Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

“FILARIASIS”

OLEH :

1. DEWI ANGGITA (1401080)

2. ELZA (1401082)

3. LIA OKTA MAUDY (1401026)

4. LISA KARTINA (1601075)

5. NELVIRA DARA SHANDY (1401032)

6. NOVI ARINI (1601077)

S1 VI C

DOSEN : SEPTI MUHARNI, M. FARM, APT

1|MALARIA
PROGRAM STUDI SI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya

penyusunan makalah Farmakoterapi II berjudul “FILARIASIS” ini. Makalah ini

disusun untuk melengkapi tugas Farmakoterapi II. Ucapan terima kasih kepada

Ibu Septi Muharni, M. Farm, Apt selaku dosen penanggung jawab mata kuliah

Farmakoterapi II yang telah membimbing dalam penyelesaian makalah ini.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah

ini. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi para mahasiswa dan

bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan

bagi kita semua.

2|MALARIA
Pekanbaru, 4 Juni 2017

Penulis

DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR .............................................................................. 2

3|MALARIA
DAFTAR ISI ............................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................... 5

1.2. Rumusan Masalah .............................................................. 6

1.3. Tujuan ............................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Filariasis ............................................................... 7

2.2. Epidemiologi Filariasis ...................................................... 8

2.3. Etiologi Filariasis ............................................................... 12

2.4. Cara Penularan filariasis .................................................... 20

2.5. Patogenesis filariasis .......................................................... 40

2.6. Manifestasi Klinis filariasis ............................................... 40

2.7. Diagnosis filariasis ............................................................. 44

2.8. Tatalaksana Terapi ............................................................. 46

2.9. Pencegahan ......................................................................... 49

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 54

4|MALARIA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Filariasis adalah menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh larva cacing
Filaria (Wuchereria Brancrofti, Brugia Malayi dan Brugia Timori) yang ditularkan oleh
berbagai jenis nyamuk, baik nyamuk jenis culex, aedes, anopheles, dan jenis nyamuk
lainnya. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk dari orang yang mengandung
larva cacing (mikrofilaria) dari salah satu cacing filaria di atas kepada orang yang sehat
(tidak mengandung) mikrofilaria.
Orang yang terinfeksi mikrofilaria akibat adanya larva caing ini di dalam tubuhnya, tidak
selalu menimbukan gejala. Gejala yang timbul biasanya diakibatkan oleh larva cacing
yang merusak kelenjar getah bening sehingga mengakibatkan tersumbatnya aliran
pembuluh limfa. Gejala yang timbul biasanya berupa pembengkakan (edema) di daerah
tertentu (pada aliran pembuluh limfa di dalam tubuh manusia). Gejala ini dapat berupa
pembesaran tungkai/kaki (kaki gajah) atau lengan dan pembesaran skrotum/vagina yang
pembengkakan(edema)nya bersifat permanen.
Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan jarang menimbulkan kematian pada
penderitanya. Namun, bila penderita tidak mendapatkan pengobatan, penyakit ini dapat
menimbulkan cacat menetap pada bagian yang mengalami pembengkakan (seperti: kaki,
lengan dan alat kelamin) baik pada penderita laki-laki maupun perempuan.
Penyakit filariasis timbul atau ditemukan di negara-negara tropis dimana jenis cacing
tersebut di atas pernah ditemukan. Cacing jenis W. Brancrofti ditemukan di Amerika Latin
(Suriname, Guyana, Haiti dan Costarica), Afrika, Asia dan Pulau-pulau pasifik. Cacing
jenis B. Malayi ditemukan di Malaysia, Filipina dan Thailand dan cacing jenis B. Timori
ditemukan di Indonesia (Pulau Alor, Flores dan Rote).(FKUI, 2008)
Saat ini, diperkirakan larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang di
seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di regional Asia
Tenggara. (WHO, 2009). Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis terhadap
filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu
negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas
namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di Indonesia, ke tiga jenis cacing filaria
(W. Brancrofti, B malayi dan B timori) dapat ditemukan. (WHO, 2009)
Dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia, sampai tahun 2009 dari 495
kabupaten/kota, telah dipetakan 356 kabupaten/ kota endemis dan 139 kabupaten/kota
tidak endemis filariasis.
1.2 Untuk itu, perlu dilaksanakan analisis epidemiologi deskriptif terhadap distribusi
pemetaan wilayah (mapping) daerah endemik, jumlah kasus filariasis yang

dilaporkan dan pengobatan masal yang dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan filariasis ?

