Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian
sebagai berikut:

2.1.1. Infeksi

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh


manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2.1.2. Saluran pernafasan

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis
mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).

2.1.3. Infeksi akut

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.

2.3. Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres.
Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang
kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba
eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit
ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan
adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak
langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme
penyebab.

2.5. Diagnosa ISPA

Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan
menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata
untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab
pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi
WHO), bahwa Streptococcus, Pnemoniadan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat
pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat
dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala
tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit non-pnemonia lainnya.

2.6. Klasifikasi ISPA

2.6.1. Klasifikasi Berdasarkan Umur

a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a.1. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC),
pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat,
sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen
tegang.
a.2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per
menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.

b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :

b.1. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.

b.2. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.

b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.

2.6.2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Infeksi yang menyerang hidung
sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media, faringitis.

b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi yang menyerang mulai
dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai
dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis,
bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

2.7. Epidemiologi Penyakit ISPA

2.7.1. Distribusi Penyakit ISPA

a. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang

Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak
sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum
kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek,
anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang
masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam
setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi
penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%),
6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan
(9,2%), 48-59 bulan (8,0%). Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di
Medan pada tahun 1999 mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada
bedanya antara laki-laki dan perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6
tahun lebih sering pada anak laki-laki. Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk
(2001) prevalensi ISPA pada anak laki-laki (9,4%) hampir sama dengan
perempuan (9,3%).

b. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat

ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan
penyebab morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang
morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama
disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia. Menurut penelitian Djaja,
dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan (11,2%),
sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara di luar Jawa-
bali (7,8%). Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk daerah tidak
tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).

c. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu

Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for Childrenpada


30 desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan kematian
akibat pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di
Indonesia sendiri oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian
balita akibat penyakit ISPA 5 per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi
3 per 1000 pada akhir tahun 2005. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2005, terlihat bahwa cakupan pneumonia penderita dan pengobatan dari
target (perkiraan penderita) masih relatif rendah, tahun 2000 ada 30,1%;
tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada 22,1%; tahun 2003 ada 30%; tahun
2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil pantauan yang dilakukan ini
belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh karena masih ada beberapa
wilayah yang belum menyampaikan laporannya. Penelitian Septri Anti (2007),
dari catatan bulanan program P2 ISPA Kota Medan tahun 2002-2006
didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier terdapat nilai signifikan
sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
waktu dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti bahwa
adanya kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita ISPA, dimana
penderita penyakit ISPA pada tahun 2002 berjumlah 8.836 orang dan pada
tahun 2007 mencapai 9.412 orang.
2.7.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,
faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih
dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit
virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus
Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003),
mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang
menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita setiap tahun di negara
berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di
Pakistan didapatkan bahwa 95% S. pneumococcus kehilangan sensitivitas paling
sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri yang diperiksa resisten
terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk mengobati infeksi
pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.
Pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.

Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari


101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan
didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua
penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya
tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%)
dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%). Dari hasil biakan terlihat bahwa
yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%,
diikuti oleh Enterobacter aerogens19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas
aureginosa 16 galur sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%,
Stapilococcus aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar
1,94%, dan Sreptococcus pneumonie1 galur sebesar 0,97%.

b. Manusia

b.1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2


tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia
2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan
bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998
sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah
91,1%, demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006,
didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok
umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan
sebesar 17,9%.
b.2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian
kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan
Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan
dengan anak perempuan.

b.3. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab


utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-
anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh
keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat
gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit
dalam tubuh. Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan
desain cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk
mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak
yang berstatus gizi baik/normal.

Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut


Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk
keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat
badan terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1. Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD


2. Gizi Baik: bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
3. Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
4. Gizi Buruk: bila Z_Skor terletak < -3 SD.

b.4. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai
angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥ 2500 gram saat lahir
selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian
terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.

b.5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan
faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama
selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum,
yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim,
Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk
melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan
ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi
lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu
formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI
atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa
mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.

b.6. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap


penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti,
POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus,
pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat
penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang
ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x :
2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B
3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah
4 minggu.

