Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

ASUHAN KEPERAWATAN FILARIASIS DAN LEPTOSIROSIS

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

Hardiyanti Yunus C12116318


Fiirdah Mansyur C12116006
Sion Rati C12216021
Trivosa Rombe C12116503
Nur Islami C12116305
Alim Nur Pattaah C12116523

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatulahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat-Nya kami dapat
menyelasaikan makalah penyakit tropis yang khususnya asuhan keperawatan pada
penyakit tropis khususnya filariasis dan leptosirosis. kami tahu makalah ini masih
memeliki banyak kekerungan, tapi kami harap makalah ini dapat digunakan mahasiswa
dan bagi yang membacanya dapat mengetahui dan memahami konsep trauma dan luka
serta dalam manajemen jenis-jenis luka.

Semoga makalah ini dapat berguna, dan diharapkan saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat membuat makalah ini, menjadi lebih baik dan mendekati kesempurnaan.
Terima kasih.

Wassalamu alaikum warahmatulahi wabarakatuh

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................... 4
C. TUJUAN .............................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
A. FILARIASIS ........................................................................................................................ 6
B. LEPTOSPIROSIS .............................................................................................................. 22
BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................ 38
A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 38
B. SARAN .............................................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 39

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di Indonesia, gambaran klinis Leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van
der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedangkan isolasinya dilakukan oleh Vervoot
pada tahun 1922. Di berbagai daerah di tanaha air, suda berhasil di isolasi berbagai
serovar, antara lain Leptospira bataviae, L. Javanica, L. Semaranga, L.
Icterohaemorhagiae, L. Canicola dari Jakarta, Ambarawa, Riau, Bangka dan Bogor
(Kunoli, 2013).Di Cina penyakit ini disebut sebagai penyakit akibat pekerjaan
(occupatinal disease) karna banyak menyerang para petani. Di Jepang penyakit ini
disebut dengan penyakit ‘demam musim gugur’. Penyakit ini juga banyak ditemukan
di Rusia, Ingris, Argentina dan Australia.
Filariasis sadalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematode
yang tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang mengakibatkan kematian,
tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik.
Penyakit ini jarang terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-
than kemudian setelah infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena sumbatan
microfilaria pada pembuluh linfe yang biasanya terjadi pada uasia diatas 30 tahun
setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, filariasis sering juga
disebut penyakit kaki gajah. Akibat paling fatal bagi pederita adalah kecacatan
permanen yang sangat menggangu produktivitas.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan dengan filariasis?
2. Bagaimana epidemiologi filariasis?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya filariasis?
4. Bagaimana pencegahan dan pengobatan filiriasis?
5. Bagaimana asuhan keperawatan bagi penderita filariasis?
6. Apa yang dimaksud dengan leptospirosis?
7. Bagaimana epidemiologi leptospirosis?
8. Bagaimana patofisiologi terjadinya leptospirosis?

4
9. Bagaimana pencegahan dan pengobatan leptospirosis?
10. Bagaimana asuhan keperawatan bagi penderita leptospirosis

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian penyakit filariasis
2. Mengetahui epidemiologi kasus filariasis
3. Memahami patofisiologi terjadinya filariasis
4. Mengetahui dan memahami pencegahan dan pengobatan filariasis.
5. Memahami asuhan keperawatan yang harus diberikan penderita filariasis
6. Mengetahui pengertian leptospirosis
7. Mengetahui epidemiologi leptospirosis
8. Memahami patofisiologi terjadinya leptospirosis
9. Memahami pencegahan dan pengobatan leptospirosis
10. Memahami asuhan keperawatan bagi penderita leptospirosis.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. FILARIASIS
1. Epidemiologi filariasis.

Infeksi parasit ini tersebar di daerah tropis dan subtropics seperti Afrika,
Asia, Pasifik Selatan, dan Amerika Selatan. Telah diketahui lebih dari 200 spesies
filarial. Dari 200 spesies tersebut hanya sedikit yang menyerang manusia.
Masyarakat yang beresiko terserang adalah mereka yang bekerja pada daerah
yang terkena paparan menahun oleh nyamuk yang mengandung larva.

Data WHO menunjukkan bahwa Filariasis telah menginfeksi 120 juta


penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis
dan beberapa daerah subtropis. Di Regional South-East Asia (SEAR) terdapat 3
jenis parasit Filariasis, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori
yang terdapat di 9 negara, yaitu Banglades, India, Indonesia, Maldive, Myanmar,
Nepal, Sri Langka, Thailand, dan Timor Leste. Penanggulangan Filariasis
dilaksanakan berbasis wilayah dengan menerapkan manajemen lingkungan,
pengendalian vektor, menyembuhkan atau merawat penderita, memberikan obat
terhadap orang-orang sehat yang terinfeksi cacing filaria dan sebagai sumber
penularan Filariasis serta pemberian obat pencegahan secara massal
(Moeloek,2014).

2. PENGERTIAN

Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit


yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali.
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit raenular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,
Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening
dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan
saluran kelenjar getah bening (Masrizal,2013).

6
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua yang paling melernahkan
yang dikenal di dunia. Penyakit filariasis lymfatik merupakan penyebab kecacatan
menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi parasit yang juga tersebar di Indonesia.
Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan
produktivitas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik. Penyakit ini jarang
terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul betahun-tahun kemudian
setelah infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena sumbatan microfilaria
pada pembuluh darah limfe yang biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun ke
atas setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun. Penyakit ini bersifat menahun
(kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan, dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan
maupun laki-laki. Oleh karena itu, filariasis sering juga disebut penyakit kaki
gajah. Akibat paling fatal bagi penderita adalah kecacatan permanen yang sangat
mengganggu produktivitas (Widoyono, 2011).

