Anda di halaman 1dari 64

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

PENYAKIT GUILLAIN - BARRE SYNDROME

Disusun oleh :

Robby Akroman 213219003


Lifia Ramadhanty 213219004
Dewi Sri Arisanti 213219007
Melani Sukma Pratiwi 213219004
Muhammad Rizal Ginanto 213219025
Ismi Ahdiah 213219027
Yoanita Suryani 213219044

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-1) LINTAS JALUR


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena


berkat rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
ASUHAN KEPERAWATAN GUILLAN BARRE SYNDROME Makalah
ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN
KRITIS
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat
dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Cimahi, 29 September 2020

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh
autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang
diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba
sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. (1, 2).
Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan
biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat
penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari
sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan
mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada
kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat
menetap.
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar
antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS
masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi
terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun)
dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih
tinggi pada perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang
semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15
sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50
sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2
tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95
tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu
musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau. (1, 2, 3).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain – Barre
Syndrome. Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian
Guillain – Barre Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan
angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang
dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa
berlanjut pada kematian (1, 2). Oleh karena itu, penderita Guillain – Barre
Syndrome memerlukan pengawasan dan perawatan yang baik untuk
mempercepat pernyembuhan dan mencegah komplikasi. Pengetahuan dan
keterampilan perawat khususnya asuhan keperawatan pada penderita Guillain
– Barre Syndrome sangat penting untuk meningkatkan asuhan keperawatan
yang profesional.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mendapatkan gambaran
lebih jelas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
persarafan khususnya pada Tn. G dengan masalah utama Guillain – Barre
Syndrome di ruang B1 RS Permata.

B TUJUAN
a. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep klinis Guillain – Barre Syndrome dan
pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
persarafan dengan masalah utama Guillain – Barre Syndrome.
b. Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan konsep dasar Guillain – Barre Syndrome meliputi
definisi, penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostik, dan penatalaksanaan umum.
2. Mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan Guillain – Barre
Syndrome meliputi pengkajian data fokus, diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul, dan rencana keperawatan.

1
3. Mampu melakukan asuhan keperawatan klien dengan Guillain – Barre
Syndrome dengan pendekatan proses keperawatan meliputi:
pengkajian, diagnosa, dan rencana keperawatan.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

Nama lain dari Guillain Barre Syndrome adalah:


Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis (polineuritis febril),
Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis (polineuritis akut pasca
infeksi), Acute Inflammatory Demyelinating (polineuritis akut toksik),
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome (9)

A. DEFINISI
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang
ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer
dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput
myelin dan saraf perifer kranial (5)
GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer (1)
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem saraf
akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-
kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi (2)
Parry mengatakan bahwa GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut (2)
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.

B. ETIOLOGI
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu

3
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun
immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis
memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh
suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi
sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut
spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan di medula spinalis dan
medula oblongata.
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain: (2, 3)
1. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%,
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang
berhubungan dengan GBS :
a. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox,
Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo.
b. Bakteri: Campylobacter, Jejeni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid,
Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria.
2. Vaksinasi
3. Pembedahan, anestesi
4. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
6. Gangguan endokrin

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya
dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar

4
antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada
gejala klinis yang timbul. (2)
2. Gejala Klinis (1, 2, 3, 5)
a. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-
kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan
dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara
asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-
kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-
otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian
distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat
dari bagian proksimal.
b. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki
dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari
pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti
rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
c. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera
menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.
Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia
bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia
dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena
paralisis n. laringeus.

5
d. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse
diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai.
Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua
minggu.
e. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan
ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot
pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
f. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan
otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga
absorbsi cairan otak berkurang.

D. PATOFISIOLOGI
Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding
akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan
dalam selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel
akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permeabel pada nodus
tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar
akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier, sehingga impuls-
impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke
nodus lain (konduksi salsatori) dengan cukup kuat. (5)
Pada GBS, selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput
mielin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi,
termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan

6
reaksi imunologi. Demielinasi adalah respons umum dari jaringan saraf
terhadap banyak kondisi yang merugikan ini. Kehilangan serabut mielin pada
Guillain – Barre Syndrome membuat konduksi salsatori tidak mungkin terjadi,
dan transmisi impuls saraf dibatalkan. (5)
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (proses respon
antibodi terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan kerusakan pada syaraf
tepi hingga terjadi kelumpuhan(2)
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: (2)
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului GBS akan
timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf
perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma
pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput
araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis.
Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks
ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis
terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka
radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang
paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu

7
kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak,
kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan
tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau
otot-otot anggota gerak. Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan
edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel
mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil,
sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan
penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami
degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen
proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi
pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara
darah dan saraf pada daerah tersebut. (2, 8)

Perjalanan penyakit
Perjalanan alamiah GBS, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita GBS. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
fase, yaitu : (2)
1. Fase progresif
Dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung
beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase plateau
Kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek
selama 2 hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.
3. Fase rekonvalesen
Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit GBS ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

8
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan
penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum
tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum
dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas
seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T
(CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/
terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses
antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah
itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.(2)

E. PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada
saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau
ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin
pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf
tepi telah hancur. (2)
Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi
adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada
endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila

9
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian.
Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis
dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson. (2)

F. PEMERIKSAAAN PENUNJANG (1, 2, 3, 5)


1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel
dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian
kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset
penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel
mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor
retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis
juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan
potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih
lama dan tidak sembuh sempurna.

G. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu: (2, 3)
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

10
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:
a. Gejala klinis:
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai
dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut/ kelemahan motorik yang
progresis cepat (maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak
dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu),
relatif simetris yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon (arefleksi
atau hipofleksia) dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah
mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan
gangguan sensorik ringan dan motorik perifer. Gejala saraf kranial ±
50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat
terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus, neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf
otak lain. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas
berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom.
Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,hipertensi dan gejala
vasomotor. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
Gambaran cairan otak Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1
minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial Jumlah sel
mononuklear cairan otak < 10 sel/mm.
Varian:
1) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
2) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose : terdapat
perlambatan kecepatan hantar/ konduksi saraf pada EMG bahkan blok
pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

11
H. DIAGNOSIS BANDING (2)
1. Kelumpuhan asimetris yang menetap.
2. Gangguan kandung kemih dan defekasi yang menetap.
3. Gangguan kandung kemih dan defekasi pada onset.
4. Jumlah sel mononuklear dalam cairan otak > 50 sel mm3.
5. Terdapat leukosit PMN dalam cairan otak.
6. Gangguan sensibilitas berbatas tegas.
7. Poliomielitis, botulisme, histeri atau neuropati toksik (misalnya karena
keracunan timbal/ timah hitam, itrofurantoin, dapsone, organofosfat),
Diphtheric paralysis, Sindroma miller-fisher, Defisit sensoris kranialis,
Pandisautonomia murni, Chronic acquired demyyelinative neuropathy,
Porfiria intermitten akut.

I. PROGNOSIS
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita
meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar
antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan,
gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar
penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan.
Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan
motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki (2,3). Kira-kira 3-5
% penderita mengalami relaps (2).