2. Bagaimana epidemiologi dan prevalensi filariasis?

5|MALARIA
3. Apa saja etiologi filariasis ?

4. Bagaimana patofisiologi filaraisis ?

5. Apa tanda dan gejala filariasis ?

6. Bagaimana penegakan diagnosis pada penderita filariasis ?

7. Bagaimana terapi dan penatalaksanaan pada penderita filariasis ?

8. Apa komplikasi penyakit filariasis ?

9. Bagaimana pengobatan dan perawatan komplikasi filariasis ?

10. Bagaimana pencegahan filariasis ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa

mengetahui dan memahami tentang penyakit filariasis serta mampu

mengaplikasikan penatalaksanaan untuk penyakit filariasis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi filariasis

6|MALARIA
Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis

adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup

dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk.

Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan

akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat

kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria

yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia

malayi, dan Brugia timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit

filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium

larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa disebut

mikrofilaria (Gambar 1.).

7|MALARIA
A B C

Gambar 1. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (A), Brugia malayi (B), dan Brugia

timori (C).

(Sumber : Juni Prianto L.A. dkk., 1999)

Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya berukuran ±250µ, cacing betina

dewasa berukuran panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa berukuran

panjang ±40mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999). Di ujung daerah kepala

membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir (Oral stylet) seperti

terlihat pada Gambar 2. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori,

mikrofilarianya berukuran ±280µ. Cacing jantan dewasa panjangnya 23mm dan

cacing betina dewasa panjangnya 39mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999).

Mikrofilaria dilindungi oleh suatu selubung transparan yang mengelilingi

tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria lebih banyak terjadi pada malam hari

dibandingkan siang hari. Pada malam hari mikrofilaria dapat ditemukan beredar di

dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi karena mikrofilaria memiliki

granula-granula flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar

matahari maka mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam kapiler-kapiler paru-paru.

Ketika tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem

pembuluh darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah pada waktu 6

8|MALARIA
bulan sampai 1 tahun setelah terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5

– 10 tahun.

Gambar 2. Struktur tubuh mikrofilaria Wuchereria bancrofti.

(Sumber : Elmer R. Noble dan Glenn A. Noble, 1989)

Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang

mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada

umumnya laki-laki lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak

kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang

dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat

hidup pada kucing, kera, kuda, dan sapi.

Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada

jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang

terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus,

menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya. Wuchereria

bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat ditularkan oleh berbagai macam

9|MALARIA
spesies nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh

Anopheles farauti yang menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat

perindukannya. Di daerah pantai di NTT, Wuchereria bancrofti ditularkan oleh

Anopheles subpictus. Brugia malayi yang hidup pada manusia dan hewan

ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia

bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera,

Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan oleh

Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya.

Brugia timori ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di

daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori

hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur.

2.2. Epidemiologi

A. Frekuensi dan Distribusi Filariasis

1. Distribusi menurut tempat (place)

Saat ini, diperkirakan larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang di

seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di regional Asia

Tenggara. (WHO, 2009). Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis terhadap

filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu

amper di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas

namun memiliki masalah filariasis yang kompleks.

10 | M A L A R I A
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun

1889. Dari ketiga jenis cacing amperl penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai

penyebaran paling luas di Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur

yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara

Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua.

Distribusi spesies cacing amperl di Indonesia tampak .

Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 di Indonesia kasus kronis filariasis dilaporkan ada

11.914 kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota (grafik 1). Peningkatan jumlah kasus

yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun ini disebabkan bertambahnya jumlah kasus baru

ataupun kasus lama yang baru dilaporkan. Berdasarkan hasil laporan kasus klinis kronis

filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan amper endemisitas filariasis,

sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota

non endemis. Distribusi kabupaten/kota endemis filariasis .

Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World

Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia dimulai

berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia program eliminasi filariasis

dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar

yang akan dilaksanakan yaitu: 1).Memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat

amper pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis; dan 2).Mencegah dan

membatasi kecacatan karena filariasis.

