1. Intan Puspita S
2. Muhammad Faisal
3. Mutiara Khairunnisa
4. Nindi Dwi Yuliana
5. Nony Nabila P.N
6. Puja Julianturi
7. Via Monica
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjakan kepada Tuhan yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Filariasis’’. Penyusunan
makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah Keperawatan Medical
Bedah 1 yang nantinya dapat digunakan mahasiswa untuk menambah
wawasan dan pengetahuannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Filariasis atau yang dikenal dengan penyakit kaki gajah mulai ramai
diberitakan sejak akhir tahun 2009, akibat terjadinya kematian pada beberapa
orang. Sebenarnya penyakit ini sudah mulai dikenal sejak 1500 tahun oleh
masyarakat, dan mulai diselidik lebih mendalam ditahun 1800 untuk
mengetahui penyebaran, gejala serta upaya mengatasinya. Baru ditahun 1970,
obat yang lebih tepat untuk mengobati filarial ditemukan. Rubrik ini berusaha
menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi dan mengapa penanggulangan
Penyakit Kaki Gajah harus segera dilaksanakan. Penyakit filariasis yang
disebabkan oleh cacing khusus cukup banyak ditemui di negeri ini dan cacing
yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori,
Penelitian di Indonesia menemukan bahwa cacing jenis Brugia dan Wuchereria
merupakan jenis terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara cacing
jenis Brugia timori hanya didapatkan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di
pulau Timor. Di dunia, penyakit ini diperkirakan mengenai sekitar 115 juta
manusia, terutama di Asia Pasifik, Afrika, Amerika Selatan dan kepulauan
Karibia. Penularan cacing Filaria terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas
1
subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Indonesia sebagian
besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan nyamuk Culex, nyamuk
Aedes dan pada jenis nyamuk Anopheles. Nyamuk Culex juga biasanya
ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan Nyamuk Aedes dan Anopheles
dapat ditemukan di daerah-daerah rural. (riyanto,harun.2010)
2
mengetahui apa itu filariasis, serta hal-hal yang terkait dengannya. Berdasarkan
paparan dari fakta inilah maka kami selaku penulis tertarik untuk membahas
kasus mengenai penyakit filariasis ini dan sebagai pemenuhan tugas pada blok
sistem imun dan hematologi. (riyanto, harun.2005)
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
nyamuk, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening. Sampai saat ini
filariasis limfatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
utama (Nuchprayoon, 2009) karena berhubungan dengan kemiskinan dan
merupakan penyebab kecacatan di daerah tropis dan subtropis (Supali et al.,
2006). Filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori, merupakan penyakit yang ditularkan oleh
nyamuk, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening. Sampai saat ini
filariasis limfatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
utama (Nuchprayoon, 2009) karena berhubungan dengan kemiskinan dan
merupakan penyebab kecacatan di daerah tropis dan subtropis (Supali et al.,
2006).
2.2 Etilogi
1. Hospes
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi
bagi orang lain yang rentan. Biasanya pendatang ke daerah endemis lebih
rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk
asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena
lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala
penyakit lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.
2. Hospes Reservoar
Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi
untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah
kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin
juga terkena infeksi.
3. Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis,
tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah
perkotaan di tularkan oleh Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya
air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan dapat dituiarkan
oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya W.bancrofti ditularkan
terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki
5
binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai
vektor : An.Koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.Kochi,
W.bancrofti didaerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti
An.subpictus di daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex, Aides pernah
juga ditemukan sebagai vektor. B.malayi yang hidup pada manusia dan
hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies mansonia seperti
Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang biak
di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan lain-lain. B.malayi
yang periodik ditularkan oleh An.Barbirostris yang memakai sawah sebagai
tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori, spesies yang
ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan di
daerah NTT dan Timor-Timor, ditularkan oleh An.barbirostris yang
berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di darah
pedalarnan.