3. ETIOLOGI

Beberapa spesies filarial yang menyerang manusia di antaranya adalah


Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, dan Onchhocerca volvulus.
W. bancrofti dan B timori banyak ditemukan di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
Afrika, sedangkan O. vulvulus banyak ditemukan di Afrika (Widoyono,2011). Di
Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab filariasis limfatik pada manusia
yaitu:

7
a. Wuchereria bancrofti
Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi,
Pekalongan dan sekitarnya. Yang ditularkan oleh nyamuk Culex, dapat ditemukan
di dalam darah tepi pada malam hari. Sedangkan Whucheriria bancrofti yang
ditemukan dipedesaan dengan endemis tinggi terutama di Irian Jaya (Papua) yang
ditularkan melalui Anopheles, Culex dan Aedes. Pada Wuchereria bancrofti,
mikrofilarianya berukuran ±250µ, cacing betina dewasa berukuran panjang 65 –
100 mm dan cacing jantan dewasa berukuran panjang ±40 mm. Di ujung daerah
kepala membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir (Oral stylet)
Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang. Jika terlalu banyak jumlahnya
cacing yang berada dipembuluh darah maka dapat menyumbat aliran limfa
sehingga kaki menjadi membengkak.
Pada saat dewasa, cacing ini menghasilkan telur kemudian akan menetas
menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. Selanjutnya,
mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah
kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva
tersebut dapat menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada
nyamuk, kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat
penusuk, nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini.

Gambar 2. Wuchereria bancrofti


b. Brugia malayi
Cacing dewasa umumnya mirip dengan Wuchereria bancrofti, hanya saja
cacing B. malayi lebih kecil. Panjang cacing betina beriksar 43 hingga 55 mm,
sedangkan panjang cacing jantan berkisar 13 hingga 23 mm. Cacing dewasa dapat

8
memproduksi mikrofilaria di dalam tubuh manusia. Mikrofilaria tersebut
memiliki lebar berkisar 5 hingga 7 µm dan panjang berkisar 130 hingga 170 µm.
Vektor yang umum berperan dalam penyebaran B. malayi adalah nyamuk
yang berasal dari genera Mansonia dan Aedes. Ketika nyamuk menghisap darah
manusia, nyamuk yang terinfeksi B.malayi menyelipkan larva B.malayi ke dalam
inang manusia. Dalam tubuh manusia, larva B. malayi berkembang menjadi
cacing dewasa yang biasanya menetap di dalam pembuluh limfa. Cacing dewasa
dapat memproduksi mikrofilaria yang dapat menyebar hingga mencapai darah
tepi.
Ketika nyamuk menggigit manusia yang telah terinfeksi, mikrofilaria
dapat terhisap bersamaan dengan darah kedalam perut nyamuk. Setelah masuk
kedalam tubuh nyamuk, mikrofilaria meninggalkan selubungnya. Mikrofilaria
kemudian berenang melalui dinding proventikulus dan porsi kardiak (bagian
dalam perut nyamuk), hingga mencapai otot toraksis (otot dada). Di dalam otot
toraksis, larva filaria berkembang menjadi larva tahap akhir. Larva tahap akhir
berenang melalui homocoel (rongga tubuh) hingga sampai pada prosbosis
(sungut) nyamuk. Ketika tiba di dalam probosis nyamuk, cacing tersebut siap
menginfeksi inang manusia yang selanjutnya infeksi B.malayi terbatas pada
wilayah Asia. Terdapat dua bentuk B. malayi yang dapat dibedakan bedasarkan
periodisitas mikrofilarianya pada darah tepi. Bentuk yang pertama, bentuk
periodis nokturnal, hanya dapat ditemukan pada darah tepi pada malam hari.
Bentuk yang kedua, bentuk subperiodis, dapat ditemukan pada darah tepi setiap
saat, hanya saja jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan di malam hari.

9
Gambar 3. Brugia malayi
c. Brugia timori.
Pada kedua jenis kelamin, ujung anteriornya melebar pada kepalanya yang
membulat ekornya berbentuk seperti pita dan agak bundar pada tiap sisi terdapat 4
papil sirkum oral yang teratur pada bagian luar dan bagian dalam membentuk
lingkaran, esophagus panjangnya lebih kurang 1 mm dengan ujung yang kurang jelas
diantara otot dan kelenjar.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan
microfilaria di jumpai didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa
mirip bentuknya dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing
betina Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing jantan 23 cm. Brugia timori
betina panjang badannya sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya dapat mencapai
23 mm. Mikrofilaria Brugia mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 260
mikron pada B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas mikrofilaria B.malayi
adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan mempunyai dua inti terminal, sehingga
mudah dibedakan dari mikrofilaria W. bancrofti. 30 Brugia ada yang zoonotik, tetapi
ada yang hanya hidup pada manusia.
Pada B.malayi bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic nocturnal
subperiodic, atau non periodic, B. timori bersifat periodic nokturna. Brugia timori
ditularkan oleh Anopheles didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang terisap
waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding lambung dan
berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif, kemudian

10
berpindah ke probosis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif akan
ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif
tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami
perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa.

Gambar 4 . brugia malayi


4. Patofisiologi Penularan Filariasis
1. Proses dan Faktor Penularan Filariasis Sebagaimana dibahas
sebelumnya, penularan Filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu adanya :
a. sumber penularan, baik manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya;
b. vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan Filariasis; dan
c. manusia yang rentan terhadap Filariasis.

11
Diatas merupakan gmabar siklus W. Bancrofti dan B. Malayi yang
menyebabkan filariasis.
1. Filaria betina dewasa dalam pembuluh limfe manusia.
2. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilaria per hari kedalam darah
3. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilaria pada saat mengigit manusia
4. Mikrofilia menembus saluran pencernaan nyamuk, dan berimigrasi ke otot
torak.
5. 6, 7. Larva tersebut akan berkembang dalam tubuh nyamuk
8. Ketika nyamuk menggigit manusia, larva infektif akan masuk ke dalam tubuh
manusia.

Larva akan berimigrasi ke saluran ke saluran limfe dan berkembang menjadi


bentuk dewasa. Mikrofilia dapat ditemukan di darah tepi setelah 6 bulan -1 tahun
setelah terinfeksi dan bisa bertahan 5-10 tahun. Vektor utama filaria adalah
nyamuk anopheles, culex, mansonia, dan aedes.

a. Faktor Cara Nyamuk Menghisap Darah Manusia


Seseorang dapat tertular Filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif. Proses perpindahan cacing filaria dari nyamuk ke manusia
adalah sebagai berikut:
1) Nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3- L3)
menggigit manusia,
2) Larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar
lubang gigitan nyamuk.
3) Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui
lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.
Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, proses
terjadinya perpindahan larva L3 dari nyamuk ke manusia tersebut tidak mudah,
sehingga rantai penularan cacing filaria pada suatu daerah tertentu juga tidak
mudah.

