Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian
sebagai berikut:

2.1.1. Infeksi

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh


manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2.1.2. Saluran pernafasan

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis
mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).

2.1.3. Infeksi akut

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.
2.3. Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres.
Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang
kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba
eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).

2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit
ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan
adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak
langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme
penyebab.

2.5. Diagnosa ISPA

Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan
menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata
untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab
pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi
WHO), bahwa Streptococcus, Pnemoniadan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat
pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat
dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala
tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit non-pnemonia lainnya.

2.6. Klasifikasi ISPA

2.6.1. Klasifikasi Berdasarkan Umur

a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a.1. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC),
pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat,
sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen
tegang.

a.2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per
menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.

b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :

b.1. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.

b.2. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.

b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.

2.6.2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Infeksi yang menyerang hidung
sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media, faringitis.

b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi yang menyerang mulai
dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai
dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis,
bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

2.7. Epidemiologi Penyakit ISPA

2.7.1. Distribusi Penyakit ISPA

a. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang

Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak
sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum
kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek,
anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang
masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam
setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi
penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%),
6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan
(9,2%), 48-59 bulan (8,0%). Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di
Medan pada tahun 1999 mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada
bedanya antara laki-laki dan perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6
tahun lebih sering pada anak laki-laki. Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk
(2001) prevalensi ISPA pada anak laki-laki (9,4%) hampir sama dengan
perempuan (9,3%).
b. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat

ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan
penyebab morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang
morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama
disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia. Menurut penelitian Djaja,
dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan (11,2%),
sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara di luar Jawa-
bali (7,8%). Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk daerah tidak
tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).

c. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu

Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for Childrenpada


30 desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan kematian
akibat pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di
Indonesia sendiri oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian
balita akibat penyakit ISPA 5 per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi
3 per 1000 pada akhir tahun 2005. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2005, terlihat bahwa cakupan pneumonia penderita dan pengobatan dari
target (perkiraan penderita) masih relatif rendah, tahun 2000 ada 30,1%;
tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada 22,1%; tahun 2003 ada 30%; tahun
2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil pantauan yang dilakukan ini
belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh karena masih ada beberapa
wilayah yang belum menyampaikan laporannya. Penelitian Septri Anti (2007),
dari catatan bulanan program P2 ISPA Kota Medan tahun 2002-2006
didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier terdapat nilai signifikan
sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
waktu dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti bahwa
adanya kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita ISPA, dimana
penderita penyakit ISPA pada tahun 2002 berjumlah 8.836 orang dan pada
tahun 2007 mencapai 9.412 orang.
2.7.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,
faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih
dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit
virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus
Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003),
mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang
menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita setiap tahun di negara
berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di
Pakistan didapatkan bahwa 95% S. pneumococcus kehilangan sensitivitas paling
sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri yang diperiksa resisten
terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk mengobati infeksi
pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.
Pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.

Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari


101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan
didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua
penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya
tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%)
dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%). Dari hasil biakan terlihat bahwa
yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%,
diikuti oleh Enterobacter aerogens19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas
aureginosa 16 galur sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%,
Stapilococcus aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar
1,94%, dan Sreptococcus pneumonie1 galur sebesar 0,97%.

b. Manusia

b.1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2


tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia
2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan
bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998
sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah
91,1%, demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006,
didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok
umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan
sebesar 17,9%.

b.2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian
kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan
Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan
dengan anak perempuan.

b.3. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab


utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-
anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh
keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat
gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit
dalam tubuh. Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan
desain cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk
mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak
yang berstatus gizi baik/normal.

Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut


Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk
keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat
badan terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD

2) Gizi Baik: bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD

3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD

4) Gizi Buruk: bila Z_Skor terletak < -3 SD.

b.4. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai
angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥ 2500 gram saat lahir
selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian
terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.

b.5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan
faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama
selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum,
yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim,
Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk
melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan
ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi
lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu
formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI
atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa
mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.

b.6. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap


penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti,
POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus,
pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat
penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang
ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x :
2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B
3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah
4 minggu.

