1-L5 dan S1-S5. Nyeri juga bisa menjalar ke daerah
lain seperti punggung bagian atas dan pangkal paha. Nyeri ini bisa akut, subakut
dan kronis berdasarkan durasi tumbulnya keluhan (Meliala L,2005)
Penyebab yang paling sering ditemukan yang dapat mengakibatkan LBP
adalah kekauan dan spasme otot punggung oleh karena aktivitas tubuh yang
kurang baik serta tegangnya postur tubuh. LBP diklasifikasikan menjadi nyeri
punggung bawah viserogenik, nyeri punggung bawah vascular, nyeri punggung
bawah neurogenic, nyeri punggung bawah spondilogenik.
Adanya nyeri membuat penderita seringkali takut untuk bergerak
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menurunkan produktifitas.
Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi famakologi dan terapi non
farmakologis. Intervensi non farmakologis merupakan intervensi yang cocok
unruk pasien yang merasa cemas terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh
terapi farmakologi. Stimulasi kutaneus, distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing
dan hypnosis adalah contoh intervensi non farmakologis yang sering digunakan
dalam keperawatan untuk mengelola nyeri (Potter & Perry, 2005)
Minyak esensial lavender paling umum digunakan untuk massage karena
kandungan aldehid yang bersifat iritatif bagi kulit hanya 2% serta tidak bersifat
toksik. Kandungan ester pada bunga lavender bekerja dengan lembut di kulit dan
memberikan efek menenangkan (Price , 2006)
A. Tabel Summary