11 | M A L A R I A
Di Sulawesi Selatan penyakit ini tersebar cukup luas dengan rentang usia yang cukup

variatif, baik laki-laki maupun perempuan.Penularannya yang cepat selain cacat menetap

yang kibatkannya membuat masyarakat perlu diberi informasi sebanyak-banyaknya

mengenai kecenderungan penyakit ini.

1. Distribusi menurut orang

Orang yang dianggap berisiko terkena penyakit filariasis adalah :

· Menyerang semua jenis umur

· Laki-laki memiliki risiko 4,7 kali lebih besar daripada perempuan

· Transmigran lebih berisiko

2. Distribusi menurut tempat

· Terjadi lebih banyak di pedesaan

· Di perkotaan yang padat penduduk seperti Jakarta, bekasi, tangerang semarang dan

pekalongan.

A. Determinan Filariasis

. 1. Penyebaran

Distribusi dan prevalensi penyakit filariasis tampaknya meningkat

dibanyak tempat di Afrika dan Asia. Infeksi wucheriria bancrofti endemis diantara

12 | M A L A R I A
garis 41° lintang utara dan 30° lintang selatan, terutama Afrika, Kepulauan

Pasifik, Asia Tenggara, Korea Utara, India Barat, Amerika Tengah dan Dataran

Pantai Timur Amerika Selatan. Infeksi Brugia Malayi jauh lebih terbatas

distribusinya dan terdapat di India, Burma, Muangthai, Vietnam, Cina, Korea

Selatan, Jepang, Malaysia, Indonesia, Brunei, Papua Nugini dan Filipina. Kini

parasit tersebut sudah menghilang dari Srilanka. Infeksi Brugia Timori hanya

ditemukan di Indonesia bagian timur. Saat ini penyakit filarial terdapat di 80

negara, dan menyerang 120 juta penduduk, 40 juta diantaranya menderita

penyakit filariasis yang serius dengan infeksi kronis.

Di Indonesia jenis parasit filariasis mempunyai penyebaran yang

berbeda-beda. Secara epidemiologi spesies cacing filaria di bedakan menjadi

enam (6) tipe:

(1) Wucheriria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti

Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan sekitarnya, ditularkan oleh nyamuk culex

quinquefasciatus yang berkembang di air kotor. Microfilaria ditemukan dalam

darah tepi pada malam hari (periodisitas nokturna).

(2) Wucheriria bancrofti yang ditemukan didaerah pedesaan (rural) dengan

endemitas tinggi diluar jawa terutama di Irian Jaya (Papua), mempunyai

periodesitas nokturna dan ditularkan oleh genus anopheles, culex, dan aedes.

Daerah dengan endemisitas tinggi ditemukan di Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi

Tengah,dan Nusa Tenggara Timur.

(3) Brugia Malayi ditemukan di daerah persawahan bersifat periodik nokturna

dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbitrosis.

13 | M A L A R I A
(4) Brugia malayi ditemukan di rawa, bersifat subperiodik nokturna dan

ditularkan oleh nyamuk mansonia.

(5) Brugia malayi ditemukan di daerah hutan bersifat non periodik, microfilaria

ditemukan di daerah tepi baik siang maupun malam hari, ditularkan oleh nyamuk

mansonia.

(6) Brugia timori yang bersifat periodik nokturna di daerah Nusa Tenggara

Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga didaerah lain, ditularkan oleh

nyamuk anopheles barbitrosis.

2. Agen

Agen penyebab penyakit filariasis adalah cacing nematoda dari family

filasodea yang berbentuk seperti benang, hidup berbelit satu sama lain dalam

saluran limfe manusia. Cacing tersebut terdiri atas:

(1) Wucheriria bancrofti

Wucheriria bancrofti jantan berukuran 35 sampai 40 mm dengan diameter

0,1 mm dan cacing betina berukuran 80 mm sampai 100 mm dengan diameter

0,24 sampai 0,30 mm. Cacing wucheriria bancrofti dewasa tinggal dalam darah

dan limfe. (Rempengan dan Laurentz, 1993)