J. PENATALAKSANAAN
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). (2, 4)

12
1. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif. (2, 4)
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan
gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap
ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu
dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan
diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting
karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya
hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama
jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati
dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti
: penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv
dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan
terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien
dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu
pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga

13
sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus
diganti
dengan suatu substitusi plasma.
d. Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
e. Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga
parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
2. Perawatan umum : (2, 4)
a. Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi
tidur.
b. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh,
d. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
e. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
f. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
g. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
3. Pengobatan (2, 4)
a. Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous

14
menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon
dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang
tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam
setelah 48 jam pengobatan intravenous.
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan
sakit kepala.
b. Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara
subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned
LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens
terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan
salah satu sekuele utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat
dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient
compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic
disease (TED) hose).
c. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian
immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya
plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan
perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya
mahal. Dosis aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai
untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan
Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5
hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi
IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi

15
IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin
(6-MP).

K. KOMPLIKASI
Paralysis yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik,
hipotensi atau hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah,
aritmia kardial, ieus, aspirasi, retensi urinae, problem psikiatrik (seperti :
depresi dan ansietas).
L. PATHWAY
Terlampir
M. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
1) Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang
biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya
berkembang dengan cepat ke arah atas, hilangnya kontrol motorik
halus tangan.
2) Tanda : kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan
tidak mantap.
b. Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,
takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.
c. Integritas Ego
1) Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah
yang dihadapi.
2) Tanda : tampak takut dan bingung.
d. Eliminasi
1) Gejala : adanya perubahan pola eliminasi.

16
2) Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal
(anus) atau berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan/cairan
1) Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan.
2) Tanda : gangguan pada refleks menelan atau refleks gag.
f. Neurosensori
1) Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi
nyeri, sensasi suhu, perubahan dalam ketajaman penglihatan.
2) Tanda : hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam, hilangnya
tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan, adanya
kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata,
kehilangan kemampuan untuk berbicara.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri
(terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong).
Hiposensitif terhadap sentuhan.

h. Pernafasan
1) Gejala : kesulitan dalam bernafas.
2) Tanda : pernafasan perut, menggunakan otot bantu nafas, apnea,
penurunan bunyi nafas, menurunnya kapasitas vital paru,
pucat/sianosis, gangaun refleks gag/menelan/batuk.
i. Keamanan
1) Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran
pernafasan atas) kira-kira dua minggu sebelum munculnya tanda
serangan, adanya riwayat terkena herpes zoster, sitomegalovirus.
2) Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu
lingkungan), penurunan kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.
j. Interaksi Sosial
Tanda: kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

17
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Penyakit sebelumnya (infeksi saluran pernafasan atas,
gastroenteritis, penyakit houlkin); pembedahan/anestesia umum
trauma. Pertimbangan: PPG menunjukkan rerata lama perawatan: 6
hari. Rencana pemulangan: mungkin pasien memerlukan bantuan
mengenai transportasi, penyiapan makan, perawatan diri, dan
kewajiban pekerjaan rumah. Mungkin perlu melakukan perubahan
pada tata ruang dan bentuk rumah, pemindahan pusat rehabilitasi.
l. Pemeriksaan diagnosis
1) Fungsi lumbal berurutan: memperhatikan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan
peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya
peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari
pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri fungsi lumbal
(perlu diulang beberapa kali).
2) Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan
perkembangan sindrom yang timbul, kecepatan konduksi saraf
diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit
motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3) Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
4) Foto rontgen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda
dari gangguan pernafasan seperti atelektasis, pneumonia.
5) Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.

18
2. Diagnosa Keperawatan

DIAGNOSA
NO TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI TTD
KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap Setelah dilakukan tindakan Mandiri : R
pola nafas/ bersihan keperawatan diharapkan klien dapat 1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan
jalan nafas tak efektif mendemonstrasikan ventilasi pernafasan. Catat peningkatan kerja nafas dan observasi
berhubungan dengan adekuat, dengan kriteria hasil : warna kulit dan membran mukosa.
kelemahan/ paralisis 1. Tak ada tanda distress pernafasan R : Peningkatan distress pernafasan menandakan
otot pernafasan, 2. Bunyi nafas bersih adanya kelelahan pada otot pernafasan.
kerusakan refleks 3. GDA dalam batas normal. 2. Kaji adanya perubahan sensasi terutama
menelan. penurunan respons pada T8 atau daerah lengan
atas/bahu.
R : Penurunan sensasi seringkali mengarah kepada
kelemahan motorik: seperti kehilangan pada tingkat
T8 dapat mempengaruhi otot interkostal. Oleh
karenanya tangan/lengan yang terkena seringkali
mengarah pada masalah gagal nafas.
3. Catat adanya kelemahan pernafasan selama
berbicara
R : Indikator yang baik terhadap gangguan fungsi
pernafasan/ menurunnya kapasitas vital paru.
4. Auskultasi bunyi nafas, catat tidak adanya
bunyi/suara tambahan seperti ronki, mengi.
R : Peningkatan resistensi jalan nafas dan atau
akumulasi sekret akan mengganggu proses difusi gas
dan mengarah pada komplikasi pernafasan
(pneumonia).

19
5. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan
pasien pada posisi duduk bersandar.
R : Meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk,
menurunkan kerja pernafasan dan membatasi
terjadinya risiko aspirasi sekret.
6. Evaluasi refleks batuk, refleks gag, atau refleks
menelan secara periodik.
R : Jika otot kepala dan otot leher terkena, maka
evaluasi ulang terhadap refleks tersebut harus
dilakukan untuk mencegah aspirasi, infeksi
pulmonia, dan gagal nafas.
7. Lakukan penghisapan sekret, catat warna dan
jumlah dari sekret (sputum)
R : Kehilangan kekuatan dan fungsi otot mungkin
mengakibatkan ketidakmampuan pasien untuk
mempertahankan dan atau membersihkan jalan
nafas.

Kolaborasi :
1. Lakukan pemantauan terhadap analisa gas
darah, aksimteri nadi secara teratur.
R : Menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan
kebutuhan untuk keefektifan dari intervensi.
2. Tinjau ulang foto ronsen
R : Adanya perubahan merupakan indikasi dari
kongesti paru dan atau atelektasis.
3. Berikan terapi suplementasi oksigen sesuai
indikasi, dengan menggunakan cara pemberian yang

20
sesuai kanula, masker oksigen, atau ventilator mekanik.
R : Mengatasi hipoksia. Pelembaban terhadap sekret
(agar mudah dikeluarkan) dan menjaga kelembaban
membran mukosa karena hal tersebut dapat
menurunkan iritasi jalan nafas.
4. Berikan obat/bantu dengan tindakan
pembersihan pernafasan, seperti latihan pernafasan,
perkusi dada, vibrasi, dan drainase postural.
R : Mempebaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis
dengan memobilisasi sekret dan meningkatkan
ekspansi alveoli paru.
5. Siapkan untuk/mempertahankan inkubasi,
ventilator mekanik sesuai kebutuhan.
R : 10%-20% pasien mengalami gangguan pernafasan
yang cukup berarti yang memerlukan intervensi
yang terus-menerus.
6. Berikan perawatan trukeostomi jika ada
R : Mungkin diperlukan untuk penatalaksanaan jalan
nafas dan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
fisik berhubungan keperawatan diharapkan klien mampu 1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan
dengan kerusakan mempertahan mobilitas fisik tanpa skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur.
neuromuskuler ada komplikasi dengan kriteria hasil: R : Menentukan perkembangan/munculnya kembali
1. Tidak ada laporan kontraktur, tanda yang menghambat tercapainya tujuan.
dekubitus. 2. Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa
2. Meningkatkan kekuatan otot dan nyaman. Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang
fungsi bagian yang sakit. teraur sesuai kebutuhan secara individual.
3. Mendemonstrasikan R : Menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi,

21
teknik/perilaku yang menurunkan risiko terjadinya iskemia/kerusakan
memungkinkan melakukan pada kulit.
kembali aktivitas yang 3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan
diinginkan. bantal, crochanter roll, papan kaki.
R : Mempertahankan ekstremitas dalam posisi
fisiologis, mencegah kontraktur dan kehilangan
fungsi sendi.
4. Lakukan latihan rentang gerak positif. Hindari
latihan aktif selama fase akut.
R : Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot
dan meningkatkan mobilisasi sendi.
5. Koordinasikan asuhan yang diberikan dan
periode istirahat tanpa gangguan.
R : Penggunaan otot secara berlebihandapat
meningkatkan waktu yang diperlukan untuk
remielinisasi, karenanya dapat memperpanjang
waktu penyembuhan.
6. Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus
dikembangkan, seperti duduk di sisi tempat tidur
dengan sokongan, bangkit dari kursi, dan kemudian
ambulasi sesuai kemampuan.
R : Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena
yang ditingkatkan secara bertahap, meningkatkan
fungsi organ normal dan memiliki efek psikologis
yang positif.
7. Berikan lubrikasi/minyak artifisial sesuai
kebutuhan.
R : Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh yang

22
halus ketika pasien tidak dapat
menutup/mengedipkan mata secara memadai.