JUDUL Pengaruh Terapi Slow Stroke Back Massage Dengan Minyak


Essensial Lavender Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri
Low Back Pain
AUTHOR A.A.Ayu Emi Primayanthi, Abdul Azis, Luh Mira Puspita
TAHUN 2016
NEGARA Indonesia
ABSTRAK Identifikasi pasien adalah suatu proses pemberian tanda atau pembeda
yang mencakup nomor rekam medis dan identitas pasien dengan tujuan
agar dapat membedakan antara pasien satu dengan yang lainnya guna
ketepatan pemberian pelayanan, pengobatan dan tindakan atau
prosedur kepada pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang identifikasi dalam
patient safety dengan pelaksanaannya di Ruang Rawat Inap RSUD
S.K. Lerik Kupang. Desain penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah
64 orang perawat yang diambil melalui teknik simple random
sampling. Hasil penelitian bahwa78,1% memiliki pengetahuan cukup
baik dan 21,9% memiliki pengetahuan yang baik. Dalam
pelaksanaannya 79,7% cukup baik dan 20,3% baik dalam
melaksanakan identifikasi keselamatan pasien. Uji Spearman rho
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan perawat
tentang identifikasi dalam keselamatan pasien dengan pelaksanannya p
= 0,001 (p< a = 0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah pengetahuan
perawat dalam pelaksanaan identifikasi pasien dalam kategori cukup
baik.
TUJUAN Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang
identifikasi dalam patient safety dengan pelaksanaannya di Ruang
Rawat Inap RSUD S.K. Lerik Kupang
METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan desain observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional.
SAMPEL 64 responden
PROSEDUR PENELITIAN 64 responden
LATAR BELAKANG Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar perawatan kesehatan di
lembaga kesehatan yang terus membutuhkan peningkatan kualitas.
Faktor penting dalam memastikan keselamatan pasien adalah kualitas
keperawatan (Wijaya et al., 2016).
Identifikasi pasien penting untuk mengidentifikasi pasien yang akan
mendapatkan pelayanan atau pengobatan agar tidak terjadi kekeliruan.
Kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan identifikasi pasien dapat
dicegah ketika penyedia layanan kesehatan secara konsisten
menggunakan dua pengenal pasien yang unik seperti nama pasien dan
nomor identifikasi (kamar pasien, atau nomor tempat tidur tidak
digunakan) untuk memverifikasi identitas pasien (Kim, Yoo and Seo,
2018). Pelaksanaan Identifikasi pasien yang harus dilakukan perawat
harusnya menjadi budaya sehingga insiden tidak terjadi dalam proses
pelayanan kesehatan (Fatimah, Sulistiarini and Ata, 2018).
Dalam lingkup patient safety pengetahuan perawat merupakan hal yang
berhubungan dengan komitmen yang sangat diperlukan dalam upaya
membangun budaya keselamatan pasien (Wijaya et al., 2016).
Berdasarkan data dan observasi, peneliti menemukan masalah yang
berkaitan dengan keselamatan pasien dan didukung adanya laporan
dari bagian keperawatan di RSUD SK. Lerik Kota Kupang, khususnya
pada ruang rawat inap Garuda. Sesuai data pada bulan Januari-
Desember tahun 2017 terjadi kesalahan pengidentifikasian pasien yang
dilakukan oleh perawat baik berupa kesalahan pemberian obat maupun
kesalahan tindakan-tindakan lain seperti kesalahan pemasangan gelang,
tidak terpasang 89 Diyah Arini, Christina Yuliastuti, Rofina Lusia
Jawa Ito Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Identifikasi
dalam Patient Safety dengan Pelaksanaannya di Ruang Rawat Inap
RSUD SK. Lerik Kupang gelang identitas pada pasien dan Perawat
jarang melakukan identifikasi pasien sebelum melakukan tindakan
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tingkat Pengetahuan Perawat
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tingkat pengetahuan cukup
baik sebanyak 50 orang (78,1%). Jika dilihat dari usia perawat hampir
setengahnya berumur 25-35 tahun sebanyak 37 orang (74,0%) dengan
pengetahuan yang cukup baik. Hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan
dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir.
Bertambahnya usia seseorang dapat berpengaruh pada bertambahnya
pengetahuan yang diperoleh, tetapi pada usia-usia tertentu atau
menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau pengingatan suatu
pengetahuan akan berkurang (Notoatmodjo, 2012).
2. Pelaksanaan Identifikasi dalam Patient Safety
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat di RSUD S.K Lerik Kupang
bahwa Kebijakan dan SPO dalam penelitian ini adalah ketersediaan
kebijakan, peraturan, SPO, atau pedoman tentang sasaran keselamatan
pasien khususnya pelaksanaan identifikasi dalam patient safety di
RSUD S.K Lerik Kupang. Mengenai patient safety/keselamatan pasien
RSUD S.K Lerik Kupang mengeluarkan surat keputusan Kepala RS.
Peraturan Direktur RSUD S.K Lerik Kupang Nomor 445/09/I/2016
tentang Kebijakan Identifikasi Pasien RSUD S.K Lerik pada tanggal 5
Februari 2016. Peneliti berasumsi bahwa dalam upaya meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit, maka diperlukan penyelengaraan
pelayanan rumah sakit yang bermutu tinggi sebagai landasan bagi
penyelenggaraan di rumah sakit.
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Perawat dengan
Pelaksanaan Idetifikasi dalam Patient Safety
Berdasarkan hasil penelitian hampir seluruhnya perawat yang memiliki
tingkat pengetahuan yang cukup baik dengan pelaksanan identifikasi
dalam patient safety cukup baik sebanyak 47 orang (92,2%) lebih
dominan dari tingkat pengetahuan yang cukup baik dan pelaksanaan
identifikasi dalam patient safety baik sebanyak 3 orang (23,1%).
(Hughes, 2008) menyatakan bahwa langkah awal memperbaiki
pelayanan yang berkualitas adalah keselamatan, sedangkan kunci dari
pelayanan bermutu dan aman adalah membangun budaya keselamatan
pasien. Menurut Mitchell dalam Hughes (2008), perawat merupakan
kunci dalam pengembangan mutu melalui keselamatan pasien.Adanya
dukungan dan supervisi kepala ruangan terhadap kinerja perawat
pelaksana juga sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan identifikasi
pasien dan hal ini menjadi salah satu indikator keberhasilan
pelaksanaan identifikasi pasien. Peneliti berasumsi bahwa agar
pengetahuan perawat dalam pelaksanaan identifikasi baik perlu adanya
motivasi dan dorongan dalam melakukan suatu pekerjaan dan
dukungan supervisi kepala ruangan terhadap kinerja perawat. Hal ini
menjadi salah satu indikator keberhasian pelaksanaan identifikasi
pasien
KESIMPULAN Hampir seluruhnya tingkat pengetahuan perawat tentang identifikasi
dalam patient safety di Ruang Rawat Inap RSUD S.K Lerik dalam
kategori cukup baik. Hampir seluruhnya pelaksanaan identifikasi
dalam patient safety di Ruang Rawat Inap RSUD S.K Lerik Kupang
dalam kategori cukup baik. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan
perawat tentang identifikasi dalam patient safety dengan
pelaksanaannya di Ruang Rawat Inap RSUD S.K Lerik Kupang.
DAFTAR PUSTAKA Arini D, Yuliastuti C, Ito J.L.R. 2019. Hubungan Tingkat Pengetahuan
Perawat tentang Identifikasi dalam Patient Safety dengan
Pelaksanaannya di Ruang Rawat Inap RSUD SK Lerik Kupang. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya Vol.14 No. 2. ISSN
2085-3742 Online ISSN 2598-1021
www.journal.stikeshangtuah-sby.ac.id
DATA BASE Goggle.scholar

B. Tinjauan Pustaka

Anda mungkin juga menyukai