Pada manusia wucheriria bancrofti dapat hidup kira-kira lima tahun

sesudah menembus kulit, melalui gigitan nyamuk larva meneruskan perjalanannya

kepembuluh darah dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa

dalam waktu satu tahun. Microfilaria kemudian meninggalkan cacing induknya,

menembus dinding pembuluh limfe menuju kepembuluh darah yang berdekatan

14 | M A L A R I A
atau terbawa aliran limfe kedalam aliran darah. (Herdiman T. Pohan, 2002, dalam

hasiri 2005 )

Microfilaria setelah di warnai akan menunjukkan inti-inti dan berbagai alat

dalam yang dapat dilihat mikroskop fase kontras. Penelitian baru dengan

menggunakan pewarnaan khusus memperlihatkan kait-kait dan duri-duri

dironggga kepala berbagai spesies microfilaria dan faring berbentuk benang yang

berjalan dari ujung anterior ke innen-korper.

(2) Brugia malayi

Brugia malayi serupa dengan wucheriria bancrofti tetapi mempunyai

ukuran yang lebih kecil. Cacing brugia malayi betina berukuran 43–55mm dengan

diameter 130-170mikrometer dan jantan dengan panjang 13-30mm dengan

diameter 70-80mikrometer (Rempengan dan Laurent, 1993). Larva stadium III

dapat dibedakan dari wucheriria bancrofti karena lebih kecil dan papil kaudal

yang kurang menonjol. Cacing ini hidup dalam kelenjar dan saluran limfe,

periodisitas nokturnal, bersarung, dan berbentuk khas tidak senyata wucheriria

bancrofti. Dalam tubuh nyamuk tumbuh menjadi larva infektif dalam waktu 6 –

12 hari.

(3) Brugia timori

Cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjar limfe. Mikrofilarianya

menyerupai mikrofilaria brugia malayi, yaitu lekuk badannya pata-patah dan

susunan intinya tidak teratur, perbedaannya terletak dalam hal:

a Panjang kepala sama dengan tiga kali lebar kepala

15 | M A L A R I A
b Ekornya mempunyai inti tambahan yang ukurannya lebih kecil daripada

inti-inti lainnyadan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan inti

tambahan brugia malayi

c Sarungnya tidak mengambil warna pulasan giemza

d Ukurannya lebih panjang dari mikrofilaria brugia malayi, mikrofilaria

bersifat nokturnal.

3. Host

Cacing amperl ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang

mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-

laki lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi

(exposure). Hospes amperl adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing amperl,

misalnya Brugia malayi yang dapat hidup pada kucing, kera, kuda, dan sapi (3).

Untuk melengkapi siklus kehidupannya, cacing filaria memerlukan

hospes sebagai media pertumbuhannya dan perkembangbiakan. Hospes pada

penyakit filariasis terdiri atas tiga yakni:

(1) Hospes perantara : nyamuk

(2) Hospes reservoir : kera dan kucing domestik

(3) Hospes definitif : manusia

d. Lingkungan

Lingkungan penyakit filariasis mencakup:

(1) Lingkungan fisik

Endemisitas penyakit filariasis tersebar luas didaerah dataran rendah dan daerah

perbukitan yang rendah, banyak ditemukan didaerah pedesaan dan perkotaan

16 | M A L A R I A
seperti air limbah diperkotaan, air payau di daerah pantai, daerah rawa, daerah

persawahan, daerah dekat hutan.

(2) Lingkungan biologis

Lingkungan biologis penyakit filariasis mencakup manusia yang merupakan

hospes defenitif, nyamuk yang merupakan hospes perantara, kera dan kucing

domesik yang bertindak sebagai hospes perantara.

(3) Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya

Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya merupakan lingkungan yang timbul

akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk diantaranya sosial ekonomi

penduduk, perilaku penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya suatu daerah,

kebiasaan hidup penduduk, dan sebagainya.

2.3. Etiologi

2.4 Siklus Hidup

17 | M A L A R I A
Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk tersebut

menggit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga mikro filaria yang

terdapat ditubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Mikrofiaria tersebut

masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding

lambung dan bersarang diantara otot – otot dada (Toraksi).

Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu

kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan

panjang yang yang disebut larva stadiun II. Pada hari kesepuluh dan seterusnya larva

berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah

larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi

mula – mula ke rongga perut (Abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk

nyamuk.