Kolaborasi :
1. Konfirmasikan dengan atau rujuk ke bagian terapi
fisik/terapi okupasi.
R : Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot
secara individual/ latihan terkondisi dan program
latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu.
3. Resiko tinggi terhadap Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
perubahan nutrisi keperawatan diharapkan tidak terjadi 1. Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk,
kurang kebutuhan tubuh perubahannutrisi kurang dari pada keadaan yang teratur.
berhubungan dengan kebutuhan, dengan kriteria hasil klien R : Kelemahan otot dan refleks yang
kerusakan mampu: hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasikan
neuromuscular yang 1. Mendemonstrasikan berat badan kebutuhan akan metode makasi alternatif, seperti
mempengaruhi refleks stabil. melalui selang NG dan sebagainya.
gagal/batuk/menelan 2. Normalisasi nilai-nilai 2. Auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi
dan fungsi GI. laboratorium. abdomen.
3. Tidak ada tanda malnutrisi (mata R : Perubahan fungsi lambung sering terjadi akibat dari
cekung, konjungtiva anemis, paralisis/ imobilisasi.
kurus, tilang dada menonjol) 3. Catat masukan kalori setiap hari.
R : Mengidentifikasi kekurangan makanan dan
kebutuhannya.
4. Catat makanan yang disukai atau tidak disukai oleh
pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang
dikehendaki.
R: Meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat
meningkatkan usaha untuk makan.

23
5. Berikan makanan setengah padat/cair
R : Makanan lunak/setengah padat menurunkan risiko
terjadinya aspirasi.
6. Anjurkan untuk makan sendiri. Izinkan untuk makan
sesuai waktu yang diinginkan atau yang memungkinkan
bagi pasien untuk terus berusaha sendiri. Beri
bantuan/beri makan kebutuhan.
R : Derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi
kemampuan untuk makan sendiri.
7. Anjurkan orang terdekat ikut berpartisipasi pada waktu
makan, seperti memberi makan dan membawa makanan
kesukaan pasien dari rumah.
R : Memberikan waktu bersosialisasi yang dapat
meningkatkan jumlah masukan makanan pada
pasien.
8. Timbang berat badan setiap hari.
R: Mengkaji keefektifan aturan diet.

Kolaborasi :
1. Berikan diet tinggi kalori atau protein nabati.
R : Makanan suplementasi dapat meningkatkan
pemasukan nutrisi.
2. Pasang/pertahankan selang NG. berikan makanan
enteral/parenteral.
R : Dapat diberikan jika pasien tidak mampu untuk
menelan, untuk pemasukan makanan kalori,
elektrolit dan mineral.
4. Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan Mandiri :

24
konstipasi/ diare keperawatan diharapkan klien mampu 1. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000
berhubungan dengan mempertahankan pola eliminasi usus ml/hari (jika pasien dapat menelan)
kerusakan tanpa ileus. R : Makanan suplementasi dapat meningkatkan
neuromuskuler pemasukan nutrisi.
(kehilangan sensasi dan 2. Berikan privasi dan posisi fowler pada tempat tidur
refleks anal), imobilitas, dengan teratur.
perubahan pada R : Meningkatkan usaha evakuasi feses.
masukan diet/ cairan. 3. Auskultasi bising usus, catat adanya/tidak atau
perubahan bising usus.
R : Penurunan/hilangnya bising usus dapat merupakan
indikasi adanya ileus paralitik yang berarti hilangnya
motilitas usus dan atau ketidakseimbangan elektrolit.
4. Catat adanya distensi abdomen, nyeri tekan. Ukur
lingkar perut sesuai kebutuhan.
R : Dapat mencerminkan perkembangan ileus paralitik
atau adanya impoksi fekal.
5. Pantau adanya mual, muntah, penghentian feses.
R : Kecepatan perkembangan pada ileus yang komplit
dapat bervariasi tetapi dapat diperkirakan.

Kolaborasi:
1. beri obat pelembek feses, supositoria, laksatif, atau
penggunaan selang cektal sesuai kebutuhan.
R : Mencegah konstipasi, menurunkan distensi
abdomen dan membantu dalam keteraturan fungsi
defekasi.
2. Tingkatkan diet makanan yang berserat atau perubahan
kecepatan dan jenis dari makanan sonde jika ada

25
kebutuhan.
R : Membantu dalam mengatur konsistensi fekal dan
menurunkan konstipasi.
3. Pasang/pertahankan selang NGT jika ada kebutuhan.
R : Menurunkan mual dan muntah dan melakukan
dekompresi pada distensi abdomen yang
berhubungan dengan hilangnya peristaltik,
munculnya ileus paralitik
5. Ansietas/ ketakutan Setelah dilakukan tindakan Mandiri:
berhubungan dengan keperawatan diharapkan ansietas 1. Tempatkan pasien dekat dengan ruang perawat, periksa
krisis situasional, klien berkurang sampai tingkat yang pasien secara teratur.
ancaman kematian/ dapat diatasi, dengan kriteria hasil R : Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat
perubahan dalam status klien mampu: diberikan.
kesehatan. 1. Menerima dan mendiskusikan 2. Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan.
rasa takut. R : Menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan
2. Mengungkapkan pengetahuan terisolasi.
yang akurat tentang situasi. 3. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan
3. Tampak rileks dan melaporkan hilangnya kemampuan yang menetap, kehilangan
ansietas berkurang sampai tingkat fungsi, kematian masalah mengenai kebutuhan
dapat diatasi. penyembuhan.
R : Membawa perasaan takut secara terbuka,
memberikan kesempatan untuk mengkaji
persepsi/informasi yang salah dari pasien dan
memberikan pemecahan masalah.
4. Berikan penjelasan singkat mengenai perawatan,
rencana perawatan dengan orang terdekat.
R : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerja
sama pasien dalam kebutuhan akan melakukan

26
aktivitas. Pelibatan pasien dan orang terdekat dapat
mempertahankan beberapa perasaan kontrol yang
akan meningkatkan harga diri.
6. Resiko Tinggi terhadap Setelah dilakukan tindakan 5. Beri pasien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring
cedera berhubungan keperawatan diharapkan tidak ada ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
dengan gangguan laporan cidera, dengan kriteria hasil R : Menurunkan tekanan pada mata yang sakit.
penglihatan dan klien mampu: 6. Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba,
gangguan keseimbangan 1. Menyatakan pemahaman faktor menggosok mata, mengbongkok.
dan pendengaran. yang terlibat dalam kemungkinan 7. Dorong nafas dalam, batuk untuk bersihan paru.
cedera. R : Batuk meningkatkan T10.
2. Menunjukkan perubahan perilaku, 8. Anjurkan menggunakan teknik manajemen stress
pola hidup untuk menurunkan contoh: bimbingan imajinasi, visualisasi, nafas dalam
faktor risiko dan untuk dan latihan relaksasi.
melindungi diri dari cedera. R : Meningkatkan relaksasi dan koping, menurunkan
3. Mengubah lingkungan sesuai T10.
indikasi untuk meningkatkan 9. Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi.
keamanan. R : Digunakan untuk melindungi dari cedera
kecelakaan dan menurunkan gerakan mata.