12
b. Faktor Daur Hidup Cacing Filaria Dalam Tubuh Manusia

Rantai penularan Filariasis pada suatu daerah juga dipengaruhi oleh


perkembangan larva L3 dalam tubuh manusia menjadi cacing filaria dewasa, lama
hidup dan kemampuan memproduksi anak cacing filaria (mikrofilaria) yang dapat
menular (infektif).

1) Makrofilaria dan Mikrofilaria Larva L3 berkembang menjadi cacing


dewasa (makrofilaria), kemudian cacing dewasa ini akan menghasilkan ribuan
anak cacing (mikrofilaria) perhari. Cacing dewasa tidak menular, tetapi anak
cacing yang berada di peredaran darah tepi akan terhisap oleh nyamuk yang
menggigitnya dan kemudian ditularkan kembali pada orang lain.
2) Masa Perkembangan Makrofilaria Ketika larva L3 masuk dalam tubuh
manusia memerlukan periode waktu lama untuk berkembang menjadi cacing
dewasa. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu lebih dari 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan (6-12 bulan).
3) Lama Hidup Cacing Dewasa Dalam Tubuh Manusia Cacing dewasa
(makrofilaria) yang ada dalam tubuh manusia mampu bertahan hidup selama 5-7
tahun. Selama hidup yang lama tersebut, dapat menghasikan ribuan mikroflaria
setiap hari, sehingga dapat menjadi sumber penularan dalam periode waktu yang
sangat panjang. 4) Waktu-waktu Penularan Mikroflaria Pada Nyamuk
Mikrofilaria dapat terhisap oleh nyamuk yang mengigit manusia (menular pada
nyamuk), jika mikrofilaria berada di darah tepi.
Oleh karena itu, di daerah dimana mikrofilaria bersifat periodik nokturna,
yaitu mikrofilaria keluar memasuki peredaran darah tepi pada malam hari, dan
bergerak ke organ-organ dalam pada siang hari, mikrofilaria menular pada
nyamuk yang aktif pada malam hari. Sementara di daerah dengan microfilaria
subperiodik nokturna dan non periodik, penularan dapat terjadi pada siang dan
malam hari (Moeloek, 2014).

13
5. TANDA DAN GEJALA
Penderita Filariasis bisa tidak menunjukkan gejala klinis, hal ini
disebabkan oleh kadar microfilaria yang terlalu sedikit dan tidak terdeteksi oleh
pemeriksaan laboratorium atau karena memang tidak terdapat microfilaria dalam
darah.
Apabila menimbulkan gejala, maka yang sering ditemukan adalah gejala
akibat manifestasi perjalanan kronik penyakit. Gejala penyakit pada tahap awal
(fase akut) bersifat tidak khas seperti demam selama 3-4 hari yang dapat hilang
tanpa diobati, demam berulang lagi 1-2 bulan kemudian, atau gejala sering timbul
bila pasien bekerja terlalu berat. Biasanya dapat timbul benjolan dan terasa nyeri
pada liat paha atau ketiak dengan tidak ada luka di badan. Dapat teraba garis urat
dan berwarna merah, serta terasa sakit dan benjolan menuju ke arah ujung kaki
atau tangan (Widoyono,2011). Gejala terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun, mulai dari yang ringan sampai berat. Cacing yang menyebabkan fibrosis
dan penyumbatan pembuluh limfe. Penyumbatan ini mengakitfkan pembengkakan
pada daerah yang bersangkutan.
Tanda klinis yang sering ditemukan yaitu pembengkakan skrotum
(hidrokel) dan pembengkakan anggota gerak terutama kaki (elephantiasis).
Diagnose ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan ditemukannya
microfilaria dalam darah (Widoyono,2011).

6. PENGOBATAN
Obat filariasis yang bisa diberikan adalah :
a. Dietilkarbamzin (DEC)
1) Indikasi
a) DEC merupakan obat Filariasis terpilih terhadap mikrofilaria
b) DEC bersama Albendazole digunakan untuk mengontrol limfatik
Filariasis, dapat menurunkan mikrofilaria dengan baik selama setahun.
Pemberian sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut bertujuan
untuk mempertahankan kadar mikrofilaria dalam darah tetap rendah

14
sehingga tidak memungkinkan terjadinya penularan. Periode pengobatan
ini diperhitungkan dengan masa subur cacing dewasa.
2) Mekanisme Kerja
a) Terhadap microfilaria:
1. Melumpuhkan otot mikrofilaria, sehingga tidak dapat bertahan
di tempat hidupnya.
2. Mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih
mudah dihancurkan oleh sistim pertahanan tubuh.
b) Terhadap makrofilaria (cacing dewasa):
1. Menyebabkan matinya cacing dewasa, tetapi mekanisme belum
jelas.
2. Cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat untuk
memproduksi mikrofilaria selama 9-12 bulan.
3) Dosis Diethylcarbamazine Citrate (DEC) diberikan berdasarkan dosis
umur.
4) Absorbsi dan Ekskresi:
a) Absorbsi dalam saluran cerna terjadi dengan cepat.
b) Dalam plasma kadarnya mencapai puncak dalam 1 - 2 jam sesudah
dosis oral tunggal, dan waktu paruh dalam plasma bervariasi mulai dari
2 - 10 jam.
c) DEC diekskresi melalui saluran urin dalam waktu 48 jam.
b. Ivermectin Mectizan
Hasil fermentasi (1987) dari jamur streptomyces avermitilis ini merupakan
obat terpilih untuk infeksi cacing benang (onchocerciasis). Obat ini berdaya
mengurangi mikrofilia di kulit dan mata dengan efektif.
Efek samping : ringan dan berupa gatal-gatal, ruam kulit dan perasaan pusing.
Tidak dianjurkan bagi wanita hamil
Dosis : di atas 12 tahun dosis tunggal dari 150 mcg/kg minimal 2 jam a.c/p.c.
bila perlu diulang sesudah 6 bulan.
c. Albendazol 400mg dosis tunggal
1) Indikasi

15
a) Albendazole meningkatkan efek DEC dalam membunuh mikrofilaria.
b) Albendazole dapat melemahkan makrofilaria.
c) Albendazole telah luas digunakan sebagai obat cacing usus (cacing
gelang, kremi, cambuk dan tambang).
2) Dosis Albendazole diberikan berdasarkan dosis umur.
3) Perhatian Khusus
a) Tidak boleh diberikan pada pasien sirosis hepatik, anak dibawah dua
tahun dan wanita hamil.
b) Tidak ada interaksi obat yang diketahui(Moeloek,2014).

