TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian
sebagai berikut:
2.1.1. Infeksi
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis
mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres.
Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang
kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba
eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit
ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan
adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak
langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme
penyebab.
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan
menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata
untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab
pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi
WHO), bahwa Streptococcus, Pnemoniadan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat
pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat
dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala
tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit non-pnemonia lainnya.
a.1. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC),
pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat,
sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen
tegang.
a.2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per
menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
b.1. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.
b.2. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Infeksi yang menyerang hidung
sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media, faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi yang menyerang mulai
dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai
dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis,
bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak
sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum
kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek,
anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang
masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam
setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi
penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%),
6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan
(9,2%), 48-59 bulan (8,0%). Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di
Medan pada tahun 1999 mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada
bedanya antara laki-laki dan perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6
tahun lebih sering pada anak laki-laki. Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk
(2001) prevalensi ISPA pada anak laki-laki (9,4%) hampir sama dengan
perempuan (9,3%).
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan
penyebab morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang
morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama
disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia. Menurut penelitian Djaja,
dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan (11,2%),
sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara di luar Jawa-
bali (7,8%). Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk daerah tidak
tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,
faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih
dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit
virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus
Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003),
mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang
menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita setiap tahun di negara
berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di
Pakistan didapatkan bahwa 95% S. pneumococcus kehilangan sensitivitas paling
sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri yang diperiksa resisten
terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk mengobati infeksi
pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.
Pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.
b. Manusia
b.1. Umur
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai
angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥ 2500 gram saat lahir
selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian
terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan
faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama
selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum,
yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim,
Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk
melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan
ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi
lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu
formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI
atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa
mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah
menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut,
uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan
akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan
oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut,
bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.
1. OTITIS MEDIA
Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi
Otitis Media Akut, Otitis Media Efusi, dan Otitis Media Kronik. Infeksi ini banyak menjadi
problem pada bayi dan anak-anak. Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak usia 6
bulan-3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder
yaitu menurunnya imunokompetensi pada anak. Disfungsi tuba Eustachius berkaitan dengan
adanya infeksi saluran napas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan
otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus
selama > 3 bulan (Otitis media kronik).
Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, otalgia, otorrhea,
iritabilitas, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitismedia akut dapat
menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam, leukositosis. Manifestasi otitis media
pada anak-anak kurang dari 3 tahun seringkali bersifat non-spesifik seperti iritabilitas,
demam, terbangun pada malam hari, nafsu makan turun, pilek dan tanda rhinitis,
konjungtivitis.8 Otitis media efusi ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga bagian
tengah tanpa disertai tanda peradangan akut. Manifestasi klinis otitis media kronik adalah
dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase. Otorrhea semakin
meningkat pada saat infeksi saluran pernapasan atau setelah terekspose air. Nyeri jarang
dijumpai pada otitis kronik, kecuali pada eksaserbasi akut. Hilangnya pendengaran
disebabkan oleh karena destruksi membrana timpani dan tulang rawan. Otitis media
didiagnosis dengan melihat membrana timpani menggunakan otoscope. Tes diagnostik lain
adalah dengan mengukur kelenturan membrana timpani dengan Tympanometer. Dari tes ini
akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain
menggunakan X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan
nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik. Pada kebanyakan kasus, otitis media
disebabkan oleh virus, namun sulit dibedakan etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan
presentasi klinik maupun pemeriksaan menggunakan otoskop saja. Otitis media akut biasanya
diperparah oleh infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan
oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat pada akumulasi cairan dan mukus yang
kemudian terinfeksi oleh bakteri. Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilusinfluenzae, Moraxella catarrhalis 9. Otitis media
kronik terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut yang berulang, meskipun hal ini
dapat pula terjadi paska trauma atau penyakit lain. Perforasi membrana timpani, diikuti
dengan perubahan mukosa (seperti degenerasi polipoid dan granulasi jaringan) dan tulang
rawan (osteitis dan sclerosis). Bakteri yang terlibat pada infeksi kronik berbeda dengan otitis
media akut, dimana P. aeruginosa, Proteus species, Staphylococcus aureus, dan gabungan
anaerob menjadi nyata.
2. Penularan Dan Faktor Risiko
Oleh karena sebagian besar otitis media didahului oleh infeksi pernapasan atas, maka
metode penularan adalah sama seperti pada infeksi pernapasan tersebut. Faktor risiko untuk
mengalami otitis media semakin tinggi pada anak dengan “otitis-prone” yang mengalami
infeksi pernapasan atas.
3. Komplikasi
• Mastoiditis
• Meningitis
• Abses otak
• Labyrinthitis.