Kolaborasi :
1. Berikan obat sesuai indikasi
a. Antiemetic, contoh: proklorperozin (compazine)
R : Mual/muntah dapat meningkatkan T10,
memerlukan tindakan segera untuk
mencegah cedera.
b. Asetazolamid (diamox)
R : Diberikan untuk menurunkan T10 bila terjadi
peningkatan. Membatasi kerja enzim pada

27
produksi akueous homor.
c. Analgetik, contoh: Empirin dengan kodein,
asetaminofen (tyenol)
R : Digunakan untuk ketidaknyamanan ringan,
meningkatkan istirahat/mencegah gelisah, yang
dapat mempengaruhi T10.

28
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
• Hari/Tanggal pengkajian : Selasa, 24 Maret 2009; pukul 08.30 WIB
• Ruang : B1 Syaraf

1. Identitas Klien
Nama : Tn. G
Jenis klamin : Laki – laki
Usia : 45 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta
Status perkawinan : Kawin
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Lamper Tengah III No. 158 Semarang
Hari/Tanggal masuk RS : Selasa, 24 Maret 2009; pukul 06.30 WIB
No Register : 8882949773
Diagnosa Medis : Guillain – Barre Syndrome (GBS)

2. Penanggung jawab klien


Nama : Ny. B
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Lamper Tengah III No. 158 Semarang
No. Telp/Hp :-
Hubungan dengan klien : Istri

3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Tangan kesemutan dan kaki tidak dapat digerakan

29
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit, klien mengeluh tangan
kesemutan dan kaki klien tidak dapat digerakkan. Selama 4 hari pasien
mengatakan tidak BAB dan perutnya mulas. Klien masuk RS. Permata
dan disarankan oleh dokter S yang menangani untuk dirawat inap dan
diteruskan ke ruang B1 Syaraf. Selama ada di Rumah Sakit klien
diobservasi dan dilakukan pemeriksaan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya klien belum pernah dirawat di Rumah Sakit manapun.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami penyakit yang sama.

Genogram:

Keterangan:
Laki-laki Hubungan
perkawinan

Perempuan Tinggal serumah

Klien Meninggal

30
Klien anak ketiga dari empat beraudara. Tidak ada keluarga yang
memiliki penyakit yang sama seperti klien. Klien tinggal serumah
bersama istri dan kedua anaknya.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital
Dikaji tanggal 24 Maret 2009, pukul 08.30 WIB
TD : 130/90 mmHg
HR : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C

b. Kepala dan leher


Yang Keterangan
Dikaji
Bentuk Mesosefal
Muka Simetris, mengerut dahi +
Rambut Hitam, sedikit beruban, penyebaran merata
Mata Tidak terdapat lesi, sklera tidak ikterus, konjungtiva tidak anemis,
pupil: reflek cahaya +, bentuk bulat ukuran ± 3 mm, tidak ada
nistagmus dan melihat kembar, nyeri tekan tidak ada, fungsi
penglihatan dbn (> 4/60), berkedip +
Telinga Simetri ka = ki, tidak ada discharge, tidak ada lesi, tidak ada nyeri
tekan fungsi pendengaran dbn dengan arloji dan suara berbisik +/+
Simetri lubang ka = ki, tidak ada discharge, tidak ada nafas cuping
Hidung hidung.
Mukosa bibir lembab, gigi tidak ada caries cukup bersih, tidak ada
Mulut pendarahan gusi, tidak tampak sianosis.
Menelan +, membuka mulut + , mengunyah +, mengigit +
Tidak terdapat pembesaran tiroid, trachea simetri di tengah, tidak
Leher ada deviasi, tidak terdapat kaku kuduk.

Keterangan : + : ada

31
c. Jantung
Tanggal 24/03/09 jam 08.30
Inspeksi Ictus cordis tak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V, 2 cm di LMCS

Perkusi Konfigurasi jantung dbn


Auskultasi Bunyi jantung I-II tunggal tidak ada murmur dan gallop

d. Paru-paru
Tanggal 24/03/09 jam 08.30
Inspeksi Simetri, statis, dinamis, tidak ada tarikan otot asesori

Palpasi Fresmitus ka = ki
Perkusi Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi Suara dasar vesikuler di seluruh lapang paru, tidak ada wheezing
atau ronki

e. Abdomen
Tanggal 24/03/09 jam 08.30
Inspeksi Sedikit cembung, tidak ada lesi, tidak ada venektasi

Auskultasi BU 7x/ menit


Palpasi Tidak ada nyeri tekan Hepar, lien tak teraba, teraba masa feses
daerah kolon desendens
Perkusi Timpani, pekak sisi ada, pekak alih tidak ada

f. Ekstremitas
Ektremitas atas
Tanggal Kanan Kiri
/Jam

32
24/03/09 Pergerakan menurun Pergerakan menurun
08.30 Kebas/kesemutan ada Kebas/kesemutan ada
Rasa baal ada Rasa baal ada
Kekuatan otot 3 Kekuatan otot 3
Capillary refill < 2 detik Capillary refill < 2 detik
Edema tidak ada Edema tidak ada
Tonus menurun Tonus menurun
Atrofi tidak ada Atrofi tidak ada
Nyeri ada (ketika pertama kali Nyeri ada (ketika pertama kali
sendi digerakkan) sendi digerakkan)

Ektremitas bawah
Tanggal Kanan Kiri
/Jam
24/03/09 Pergerakan menurun Pergerakan menurun
08.30 Kebas/kesemutan ada Kebas/kesemutan ada
Rasa baal ada Rasa baal ada
Kekuatan otot 1 Kekuatan otot 1
Capillary refill < 2 detik Capillary refill < 2 detik
Edema tidak ada Edema tidak ada
Tonus menurun Tonus menurun
Atrofi tidak ada Atrofi tidak ada
Nyeri ada (ketika pertama kali Nyeri ada (ketika pertama kali
sendi digerakkan) sendi digerakkan)

g. Sistem Persarafan
1. Fungsi cerebral
Tanggal/Jam 24/03/09 jam 08.30
a. Status mental
- Tingkat kesadaran Composmentis
- GCS E4V6CM5 = 15
- Gaya bicara Sesuai
b. Fungsi intelektual
- Orientasi waktu Ada
- Orientasi tempat Ada
- Orientasi orang Ada
c. Daya pikir
- Spontan, alamiah, Ya
masuk akal
- Kesulitan berfikir Tidak ada
- Halusinasi Tidak ada
d. Status emosional
- Alamiah dan datar Ya

33
- Pemarah Tidak
- Cemas Tidak
- Apatis Tidak
2. Pemeriksaan Saraf Cranial
Nervus I (Olfactorius)

Sensasi hidung Sensasi hidung


Tanggal
kiri kanan
24/03/09 jam 08.30 Tidak dikaji Tidak dikaji

Tanggal 24/03/09 jam 08.30


Ketajaman >4/60
penglihatan
Lapang Sulit dinilai
Mata Pandang Nervus
kanan Melihat +
warna II
Fundus Tak dinilai
oculi
Ketajaman >4/60
penglihatan
Lapang Sulit dinilai
Mata Pandang
kiri Melihat +
warna
Fundus Tak dinilai
oculi
(Optikus

34
Nervus III (Okulomotorius)
Tanggal 16-12-2008
Sela mata ± 1,5 cm
Pergerakan bulbus Bebas
Bentuk pupil Bulat
Besar pupil 3 mm
Reflek cahaya +/Pupil mengecil
Mata Melihat kembar Tidak
kanan Reflek terhadap +
konfergensi
Nistagmus Tidak
Enoptalmus Tidak
Exoptalmus Tidak
Strabismus Tidak
Sela mata ± 1,5 cm
Pergerakan bulbus Bebas
Bentuk pupil Bulat
Besar pupil 3 mm
Reflek cahaya +/Pupil mengecil
Reflek terhadap +
Mata kiri
konfergensi
Melihat kembar Tidak
Nistagmus Tidak
Enoptalmus Tidak
Exoptalmus Tidak
Strabismus Tidak

Nervus IV (Trochlearis)
Tanggal 24/03/09
Mata Pergerakan mata ke +
kanan bawah - ke dalam.
Mata Pergerakan mata ke +
kiri bawah - ke dalam.