4. Agent
Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu (1)
W.bancrofti; (2) B.malayi; (3) B.timori; (4) Loa loa; (5) Onchocerca
volvulus; (6) Acanthocheilonema perstants; (7) Mansonella azzardi. Yang
terpenting ada tiga spesies, yaitu W.bancrofti, B.malayi, dan B timori.
Cacing ini habitatnya dalam sistern peredaran darah, limpha, otot, jaringan
ikat atau rongga serosa. Cacing dewasa merupakan cacing yang langsing
seperti benang berwarna putih kekuningan, panjangnya 2 - 70 cm, cacing
betina panjangnya lebih kurang dua kali cacing jantan. Biasanya tidak
mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana, rongga mulut tidak nyata.
Esofagus berbentuk seperti tabung, tanpa bulbus esofagus, biasanya bagian
anterior berotot sedangkan bagian posterior berkelenjar. Filaria
membutuhkan insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor dari
penyakit filariasis W.bancrofti dan B.malayi. Jumlah spesies Anopheles,
Aedes, Culex, dan Mansonia cukup banyak, tetapi kebanyakan dari spesies
tersebut tidak penting sebagai vektor alami.
6
2.3 Epidemiologi
Penyakit Filariasisi terutama ditemukan didaerah Khatulistiwa dan
merupakan masalah didaerah dataran rendah kadang-kadang dapat juga
ditemukan daerah bukit yang terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih
banyak ditemukan didaerah pedesaan. Didaerah kota hanya w.bancrofti yang
telah ditemukan seperti di kota Jakarta, Tanggerang, Pekalongan dan
Seamarang dan mungkin dikota-kota lainnya.
7
kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan
dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
a. Masa prepaten
b. Masa inkubasi
3. Gejala menahun
8
2.5 Pencegahan dan Penanganan Medis dan Keperawatan
1. Upaya Pencegahan Filariasis
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan
nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan
kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk,
menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk,
menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian
berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-
filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko
tinggi terutama di daerah endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang
paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan
cara 3M.
2. Upaya Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah
endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC).
DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan
jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya obat yang efektif,
aman, dan relatif murah. Untuk filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis
yang dianjurkan 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk
filariasis akibat Brugia malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5
mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah
demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan
filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori, efek
samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya
dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam waktu
yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan dengan dosis
tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun.
Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Obat lain yang
juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik
dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda
dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang
ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC. Terapi suportif berupa pemijatan
9
juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan antibiotika,
khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga
dilakukan pembedahan.
3. Upaya Rehabilitasi Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh
total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya,
beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti
sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan
dengan jalan operasi.
10
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kami berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan penulis juga dapat mengetahui tentang penyakit filariasis.
11
DAFTAR PUSTAKA
Anne Lanham, Lillian. (2013). “The Curse of Lymphatic Filariasis: Would the
Continual Use of Diethylcarbamazine Eliminate this Scourge in Papua New
Guinea?”. Journal of Discipline of Public Health, School of Medicine,
Faculty of Health Sciences, Flinders University, Adelaide, Australia. 1 (1), 1-
8.
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/A-F/Filariasi/body Filariasis
Ariska, B.M. (2011). “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi
Cacing Askariasis Lumbricoides pada Murid SDN 201/IV di Kelurahan
Simpang IV Sipin Kota Jambi”. Skripsi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 1-5.
Ferlianti, R., Supali, T. dan Wibowo, H. (2012). “Optimalisasi Real Time PCR
Untuk Diagnosis Filariasis Bancrofti pada Sediaan Hapus Darah Tebal”.
Jurnal Kedokteran YARSI Jakarta. 20(1), 14-22.
Juriastuti, P., Kartika, M. dan Djaja, I. M. (2010). “Faktor Risiko Kejadian Filariasis
di Kelurahan Jati Sampurna”. Jurnal Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 16424,
Indonesia. 14(1), 31-36.
12
Kusnoto. et al. (2014). Helmintologi Kedokteran Hewan. Sidoarjo: Zifatama
Publisher.
Schmidt, G.D. dan Roberts, L.S. 2000. Foundation of Parasitology, Sixth Ed. USA:
McGraw-Hill Higher Education
13