4. RESISTENSI
5. TERAPI
1. OUTCOME
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi nyeri, eradikasi infeksi, dan mencegah
komplikasi.
2.TERAPI POKOK
Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila disertai
pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko rendah (yaitu usia > 2 th
serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien
risiko tinggi. Rejimen antibiotika yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini
pertama dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila:
Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan
terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang
persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai
kembali antibiotika dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama.
Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan amoksisilin
20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangiinsiden otitis media sebesar
40-50%.
2. SINUSITIS
Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak
dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas.
Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan
selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang
dimaksud adalah gejala seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan
bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud dengan
gejala yang berat adalah di samping adanya sekret yang purulen juga disertai demam (bisa
sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala
yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal
sebanyak 3 episode dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan. Sinusitis
kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Sinusitis
bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, yaitu adanya
obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor dan infeksi gigi. Sebab lain adalah
immunodefisiensi, abnormalitas sel darah putih dan bibir sumbing.
Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang kental berwarna
hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada wajah di area pipi, di
antara kedua mata dan di dahi. Tanda umum terdiri dari batuk, demam tinggi, sakit
kepala/migraine, serta menurunnya nafsu makan, malaise. Penegakan diagnosis adalah
melalui pemeriksaan klinis THT, aspirasi sinus yang dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai
lebih dari 104/ml koloni bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (untuk kasus kompleks).
Sinusitis viral dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala menetap lebih dari 10 hari atau
gejala memburuk setelah 5-7 hari. Selain itu sinusitis virus menghasilkan demam menyerupai
sinusitis bakteri namun kualitas dan warna sekret hidung jernih dan cair. Sinusitis bakteri
akut umumnya berkembang sebagai komplikasi dari infeksi virus saluran napas atas. Bakteri
yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis
kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob
dan S. aureus.
Penularan sinusitis adalah melalui kontak langsung dengan penderita melalui udara.
Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran sinusitis, dianjurkan untuk memakai masker
(penutup hidung), cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. Faktor
predisposisi sinusitis adalah sebagai berikut :
3. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul akibat sinusitis yang tidak tertangani dengan baik adalah :
Meningitis
Septikemia
Sedangkan pada sinusitis kronik dapat terjadi kerusakan mukosa sinus, sehingga memerlukan
tindakan operatif untuk menumbuhkan kembali mukosa yang sehat.
4. RESISTENSI
5. TERAPI
1. OUTCOME
2. Terapi Pokok
Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali
bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat dipilih tertera pada tabel
3.1. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat diperpanjang
hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi.
3. Terapi Pendukung
3. FARINGITIS
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan
sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis.
Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis
dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di
lingkungan anak-anak.
2. Faktor Risiko
3. Komplikasi
Sinusitis
Otitis media
Mastoiditis
Abses peritonsillar
Demam rematik
Glomerulonefritis.
4. Resistensi
5. Terapi
1. Outcome
2. TERAPI POKOK
1. Faringitis oleh Streptococcus grup A biasanya sembuh dengan sendirinya, demam dan
gejala lain biasanya menghilang setelah 3-4 hari meskipun tanpa antibiotika.
2. Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama kali muncul dan tetap
dapat mencegah komplikasi.
Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus grup A,
yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, cefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap
menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta
harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin,
khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan
antibiotika oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali
pada azitromisin hanya 5 hari. Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang dapat
digunakan.
Grup A
Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersedia adalah
eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilin klavulanat.
3. Terapi Pendukung
4. RINITIS
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.
1. Klasifikasi rinitis
Klasifikasi rinitis alergi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan
sifat berlangsungnya, yaitu:
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
5. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
6. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
7. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
8. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang
pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
5. LARINGITIS
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang
berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain
adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.
1. Fisiologi
2. Etiologi
1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti influenza
atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3),
rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae.
2. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
3. Pemakaian suara yang berlebihan
4. Trauma
5. Bahan kimia
6. Merokok dan minum-minum alkohol
7. Alergi
3. Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder.
Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan
dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak
ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi
seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat.
Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya.
Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus
untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi
tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring.
Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri
akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsangpeningkatan
suhu tubuh.
4. Gejala Klinis
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar
atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang
biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang
disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak
terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut
dihidung atau sinus paranasal atau paru.
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan
retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik
yang dapat mengancam jiwa anak.
5. Pemeriksaan Penunjang
6 Diagnosis
Diagnosa Banding
7. Penatalaksanaan
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi
masuk rumah sakit apabila :
Terapi :
6. TONSILITIS
Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel
( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ). Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil
faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding
faring / Gerlach’s tonsil ) ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007 ). Tonsilitis akut adalah
radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus
viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000).
1. Etiologi
2. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi.
Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan
kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot,
kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter,
lingkungan, maupunmkarena alergi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari
dinding yang terdiri dari membran mukosa ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx
( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
4. Penatalaksanaan
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat
isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung
selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa / otitis media supurataif ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 )
a. Wawancara
1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
2) Apakah pengobatan adekuat
3) Kapan gejala itu muncul
4) Bagaimana pola makannya
5) Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut ( Doengoes, 2000), yaitu :
a) Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut, khawatir
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
b) Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi
c) Hygiene
Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk
d) Nyeri / Keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : Sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ketelinga
e) Pernapasan
Gejala : Riwayat menghisap asap rokok ( mungkin ada anggota keluarga yang
merokok ), tinggal di tempat yang berdebu.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Tes Laboratorium
1) Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian
pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah.
Persiapan pemeriksaan yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2. Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3. Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit,
dan sebagainya.
b. Kultur : Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
c. Terapi
7. EPIGLOTITIS
Epiglotitis sama dengan supraglotitis. Epiglotitis adalah suatu infeksi pada epiglotitis ,
yang dapat menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan dan kematian.Infeksi pada
epiglotis ini merupakan penyakit yang sama berbahayanya dengan croup yaitu suatu infeksi
laring yang menimbulkan stridor dan obstruksi jalan nafas Epiglotis akut menggambarkan
infeksi yang sangat cepat dan progresif yang menyebabkan peradangan pada epi glotis (flap
yang mencakup trakea )dan jaringan di sekitar epiglotis yang dapat menyebabkan penyumb
atan mendadak dari saluran nafas atas dan kematian.
1. Epidemiologi
Epiglotitis paling sering pada anak anak berusia antara usia 2 dan 8 tahun , meskipun
penyakit ini dapat mengenai usia berapapun.Pria lebnih sering terkena dibandingkan wanita
dengan perbandingan 2,5:1. Pada orang dewasa , merokok dan kurangnya imun tubuh dapat
menjadi faktor resiko , dan ada beberapa bukti yang mendukung peningkatan resiko pada
penderita diabetes.Sejak terjadi kemajuan dalam hal vaksinasi melawan haemophilus
influenza type b pada anak – anak , insidensi epiglotitis akut pada anak telah
berkurang.Selama beberapa tahun terakhir kejadian epiglotitis pada orang dewasa terlihat
mengalami peningkatan ETIOLOGI Penyebab epiglotitis adalah berbagai mikroorganisme
yang menyebabkan infeksi akut jalan nafas.Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh bakteri
haemophilus influenza tipe b.Pada anak – anak yang lebih tua dan orang dewasa kadang
disebabkan oleh streptokokus . Penyebab lain yang menimbulkan epiglotitis adalah
pneumpococci ,group A beta haemolytic streptococcus ,pseudomonas ,mycobacterium
tuberculosis ,virus ,trauma lokal , seperti terhirup benda asing atau setelah intubasi.
2. Patofisiologi
Epiglotitis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri .Infeksi yang berat menyebabkan
peradangan dan edema epiglotis , supraepiglotic dan jaringan sekitar lainnya.Bakteri secara
langsung menyerang selaput lendir epiglotis diamana sub mukosa menjadi longgar.Jalan
nafas menjadi tersumbat akibat pembengkakan epiglotis yang berkembang dengan
cepat.Terjadi gangguan pernafasan dan obstruksi jalan nafas total.Walau jarang , penyebab
non infeksi bisa disebabkan oleh adanya trauma luka bakar dan trauma kaustik yang dapat
menyebabkan epiglotitis. Anak – anak dengan luka bakar terutama akibat air panas juga harus
diamati dengan hati – hati agar tidak terjadi komplikasi.Penyebab lain epiglotittis seperti
tertelan benda asing , cedera akibat inhalasi dan angioneuretik edema
3. Gejala Klinis
Banyak tanda dan gejala yang dapat terjadi pada epiglotitis , dan gejala nya dapat
berkembang pesat dan dapat terjadi dalam beberapa jam.Gejala klinis epiglotitis yang paling
umum adalah sakit tenggorokan ringan atau infeksi saluran pernafasan atas.hal ini
diakibatkan karena infeksi bermula di saluran pernafasan atas .kemudian infeksi bergerak ke
bawah yaitu di epiglotis. Epiglotitis dapat segera berakibat fatal karena pembengkakan
jaringan yang terinfeksi dan dapat menyumbat saluran udara dan menghentikan
pernafasan.Peradangan pada faring menyebabkan terjadi pembengkakan epiglotis .Hal ini
disebabkan karena edema jaringan longgar pada permukaan atas , yang kemudian dapat
menyebar untuk ke daerah supraglotis yang lebih luas. Epiglotitis dapat segera berakibat fatal
karena pembengkakan jaringan yang terinfeksi dapat menyumbat saluran udara dan
menghentikan pernafasan.