Apabila nyamuk mikrofilaria ini menggigit manuisa maka mikrofilaria yang sudah

berbentuk larva infektif (Larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh

manusia (Hospes),bersama – sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia.Larva

keluar dari pembuluh darah dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe

larva mengalamidua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi dewasa yang sering

disebut larva stadium IV dan larva stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa

bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi

pembengkakan. Cacing filaria sendiri memiliki ciri sebagai berikut :

Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih

kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (kirofilaria berbentuk seperti benang

18 | M A L A R I A
berwarna putih susu. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100mm

dan ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makro filaria yang jantan memiliki panjang

kurang lebih 40mm dan ekor melingkar.Sedangkan mikrofilaria memilki panjang kurang

labih 250 mikron, bersarung pucat. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di

saluran limfe. Tetapi pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan

pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat- alat dalam seperti paru- paru, jantung,

dan hati.

Masa Inkubasi :

ü Pada manusia antara 3-15 bulan sedangkan pada hewan bervariasi sampai beberapa

bulan.

ü Masa inkubasi mungkin sesingkat 2 bulan. Periode pra paten (dari saat infeksi sampai

tampaknya microfilaria di dalam darah) sekurang-kurangnya 8 bulan.

Penyakit filariasis ditularkan dari penderita (orang yang didalam darahnya

mengandung mikrofilaria) baik yang sudah dengan gejala klinik maupun yang

belum kepada orang lain melalui gigitan nyamuk penularnya. Dibeberapa daerah

penyakit ini dapat juga ditularkan dari binatang kebinatang, binatang kemanusia,

dan dari manusia kebinatang.

2.5 Cara Penularan

19 | M A L A R I A
Siklus penularan penyakit filariasis terdiri atas dua tahap:

a Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor)

(1) Saat nyamuk (vektor) menghisap darah penderita (mikrofilaremia)

beberapa mikrofilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung

nyamuk.

(2) Beberapa saat setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria

melepas selubung, kemudian menerobos dinding lambung menuju kerongga

badan dan selanjutnya kejaringan otot toraks.

20 | M A L A R I A
(3) Didalam jaringan otot toraks, larva stadium I (L1) berkembang

menjadi larva stadium II (L2) dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium

III (L3) yang infektif.

(4) Waktu untuk berkembang L1 menjadi L3 (masa inkubasi ekstrinsik)

untuk wucheriria bancrofti antara 10 – 14 hari, brugia malayi dan brugia timori 7-

10.

(5) Mikrofilaria stadium III bergerak menuju proboscis nyamuk dan akan

dipindakan ke manusia (hospes definitif) dan binatang (hospes reservoir).

(6) Mikrofilaria didalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan bentuk dan

tidak mengadakan perkembangbiakan.

b Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan reservoir

(1) Di dalam tubuh manusia L3 akan menuju sistem limfe dan

selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina.

(2) Melalui proses kopulasi, cacing betina menghasilkan mikrofilaria

yang beredar didalam darah secara periodik. Seekor cacing betina dewasa akan

menghasilkan 30.000 larva setiap harinya.

(3) Perkembangan L3 menjadi cacing dewas dan menghasilkan

mikrofilaria untuk wucheriria bancrofti selama 9 bulan dan brgia malayi dan

brugia timori selama 3 bulan.

(4) Perkembangan seperti ini terjadi juga dalam tubu binatang.

2.6. Patofisiologi

21 | M A L A R I A
Siklus hidup mikrofilaria terjadi dalam dua tahap yaitu dalam tubuh

manusia dan dalam tubuh nyamuk (gambar 1)

Gambar 1. Siklus Hidup dari Filaria

Keterangan :

Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva

stadium tiga (L-3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka

bekas gigitan❶. Larva berkembang menjadi dewasa dan pada umumnya

habitatnya pada kelenjar limfatik ❷. Cacing dewasa menghasilkan

microfilaria yang migrasi ke limfe dan mencapai sirkulasi darah perifer

22 | M A L A R I A
❸. Nyamuk mengingesti microfilaria selama mengisap darah ❹.