Nervus V ( Trigeminus)
Tanggal 24/03/09
Membuka mulut +
Mengunyah +
Menggigit +

35
Reflek kornea +
Sensasi pd Dahi +
wajah dgn Dagu +
benda kasar, Pipi kanan +
halus tumpul, +
Pipi kiri
runcing

Nervus VI (Abducen)
Tanggal 24/03/09
Pergerakan mata +
Mata lateral
Kanan Tidak ada
Melihat kembar
Pergerakan mata +
Mata lateral
kiri Tidak ada
Melihat kembar

Nervus VII (Fasialis)


Tanggal 24/03/09
Mengerut dahi +
Tersenyum +
Mengangkat alis +
Menutup mata +
Rasa kecap 2/3 Tidak dikaji
anterior lidah
(manis & asam)

Nervus VIII (Vestibulochoclearis)


Tanggal 24/03/09
Suara bisikan +
Telinga Detik arloji +
kanan Rinne Tidak dikaji
Weber Tidak dikaji
Suara bisikan +
Telinga Detik arloji +
kiri Rinne Tidak dikaji
Weber Tidak dikaji

Nervus IX (Glossopharyngeus)
Tanggal 24/03/09
Rasa kecap 1/3 Tidak dikaji

36
anterior lidah
(pahit)

Nervus X (Vagus)
Tanggal 24/03/09
Menelan +
Bicara +

Nervus XI (Accesorius)
Tanggal 24/03/09
Kanan +
Mengangkat bahu
Kiri +
Kanan +
Mengangkat kepala
Kiri +

NervusXII (Hypoglasus)
Tanggal 24/03/09
Menjulurkan lidah +
Menggerak- Ke kanan +
kan lidah Ke kiri +
Tremor lidah Tidak ada
Artikulasi Baik

3. Pemeriksaan Sistem Motorik


Tanggal 24/03/09
Ektemitas sup menurun/menurun
Pergerakan
Ekstemitas inf menurun/menurun
Ektemitas sup 3/3
Kekuatan otot
Ekstemitas inf 1/1
Ektemitas sup menurun/menurun
Tonus
Ekstemitas inf menurun/menurun
Keseimbangan Ektemitas sup Tidak terkaji
dan koordinasi Ekstemitas inf Tidak terkaji

4. Pemeriksaan refleks
Tanggal 24/03/09
Sup +/+
Reflek kulit perut
Inf +/+
Refleks biseps Menurun/menurun
Refleks triseps Menurun/menurun
Refleks patella Menurun/menurun

37
Refleks achiles Menurun/menurun
Refleks hofman tromer Tidak ada
Refleks babinski Tidak ada
Refleks chadok Tidak ada

5. Pemeriksaan Sensorik
Tanggal 24/03/09
Sensasi taktil Sup +/+
Inf +/+
Sensasi suhu Tidak dinilai
Perasaan nyeri Sup +/+
Inf +/+
Vibrasi dan Menurun
propriosepsi
Integrasi sensasi Tidak dinilai
Keterangan : + : ada ; - : tidak ada

h. Sistem cardio-respiratory
Nyeri dada : tidak ada
Riwayat merokok : tidak
Bernafas melalui : hidung
Kesulitan bernafas : tidak ada
Terapi oksigen : - liter.
Batuk : tidak
Batuk darah : tidak ada
i. Sistem Integumen
Tanggal/Jam 24/03/09 jam 08.30
Warna kulit Tidak pucat, tidak sianosis
Turgor Cukup
Mukosa Lembab
bibir
Capilar refill < 2 detik
Edema Tidak ada
Kelainan Kelemahan 4 anggota gerak

5. Status nutrisi
a. Antropometri
Sebelum masuk rumah sakit Nilai IMT standar

Nilai Kategori
<20 Underweight
20-25 BB normal
25-30 Overweight 38
>30 Obesitas
BB : 63 kg TB : 171 cm
IMT : 21,55 (BB normal)
Saat Dirawat : Tanggal 24 Maret 2009
BB : 62 kg TB : 171 cm
IMT : 21,20 (underweight)
b.Biokimia
Hb : 13,9 gr % Albumin : -
c. Penampilan fisik
Lemah, mata tidak cekung, konjingtiva tidak anemis, tidak ada
penonjolan tulang dada, turgor kulit cukup.
d.Diet
Adekuat, 1 porsi habis, tidak ada mual-muntah.

6. Status cairan
Tabel cairan dalam 2 jam pertama masuk rumah sakit
Tanggal Intake Output Balance
/jam cairan
24/03/09 Parenteral = 50 cc Urine = 125 cc + 75 cc
Minum = 150 cc IWL = - cc
Makan = - cc Feses = - cc
Muntah = -
Drainase = -
Total input = 200 cc Total output = 125 cc

Keterangan : + : ada ; - : tidak ada

7. Status higienis
Tanggal 24/03/09
Mandi Tergantung
Ganti pakaian Tergantung
Menggosok gigi Tergantung
Memotong kuku Tergantung
Keramas Tergantung
Penampilan Rapi, bersih

8. ADL

39
Tanggal Bathi Dressi Toiletin Transferin Continance Feedin Indeks
ng ng g g g KATZ
24/03/09 T T T T M T E

Keterangan: M : Mandiri ; T : Tergantung

9. Status Eliminasi
Sebelum dirawat:
- BAB
Frekuensi -
Warna -
Konsistensi -
Nyeri -
Darah -
Lendir -

- BAK
Frekuensi 4 – 5 x/hari
Warna Kuning jernih
Jumlah ± 1000 cc/ hari
Nyeri -
Darah -

Selama dirawat
- BAB
Tanggal 24/03/09
Frekuensi -
Warna -
Konsistensi -
Nyeri -
Darah -
Lendir -

- BAK

40
Tanggal 24/03/09
Frekuensi 1 x/2 jam
Warna Kuning
Jumlah Tak terkaji
Nyeri -
Darah -
Lendir -

10. Status Mobilisasi


Tanggal Miring Duduk Berdiri Jalan Kamar
mandi
24/03/09 Dibantu Dibantu - - -

11. Nyeri/Kenyamanan
Klien mengeluh nyeri ringan saat sendi akan digerakkan lama-lama nyeri
hilang.

12. Aktivitas/Istirahat
Sebelum masuk rumah sakit: klien tidur 7 jam/hari, tidak pernah tidur
siang

13. Intregitas ego


Klien tampak tenang dan mengaku pasrah serta tetap bersemangat untuk
sembuh.

14. Kepercayaan
Klien beragam islam, rajin mengerjakan sholat, taat beribadah.
Klien percaya bahwa penyakit merupakan cara Tuhan untuk menghapus
dosanya dan dengan berdoa serta bersabar akan diberi kesembuhan

15. Seksualitas
Tak terkaji

16. Perilaku dan hubungan sosial

41
Tempat tinggal : rumah pribadi
Sikap : kooperatif
Hubungan dalam keluarga : sangat baik
Hubungan sosial masyarakat : baik
Peran dalam masyarakat : sejak sakit menjadi kurang aktif dalam
kegiatan masyarakat

17. Status Ekonomi Kesehatan


Umum

18. Pengetahuan
Klien dan keluarga mengatakn penyakitnya kambuh berulang dari akut
memburuk kemudian membaik, klien dan keluarga mengetahui gejala
yaitu berupa kelemahan pada anggota gerak. Gejala awal yang dikendali
adalah bila klien sudah tidak bisa mengkancingkan baju sehingga istri
langsung membawa ke RSDK selama dirumah rutin melakukan
fisiotrerapi.