2.8 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah
menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut,
uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan
akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan
oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut,
bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis,


epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi
pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran
napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi
saluran napas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta
perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan
adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.

2.8.1 INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS

1. OTITIS MEDIA

Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi
Otitis Media Akut, Otitis Media Efusi, dan Otitis Media Kronik. Infeksi ini banyak menjadi
problem pada bayi dan anak-anak. Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak usia 6
bulan-3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder
yaitu menurunnya imunokompetensi pada anak. Disfungsi tuba Eustachius berkaitan dengan
adanya infeksi saluran napas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan
otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus
selama > 3 bulan (Otitis media kronik).
 ETIOLOGI & PATOGENESIS

1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB

Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, otalgia, otorrhea,
iritabilitas, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitismedia akut dapat
menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam, leukositosis. Manifestasi otitis media
pada anak-anak kurang dari 3 tahun seringkali bersifat non-spesifik seperti iritabilitas,
demam, terbangun pada malam hari, nafsu makan turun, pilek dan tanda rhinitis,
konjungtivitis.8 Otitis media efusi ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga bagian
tengah tanpa disertai tanda peradangan akut. Manifestasi klinis otitis media kronik adalah
dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase. Otorrhea semakin
meningkat pada saat infeksi saluran pernapasan atau setelah terekspose air. Nyeri jarang
dijumpai pada otitis kronik, kecuali pada eksaserbasi akut. Hilangnya pendengaran
disebabkan oleh karena destruksi membrana timpani dan tulang rawan. Otitis media
didiagnosis dengan melihat membrana timpani menggunakan otoscope. Tes diagnostik lain
adalah dengan mengukur kelenturan membrana timpani dengan Tympanometer. Dari tes ini
akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain
menggunakan X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan
nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik. Pada kebanyakan kasus, otitis media
disebabkan oleh virus, namun sulit dibedakan etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan
presentasi klinik maupun pemeriksaan menggunakan otoskop saja. Otitis media akut biasanya
diperparah oleh infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan
oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat pada akumulasi cairan dan mukus yang
kemudian terinfeksi oleh bakteri. Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilusinfluenzae, Moraxella catarrhalis 9. Otitis media
kronik terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut yang berulang, meskipun hal ini
dapat pula terjadi paska trauma atau penyakit lain. Perforasi membrana timpani, diikuti
dengan perubahan mukosa (seperti degenerasi polipoid dan granulasi jaringan) dan tulang
rawan (osteitis dan sclerosis). Bakteri yang terlibat pada infeksi kronik berbeda dengan otitis
media akut, dimana P. aeruginosa, Proteus species, Staphylococcus aureus, dan gabungan
anaerob menjadi nyata.
2. PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO

Oleh karena sebagian besar otitis media didahului oleh infeksi pernapasan atas, maka
metode penularan adalah sama seperti pada infeksi pernapasan tersebut. Faktor risiko untuk
mengalami otitis media semakin tinggi pada anak dengan “otitis-prone” yang mengalami
infeksi pernapasan atas.

3. KOMPLIKASI

Komplikasi otitis media meliputi:

• Mastoiditis

• Paralisis syaraf ke-7

• Thrombosis sinus lateral

• Meningitis

• Abses otak

• Labyrinthitis.

 RESISTENSI

Pola resistensi terhadap H. influenzae dan M. catarrhalis dijumpai di berbagai belahan


dunia. Organisme ini memproduksi enzim β-laktamase yang menginaktifasi antibiotika β-
laktam, sehingga terapi menggunakan amoksisilin seringkali gagal. Namun dengan
penambahan inhibitor β-laktamase ke dalam formula amoksisilin dapat mengatasi
permasalahan ini.

 TERAPI

1.OUTCOME

Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi nyeri, eradikasi infeksi, dan mencegah
komplikasi.