Setelah masuk dalam tubuh nyamuk, selubung (sheath) dari microfilaria

terlepas dan melalui dinding proventikulus dan ke usus bagian tengah

(midgut) kemudian mencapai otot toraks ❺. Microfilaria berkembang

menjadi larva stadium pertama(L-1) ❻ kemudian menjadi L-2 dan

selanjutnya menjadi larva stadium tiga (L-3) ❼. Larva stadium tiga

bermigrasi menuju proboscis ❽ dan dapat menginfeksi penderita yang

lain ketika mengisap darah ❶ Morfologi mikrofilaria dan cacing dewasa

dari Wuchereria bancrofti,Brugia malayi, dan Brugia timori diuraikan

pada tabel 1. 124

23 | M A L A R I A
Filariasis terutama disebabkan karena adanya cacing dewasa yang hidup dalam
pembuluh getah bening. Cacing tersebut akan merusak pembuluh getah bening
yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan baik
sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing dewasa
mampu bertahan hidup selama 5 –7 tahun di dalam kelenjar getah bening.

2.7 Manifestasi Klinis

24 | M A L A R I A
Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh wucheriria

bancrofti, brugia malayi dan brugia timori adalah sama, hanya saja pada stadium

dini gejala akut tampak lebih jelas pada brugia malayi dan brugia timori serta

infeksi wucheriria bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kencing

dan alat kelamin. Secara rinci gejala klinis wucheriria bancrofti dan brugia malayi

serta brugia timori adalah sebagai berikut:

a. Infeksi wucheriria bancrofti:

25 | M A L A R I A
(1) Stadium dini

(a) Umumnya gejala limfadenitis dan limfangitis sifatnya ringan dan

tidak nyata.

(b) Gejala akut yang berupa demam tinggi dapat ditemukan bila terjadi

orkirtis, epidedemitis, dan funikulitis.

(2) Stadium lanjut

(a) Hidrokel

Pembesaran skrotum yang berisi cairan limfe. Paling sering ditemukan didaerah

endemis wucheriria bancrofti dan dapat menjadi indikator andemisitas wucheriria

bancrofti.

(b) Kiluria

Kencing seperti susu dengan atau tanpa darah, juga ditemukan di daerah

wucheriria bancrofti tetapi jarang terjadi.

(c) Limfedema/elephantiasis

Limfedema / elephantiasis pada infeksi wucheriria bancrofti dapat menjadi ukuran

besar dan mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina, dan payudara.

Keadaan ini dapat diperburuk karena adanya infeksi oleh bakteri atau jamur

sehingga dapat terjadi benjolan pada kulit dengan gambaran seperti lumut.

b. Infeksi brugia malayi atau brugia timori:

(1) Stadium dini

Reaksi radang akut lebih sering terjadi dan sifatnya berat sehinggga aktifitas

sehari-hari terganggu.

26 | M A L A R I A
(a) Peradangan kelenjar dan saluran limfe (limfadinits dan limfangitis)

sering terjadi didaerah lipat paha dan ketiak, tetapi dapat juga terjadi di tempat

lain. Limfangitis pada filariasis dapat bersifat retrograde, yaitu mulai dari kelenjar

turun ke daerah tepi.

(b) Peradangan sering berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan

mengeluarkan cairan jernih (limfe) atau nanah dan darah, kemudian sembuh

meninggalkan jaringan parut. Hal ini sering ditemukan di daerah brugia malayi

dan brugia timori.

(c) Peradangan ini sering disertai demam tinggi, sakit kepala dan lemah

sehingga penderia tidak dapat bekerja dan bersifat berulang(filarial fever).

(2) Stadium lanjut

(a) Limfedewma /elephantiasis yang timbul sering menyerang bagian

tungkai dibawah lutut / siku sehingga lutut / sikutampak normal.

(b) Limfedema / elephantiasis pada infeksi brugia biasanya tidak seberat

pada infekis wucheriria bancrofti.

Gejala klinis filariais antara lain adalah berupa :

1. Demam berulang-ulang selama 3 – 5 hari, demam dapat hilang bila

beristirahat dan muncul kembali setelah bekerja berat.

2. Pembengkakan kelenjar limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,

ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan. Diikuti dengan radang

saluran kelenjar limfe yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari

pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (Retrograde lymphangitis)

yang dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.