19. Tindakan kolaborasi kesehatan


Belum ada tindakan kolaborasi.

20. Hasil Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


a. Laboratorium
Nilai 24/03/09 j 14.00
Pemeriksaan Satuan
Normal Nilai
Hb 13 – 16 % 13,9
Ht 40 – 54 % 49
Eritrosit 45 – 65 jt/mmk 51,8
Leukosit 4 – 11 ribu/mmk 5,5
Trombosit 150 – 400 ribu/mmk 202
Gula darah puasa 80 – 126 mgr/dL 115 mgr/dL
(sedang)
Gula darah 2 jam 80 – 140 mgr/dL 157 mgr/dL
PP (sedang)
Ureum 15 – 39 mgr/dL 21

42
Kreatinin 0,6 – 1,3 mgr/dL 0,87
Natrium 136 – 145 mmol/L 140
Chlorida 98 – 107 mmol/L 107
Kalium 3,5 – 5,1 mmol/L 4,6
Kolesterol 50 – 200 mgr/dL 155
Trigliserida 30 – 150 mgr/dL 77
LDL 62 – 130 mgr/dL 89
HDL 35 – 60 mgr/dL 44
SGOT 15 – 37 U/I 102 H
SGPT 30 – 65 U/I 112 H
Alkali fosfatase 50 – 136 U/I 54
CPK 0 – 232 U/I 82
T3 0,92 – 2,33 mmol/L 1,73
T4 60 – 120 mmol/L 110,01
TSH 0,25 – 5 Uiu/mL 1,7

b.Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan EMG
 Hasil :
Hantaran saraf motorik :
n. medianus S, tibialis D/S, n. peroneus S tidak ada, n. medianus D,
ulnaris D/S, n. peroneus D, distal latency memanjang, amplitudo dan
SEV menurun.
Sensorik : semua sampel saraf tidak ada respon
Reflek fisiologis : semua sampel saraf tidak ada respon
H reflek : n. fibialis tidak ada respon

 Kesimpulan :
Gambaran EMG sesuai dengan SGB (poliradikuloneuropati)

21. Terapi Medis


Car
a
Nama Kontra Interaksi
pem Dosis Indikasi Efek samping
obat indikasi obat
beri
an

43
Nerfeco PO/ 3x500m Neuropati Hentikan terapi Metformin, Anoreksia,
(Mecob IV g/ perifer jika tidak ada antagonis mual, muntah
alamin) pela 2x 1 respon ps reseptor diare.
n amp dengan H2,aminog
(oplos penyakit KV, likosida,
dg 20cc paru, HT kolkisin,
NaCl) Dosis tinggi asam
dan aminosalisi
penggunaan lat,
jangka panjang antikonvuls
tidak an, alcohol,
dianjurkan kloramfeni
pada ps yang kol.
terpapar dg
merkuri atau
subsitusi yang
mengandung
merkuri.
Dexam IV/ 3X1amp Alergi dan Ulkus peptic, Barbiturate retensi cairan
etason IM 0,5 – 9 peradanga osteoporosis, , & elektrolit,
mg/hari n yang infeksi akut, fenotiazin, meningkatkan
max berespon vaksin hidup, rifampisin. kemungkinan
80mg/hr baik laktasi, infeksi.
terhadap P:GHF, Gangguan
terapi HT,DM,GGK, pertumbuhan,
kortikoste Uremia, usia sindrom
roid lanjut, anak- chusing,
anak, penyakit amenore,
infeksi hipertiroidis
me, gg
mental, HT
intracranial,
pancreatitis
akut,
osteonekrosis
aseptik.

Raniti IV 2x30 mg Ulkus Disfungsi Mengurang Sakit kepala.


din Ulkus duodenum ginjal dan hati, i bersihan Pusing, gg GI,
duodenu , ulkus hamil, laktasi, dari ruam kulit.
m gaster anak, wafarin,
2x150 non keganasan prokainami
mg maligna, lambung. d, N-
1x300 kondisi asetilklopra
mg hipersekre mid,
(mlm) si Meningkat

44
Pencega patologis. kan
han absorbsi
kekamb nidazolam
u han Menurunka
150 mg n absorbsi
(sblm kobalamin.
tdr)
Hepam PO 2x1 Suplemen Epilepsy, HT asetaminof -
ax Sesu Awal: untuk kronik, TIK en
dah 1kapsul memelihar tinggi, hamil,
mak 3-4x/hr a&mempe laktasi.
an Pemelih rbaiki
araan: fungus
1-2x/hr hati,
mencegah
&
mengoba
ti penyakit
hati.

Imuran PO 3x1 Pengobata Hipersensitif Alopurinol Depresi


Sesu Kondisi n pada ps trhdp menghamb sumsum
dah auto yang azatriopin, at tulang,
mak imun: menerima merkaptopurin, metabolism haematopoises
an 1-3 transplant hamil, , , makrisitosis,
(unt mg/kg/h asi organ, P: Menurunka mual, muntah,
uk r hepatitis Monitor trhdp n blockade anoreksia,
men (sesuai aktif kerusakan neuromusk alergi, ikterus,
gura respon kronik, hati&ginjal uler dari kolestatin.
ngi ps) SLE, yang berat, kurare&tub
rasa Supresi dermatomi Hamil&usila : okurarin,
tidak penolak asitis, monitor thdp Menimbulk
nya an polioarteri hitung jenis an efek
man transpla tis nodosa, leukosit. potensial
pada ntasi: anemia trhdp
GI) Awal: hemolitik suksinilkoli
s/d 5 didapat, n,
mg/kg ITP, Menghamb
1-4 pioderma at
mg/kg/h gangrenos antikoagula
r a n thdp
(sesuai warfarin,
respon Tidak bileh
ps) diberikan
bersama
penicilamin

45
,
kotrimokza
sol,
captopril.

Mersibi IM 1 tab/hr Terapi - Menurunka -


on PO Sakit defisiensi n efek
Tab: berat: vit. B1, levodopa.
B1:100 1 amp B6, B12.
mg IM kmd
B6:200 1 amp 2-
mg 3x/mg
B12: Bersma
200mg makan
Inj: jika
B1:100 timbul
mg rasa
B6:100 tidak
mg nyaman
B12: pada GI.
5000mg
Kaps:
B1:100
mg
B6:100
mg
B12:
5000mg
Gliserol supo 10 cc Konstipasi Nyeri perut Kerja Kadar yang
(obat sitori Dws: untuk mendadak tampak tinggi
katsan) a 3 gr dlm melunakk karena ileus, setelah 15- menimbulkan
supos, an fese, radang 30 menit. iritasi lokal.
70% menimbul usus&usus
dlm kan reflek buntu, kejang
gelatin, defekasi kolik, mual,
atau di poros muntah.
klisma rectum.
4-5 gr.