2.TERAPI POKOK

Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila disertai
pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko rendah (yaitu usia > 2 th
serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien
risiko tinggi. Rejimen antibiotika yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini
pertama dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila:

 antibiotika pilihan pertama gagal


 riwayat respon yang kurang terhadap antibiotika pilihan pertama
 hipersensitivitas
 Organisme resisten terhadap antibiotika pilihan pertama yang dibuktikan dengan tes
sensitifitas
 adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan antibiotika pilihan kedua.

Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan
terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang
persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai
kembali antibiotika dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama.
Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan amoksisilin
20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangiinsiden otitis media sebesar
40-50%.

Tabel Antibiotika pada Terapi pokok Otitis Media

Antibiotika Dosis Keterangan


Lini Pertama
Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari Untuk pasien risiko
terbagi dalam 3 dosis rendah yaitu: Usia>2th,
Dewasa:40mg/kg/hari tidak mendapat
terbagi dalam 3 dosis antibiotika selama 3
Anak 80mg/kg/hari terbagi bulan terakhir
dlm 2 dosis Untuk pasien risiko
Dewasa:80mg/kg/hari Tinggi
terbagi dlm 2 dosis
Lini Kedua
Amoksisilinklavulanat Anak:25-45mg/kg/hari
terbagi dlm 2 dosis
Dewasa:2x875mg
Kotrimoksazol Anak: 6-12mg TMP/30-
60mg SMX/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 1-2 tab
Cefuroksim Anak: 40mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa:2 x 250-500 mg
Ceftriaxone Anak: 50mg/kg; max 1 g; 1 dosis untuk otitis
i.m. media yang baru
3 hari terapi untuk otitis
yang resisten
Cefprozil Anak: 30mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250-500mg
Cefixime Anak:8mg/kg/hari terbagi
dlm 1-2 dosis
Dewasa: 2 x 200mg

3.TERAPI PENUNJANG

Terapi penunjang dengan analgesik dan antipiretik memberikan kenyamanan


khususnya pada anak. Terapi penunjang lain dengan menggunakan dekongestan,
antihistamin, dan kortikosteroid pada otitis media akut tidak direkomendasikan, mengingat
tidak memberikan keuntungan namun justeru meningkatkan risiko efek samping .
Dekongestan dan antihistamin hanya direkomendasikan bila ada peran alergi yang dapat
berakibat kongesti pada saluran napas atas. Sedangkan kortikosteroid oral mampu
mengurangi efusi pada otitis media kronik lebih baik daripada antibiotika tunggal.
Penggunaan Prednisone 2x5mg selama 7 hari bersama-sama antibiotika efektif menghentikan
efusi.

2. SINUSITIS

Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak
dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas.
Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan
selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang
dimaksud adalah gejala seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan
bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud dengan
gejala yang berat adalah di samping adanya sekret yang purulen juga disertai demam (bisa
sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala
yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal
sebanyak 3 episode dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan. Sinusitis
kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Sinusitis
bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, yaitu adanya
obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor dan infeksi gigi. Sebab lain adalah
immunodefisiensi, abnormalitas sel darah putih dan bibir sumbing.

 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB

Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang kental berwarna hijau
kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada wajah di area pipi, di antara
kedua mata dan di dahi. Tanda umum terdiri dari batuk, demam tinggi, sakit kepala/migraine,
serta menurunnya nafsu makan, malaise. Penegakan diagnosis adalah melalui pemeriksaan
klinis THT, aspirasi sinus yang dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai lebih dari 104/ml
koloni bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (untuk kasus kompleks). Sinusitis viral
dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala menetap lebih dari 10 hari atau gejala memburuk
setelah 5-7 hari. Selain itu sinusitis virus menghasilkan demam menyerupai sinusitis bakteri
namun kualitas dan warna sekret hidung jernih dan cair. Sinusitis bakteri akut umumnya
berkembang sebagai komplikasi dari infeksi virus saluran napas atas.25 Bakteri yang paling
umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis kronik sama
seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob dan S.
aureus.

2. PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO

Penularan sinusitis adalah melalui kontak langsung dengan penderita melalui udara.
Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran sinusitis, dianjurkan untuk memakai masker
(penutup hidung), cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. Faktor
predisposisi sinusitis adalah sebagai berikut 2 :

• ISPA yang disebabkan oleh virus


• Rhinitis oleh karena alergi maupun non-alergi

• Obstruksi nasal

• Pemakaian “nasogastric tube”

3. KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul akibat sinusitis yang tidak tertangani dengan baik adalah :

• Meningitis

• Septikemia

Sedangkan pada sinusitis kronik dapat terjadi kerusakan mukosa sinus, sehingga memerlukan
tindakan operatif untuk menumbuhkan kembali mukosa yang sehat.

 RESISTENSI

Resistensi yang terjadi pada sinusitis umumnya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae
yang menghasilkan enzim beta-laktamase, sehingga resisten terhadap penicillin, amoksisilin,
maupun kotrimoksazol. Hal ini diatasi dengan memilih preparat amoksisilin-klavulanat atau
fluoroquinolon.

 TERAPI

1. OUTCOME

Membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan mengeradikasi kuman.

Tabel 3.1 Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi sinusitis

Agen Antibiotika Dosis


SINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin/Amoksisilin-clav Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosis /25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa: 3 x 500mg/ 2 x 875 mg
Kotrimoxazol Anak: 6-12mg TMP/30-60mg
SMX/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 2tab dewasa
Eritromisin Anak: 30—50mg/kg/hari terbagi setiap
6 jam
Dewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa: 2 x 100mg
Lini kedua
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa:2 x 875mg
Cefuroksim 2 x 500mg
Klaritromisin Anak:15mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x
250mg
Azitromisin 1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama 4 hari berikutnya.
Levofloxacin Dewasa:1 x 250-500mg
SINUSITIS KRONIK
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa:2 x 875mg
Azitromisin Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti
5mg/kg selama 4 hari berikutnya
Dewasa: 1x500mg, kemudian
1x250mg selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
SINUSITIS KRONIK

Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2


Dosis Dewasa:2 x 875mg
Azitromisin Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti
5mg/kg selama 4 hari berikutnya
Dewasa: 1x500mg, kemudian
1x250mg selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

2. TERAPI POKOK

Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali
bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat dipilih tertera pada tabel
3.1. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat diperpanjang
hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi.
3. TERAPI PENDUKUNG

Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan. Penggunaan


antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi, namun perlu diwaspadai
bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan topikal dapat
mempermudah pengeluaran sekret, namun perlu diwaspadai bahwa pemakaian lebih dari lima
hari dapat menyebabkan penyumbatan berulang.

3. FARINGITIS

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan
sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis.
Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis
dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di
lingkungan anak-anak.13

 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB

Faringitis mempunyai karakteristik yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri tenggorokan,


nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faring, palatum, tonsil berwarna
kemerahan dan tampak adanya pembengkakan. Eksudat yang purulen mungkin menyertai
peradangan. Gambaran leukositosis dengan dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk
faringitis oleh streptococcus gejala yang menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang
disertai nyeri tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri
abdomen, muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria. Faringitis didiagnosis dengan
cara pemeriksaan tenggorokan, kultur swab tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki
sensitivitas 90-95% dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab
faringitis yang diandalkan. Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri
Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang
mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria
Gonorrhoeae. Streptococcus Hemolitik Grup A hanya dijumpai pada 15-30% dari kasus
faringitis pada anak-anak dan 5-10% pada faringitis dewasa. Penyebab lain yang banyak
dijumpai adalah nonbakteri, yaitu virus-virus saluran napas seperti adenovirus, influenza,
parainfluenza, rhinovirus dan respiratory syncytial virus (RSV). Virus lain yang juga
berpotensi menyebabkan faringitis adalah echovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus
(HSV). Epstein barr virus (EBV) seringkali menjadi penyebab faringitis akut yang menyertai
penyakit infeksi lain. Faringitis oleh karena virus dapat merupakan bagian dari influenza.