2.8 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah
menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut,
uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan
akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan
oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut,
bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis,


epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi
pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran
napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi
saluran napas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta
perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan
adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
2.8.1 Infeksi Saluran Pernapasan Atas

1. OTITIS MEDIA

Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi
Otitis Media Akut, Otitis Media Efusi, dan Otitis Media Kronik. Infeksi ini banyak menjadi
problem pada bayi dan anak-anak. Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak usia 6
bulan-3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder
yaitu menurunnya imunokompetensi pada anak. Disfungsi tuba Eustachius berkaitan dengan
adanya infeksi saluran napas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan
otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus
selama > 3 bulan (Otitis media kronik).

 Etiologi & Patogenesis

1. Tanda, Diagnosis & Penyebab

Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, otalgia, otorrhea,
iritabilitas, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitismedia akut dapat
menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam, leukositosis. Manifestasi otitis media
pada anak-anak kurang dari 3 tahun seringkali bersifat non-spesifik seperti iritabilitas,
demam, terbangun pada malam hari, nafsu makan turun, pilek dan tanda rhinitis,
konjungtivitis.8 Otitis media efusi ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga bagian
tengah tanpa disertai tanda peradangan akut. Manifestasi klinis otitis media kronik adalah
dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase. Otorrhea semakin
meningkat pada saat infeksi saluran pernapasan atau setelah terekspose air. Nyeri jarang
dijumpai pada otitis kronik, kecuali pada eksaserbasi akut. Hilangnya pendengaran
disebabkan oleh karena destruksi membrana timpani dan tulang rawan. Otitis media
didiagnosis dengan melihat membrana timpani menggunakan otoscope. Tes diagnostik lain
adalah dengan mengukur kelenturan membrana timpani dengan Tympanometer. Dari tes ini
akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain
menggunakan X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan
nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik. Pada kebanyakan kasus, otitis media
disebabkan oleh virus, namun sulit dibedakan etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan
presentasi klinik maupun pemeriksaan menggunakan otoskop saja. Otitis media akut biasanya
diperparah oleh infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan
oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat pada akumulasi cairan dan mukus yang
kemudian terinfeksi oleh bakteri. Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilusinfluenzae, Moraxella catarrhalis 9. Otitis media
kronik terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut yang berulang, meskipun hal ini
dapat pula terjadi paska trauma atau penyakit lain. Perforasi membrana timpani, diikuti
dengan perubahan mukosa (seperti degenerasi polipoid dan granulasi jaringan) dan tulang
rawan (osteitis dan sclerosis). Bakteri yang terlibat pada infeksi kronik berbeda dengan otitis
media akut, dimana P. aeruginosa, Proteus species, Staphylococcus aureus, dan gabungan
anaerob menjadi nyata.
2. Penularan Dan Faktor Risiko

Oleh karena sebagian besar otitis media didahului oleh infeksi pernapasan atas, maka
metode penularan adalah sama seperti pada infeksi pernapasan tersebut. Faktor risiko untuk
mengalami otitis media semakin tinggi pada anak dengan “otitis-prone” yang mengalami
infeksi pernapasan atas.

3. Komplikasi

Komplikasi otitis media meliputi:

• Mastoiditis

• Paralisis syaraf ke-7

• Thrombosis sinus lateral

• Meningitis

• Abses otak

• Labyrinthitis.

4. RESISTENSI

Pola resistensi terhadap H. influenzae dan M. catarrhalis dijumpai di berbagai belahan


dunia. Organisme ini memproduksi enzim β-laktamase yang menginaktifasi antibiotika β-
laktam, sehingga terapi menggunakan amoksisilin seringkali gagal. Namun dengan
penambahan inhibitor β-laktamase ke dalam formula amoksisilin dapat mengatasi
permasalahan ini.

5. TERAPI

1. OUTCOME

Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi nyeri, eradikasi infeksi, dan mencegah
komplikasi.

2.TERAPI POKOK

Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila disertai
pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko rendah (yaitu usia > 2 th
serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien
risiko tinggi. Rejimen antibiotika yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini
pertama dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila:

6. antibiotika pilihan pertama gagal


7. riwayat respon yang kurang terhadap antibiotika pilihan pertama
8. hipersensitivitas
9. Organisme resisten terhadap antibiotika pilihan pertama yang dibuktikan dengan tes
sensitifitas
10. adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan antibiotika pilihan kedua.

Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan
terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang
persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai
kembali antibiotika dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama.
Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan amoksisilin
20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangiinsiden otitis media sebesar
40-50%.

Tabel Antibiotika pada Terapi pokok Otitis Media

Antibiotika Dosis Keterangan


Lini Pertama
Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari Untuk pasien risiko
terbagi dalam 3 dosis rendah yaitu: Usia>2th,
Dewasa:40mg/kg/hari tidak mendapat
terbagi dalam 3 dosis antibiotika selama 3
Anak 80mg/kg/hari terbagi bulan terakhir
dlm 2 dosis Untuk pasien risiko
Dewasa:80mg/kg/hari Tinggi
terbagi dlm 2 dosis
Lini Kedua
Amoksisilinklavulanat Anak:25-45mg/kg/hari
terbagi dlm 2 dosis
Dewasa:2x875mg
Kotrimoksazol Anak: 6-12mg TMP/30-
60mg SMX/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 1-2 tab
Cefuroksim Anak: 40mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa:2 x 250-500 mg
Ceftriaxone Anak: 50mg/kg; max 1 g; 1 dosis untuk otitis
i.m. media yang baru
3 hari terapi untuk otitis
yang resisten
Cefprozil Anak: 30mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250-500mg
Cefixime Anak:8mg/kg/hari terbagi
dlm 1-2 dosis
Dewasa: 2 x 200mg
3. TERAPI PENUNJANG

Terapi penunjang dengan analgesik dan antipiretik memberikan kenyamanan


khususnya pada anak. Terapi penunjang lain dengan menggunakan dekongestan,
antihistamin, dan kortikosteroid pada otitis media akut tidak direkomendasikan, mengingat
tidak memberikan keuntungan namun justeru meningkatkan risiko efek samping .
Dekongestan dan antihistamin hanya direkomendasikan bila ada peran alergi yang dapat
berakibat kongesti pada saluran napas atas. Sedangkan kortikosteroid oral mampu
mengurangi efusi pada otitis media kronik lebih baik daripada antibiotika tunggal.
Penggunaan Prednisone 2x5mg selama 7 hari bersama-sama antibiotika efektif menghentikan
efusi.

2. SINUSITIS

Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak
dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas.
Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan
selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang
dimaksud adalah gejala seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan
bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud dengan
gejala yang berat adalah di samping adanya sekret yang purulen juga disertai demam (bisa
sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala
yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal
sebanyak 3 episode dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan. Sinusitis
kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Sinusitis
bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, yaitu adanya
obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor dan infeksi gigi. Sebab lain adalah
immunodefisiensi, abnormalitas sel darah putih dan bibir sumbing.

 Etiologi Dan Patogenesis

1. Tanda, Diagnosis & Penyebab

Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang kental berwarna
hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada wajah di area pipi, di
antara kedua mata dan di dahi. Tanda umum terdiri dari batuk, demam tinggi, sakit
kepala/migraine, serta menurunnya nafsu makan, malaise. Penegakan diagnosis adalah
melalui pemeriksaan klinis THT, aspirasi sinus yang dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai
lebih dari 104/ml koloni bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (untuk kasus kompleks).
Sinusitis viral dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala menetap lebih dari 10 hari atau
gejala memburuk setelah 5-7 hari. Selain itu sinusitis virus menghasilkan demam menyerupai
sinusitis bakteri namun kualitas dan warna sekret hidung jernih dan cair. Sinusitis bakteri
akut umumnya berkembang sebagai komplikasi dari infeksi virus saluran napas atas. Bakteri
yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis
kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob
dan S. aureus.

2. Penularan Dan Faktor Risiko

Penularan sinusitis adalah melalui kontak langsung dengan penderita melalui udara.
Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran sinusitis, dianjurkan untuk memakai masker
(penutup hidung), cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. Faktor
predisposisi sinusitis adalah sebagai berikut :

 ISPA yang disebabkan oleh virus


 Rhinitis oleh karena alergi maupun non-alergi
 Obstruksi nasal
 Pemakaian “nasogastric tube”

3. KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul akibat sinusitis yang tidak tertangani dengan baik adalah :

 Meningitis
 Septikemia

Sedangkan pada sinusitis kronik dapat terjadi kerusakan mukosa sinus, sehingga memerlukan
tindakan operatif untuk menumbuhkan kembali mukosa yang sehat.