7. PENCEGAHAN
Ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari
filariasis yaitu:
a. Pengobatan massal
Cara pencegahan penyakit yang paling efektif adalah mencegah gigitan
nyamuk pembawa mikrofilaria. Apabila suatu daerah sebagian besar sudah
terkena penyakit ini, maka pengobatan massal dengan DE, invermectin atau
albendazol dapat diberikan setahun sekali dan sebaiknya dilakukan paling sedikit
selama lima tahun.
b. Pengendalian vector
Kegiatan pengendalian vector adalah pemberantasan tempat
perkembangbiakan nyamuk melalui membersihkan got atau saluran air,
pengaliran air tergenang, dan penebaran bibit ikan pemakan jentik. Kegiatan
lainnya adalah menghindari gigitan nyamuk dengan memasang kelambu,
menggunakan obat nyamuk oles, memasang kasa pada ventilasi udara, dan
menggunakan obat nyamuk bakar serta obat nyamuk semprot.
c. Peran serta masyarakat
Warga masyarakat diharapkan bersedia datang dan mau diperiksa
darahnya pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan darah ; bersedia
minum obar anti-penyakit kaki gajah secara teratur sesuai dengan ketentuan yang

16
diberitahukan oleh petugas; memberitahukan kepada kader atau petugas kesehatan
bila menemukan penderita filariasis; dan bersedia bergotong –royong untuk
memberantas nyamuk dan tempat perkembangbiakan nyamuk (Widoyono,2011).
8. Asuhan Keperawatan.
a. Kasus

Tuan A. berumur 38 tahun masuk ke Rumah Sakit diantar oleh


keluarganya dengan keluhan demam berulang-ulang selama 5 hari, demam akan
hilang bila beristirahat dan demam akan muncul kembali ketika bekerja berat..
Tuan A. mengatakan kakinya yang sakit tampak lebih besar dari yang satunya.
Tuan A. juga mengatakan nyeri bertambah jika kaki yang sakit dibawa bergerak.
Saat pengkajian didapatkan Tuan A. masih mengeluh demam dan wajah Tuan A.
tampak memerah, Saat di tanya Tuan A. merasakan nyeri, panas, dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki kearah ujung kaki dengan skala nyeri 7, nyeri terasa
berulang-ulang, nyeri tekan (+), Tuan A. tampak meringis ketika berjalan. Data
yang didapat ukuran tungkai kaki Tuan A. 30 cm. Dari hasil pemeriksaan TTV
TD :110/60 mmHg, RR: 24x/I, N: 110X/i, S: 38°C. dari hasil pemeriksaan darah
di peroleh data Hb 9,8 gr/dl, Leukosit 9500/mm3. Dari pemeriksaan daerah jari
kaki ditemukan parasit mikrofilaria inti tubuh teratur, ujung ekor runcing dan
tidak berinti dan selubung tubuh transparan. Tuan A. selalu bertanya kepada
perawat tentang penyakit yang dideritanya. Tuan A. juga tampak cemas.

b. Pengkajian
1. Data Subjektif / DS :
a) Tuan A. mengatakan terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal
kaki ke arah ujung kaki.Tuan A. mengatakan kaki nya yang sakit
tampak lebih besar dari yang satu nya
b) Tuan A. mengatakan nyeri bertambah jika kaki yang sakit dibawa
bergerak
c) Tuan A. mengatakan demam berulang selama 5 hari.
d) Demam hilang bila beristirahat dan muncul ketika kembali bekerja
berat.

17
e) Tuan A. mengatakan kakinya yang sakit tampak besar sebelah
f) Tuan A. selalu bertanya kepada perawat tentang penyakit yang
dideritanya.

2. Data objetif / DO :
a) Tuan A. tampak meringis ketika berjalan.
b) Skala nyeri 7
c) nyeri tekan (+)
d) Nadi: 110 x/i, RR 24x/i, TD 110/60 mmHg, Suhu 38°Data yang di
dapat ukuran tungkai kaki Tuan A. 30 cm.
e) Wajah Tuan A. tampak memerah
f) Hasil pemeriksaan darah diperoleh data Hb 9,8 gr/dl, Leukosit
9500/mm3
g) Dari pemeriksaan darah jari kaki ditemukan parasit mikrofilaria inti
tubuh teratur, ujung ekor runcing dan tidak berinti dan selubung tubuh
transparan.
h) Tuan A. tampak cemas.

c. Askep filariasis
Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
Domain 4 1.Toleransi terhadap 1.Manajemen pengobatan :
Kelas 4 aktivitas -tentukan obat apa yang
Kode diagnosis: Dalam 1x8 jam pasien diperlukan , dan kelola
00092 dapat : menurut resep
Intolerasi aktivitas - frekuensi nadi ketika -monitor efektivitas cara
beraktivitas tidak pemberian obat yang sesuai
terganggu -monitor level serum darah
- frekuensi pernafasan -monitor tanda dan gejala
tidak terganggu toksisitas obat