27 | M A L A R I A
3. Pembesaran tungkai, buah dada, dan buah zakar yang terlihat agak

kemerahan dan terasa panas (Early lymphodema). Gejala klinis yang

kronis berupa pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan, buah dada,

dan buah zakar tersebut.

2.8. Diagnosis

Praktis Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah

menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus

filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh

karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya

diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.

Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadang-

kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara

langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris

polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2%

formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik

dan sensitif.

Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil menurut

perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan

diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski

demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata

28 | M A L A R I A
tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat

pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai

melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.

Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam

ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay.

Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau

cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan

sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies

W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.

Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan

USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria

atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria

mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal

dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang

lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi

serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran

dan liku-liku pembuluh limfe.Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari

tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan

pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan

sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan,

luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe

kongenital.

29 | M A L A R I A
Diagnosis Klinik

Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting

dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate).

Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis

adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala

menahun.

Diagnosis Parasitologik

Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat

dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria

secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. Pada keadaan amikrofilaremia

seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult

filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis

diharapkan dapat menunjang diagnosis.

Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak

membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit,

ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik,

antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan

mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.

Diagnosis Epidemiologik

30 | M A L A R I A
Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf

rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa

sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan daerah

endemis filariasis dapat melalui penemuan penderita elefantiasis. Dengan ditemukannya

satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita

klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik.

2.9. Penatalaksanaan terapi

Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif

jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang

harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari)

bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan

filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing

dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu

menunjukan efikasi yang baik.

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas

limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya

dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni

ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat

utama.Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi

khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan

menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu

hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan

dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa

31 | M A L A R I A
dikurangi hingga menjadi sangat minim.

Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan

patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya

dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasit-

parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi

mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal

dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang

efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga

muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar

di dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang

dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa

terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler

Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek

samping yang serupa dengan gejala ini.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada

masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti

pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan

pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk

masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di

Indonesia.

32 | M A L A R I A
Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah

membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat

penularan dapat ditekan dan dikurangi.

a. Pengobatan Masal

dilakukan di daerah endemis (mf rate > 1%) dengan menggunakan obat Diethyl

Carbamazine Citrate (DEC) dikombilansikan dengan Albendazole sekali setahun selama

5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam atau pusing

dapat diberikan Pracetamol.

Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2 tahun ke atas, yang

ditunda selain usia ≤ 2 tahun, wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita

penyakit berat.

b. Pengobatan Selektif

Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga yang tinggal

serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria <

1% (non endemis).

c. Pengobatan Individual (penderita kronis)

Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai

33 | M A L A R I A
pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang

bengkak.

Obat anti-filaria yang digunakan

Diethylcarbamazine citrate (DEC)

Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak ± 40 tahun lamanya dan

masih merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. 3,12,15,24 WHO

merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari

berturut-turut.3,7,15,20,24 Cara pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk

community-based control programme karena mahal.3,15 Andrade dkk (1995)

membandingkan pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan pemberian DEC

dosis yang sama selama 12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada

ke-2 grup setelah terapi 12 bulan, meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar

mikrofilaremia tinggi pada grup dosis tunggal.15

Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana

orang tersebut yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal

digunakan dosis tunggal 6mg/kgBB yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun

berturut-turut.20Terapi massal adalah terapi yang diberikan kepada seluruh

penduduk di daerah endemis filariasis.11,20 Di Indonesia, dosis 6 mg/kg BB

memberikan efek samping yang berat, sehingga pemberian DEC di lakukan

berdasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol.11

Ivermectin

Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada

34 | M A L A R I A
filariasis bancrofti di sejumlah negara.3 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia

dan menurunkan produksi mikrofilaremia sebesar 82%.25.Obat ini merupakan

antibiotik semisintetik golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent

mikrofilarisidal poten.12,15 Dosis tunggal 200-400µg/kg dapat menurunkan

mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan. Dengan dosis tunggal 200

atau 400µl/kg dapat langsung membunuh mikrofilaremia dan menurunkan

produksi mikrofilaremia.25 Obat belum digunakan di Indonesia.