46
Waktu pemberian
TGL Nama Obat Dosis Cara Pemberian
( Jam)
24/03/09 Nerfeco 3x500mg PO 08 12 18
Bio ATP 3x1 PO 08 12 18
Bd. Guard 3x1tab PO 08 12 18
Dexamethason 3x1amp IV 10 18 02
Ranitidin 2x30mg IV 10 22
Inf. RL+Mersibion
25/03/09 Nerfeco 3x500mg PO 08 12 18
Bio ATP 3x1 PO 08 12 18
Bd. Guard 3x1tab PO 08 12 18
Dexamethason 3x1amp IV 10 18 02
Ranitidin 2x30mg IV 10 22
Inf. RL+Mersibion
26/03/09 Nerfeco 3x500mg PO 08 12 18
Bio ATP 3x1 PO 08 12 18
Bd. Guard 3x1tab PO 08 12 18
Dexamethason 3x1amp IV 10 18 02
Ranitidin 2x30mg IV 10 22
Inf. RL+Mersibion
22. Monitor Harian Pemberian Obat

47
B. ANALISA DATA
No Data Fokus Problem Etilogi TTD
1 24/03/09 jam 06.30 Konstipasi Imobilitas, R
DS : Klien mengatakan tidak dapat kerusakan
BAB selama 4 hari neuromuskuler
DO:
- Klien mengalami tetraparesis
(lemah 4 ekstrimitas) dan tidak bisa
bergerak
- BU + 7x/mnt
- Teraba masa feses pada KW IV
daerah ileum (perut teraba keras)
- Hasil EMG sesuai dengan SGB
(poliradikulo neuropati)
- Kekuatan otot sup: 2/2
Inf : 2/2

2. 24/03/09 jam 06.30 Kerusakan Kerusakan R


DS: Klien mengatakan tidak bisa mobilitas neuromuskuler
mengerakan lengan dan kakinya fisik
hanya berbaring miring dan
duduk harus dibantu,
menggenggam tangan tidak
mampu, jari kaki dan tangan
tidak mampu bergerak, hanya
bisa menggeser anggota gerak
kekanan kiri (miring-miring)
DO :
- Tampak tetraparesis (lemah pada 4
anggota gerak)
- Kekuatan otot: sup 2/2
inf 2/2
- Hasil EMG sesuai dengan SGB
(poliradikuloneuropati)
- Aktifitas bathing, dressing,
toileting, transfering harus dibantu.

C. PRIORITAS MASALAH
1. Konstipasi b.d imobilitas, kerusakan neuromuskuler.
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler.

48
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NAMA : Tn. G NO. CM : 8882949773
UMUR : 45 tahun P.N : Dora
DIAGNOSA MEDIS : GBS

DIAGNOSA
NO. TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI TTD
KEPERAWATAN
1. Konstipasi b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Auskultasi bising usus, catat ada atau tidaknya R
imobilitas, kerusakan keperawatan selama 5x8 jam perubahan bising usus.
neuromuskuler. diharapkan klien dapat 2. Catat adanya distensi abdomen, nyeri tekan (otot
mempertahankan pola eliminasi tanpa abdomen yang lemas).
komplikasi dengan KH: 3. Berikan perubahan posisi secara teratur sesuai batas
- Tidak ada distensi abdomen karena toleransi klien.
penumpukan feses. 4. Tingkatkan diet makanan berserat, minum minimal
- Tidak ada laporan nyeri saat BAB. 2000cc/hari.
- Klien BAB minimal 3 hari sekali 5. Beri obat supositoria/ pelembek feses/ huknah
dengan alami atau bantuan. glycerin 10 cc.

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI TTD

48
KEPERAWATAN
2. Kerusakan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional
fisik b.d kerusakan keperawatan selama 5x8 jam dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian
neuromuskuler diharapkan klien dapat secara teratur dan bandungkan nilai dasarnya untuk
mempertahankan fungsi otot tanpa menentukan perkembangan/munculnya tanda yang
komplikasi dengan KH: menghambat tercapainya tujuan.
- Klien dapat mempertahankan 2. Berikan pasien posisi pasien yang menimbulkan rasa
kekuatan otot sup 2/2, inf 2/2 nyaman, lakukan perubahan posisi (terlentang, semi
- Tidak ada laporan atrofi otot dan fowler, miring ke kiri/kanan) secara teratur sesuai
atau trombosis vena. kebutuhan individual.
- Pergerakan miring kiri-kanan 3. Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
dengan dibantu. untuk mempertahankan ekstrimitas dalam posisi
fisiologis, mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi
sendi.
Lakukan latihan rentang gerak pasif. Hindari latihan
aktif selama fase akut. Berikan sesuai toleransi
individu.
R: menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot,
dan meningkatkan mobilisasi sendi. Latihan yang

49
dipaksakan dapat menimbulkan gejala/regresi
fisiologis dan emosi. Persendian juga dapat
mengalami dislokasi dan flasid secara total.
4. Pantau TTV sebelum dan sesudah latihan.
5. Rujuk ke bagian fisioterapi.
6. Berikan obat sesuai indikasi:
- Nerfeco 3x500mg PO.
- Dexametason 3x10 mg IV
- Ranitidin 2x30mg IV
- Imuran 3x1tab PO

50
BAB IV
PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN
Pada pengkajian yang dilakukan kepada Tn. G 45 tahun didapatkan
keluhan utama tangan kesemutan. Selain klien merasakan kesemutan pada
anggota gerak terutama tangan, klien juga mengeluh kaki tidak bisa
digerakkan dan sudah 4 hari tidak BAB serta perut terasa mulas.
Tn. G belum pernah mengalami serangan ini sebelumnya, ini adalah kali
pertama Tn. G masuk rumah sakit karena keluhan seperti ini. Tn. G dirawat di
ruang B1 saraf RS Permata, pada tanggal 24 Maret 2009. Dari hasil
pemeriksaan diperoleh RR 20 kali/menit, TTV : TD 130/90 mmHg, Nadi 86
kali/menit, suhu 36,7 ºC, hasil lumbal phungsi menunjukkan peningkatan
konsentrasi protein dan jumlah sel normal.
Selama 1 hari perawatan klien diobservasi dan dilakukan pemeriksaan
pada anggota geraknya. Klien sudah 4 hari tidak bisa BAB. Bising usus 7 kali/
menit, perut teraba keras, teraba masa feses di kolon desendens tapi tidak ada
nyeri tekan. Pada pemeriksaan neurologi ditemukan kesadaran klien
composmentis, GCS E4V6M5 = 15, terdapat tetraparesis flaksid dengan
kekuatan otot : inf 3/3, sup 1/1, tonus menurun, refleks tendo menurun dan
refleks patologi negatif. Gangguan sensorik ditemukan rasa baal pada empat
ekstrimitas dan nyeri saat sendi digerakkan. Hasil pemeriksaan penunjang
ditemukan pada lumbal phungsi menunjukkan peningkatan konsentrasi protein
dan jumlah sel masih normal. Atas dasar penemuan itu ditegakkan diagnosis
Guillain Barre Syndrome (GBS) di mana GBS terjadi kelemahan flasid dan
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun di mana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Namun penyebab pada GBS
Tn. G tidak diketahui.
Manifestasi klinis GBS terjadi kelumpuhan otot-otot ekstremitas,
sebagian besar dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenden ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-

51
kadang juga bisa ke empat anggota gerak dikenai secara serentak. Namun
pada Tn. G baru menyerang kesemutan pada tangan dan kesulitan bergerak
pada kaki. Selain itu penderita juga mengalami gangguan sensibilitas dan
fungsi otonom (2). Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan defekasi pada
Tn. G. Tidak ditemukan sinus takikardi atau sinus bradikardi. Gangguan saraf
cranial juga tidak ditemukan. Tidak ada kelumpuhan otot-otot muka (N.VII),
diplopia (N.IV atau N.III), sukar menelan, disfonia (N.IX dan N.X).
Komplikasi gagal nafas juga tidak terjadi.

B. ANALISA DATA
Dari data pengkajian yang diperoleh ditemukan 2 diagnosa keperawatan
aktual yaitu konstipasi berhubungan dengan imobilitas, yang didukung dengan
data fokus klien mengatakan tidak dapat BAB selama 4 hari, kaki tidak bisa
bergerak, BU 7. Diagnosa keperawatan kedua yang muncul pada Tn.G adalah
kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
dengan data fokus klien mengatakan tangan kesemutan dan kakinya tidak bisa
digerakkan. Aktifitas bathing, dressing, toileting, transfering harus dibantu,
namun pada continance pasien mampu melaksanakan sendiri. Data fokus yang
dituliskan sudah mendukung diagnosa keperawatan.