4. RESISTENSI

Resistensi yang terjadi pada sinusitis umumnya disebabkan oleh Streptococcus


pneumoniae yang menghasilkan enzim beta-laktamase, sehingga resisten terhadap penicillin,
amoksisilin, maupun kotrimoksazol. Hal ini diatasi dengan memilih preparat amoksisilin-
klavulanat atau fluoroquinolon.

5. TERAPI

1. OUTCOME

Membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan mengeradikasi kuman.

Tabel 3.1 Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi sinusitis

Agen Antibiotika Dosis


SINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin/Amoksisilin-clav Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis /25-
45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 3 x 500mg/ 2 x 875 mg
Kotrimoxazol Anak: 6-12mg TMP/30-60mg
SMX/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 2tab dewasa
Eritromisin Anak: 30—50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam
Dewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa: 2 x 100mg
Lini kedua
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa:2 x 875mg
Cefuroksim 2 x 500mg
Klaritromisin Anak:15mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250mg
Azitromisin 1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama 4 hari berikutnya.
Levofloxacin Dewasa:1 x 250-500mg
SINUSITIS KRONIK
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa:2 x 875mg
Azitromisin Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari
berikutnya
Dewasa: 1x500mg, kemudian 1x250mg selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

2. Terapi Pokok

Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali
bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat dipilih tertera pada tabel
3.1. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat diperpanjang
hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi.

3. Terapi Pendukung

Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan. Penggunaan


antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi, namun perlu diwaspadai
bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan topikal dapat
mempermudah pengeluaran sekret, namun perlu diwaspadai bahwa pemakaian lebih dari lima
hari dapat menyebabkan penyumbatan berulang.

3. FARINGITIS

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan
sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis.
Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis
dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di
lingkungan anak-anak.

 Etiologi Dan Patogenesis

1. Tanda, Diagnosis & Penyebab


Faringitis mempunyai karakteristik yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri tenggorokan,
nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faring, palatum, tonsil berwarna
kemerahan dan tampak adanya pembengkakan. Eksudat yang purulen mungkin menyertai
peradangan. Gambaran leukositosis dengan dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk
faringitis oleh streptococcus gejala yang menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang
disertai nyeri tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri
abdomen, muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria. Faringitis didiagnosis dengan
cara pemeriksaan tenggorokan, kultur swab tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki
sensitivitas 90-95% dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab
faringitis yang diandalkan. Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri
Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang
mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria
Gonorrhoeae. Streptococcus Hemolitik Grup A hanya dijumpai pada 15-30% dari kasus
faringitis pada anak-anak dan 5-10% pada faringitis dewasa. Penyebab lain yang banyak
dijumpai adalah nonbakteri, yaitu virus-virus saluran napas seperti adenovirus, influenza,
parainfluenza, rhinovirus dan respiratory syncytial virus (RSV). Virus lain yang juga
berpotensi menyebabkan faringitis adalah echovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus
(HSV). Epstein barr virus (EBV) seringkali menjadi penyebab faringitis akut yang menyertai
penyakit infeksi lain. Faringitis oleh karena virus dapat merupakan bagian dari influenza.

2. Faktor Risiko

1. Riwayat demam rematik


2. HIV positif, pasien dengan kemoterapi, immunosuppressed
3. Diabetes Mellitus
4. Kehamilan
5. Pasien yang sudah memulai antibiotik sebelum didiagnosis
6. Nyeri tenggorokan untuk selama lebih dari 5 hari

3. Komplikasi

 Sinusitis
 Otitis media
 Mastoiditis
 Abses peritonsillar
 Demam rematik
 Glomerulonefritis.

4. Resistensi

Resistensi terhadap Streptococcus Grup A dijumpai di beberapa negara terhadap


golongan makrolida dan azalida, namun tidak terhadap Penicillin.

5. Terapi
1. Outcome

Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta membatasi


komplikasi.

2. TERAPI POKOK

Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus


Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab faringitis sebelum terapi dimulai.
Terapi dengan antibiotika dapat dimulai lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi
terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini
dengan antibiotika menyebabkan resolusi dari tanda dan gejala yang cepat. Namun perlu
diingat adanya 2 fakta berikut:

1. Faringitis oleh Streptococcus grup A biasanya sembuh dengan sendirinya, demam dan
gejala lain biasanya menghilang setelah 3-4 hari meskipun tanpa antibiotika.
2. Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama kali muncul dan tetap
dapat mencegah komplikasi.

Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus grup A,
yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, cefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap
menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta
harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin,
khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan
antibiotika oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali
pada azitromisin hanya 5 hari. Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang dapat
digunakan.

Tabel: Antibiotika pada terapi Faringitis oleh karena Streptococcus

Grup A

Lini Pertama Penicilin G (untuk 1 x 1,2 juta U 1 dosis


pasien yang tidak i.m.
dapat menyelesaikan
terapioral selama 10
hari)
Penicilin VK Anak: 2-3 x250mg 10 hari
Dewasa 2-3 x500mg
Amoksisilin Anak: 3 x 250mg 10 hari
(Klavulanat)3x500mg Dewasa:3x500mg
selama 10 hari
Lini Eritromisin (untuk Anak: 4 x 250mg 10 hari
kedua : Pasien alergi Dewasa:4x500mg
Penicilin)
Azitromisin atau 5 hari
Klaritromisin (lihat
dosis pada Sinusitis)
Cefalosporin generasi Bervariasi 10 hari
satu atau dua sesuai agen
Levofloksasin
(hindari untuk anak
maupun wanita
hamil)

Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersedia adalah
eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilin klavulanat.

Tabel : Pilihan antibiotika pada terapi faringitis yang gagal

Rute Pemberian, Dosis Lama terapi


Anbiotika
Oral

Klindamycin Anak: 20-30 mg/kg /hari 10 hari


terbagi dlm 3 dosis.
Dewasa: 600 mg/hari terbagi 10 hari
dlm 2-4 dosis.
Amoksisilinclavulanat Anak: 40 mg/kg/hari terbagi 10 hari
acid dalam 3
dosis
Dewasa: 3 x500 mg/2 kali 10 hari
sehari
Parenteral dengan atau
tanpa oral
Benzathine penicillin G 1 x 1,2 juta U i.m. 1 dosis

Benzathine penicillin G Rifampicin: 20 mg/kg/hari 4 hari


with Rifampin terbagi dlm 2 dosis.

Terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan menggunakan


parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan garam hangat atau
gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin pada anak-anak karena dapat meningkatkan
risiko Reye’s Syndrome. Tablet hisap yang mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat
pula disarankan.

3. Terapi Pendukung

 Analgesik seperti ibuprofen


 Antipiretik
 Kumur dengan larutan garam, gargarisma khan
 Lozenges/ Tablet hisap untuk nyeri tenggorokan.

4. RINITIS

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.

1. Klasifikasi rinitis

Klasifikasi rinitis alergi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan
sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya


(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang


dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

2. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik


dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis
alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker,
1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

5. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
6. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
7. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
8. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

3. Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

4. Gejala klinik rinitis alergi

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang
pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

5. Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,


akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP)
dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

6. Penatalaksanaan rinitis alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja


secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun
pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan
hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan


hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

5. LARINGITIS

Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang
berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain
adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.

1. Fisiologi

Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi, sirkulasi,


menelan, emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah agar
makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis yang secara bersamaan. Benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dan sekret yang
berasal dari paru juga dapat dikeluarkan lewat reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan
mengatur mengatur besar kecilnya rima glotis. Fungsi laring dalam proses menelan
mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan laring bagian bawah keatas, menutup aditus
laringeus, serta mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk
kedalam laring. Laring mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak,
mengeluh, menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan fungsinya untuk fonasi dengan
membuat suara serta mementukan tinggi rendahnya nada.

2. Etiologi

1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti influenza
atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3),
rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae.
2. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
3. Pemakaian suara yang berlebihan
4. Trauma
5. Bahan kimia
6. Merokok dan minum-minum alkohol
7. Alergi

3. Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder.
Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan
dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak
ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi
seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat.
Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya.
Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus
untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi
tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring.
Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri
akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsangpeningkatan
suhu tubuh.

4. Gejala Klinis

1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar
atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang
biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang
disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak
terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut
dihidung atau sinus paranasal atau paru.
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan
retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik
yang dapat mengancam jiwa anak.

5. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis(Steeple sign).


Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi
sekunder, leukosit dapat meningkat.
3. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yang sangat
sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu
pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita
suara.

6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang.

Diagnosa Banding

1. Benda asing pada laring


2. Faringitis
3. Bronkiolitis
4. Bronkitis
5. Pnemonia

7. Penatalaksanaan

Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi
masuk rumah sakit apabila :

 Usia penderita dibawah 3 tahun


 Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
 Diagnosis penderita masih belum jelas
 Perawatan dirumah kurang memadai

Terapi :

1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari


2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
3. Istirahat
4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada muncul
sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang
dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray
5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada demam, bila
ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung tersumbat
dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin,
pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.Pemberian
antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4
dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis atau
sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat diberikan
kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.
6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak berhasil
maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan
nafas.
7. Pencegahan : Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat
tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air
karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan
tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan
kafein untuk mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan
tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada
pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan
tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

6. TONSILITIS

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel
( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ). Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil
faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding
faring / Gerlach’s tonsil ) ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007 ). Tonsilitis akut adalah
radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus
viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000).

1. Etiologi

Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk,


2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan oleh infeksi virus.

2. Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi.
Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan
kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot,
kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

3. Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :

1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter,
lingkungan, maupunmkarena alergi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari
dinding yang terdiri dari membran mukosa ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx
( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).

4. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan tonsilitis akut

a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat
isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung
selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.

2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik

a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.


b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical Indikators
Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu:

1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa / otitis media supurataif ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 )

5. Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang

1. Fokus pengkajian menurut (Firman S, 2006), yaitu :

a. Wawancara
1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
2) Apakah pengobatan adekuat
3) Kapan gejala itu muncul
4) Bagaimana pola makannya
5) Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut ( Doengoes, 2000), yaitu :
a) Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut, khawatir
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
b) Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi
c) Hygiene
Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk
d) Nyeri / Keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : Sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ketelinga
e) Pernapasan
Gejala : Riwayat menghisap asap rokok ( mungkin ada anggota keluarga yang
merokok ), tinggal di tempat yang berdebu.

2. Pemeriksaan penunjang

a. Tes Laboratorium
1) Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian
pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah.
Persiapan pemeriksaan yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2. Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3. Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit,
dan sebagainya.
b. Kultur : Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.

c. Terapi

Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik,


dan obat kumur yang mengandung desinfektan ( Soetomo, 2004 )

7. EPIGLOTITIS

Epiglotitis sama dengan supraglotitis. Epiglotitis adalah suatu infeksi pada epiglotitis ,
yang dapat menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan dan kematian.Infeksi pada
epiglotis ini merupakan penyakit yang sama berbahayanya dengan croup yaitu suatu infeksi
laring yang menimbulkan stridor dan obstruksi jalan nafas Epiglotis akut menggambarkan
infeksi yang sangat cepat dan progresif yang menyebabkan peradangan pada epi glotis (flap
yang mencakup trakea )dan jaringan di sekitar epiglotis yang dapat menyebabkan penyumb
atan mendadak dari saluran nafas atas dan kematian.

1. Epidemiologi

Epiglotitis paling sering pada anak anak berusia antara usia 2 dan 8 tahun , meskipun
penyakit ini dapat mengenai usia berapapun.Pria lebnih sering terkena dibandingkan wanita
dengan perbandingan 2,5:1. Pada orang dewasa , merokok dan kurangnya imun tubuh dapat
menjadi faktor resiko , dan ada beberapa bukti yang mendukung peningkatan resiko pada
penderita diabetes.Sejak terjadi kemajuan dalam hal vaksinasi melawan haemophilus
influenza type b pada anak – anak , insidensi epiglotitis akut pada anak telah
berkurang.Selama beberapa tahun terakhir kejadian epiglotitis pada orang dewasa terlihat
mengalami peningkatan ETIOLOGI Penyebab epiglotitis adalah berbagai mikroorganisme
yang menyebabkan infeksi akut jalan nafas.Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh bakteri
haemophilus influenza tipe b.Pada anak – anak yang lebih tua dan orang dewasa kadang
disebabkan oleh streptokokus . Penyebab lain yang menimbulkan epiglotitis adalah
pneumpococci ,group A beta haemolytic streptococcus ,pseudomonas ,mycobacterium
tuberculosis ,virus ,trauma lokal , seperti terhirup benda asing atau setelah intubasi.