Albendazol

Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan

baru baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria.3 Dosis tunggal albendazol

tidak mempunyai efek terhadap mikrofilaremia.15 Albendazole hanya mempunya

sedikit efek untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri.3

ADosis tunggal 400 mg di kombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif

menghancurkan mikrofilaria.26

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya

penyakit.8,16,26

Asimptomatik atau subklinis

Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan

untuk mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di

35 | M A L A R I A
evaluasi dengan melakukan tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.1

Stadium akut

Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan

memperberat keaadaan akibat matinya cacing dewasa.15 Terapi supportif harus

dilakukan termasuk istirahat, kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan

pemberian analgetik dan antipiretik.15,17,19 Pada serangan akut ADLA

pemberian antibiotik oral dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil kultur.15

Stadium kronik

Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika

pasien terbukti menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya

mikrofilaria, antigen mikrofilaria atau filarial dancing sign. Kerusakan limfatik

akibat filariasis bersifat permanen dan obat anti-filaria tidak menyembuhkan

keadaan limfedema, tetapi limfedema dapat di tatalaksana dengan cara

menghentikan serangan akut dan mencegah keadaan menjadi berat/buruk.19

Terdapat 5 komponen dasar dalam penatalaksanaan limfedema yang dapat

dilakukan oleh pasien yaitu kebersihan, pencegahan dan perawatan luka/entry

lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu yang sesuai.15,19 Komponen

tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan emolien, verban,

stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah.15,19,27

Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi

36 | M A L A R I A
tambahan. Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga

menginduksi fagositosis makrofag menyebabkan terpecahnya protein yang

kemudian keluar kedalam vena dan dibuang oleh sistem vascular.15,27

Tabel 2. Penatalaksanaan limfedema sesuai stadium-petunjuk umum*

Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah

jika tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar

sehingga mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya

terapi konsevatif.27 Berbagai prosedur operasi digunakan tetapi secara umum

tidak memberikan hasil yang memuaskan.15 Yang termasuk dalam prosedur ini

adalah lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan eksisi (de-bulking)

dari jaringan subkutan yang fibrotik.15,27 Peranan tindakan pembedahan

limfedema ekstremitas akibat filariasis sangat terbatas.15

Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan

dasar seperti kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien

dengan hidrokel adalah jika mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas

seksual, mengganggu berkemih, dan memberi efek sosial terhadap

37 | M A L A R I A
keluarga.Prosedur yang digunakan adalah dengan melakukan eksisi tunika

vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya (Bergmann Wingklemann)

untuk hidrokel besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil dimana dilakukan

pengecilan tunika vaginalis dengan merempel.16

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 19

Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum

banyak (paling sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan

bedah masih kontroversi tetapi di anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28

Prosedure yang digunakan adalah lympho-venous disconnection, lymphangio-

venous anastomosis, lymphnode-saphenous vein anastomosis.28

Tropical Pulmonary Eosinophil

DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat

setelah pemberian DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya

microfilaria secara cepat dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB,

sehingga pemberian terapi lebih lama lebih disarankan.15

Pencegahan dan kontrol filariasis

Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk

mendukung program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF)

sebagai masalah kesehatan masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan

38 | M A L A R I A
GPELF dan merekomendasikan semua penduduk yang tinggal didaerah beresiko

untuk di obati satu kali dalam satu tahun dengan dua kombinasi obat dan

diberikan dalam 4-6 tahun berturut-turut.Tiga obat anti-parasit yang di sarankan

adalah DEC, albendazol, ivermectin.20

Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu

dengan cara menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan

dengan cara memakai kelambu dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak

bisa diterapkan disemua wilayah.1

BAB III

PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi

pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan

kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau

referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amalyha. 2012. (online). (http://indah-undefined.blogspot.com/2012/12/-

filariasis.html , diakses 25 February 2013).

39 | M A L A R I A
Luthfiyah, Nur. 2012. (online). (http://www.scribd.com/doc/9 6261863 /Epi

demiologi-Filariasis , diakses 7 Maret 2013)

Puriningtyas, Dhyta.2011. (onlione). http://epidemiologiunsri.blogsp ot.c om/2

011/11/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html , diakses 25 Februa ry 2013).

Wahyuni, Sry. 2012. (onlione). ( http://www.scribd.com/doc/436104 82/-filariasis

, diakses 25 February 2013).

40 | M A L A R I A

Anda mungkin juga menyukai