C. PRIORITAS MASALAH
Dari masalah keperawatan yang ditemukan, masalah konstipasi menjadi
prioritas utama yang harus segera diatasi karena bila tidak segera diatasi
konstipasi akan menggaggu kenyamanan klien dan semakin berat bisa
menimbulkan komplikasi sepertri ileus paralitik dan kanker kolon. Kerusakan
mobilitas fisik menjadi prioritas kedua karena penatalaksanaan immobilitas
memerlukan waktu yang sangat lama sehingga tidak mungkin mengatasi
mobilitas dahulu baru mengatasi konstipasi yang membutuhkan penanganan
segera.

D. RENCANA KEPERAWATAN

52
Diagnosa pertama, rencana keperawatan bertujuan untuk
mempertahankan pola eliminasi tanpa komplikasi yang ditunjukkan dengan
tidak ada distensi abdomen karena penumpukan feses, tidak ada laporan nyeri
saat BAB, klien BAB minimal 3 hari sekali dengan alami atau bantuan.
Intervensi yang diberikan, antara lain :
1. Auskultasi bising usus, catat ada atau tidaknya perubahan bising usus.
2. Catat adanya distensi abdomen, nyeri tekan (otot abdomen yang lemas)
untuk menunjukkan ada tidaknya masa feses.
3. Berikan perubahan posisi secara teratur sesuai batas toleransi klien untuk
meningkatkan motilitas usus.
4. Tingkatkan diet makanan berserat, minum minimal 2000 cc/hari.
5. Beri obat supositoria/pelembek feses/ huknah glycerin 10 cc.

Diagnosa kedua, tujuan yang diharapkan adalah klien dapat


mempertahankan fungsi otot tanpa komplikasi yang ditunjukkan dengan
kekuatan otot sup 3/3, inf 1/1, tidak ada laporan atrofi otot dan atau trombosis
vena.
Intervensi yang diberikan yaitu:
1. Kaji kekuatan motorik/ kemampuan secara fungsional dengan
menggunakan skala 0 -5. Lakukan pengkajian secara teratur dan
bandingkan nilai dasarnya untuk menentukan perkembangan/ munculnya
tanda yang menghambat tercapainya tujuan.
2. Berikan pasien posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman, Lakukan
perubahan posisi (terlentang, semi fowler, miring ke kiri/kanan) secara
teratur sesuai kebutuhan individual.
3. Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal untuk mempertahankan
ekstrimitas dalam posisi fisiologis, mencegah kontraktur dan kehilangan
fungsi sendi.
4. Lakukan latihan rentang gerak pasif. Hindari latihan aktif selama fase
akut. Berikan sesuai toleransi individu untuk menstimulasi sirkulasi,
meningkatkan tonus otot, dan meningkatkan mobilisasi sendi. Latihan

53
yang dipaksakan dapat menimbulkan gejala/ regresi fisiologis dan emosi.
Persendian juga dapat mengalami dislokasi dan flasid secara total.
5. Pantau TTV sebelum dan sesudah latihan.
6. Rujuk ke bagian fisioterapi.
7. Berikan obat sesuai indikasi :
- Nerfeco 3x500mg PO.
- Dexametason 3x1amp IV
- Ranitidin 2x30mg IV
- Imuran 3x1tab PO

Ketercapaian tujuan disesuaikan dengan kemampuan perawat selama


5 hari. Dalam waktu tersebut kekuatan otot diharapkan dapat
dipertahankan/ tidak menurun. Uraian intervensi yang direncanakan telah
mendukung tercapainya tujuan dan dapat dilakukan oleh perawat baik
secara kolaborasi maupun mandiri. Perubahan posisi bertujuan untuk
mencegah komplikai seperti dekubitus. Latihan rentang gerak untuk
mencegah atrofi otot dan kekakuan sendi. Hal ini disesuaikan dengan
kondisi klien karena latihan yang dipaksakan dapat mengakibatkan
demielinisasi.

54
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan
sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan.
Masalah utama yang muncul pada Tn G adalah tangan kesemutan dan
kaki tidak dapat digerakkan yang memerlukan penatalaksanaan khususnya
latihan rentang gerak pasif untuk menghindari atrofi otot, meningkatkan
sirkulasi, dan mencegah kontraktur. Tindakan perlu dilakukan secara rutin dan
kontinu, mengingat GBS memerlukan waktu yang lama dalam
penyembuhannya.

B. SARAN
1. Keilmuan
Kelumpuhan pada penderita GBS memerlukan penatalaksanaaan yang
baik untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosa, salah
satunya latihan gerak pasif. Perlu adanya penelitian tentang efektivitas
latihan gerak pada GBS.
2. Perawat
Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah
pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada

55
klien dengan GBS terutama tentang perjalanan penyakit dan
penatalaksanaannya. Penderita GBS memerlukan perawatan yang baik
untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah komplikasi. Kelumpuhan
pada GBS memerlukan latihan gerak pasif yang sebaiknya dilakukan
sesuai batas toleransi klien untuk mencegah kontraktur dan paralisis lebih
lanjut. Keterlibatan keluarga dalam intervensi hendaknya ditingkatkan
sehingga tujuan yang ingin dicapai klien juga ikut benar-benar berperan
dan berusaha mencapai tujuan yang direncanakan.
3. Klien dan keluarga
Klien dan keluarga hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemberian
intervensi yang direncanakan sebagai upaya penyembuhan serta
bekerjasama mematuhi terapi yang diberikan. Semangat klien untuk
sembuh akan membantu keberhasilan intervensi.

56
PATHWAY
Infeksi virus/ bakteri

Vaksinasi

Penyakit sistemik
Merangsang reaksi kekebalan sekunder pada saraf tepi
Pembedahan/anestesi
(aktivasi limfosit T dan makrofag)

Lampiran
Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo & epineural
Makrofag mensekresi protease
Penimbunan komplek antigen, antibody pada pembuluh darah saraf tepi

Demyelinisasi akut saraf perifer

≠ transimisi impuls saraf

N. kranial Fungsi motorik Fungsi Fungsi


sensorik otonom

N III, IV & N VII, IX, X Panalisis Paralisis otot


diafragma & Penekanan kerusakan saraf
N VI & N XII
otot nafas saraf pada simpatis &
gesekan parasimpatis
Penurunan
Diplopia gangguan reflek kekuatan otot
gag/ menelan Penurunan
pengembangan nyeri Hipotensi/ Kerusakan Kerusakan
paru rangsang rangsang
gg. hipertensi
Intake Kerusakan berkemih defeksi
penglihatan nutrisi mobilitas
Takikardi/
kurang Takipnea/ fisik
bradikardi
dispnea
Retensi Gangguan
Perubahan diaphoresis urin eliminasi
Risti
jatuh/ nutrisi Resti cidera fekal
cidera (kurang dari Pola nafas (Kontipasi/
kebutuhan tidak efektif Defisit diare)
tubuh ) perawatan
diri
Hipoksemia

Acidosis
respiratorik

Gagal nafas 57

Kematian
DAFTAR PUSTAKA

1. http://medlinux.blogspot.com/2007/10/sindroma-guillain-barre.html. 22
November 08. (25 Maret 2009).

2. Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre.


http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. FK
USU. (25 Maret 2009).

3. Haflan, Yulius. Lumpuh akibat Sindrom Guillain Barre.


http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=4111.23 Februari
08. (25 Maret 2009).

4. Yumizone. Penatalaksanaan GBS.


http://guillainbarresyndrom.blogspot.com.12 Agustus 2008. (25 Maret
2009).

5. Hudak, Carolyn M dan Barbara M Gallo. Keperawatan Kritis: Pendekatan


Holistik. Jakarta: EGC. 1999.

58
6. Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC. 2001.

7. Doengoes, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta:
EGC. 1999.

8. Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: EGC. 2000.

9. Nugroho, Dito. Jurus Ampuh Mengenali SGB.


www.kabarindonesia.com. Maret, 2009.

59

Anda mungkin juga menyukai