2. FAKTOR RISIKO

 Riwayat demam rematik


 HIV positif, pasien dengan kemoterapi, immunosuppressed
 Diabetes Mellitus
 Kehamilan
 Pasien yang sudah memulai antibiotik sebelum didiagnosis
 Nyeri tenggorokan untuk selama lebih dari 5 hari

3. KOMPLIKASI

 Sinusitis
 Otitis media
 Mastoiditis
 Abses peritonsillar
 Demam rematik
 Glomerulonefritis.

 RESISTENSI

Resistensi terhadap Streptococcus Grup A dijumpai di beberapa negara terhadap


golongan makrolida dan azalida, namun tidak terhadap Penicillin.

 TERAPI

1. OUTCOME

Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta membatasi


komplikasi.

2. TERAPI POKOK
Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus
Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab faringitis sebelum terapi dimulai.
Terapi dengan antibiotika dapat dimulai lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi
terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini
dengan antibiotika menyebabkan resolusi dari tanda dan gejala yang cepat. Namun perlu
diingat adanya 2 fakta berikut:

 Faringitis oleh Streptococcus grup A biasanya sembuh dengan sendirinya, demam dan
gejala lain biasanya menghilang setelah 3-4 hari meskipun tanpa antibiotika.
 Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama kali muncul dan tetap
dapat mencegah komplikasi.

Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus grup A,
yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, cefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap
menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta
harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin,
khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan
antibiotika oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali
pada azitromisin hanya 5 hari. Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang dapat
digunakan.

Tabel: Antibiotika pada terapi Faringitis oleh karena Streptococcus

Grup A

Lini Pertama Penicilin G (untuk 1 x 1,2 juta U 1 dosis


pasien yang tidak i.m.
dapat menyelesaikan
terapioral selama 10
hari)
Penicilin VK Anak: 2-3 x 10 hari
250mg
Dewasa 2-3 x
500mg
Amoksisilin Anak: 3 x 250mg 10 hari
(Klavulanat) 3 x Dewasa:3x500mg
500mg
selama 10 hari
Lini Eritromisin (untuk Anak: 4 x 10 hari
kedua : pasien alergi 250mg
Penicilin) Dewasa:4x500mg
Azitromisin atau 5 hari
Klaritromisin (lihat
dosis pada Sinusitis)
Cefalosporin Bervariasi 10 hari
generasi sesuai agen
satu atau dua
Levofloksasin
(hindari untuk anak
maupun wanita
hamil)

Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersedia adalah
eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilin klavulanat.

Tabel : Pilihan antibiotika pada terapi faringitis yang gagal

Rute Pemberian, Dosis Lama terapi


Anbiotika
Oral

Klindamycin Anak: 20-30 mg/kg /hari 10 hari


terbagi dlm 3 dosis.
Dewasa: 600 mg/hari terbagi 10 hari
dlm 2-4 dosis.
Amoksisilinclavulanat Anak: 40 mg/kg/hari terbagi 10 hari
acid dalam 3
dosis
Dewasa: 3 x500 mg/2 kali 10 hari
sehari
Parenteral dengan atau
tanpa oral

Benzathine penicillin G 1 x 1,2 juta U i.m. 1 dosis

Benzathine penicillin G Rifampicin: 20 mg/kg/hari 4 hari


with terbagi dlm 2 dosis.
Rifampin

Terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan menggunakan


parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan garam hangat atau
gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin pada anak-anak karena dapat meningkatkan
risiko Reye’s Syndrome. Tablet hisap yang mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat
pula disarankan.

3. TERAPI PENDUKUNG

 Analgesik seperti ibuprofen


 Antipiretik
 Kumur dengan larutan garam, gargarisma khan
 Lozenges/ Tablet hisap untuk nyeri tenggorokan.