18
- tekanan darah -kaji ulang pasien dan atau
diastolic ketika keluarga secara berkala
beraktivitas tidak mengenai jenis dan jumlah
terganggu obat yang dikonsumsi
-kemudahan dalam 2.Terapi aktivitas :
melakukan aktivitas -pertimbangkan kemampuan
hidup harian tidak klien dalam berpartisipasi
terganggu melalui aktivitas spesifik
2. Daya Tahan -bantu klien dan keluarga
Dalam 1x4 jam pasien untuk mengidentifikasi
dapat : kelemahan dalam level
- tidak ada kelelahan aktivitas tertentu
- hematocrit tidak -Monitor respon emosi, fisik,
terganggu social, spiritual terhadap
- hemoglobin tidak aktivitas
terganggu -bantu klien dan keluarga
- daya tahan otot tidak untuk memantau
terganggu perkembangan klien terhadap
pencapaian tujuan yang
diharapkan
Domain 12 1. Kontrol nyeri 1. pemberian analgesik :
Kelas 1 Dalam 1x4 jam pasien -tentukan lokasi, karakteristik,
Kode diagnosis : dapat : kualitas dan keparahan nyeri
00132 Nyeri akut -mengenali kapan nyeri sebelum mengobati pasien
terjadi -Cek adanya riwayat alergi
-menggambarkan faktor -monitor tada vital sebelum
penyebab dan sesudah memberikan
-menggunakan tidakan analgesik
pencegahan -Berikan kebutuhan
-menggunakan tindakan kenyamanan dan aktivitas lain
pengurang nyeri yang dapat membantu relaksasi

19
-melaporkan perubahan untuk memfasilitasi penurunan
terhadap gejala nyeri nyeri
pada profesional -berikan analgesik sesuai
kesehatan waktu paruhnya, terutama
-melaporkan nyeri untuk nyeri yang sangat parah
terkontrol -berikan analgesik tambahan
atau pengobatan untk
meningkatkan efek penurunan
nyeri
-dokumentasikan respon
terhadap analgesik dan adanya
efek samping
2. manajemen nyeri :
-lakukan pegkajian nyeri
secara komprehensif
-pastikan perawata analgesik
bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat
-berikan informasi mengenai
nyeri, penyebab nyeri, dan
durasi nyeri
-gunakan tindakan pengontrol
nyeri sebelu nyeri bertambah
berat
-monitor kepuasan pasien
terhadap manajemen nyeri
dalam interval yang spesifik
Domain 11 1.termoregulasi 1.pengaturan suhu :
Kelas 6 Dalam 1x4 jam pasien -monitor suhu paling tidak
Kode diagnosis : dapat : setiap 2 jam sekali
00007 -peningkatan suhu tidak -monitor tekanan darah, nadi,

20
Hipertermi ada respirasi sesuai kebutuhan
-penurunan suhu kulit -monitor suhu dan warna kulit
-hipertermia tidak ada -sesuaikan suhu lingkungan
-perubahan warna kulit untuk kebutuhan pasien
-melaporkan -berikan medikasi yang tepat
kenyamanan suhu untuk mencegah atau
mengontrol menggigil
-Berikan pengobatan
antipiretik sesuai kebutuhan
Domain 5 1.pengetahuan : proses 1.pengajaran : individu
Kelas 4 penyakit -nilai tingkat pengetahuan
Kode diagnose : Dalam 1x1 jam pasien pasien saat itu
00126 dapat : -nilai tigkat pendidikan pasien
Defisien a. mengetahui faktor -tentukan urutan untuk
pengetahuan penyebab dan faktor menyajikan informasi
(Herdman & yang berkontribusi -pilih stratwgi dan metode
Kamitsuru, 2018) -mengetahu faktor belajar yang tepat
resiko -evaluasi prestasi pasien terkait
-mengetahui efek dengan tujuan yang dinyatakan
fisiologis penyakit -pilih metode pengajaran baru
-mengetahui tanda dan jika sebelumnya ternyata tidak
gejala komplikasi efektif
penyakit (Bulechek, Butcher,
(Moorhead, Johnson, Doctherman, & Wagner, 2016)
Maas, & Swanson,
2016)

21
B. LEPTOSPIROSIS
1. Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira.
Penyakit ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorhagic jaudince,
Mud fever, atau Swineherd disease. Adolf Weil pertama kali menjadi peneliti
penyakit ini pada tahun 1886. Ia menemukan bahwa Leptospirosis menyerang
manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta
kerusakan ginjal. Pada tahun 1915 Inada menemukan penyebab Leptrospirosis
yaitu bakteri Spirochaeta icterohemorrhagiae (Widoyono,2011).
Penularan leptospirosis pada manusia terjadi secara kontak langsung
dengan hewan terinfeksi Leptospira atau secara tidak langsung melalui genangan
air yang terkontaminasi urin yang terinfeksi Leptospira . Bakteri ini masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membran mukosa (Kusmiyati dkk,2005)
Di Cina Leptospirosis disebut sebagai penyakit akibat pekerjaan karena
banyak menyerang petani. Di Jepang penyakit ini disebut sebagai penyakit
‘demam musim gugur’. Leptospirosis juga banyak ditemukan di Rusia, Inggris,
Argentina, dan Australia.
Di Indonesia, gambaran klinis Leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh
Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedangkan isolasinya dilakukan oleh
Vervoot pada tahun 1922. Beberapa serovar sudah berhasil diisolasi di berbagai
daerah, antara lain Leptospira bataviae, L. javanica, L.australis, L.semaranga,
L.icterohaemorrhagiae, dan L.canicola dari Jakarta, Ambarawa, Riau, Bangka,
dan Bogor.
2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun
negara maju, di daerah pedesaan dan perkotaan. Suatu penelitian melaporkan
31% anak di daerah perkotaan dan 10% anak dipinggir kota pernah terpapar
leptospiro, yang ditunjukkan dengan adanya antibodi terhadap leptospira.
Di indonesia penyakit ini tersebar di pulau Jawa, Sumatera Selatan, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.