2. Patofisiologi

Epiglotitis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri .Infeksi yang berat menyebabkan
peradangan dan edema epiglotis , supraepiglotic dan jaringan sekitar lainnya.Bakteri secara
langsung menyerang selaput lendir epiglotis diamana sub mukosa menjadi longgar.Jalan
nafas menjadi tersumbat akibat pembengkakan epiglotis yang berkembang dengan
cepat.Terjadi gangguan pernafasan dan obstruksi jalan nafas total.Walau jarang , penyebab
non infeksi bisa disebabkan oleh adanya trauma luka bakar dan trauma kaustik yang dapat
menyebabkan epiglotitis. Anak – anak dengan luka bakar terutama akibat air panas juga harus
diamati dengan hati – hati agar tidak terjadi komplikasi.Penyebab lain epiglotittis seperti
tertelan benda asing , cedera akibat inhalasi dan angioneuretik edema

3. Gejala Klinis

Banyak tanda dan gejala yang dapat terjadi pada epiglotitis , dan gejala nya dapat
berkembang pesat dan dapat terjadi dalam beberapa jam.Gejala klinis epiglotitis yang paling
umum adalah sakit tenggorokan ringan atau infeksi saluran pernafasan atas.hal ini
diakibatkan karena infeksi bermula di saluran pernafasan atas .kemudian infeksi bergerak ke
bawah yaitu di epiglotis. Epiglotitis dapat segera berakibat fatal karena pembengkakan
jaringan yang terinfeksi dan dapat menyumbat saluran udara dan menghentikan
pernafasan.Peradangan pada faring menyebabkan terjadi pembengkakan epiglotis .Hal ini
disebabkan karena edema jaringan longgar pada permukaan atas , yang kemudian dapat
menyebar untuk ke daerah supraglotis yang lebih luas. Epiglotitis dapat segera berakibat fatal
karena pembengkakan jaringan yang terinfeksi dapat menyumbat saluran udara dan
menghentikan pernafasan.

Infeksi biasanya dimulai secara tiba – tiba dan berkembang dengan cepat.gejalanya
terdiri dari :

a. sulit menelan
b. air liur keluar berlebihan (drooling)
c. odinofagi
d. stidor (suara pernafasan yang kasar)
e. suara serak
f. anak tampak sakit keras dan gelisah
g. demam
h. sianosis (warna kulit kebiruan )
gejala lain dapat berupa :
a. batuk
b. nyeri telinga
c. tripod sign ( badan membungkuk ke depan , sebagai upaya untuk bernafas )

Pada epiglotitis yang lebih parah dapat berupa :


a. dypsnoe
b. dyspagia
c. disfonia
d. stridor (mendadak adanya obstruksi jalan nafas)
e. respiratory disease

4. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

Anamnesa yang dapat ditemukan adalah biasanya pasien akan mengeluh demam
(suhu tinggi ) bisasanya merupakan gejala pertama.Seseorang dengan epiglotitis juga akan
mengeluh sangat sakit tenggorokan.Pasien dapat juga memiliki suara yang serak dan nyeri
menelan. Karena sakit pada waktu menelan , pasien mungkin mengeluarkan banyak air liur
karena sulit menelan. Batuk juga merupakan gejala yang umum yang dapat dijumpai. Trauma
akibat benda asing merupakan penyebab lain dari epiglotis yang jarang terjadi. Pasien akan
datang dengan keluhan stridor dan kesulitan menelan. Suara serak dan perubahan suara akan
menjadi kecurigaan akibat tertelan benda asing pada anamnesa awal.

Pemeriksaan fisik pada epiglotitis merupakan gejala dan hasil pemeriksaan dengan
laringoskopi yang menunjukan pembengkakan epiglotis.

A. Laringoskopi

Laringoskopi adalah cara terbaik untuk mengkonfirmasi diagnosis epiglotitis.


Fibreoptic laryngoscopi adalah “Gold standard “ untuk mendiagnosa epiglotitis karena
epiglotitis dapat langsung dilihat. Namun hal ini digunakan dengan melihat kondisi pasien
dengan hemodinamik yang stabil dan memiliki jalan nafas yang baik. Namun hal ini menjadi
kekhawatiran akan terjadinya obstruksi jalan nafas sehingga laringoskopi pada pasien ini
harus dilakukan di tempat – tempat misalnya kamar operasi diamana tersedia intubasi atau
trakeostomi jika terjadi obstruksi jalan nafas.