4. RINITIS

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.

1. Klasifikasi rinitis

Klasifikasi rinitis alergi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan
sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya


(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang


dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

2. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik


dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis
alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker,
1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

3. Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

4. Gejala klinik rinitis alergi

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang
pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

5. Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,


akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP)
dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

6. Penatalaksanaan rinitis alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja


secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun
pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan
hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila


konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan


hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

5. LARINGITIS

Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang
berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain
adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.

1. FISIOLOGI

Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi, sirkulasi,


menelan, emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah agar
makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis yang secara bersamaan. Benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dan sekret yang
berasal dari paru juga dapat dikeluarkan lewat reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan
mengatur mengatur besar kecilnya rima glotis. Fungsi laring dalam proses menelan
mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan laring bagian bawah keatas, menutup aditus
laringeus, serta mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk
kedalam laring. Laring mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak,
mengeluh, menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan fungsinya untuk fonasi dengan
membuat suara serta mementukan tinggi rendahnya nada.

2. ETIOLOGI

1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti influenza
atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3),
rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae.
2. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
3. Pemakaian suara yang berlebihan
4. Trauma
5. Bahan kimia
6. Merokok dan minum-minum alkohol
7. Alergi

3. PATOFISIOLOGI

Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder.
Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan
dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak
ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi
seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat.
Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya.
Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus
untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi
tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring.
Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri
akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsangpeningkatan
suhu tubuh.

4. GEJALA KLINIS
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar
atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang
biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang
disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak
terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut
dihidung atau sinus paranasal atau paru.
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan
retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik
yang dapat mengancam jiwa anak.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis(Steeple sign).


Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi
sekunder, leukosit dapat meningkat.
3. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yang sangat
sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu
pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita
suara.
6 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang.

DIAGNOSA BANDING

1. Benda asing pada laring

2. Faringitis

3. Bronkiolitis

4. Bronkitis

5. Pnemonia

7. PENATALAKSANAAN

Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi
masuk rumah sakit apabila :

 Usia penderita dibawah 3 tahun


 Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
 Diagnosis penderita masih belum jelas
 Perawatan dirumah kurang memadai

Terapi :

1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari


2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
3. Istirahat
4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada muncul
sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang
dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray
5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada demam, bila
ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung tersumbat
dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin,
pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.Pemberian
antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4
dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis atau
sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat diberikan
kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.
6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak berhasil
maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan
nafas.
7. Pencegahan : Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat
tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air
karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan
tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan
kafein untuk mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan
tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada
pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan
tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

6. TONSILITIS

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel
( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ). Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil
faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding
faring / Gerlach’s tonsil ) ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007 ). Tonsilitis akut adalah
radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus
viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000).

1. Etiologi

Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk,


2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan oleh infeksi virus.
2. Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi.
Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan
kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot,
kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

3. Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :

1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter,
lingkungan, maupunmkarena alergi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari
dinding yang terdiri dari membran mukosa ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx
( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).

4. Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut ( Mansjoer, 2000) yaitu :

1. Penatalaksanaan tonsilitis akut

a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat
isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung
selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.

2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik

a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.


b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif
tidak berhasil.

The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical Indikators
Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu:

1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa / otitis media supurataif ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 )

5. Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang

1. Fokus pengkajian menurut (Firman S, 2006), yaitu :

a. Wawancara
1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
2) Apakah pengobatan adekuat
3) Kapan gejala itu muncul
4) Bagaimana pola makannya
5) Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut ( Doengoes, 2000), yaitu :
a) Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut, khawatir
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
b) Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi
c) Hygiene
Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk
d) Nyeri / Keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : Sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ketelinga
e) Pernapasan
Gejala : Riwayat menghisap asap rokok ( mungkin ada anggota keluarga yang
merokok ), tinggal di tempat yang berdebu.
2. Pemeriksaan penunjang

a. Tes Laboratorium

1) Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian
pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah.
Persiapan pemeriksaan yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2. Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3. Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit,
dan sebagainya.
b. Kultur : Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.

c. Terapi

Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik,


dan obat kumur yang mengandung desinfektan ( Soetomo, 2004 )

2.9 Penggunaan antibiotik pada ISPA

1.Penisilin

Penisiin merupakan derivat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisida


dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi
akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat
penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral,
karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya
Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
Penicilin V (Depkes RI, 2005). Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi
terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang kuat
terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif sama sekali tidak
dimiliki (Depkes RI, 2005).

Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivatpenicilin


yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E.
Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat
memperluas cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis. Sehingga
saat ini amoksisilin-klavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat
mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin (Depkes RI, 2005).

2.Sefalosporin

Sefalosporin merupakan derivat β-lakt am dengan mekanisme kerja menghambat


sintesis dinding sel bakteri. Sefalosporin akt if terhadap kuman gram positif maupun
gram negatif. Sefalosporin dibagi menjadi empat generasi berdasarkan aktivitas
antimikrobanya. Sefalosporin generasi pertama memperlihatkan aktivitas
antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman gram positif. Keunggulannya dari
penisilin ialah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif
terhadap sebagian besar S. Aureus dan Streptococcus. Bakteri gram positif yang juga
sensitif ialah Clostridium perfringens, Listeria moncytogenes dan Corynebacterium
diphteriae. Sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif
dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif,
misalnya H. influenza, P. mirabilis, E. Coli dan Klabsiella. Sefalosporin generasi
ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus
gram positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaciae, termasuk strain
penghasil penisilinase. Sefalosporin generasi keempat mempunyai aktivitas lebih luas dari
generasi ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh betalakt amase. Ant ibiot ik tersebut
dapat berguna untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi
ketiga (Istiantoro dan Rianto, 2007).

3. Makrolida

Golongan makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan


secara reversibel dengan ribosom sub unit 50S, dan umumnya bersifat bakteriostatik,
walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka
(Setiabudy, 2007).

Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi gram positif coccus
seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus spp, Enterococci, H. influenzae,
Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma,
Rickettsia dan Legionella spp. Batang gram positif yang peka terhadap eritromisin ialah
C. Perfringens, C. Diptheriae dan L. monocytogenes. Eritromisin tidak aktif terhadap
kebanyakan kuman gram negatif, namun ada beberapa spesies yang sangat peka
terhadap eritromisin yaitu N.gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. Pneumoniae,
Legionella Pneumophilla, dan C. trachomatis. (Depkes RI, 2005).

4.Tetrasiklin

Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki


spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke
ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannyaadalah bakteriostatik yang
luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan ricketsia (Depkes
RI, 2005).

Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi


kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin,
minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu
antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain
itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15
jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten
terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob seperti Acinetobacter spp,
Enterococcus yang resisten terhadap vanko misin sekalipun tetap efektif (Depkes RI, 2005).

5.Quinolon

Golongan quinolon merupakan antimikroba oral memberikan pengaruh yang baik


dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi
asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal
mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya
yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin,
sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas
untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih
jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang
memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan
agen lain (Depkes RI, 2005).

Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat


DNA-gyrase. Akt ivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P.
aeruginosa, staphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob
pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga
quinolon seperti levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap
anaerob seperti B. fragilis, dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu
trovafloksacin (Depkes RI, 2005).

6.Sulfonamida

Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan.


Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang
dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol.
Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan menghambat sintesis asam folat,
sedangkan trimetoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat
sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat
sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired
seperti sinusitis, otitis media akut, infeksi saluran kencing (Depkes RI, 2005). Aktivitas
antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gram-negatif seperti E. coli,
klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P. vulgaris, H. Influenza,
Salmonellaserta gram-positif seperti S. Pneumoniae, Pneumocystis carinii., serta parasit
seperti Nocardia sp (Depkes RI, 2005).

Anda mungkin juga menyukai