22
KLB terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002) (diperoleh 138 spesimen dengan
44,2% positif), Bekasi (2002), dan Semarang (2003).
Leptospirosis dapat menyerang semua mamalia seperti tikus,anjing,
kucing, landak, sapi, burung dan ikan. Hewan yang terinfeksi dapat tanpa
gejala sampai meninggal. Suatu laporan hasil penelitian tahun 1974 di
Amerika Serikat menyatakan 15-40% anjing terinfeksi, dan penelitian lain
melaporkan 90% tikus terinfeksi leptospira. Hewan-hewan tersebut
merupakan vektor penyakit pada manusia. Manusia merupakan ujung rantai
penularan penyakit ini.
Manusia yang beresiko tertular adalah para pekerja yang berhubungan
denga heawan liar dan peliharaan, seperti peternak, petani, petugas
laboratorium hewan, dan bahkan tentara. Wanita dan anak di perkotaan sering
terinfeksi setelah berenang dan pihak diluar rumah. Orang yang hobi berenang
juga sering terkena penyakit ini.
Angka kematian akibat leptospirosis relatif rendah, tetapi meningkat
dengan bertambahnya usia. Mortalitas bisa mencapai lebih dari 20% jika
disertai ikterus dan kerusakan ginjal. Mortalitas pada penderita yang berusia
lebih dari 51 tahun mencapai 56%.
3. ETIOLOGI
Leptospira termasuk dalam family Trepanometaceae dan dalam ordo
Spirochaeta, adalah bakteri yang berbentuk seperti benang dan dapat
menyebabkan penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira
merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 µm,
disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung bakteri ini
seringkali bengkok dan membentuk kait. Saat ini terdapat sedikitnya 180 serotipe
dan 18 yang sudah teridentifikasi dan hamper setengahnya terdapat di Indonesia.
Karena ukurannya yang sangat kecil, Leptospira hanya dapat dilihat
dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop electron. Leptospira berbentuk
spiral dengan ujung-ujung seperti pengait. Bentuk tersebut menyebabkan.
Leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur, dan berbelok. Bakteri
ini peka terhadap asam. Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan

23
yang fleksibel dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini
adalah lokasi flagelnya, yang terletak diantara membran luar dan lapisan
peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik. Leptospira memiliki dua
flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel.

Gambar: Bakteri Liptospira


Lingkungan yang sesuai untuk hidup Leptospira adalah tanah panas dan
lembab seperti kondisi daerah tropis. Bakteri ini dapat hidup sampai 43 hari pada
tanah yang sesuai dan sampai beberapa minggu dalam air terutama air tawar. Urin
seekor sapi yang terinfeksi dapat mengandung 100 juta Leptospira
(Widoyono,2011).
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh
paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media yang
bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya media Fletch
atau Stuart. Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi
menjadi Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang patogen dan
Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen (saprofit). Sampai saat ini telah
diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada L.interrogans. Serotipe yang paling
besar prevalensinya adalah canicola, grippotyphosa, hardjo,
icterohaemorrhagiae, dan pomona.

4. TANDA DAN GEJALA


Masa inkubasi adalah 7-12 hari dengan rata-rata 10 hari. Setelah masuk ke
dalam tubuh manusia, bakteri akan menuju peredaran darah dan beredar ke
seluruh tubuh hingga dapat menyebabkan kerusakan di mana saja termasuk

24
jantung, otak, dan ginjal. Sebagian besar penyakit ini bersifat subklinis, 90%
penyakit ini tidak akan menyebabkan ikterik dan hanya tipe berat (10%) yang
menyebabkan ikterik (Wei disease).
Manifestasi klinis Leptospirosis terbagi menjadi 3 fase yaitu:
a. Fase pertama (Leptospiremia)
Fase leptospiremia: leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala ditandai
dengan nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama saat
ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare,
bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan
ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria
kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari
ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dan
organ-organ yang terlibat akan membaik. Manifestasi klinik akan berkurang
bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam darah. Fungsi
organ-organ ini akan pulih 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit
lebih berat, demam turun setelah hari ke7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu
demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
b. Fase kedua (imun)
Fase imun berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan titer
antibody IgM, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada
leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling jelas saat fase
ikterik dimana dapat ditemukan purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Conjuntival injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis, gangguan hati dan ginjal akan
mencapai puncaknya pada fase ini. Pada fase ini juga terjadi leptospiuria yang
dapat berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan (Novie,2016).
c. Fase Ketiga (konvalesen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul
kembali dan berlangsung selama 2-4 minggu (Widoyono,2011).

25
5. PATOFISIOLOGI
Penularan, infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut
ini :
a. Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang tercemar bakteri
b. Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi
c. Mengomsumsi makanan yang terkontaminasi.
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang
tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri
leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui
konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh. Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2
hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi
primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan
vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan
kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas leptospira yang penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide
(LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda
dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase
yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain
yang mengandung fosfolipid.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan

26
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak
pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis
tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak
secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis
sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

Bakteri

Kontak pada kulit, selaput lendir, luka erosi dengan air, tanah, lumpur, urin
binatang yang terinfeksi leptospira endoktoksin

Masuk dalam darah dan aliranya.

Leukosistosis Vaskulitis difus Gastrointestinal Leukosit Pretibial fever Reaksi kimia


Neutrofilia di kapiler CSS kinin,
(proses: Hepatomegali Eritematosa bradikin,
fagositosis) Trombositopenia splenomegali Meningitis prostaganding

Perdarahan Mual dan muntah Ruam


demam Epistaksis Ensepalitis makular, Mialgia
sampai hemoptisis makulopapula (nyeri otot)
mengigil hemetemisis Panas,
Melena nyeri
Pendarahan paru kepala
miokarditis Ketidakseimbangan

27
Risiko defisit nutrisi Hambatan
hipertermia cairan mobilitas
fisik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita penyakit
Leptospirosis yaitu pemeriksaan laboratorium terdiri dari: pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.
a. Pemeriksaan mikrobiologik. Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk
dapat dilihat di mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas
dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen
pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.
b. Kultur Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai
di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media
Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat pada
isolasi primer leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam
lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan media dan biasanya tampak
6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel,
sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit.
Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi
organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan sistem BACTEC
460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini, leptospira dideteksi pada
darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari.
c. Inokulasi hewan. Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi
inokulasi intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-
14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ.
d. Serologi Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan

28
pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold
standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu
Microscopic Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme
hidup. Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah
Macroscopic Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination
Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked
immune sorbent assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan
immunoblot. Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula
uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes
leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan di Indonesia
adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral
Flow. Saat ini juga telah dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk
diagnosis leptospirosis. DNA leptospirosis dapat dideteksi dengan metode
PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan spesimen serum,
urin, humor aqueous, cairan serebrospinal, dan jaringan biopsi.
6. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita leptospirosis adalah:
1. Gagal ginjal akut Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau
poliuria dapat timbul 4-10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.
Terjadinya gagal ginjal akut pada penderita leptospirosis melalui 3
mekanisme:
a. Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira Invasi leptospira
menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek
langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen menuju
kapiler peritubuler kemudian menuju jaringan interstitium, tubulus,
dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek
migrasi atau efek endotoksin leptospira.
b. Reaksi imunologi Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya
kompleks imun dalam sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya
electron dence bodies dalam glomerulus, membuktikan adanya proses