Infeksi biasanya dimulai secara tiba – tiba dan berkembang dengan cepat.gejalanya
terdiri dari :
a. sulit menelan
b. air liur keluar berlebihan (drooling)
c. odinofagi
d. stidor (suara pernafasan yang kasar)
e. suara serak
f. anak tampak sakit keras dan gelisah
g. demam
h. sianosis (warna kulit kebiruan )
gejala lain dapat berupa :
a. batuk
b. nyeri telinga
c. tripod sign ( badan membungkuk ke depan , sebagai upaya untuk bernafas )
4. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesa yang dapat ditemukan adalah biasanya pasien akan mengeluh demam
(suhu tinggi ) bisasanya merupakan gejala pertama.Seseorang dengan epiglotitis juga akan
mengeluh sangat sakit tenggorokan.Pasien dapat juga memiliki suara yang serak dan nyeri
menelan. Karena sakit pada waktu menelan , pasien mungkin mengeluarkan banyak air liur
karena sulit menelan. Batuk juga merupakan gejala yang umum yang dapat dijumpai. Trauma
akibat benda asing merupakan penyebab lain dari epiglotis yang jarang terjadi. Pasien akan
datang dengan keluhan stridor dan kesulitan menelan. Suara serak dan perubahan suara akan
menjadi kecurigaan akibat tertelan benda asing pada anamnesa awal.
Pemeriksaan fisik pada epiglotitis merupakan gejala dan hasil pemeriksaan dengan
laringoskopi yang menunjukan pembengkakan epiglotis.
A. Laringoskopi
B. X-Ray
C. Pemeriksaan Laboratorium
Pembiakan darah atau lendir tenggorokan dapat menunjukan adanya bakteri. Pada
pemeriksaan darah lengkap tampak peningkatan jumlah sel darah putih. Rontgen leher dapat
menunjukan adanya pembengkakan epiglotis.
kultur darah digunakan untuk memastikan antibiotik yang adekuat terhadap bakteri
penyebab.
Diagnosa Banding
Diagnosa banding tergantung pada gejala –gejala yang timbul dan usia pasien , tetapi
pada umumnya termasuk :
a. Faringitis
b. Laringitis
c. Terhirup benda asing
d. Croup
e. Abses retrofaring
5. Komplikasi
a. Pembentukan abses
b. Meningitis
c. Septikemia
d. Gagal nafas
5. Penanganan
Epiglotitis adalah kegawatdaruratan medis yang bila tidak ditangani akan berakibat
fatal. Prinsip penanganan dan pengobatan pasien dengan epiglotitis adalah semakin cepat
penanganan prognosa semakin baik. Pasien harus dirawat di rumah sakit segera jika diagnosis
klinis dicurigai.Visualisasi langsung dari epiglotis adalah diagnostik. Obstruksi jalan nafas
dapat tiba tiba terjadi sehingga airway (jalan nafas ) harus segera ditangani dengan
pemasanagn tuba endotrakeal. Hal ini diakibatkan pada epiglotis yang meradang mekanisme
nya adalah menghalangi jalan nafas , kerja nafas menjadi meningkat dan retensi karbon
dioksida dan hipoksia (oksigen rendah ) dapat terjadi clereance sekresi juga terganggu .
Faktor – faktor ini dapat mengakibatkan asfiksia fatal dalam beberapa jam dan dapat
menyebabkan kematian. Untuk meningkatkan hidrasi dilakukan pemasangan iv line (cairan
infus). Dalam kasus yang lebih parah , jika epiglotis bengkak dan memblokir jalan nafas ,
bahkan oksigen tidak mampu menanggulangi, prosedur yang dapat dilakukan tim medis
adalah trakeostomi. ini adalah tindakan dengan membuat lubang kecil di trakea
(tenggorokan). Hal ini memungkinkan tabung untuk masuk ke epiglotis yang membengkak
sehingga oksigen dapat masuk ke paru. Sementara bantuan ventilator penting untuk pasien
dengan trakeostomi dengan perawatan itensif dengan pemberian antibiotik .
Terapi Medikamentosa
1. Penisilin
2. CEFALOSPORIN
3. MAKROLIDA
Kehamilan B
Monitoring Tanda infeksi, fungsi liver
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat
hepatitis,disfungsi hepar, disfungsi ginjal. Uji efektivitas
dan keamanan belum pernah dilakukan pada bayi < 6
bulan dengan otitis media, CAP atau pada anak < 2
tahun dengan faringitis/tonsillitis.
Informasi untuk pasien Obat diminum bersama makanan untuk mengatasi efek
samping terhadap saluran cerna. Jangan minum
antasida bersama obat ini.
4. TETRASIKLIN
5. Quinolon
6. Sulfonamida