29
immune-complex glomerulonephritis dan terjadi tubulo interstitial
nefritis.
c. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain →
iskemia ginjal
d. Hipovolemia dan hipotensi sebagai akibat adanya:
 Intake cairan yang kurang
 Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
 Pelepasan kinin, histamin, serotonin, prostaglandin, semua ini akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
kebocoran albumin dan cairan intravaskuler.
 Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel menyebabkan
permeabilitas sel dan vaskuler meningkat.
e. Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan
menyebabkan vasokonstriksi.
f. Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC)
menyebabkan viskositas darah meningkat.
g. Iskemia ginjal, glomerulonefritis, tubulo interstitial nefritis, dan invasi
kuman menyebabkan terjadinya nekrosis → gagal ginjal akut.
2. Gagal hepar akut. Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan
proliferasi sel Kupfer disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada
leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan
sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi bilirubin
sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada
jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin,
proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intra hepatik.
3. Gangguan respirasi dan perdarahan paru Adanya keterlibatan paru
biasanya ditandai dengan gejala yang bervariasi, diantaranya: batuk,
dispnea, dan hemoptisis sampai dengan Adult Respiratory Distress
Syndrome ( ARDS ) dan Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome (
SPHS ). Paru dapat mengalami perdarahan dimana patogenesisnya belum
diketahui secara pasti. Perdarahan paru terjadi diduga karena masuknya

30
endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan kapiler dan
terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi pada pleura, alveoli, trakeobronkial,
kelainan berupa kongesti septum paru, perdarahn alveoli multifokal, dan
infiltrasi sel mononuklear. Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya
kongesti pada septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal,
esudat fibrin. Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada
penderita leptospirosis.
4. Gangguan kardiovaskuler. Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis
dapat berupa gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis,
endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan
kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk
yang berat berupa gagal jantung kongestif yang fatal. Selama fase
septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk enzim atau antigen
karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan permeabilitas endotel dan
memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler.
5. Pankreatitis akut. Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang
jarang ditemui pada pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena
adanya nekrosis dari sel-sel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira
(acute necrotizing pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut
pada leptospirosis bisa disebabkan karena komplikasi dari gagalnya organ-
organ tubuh yang lain (multiple organ failure), syok septik, dan anemia
berat (severe anemia).
7. PENATALAKSANAAN

Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah


diduga diagnosis leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah onset
penyakit. Umumnya dokter mengobati dengan antibiotik tanpa menunggu
timbulnya penyakit. Uji serologik tidak menjadi positif sampai sekitar seminggu
setelah onset penyakit, dan kultur tidak dapat menjadi positif selama beberapa
minggu. Kesulitan melihat hasil pengobatan ialah bahwa umumnya leptospira
merupakan penyakit self limiting dengan prognosis yang cukup baik
(Novie,2016).

31
Leptospira adalah penyakit yang self-limited dan sulit dikonfirmasi pada
awal infeksi. Secara umum prognosisnya adalah baik. Pengobatan harus dimulai
segera pada fase awal penyakit. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain:

INDIKASI OBAT DAN DOSIS


Leptospirosis ringan (mild illness/ - Ampisilin 4 x 500 mg
suspect case) - Amoksisilin 4 x 500 mg
- Eritromisin 4 x 500 mg
Leptospirosis berat (severe case/ probable - Penisilin 4 x 1,5 IU
case) - Amoksisilin 4 x 1 gr selama 7 hari

8. PENCEGAHAN

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi


faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian
leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk
disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder
yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.

Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak


terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:

a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi. Para


pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya
pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai
pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang
terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,
masker, sarung tangan.

32
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk. Dalam hal ini dilakukan
pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk
mencegah invasi leptospira.
c. Pemberian vaksin, vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat
tersebut, akan memberikan manfaat cukup penting dan aman sebagai
pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun
spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap
hewan peliharaan efektif untuk mencegah leptospirosis.
d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
e. Pengendalian hospes perantara leptospira Roden yang diduga paling poten
sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa
cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan
bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden.
f. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara
edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai
serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha
promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan
oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat.
g. Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil
studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin,
higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan
lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi,
populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih
sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.
h. Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang
didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan
dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada
subgrup maupun serotipe leptospira.
i. Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit
sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah dan

33
cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik, jika terjadi
kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang
timbul.
9. Asuhan Keperawatan
A. Kasus

Tn. M masuk Rumah Sakit diantar oleh kelurganya dengan keluhan


demam tinggi, sakit kepala, lemah lesu, muntah, dan rasa nyeri pada otot pada
daerah betis dan punggungnya. Sehari-hari Tn. M bekerja sebagai petani
dikampungnya. Saat ditanya Tn. M mengatakan tidak nafsu makan. Tn . M juga
mengatakan terasa nyeri pada pada kaki kanan dan kiri mulai dari telapak kaki
sampai pinggang, Tn M juga mengatakan belum mampu untuk berdiri, duduk saja
jarang. Saat di lakukan pemeriksaan fisik Muka dan dada berkeringat, suhu akral
hangat, BB menurun, Nafsu makan berkurang, Kekuatan otot ekstermitas atas
dan bawah 4/4, kulit keriput, ureum 46 mg/dl Natrium 133 meq/L, Kalium 3,5
meq/L. TD : 120/60, S: 38,5℃, RR: 24x/i.

B. Pengkajian
Data Subjektif/ DS :
a) Tn M. mengatakan tidak nafsu makan
b) Tn M mengatakan terasa nyeri pada kaki kanan dan kiri mulai dari telapak
kaki sampai pinggang
c) Tn M juga mengatakan belum mampu untuk berdiri

Data Objektif/ DO :

a) Wajah dan dada Tn M berkeringat


b) Suhu akral hangat
c) BB menurun
d) Nafsu makan berkurang
e) Kekuatan otot ekstermitas atas dan bawah 4/4
f) kulit keriput
g) ureum 46 mg/dl

34
h) Natrium 133 meq/L
i) Kalium 3,5 meq/L
j) TD : 120/60
k) S: 38,5℃
l) RR: 24x/i.

Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
Domain 11 1.Tanda-tanda vital 1.pengaturan suhu :
Kelas 6 Dalam 1x4 jam pasien -monitor suhu paling tidak
Kode diagnosis : dapat : setiap 2 jam sekali
00007 -suhu tubuh normal -monitor tekanan darah,
Hipertermi -tingkat pernafasan normal nadi, respirasi sesuai
-tekanan darah diastolic kebutuhan
-melaporkan kenyamanan -monitor suhu dan warna
suhu kulit
-sesuaikan suhu lingkungan
untuk kebutuhan pasien
-berikan medikasi yang
tepat untuk mencegah atau
mengontrol menggigil
-Berikan pengobatan
antipiretik sesuai kebutuhan

Domain 4 1.ambulasi 1.terapi latihan : ambulasi :


Kelas 2 Dalam 1x24 jam pasien -dorong pasien untuk duduk
Kode diagnosis : dapat : disisi temat tidur ,
00085 -berjalan dengan langkah disamping tempat tidur atau
Hambatan yang efektif dikursi sebagaimana dapat
Mobilitas Fisik -menopang berat badan ditoleransi pasien
-berjalan dengan pelan -konsultasikan pada ahli

35
2.Pergerakan terapi fisik mengenai
Dalam 1x24 jam pasien rencana ambulasi sesuai
dapat : kebutuhan
-keseimbangan tidak -bantu pasien untuk berdiri
terganggu dan ambulasi dengan jarak
-bergeak dengan mudah tertentu dan dengen jumlah
staf tertentu
-bantu pasien untuk
membangun pencapaian
yang reaslistis untuk
ambulasi jarak
2. terapi latihan
:keseimbangan :
-dorong program latihan
dengan intensitas rendah
dengan memberikan
kesempatan untuk brbagai
perasaan
-instruksikan pasien untuk
melakukan latihan
keseimbangan, seperti
berdiri, dengan satu kaki ,
membungkuk kedepan,
peregangan dan resistensi
-bantu untuk berdiri atau
duduk dan mengayun tubuh
dari sisi ke sisi untuk
menstimulus mekanisme
keseimbangan

Domain 2 1. status nutrisi 1.manajemen gangguan

36
Kelas 2 Dalam 1x24 jam pasien makan :
Kode diagnosis : dapat : -ajarkan dan dukung konsep
00002 -asupan gizi adekuat nutrisi yang baik dengan
Ketidakseimbangan -asupan makanan adekuat klien atau orang terdekat
nutrisi : kurang -asupan cairan adekuat klien
dari kebutuhan -asupan energy adekuat -timbang BB klien secara
tubuh -hidrasi tidak ada rutin
(Herdman & (Moorhead, Johnson, -rundingkan dengan ahli
Kamitsuru, 2018) Maas, & Swanson, 2016) gizi dalam menentukan
kalori harian yang
diperlukan untuk
mempertahankan berat
badan
2.manajemen nutrisi :
-tentukan status gizi pasien
dan kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan
gizi
-pastikan makanan disajikan
dalam keadaan yang
menarik dan dengan suhu
yang cocok dikonsumsi
-tawarkan makanan ringan
yang padat gizi
-monitor kalori dan asupan
makan
-berikan arahan bila
diperlukan (Bulechek,
Butcher, Doctherman, &
Wagner, 2016)

37
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematode dari family
filariodea, dimana cacing dewasanya hidup dalam cairan dan saluran limfe, jaringan
ikat, dibawah kulit dan dalam rongga badan. Cacing dewasa betina mengeluarkan
mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah, hidrokel, kulit, sesuai dengan sifat
masing-masing spesiesnya
2. Di daerah-daerah endemic, 80% penduduk bisa mengalami infeksi filariasis tetapi
hanya sekitar 10-20% populasi yang menunjukan gejala klinis. Infeksi parasit ini
tersebar didaeah tropis dan subtropics seperti Afrika, Asia, Pasifik Selatan, dan
Amerika. Telah diketahui lebih dari 200 spesies filarial. Dari 200 spesies tersebut
hanya sedikit yang menyerang manusia.
3. Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Penyakit
ini di sebut juga Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mudfever atau
Swineherd disease.
4. Penyakit leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun di
negara maju, di daerah pedesaan dan perkotaan. Suatu penelitian melaporkan 30%
anak di daerah perkotaan dan 10% anak di pinggiran kota pernah terpapar leptospira,
yang ditunjukan dengan adanya anti bodi terhadap leptospira.

B. SARAN
Semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa keperawatan dalam menegakkan
diagnosa keperawatan mengenai penyakit filariasis maupun leptospirosis. Adapun
saran,tanggapan, dan kritikan yang membangun dari teman-teman sangat kami terima
demi menyempurnakan makalah kami

38
DAFTAR PUSTAKA

Andani, L.2014.Leptspirosis di http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf (akses


15 Februari 2019)

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Doctherman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).


Nursing Interventions Classification (NIC). Jakarta: Elsevier.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi dan


klasifikasi 2018- 2020. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kunoli, F. J. (2013). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans


Informasi Media (TIM).

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Clissification (NOC). Jakarta : ELSEVIER.

Moeloek,Nila Farid. 2014. Filariasis

Maulidah. R N.2017. Filariasis di


http://repository.unimus.ac.id/1092/3/BAB%20II.pdf (akses 14 Februari 2019)
Masrizal.2013.Penyakit Filariasis.Jurnal Kesehatan Masyarakat.Vol.7: halaman 32
Kusmiyati,dkk. 2005.Leptospirosis Pada Hewan Dan Manusia Di Indonesia.
WARTAZOA Vol.15
Rampengan,Novie H.2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM).Vol.8:halaman
143-150
Widoyo. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Semarang: Erlangga. Edisi 2
Widoyo. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta:Erlangga.2008. Edisi 1

39
40

Anda mungkin juga menyukai