B. X-Ray

leher Foto polos leher dengan melihat soft tissue lateral

C. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap

Pembiakan darah atau lendir tenggorokan dapat menunjukan adanya bakteri. Pada
pemeriksaan darah lengkap tampak peningkatan jumlah sel darah putih. Rontgen leher dapat
menunjukan adanya pembengkakan epiglotis.

b. kultur darah dan sensivitas

kultur darah digunakan untuk memastikan antibiotik yang adekuat terhadap bakteri
penyebab.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding tergantung pada gejala –gejala yang timbul dan usia pasien , tetapi
pada umumnya termasuk :

a. Faringitis
b. Laringitis
c. Terhirup benda asing
d. Croup
e. Abses retrofaring

5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi :

a. Pembentukan abses
b. Meningitis
c. Septikemia
d. Gagal nafas

5. Penanganan

Epiglotitis adalah kegawatdaruratan medis yang bila tidak ditangani akan berakibat
fatal. Prinsip penanganan dan pengobatan pasien dengan epiglotitis adalah semakin cepat
penanganan prognosa semakin baik. Pasien harus dirawat di rumah sakit segera jika diagnosis
klinis dicurigai.Visualisasi langsung dari epiglotis adalah diagnostik. Obstruksi jalan nafas
dapat tiba tiba terjadi sehingga airway (jalan nafas ) harus segera ditangani dengan
pemasanagn tuba endotrakeal. Hal ini diakibatkan pada epiglotis yang meradang mekanisme
nya adalah menghalangi jalan nafas , kerja nafas menjadi meningkat dan retensi karbon
dioksida dan hipoksia (oksigen rendah ) dapat terjadi clereance sekresi juga terganggu .
Faktor – faktor ini dapat mengakibatkan asfiksia fatal dalam beberapa jam dan dapat
menyebabkan kematian. Untuk meningkatkan hidrasi dilakukan pemasangan iv line (cairan
infus). Dalam kasus yang lebih parah , jika epiglotis bengkak dan memblokir jalan nafas ,
bahkan oksigen tidak mampu menanggulangi, prosedur yang dapat dilakukan tim medis
adalah trakeostomi. ini adalah tindakan dengan membuat lubang kecil di trakea
(tenggorokan). Hal ini memungkinkan tabung untuk masuk ke epiglotis yang membengkak
sehingga oksigen dapat masuk ke paru. Sementara bantuan ventilator penting untuk pasien
dengan trakeostomi dengan perawatan itensif dengan pemberian antibiotik .

Terapi Medikamentosa

Setelah penanganan umum telah dilakukan, pemberian antibiotik parenteral khusus


harus segera diberikan. Pemberian antibiotik digunakan untuk melawan infeksi sehingga
mengurangi pembengkakan epiglotis yang dapat menyebabkan obstruksi total jalan nafas.
Antibiotik dapat diberikan ampisillin/sulbactam, sefuroksim, ceftriaxone, aztreonam, dan
chlorampenicol. Obat steroid juga dapat diberikan unntuk mengurangi peradangan disekitar
epiglotis.

2.9 Penggunaan antibiotik pada ISPA

1. Penisilin

Penisiin merupakan derivat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisida


dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi
akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat
penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral,
karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya
Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
Penicilin V (Depkes RI, 2005). Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan
lahirnya derivat penicilin yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin
(amoksisilin) yang mencakup E.Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase
inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga Staphylococcus aureus,
Bacteroides catarrhalis. Sehingga saat ini amoksisilin-klavulanat merupakan alternatif bagi
pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin
(Depkes RI, 2005).

Nama Obat Amoksisilin/Koamoksiklav


Dosis Dewasa 3x 250-500mg/2x1000mg
Dosis Anak 25-50mg/kg/hari dlm 3 dosis terbagi
Kontraindikasi Alergi terhadap penicillin, amoksisilin. Pasien dengan riwayat
jaundice paska pemakaian amoksisilin klavulanat
ROB Rash, mual, muntah,diare, anemia hemolitik, thrombocytopenia
Interaksi Tetrasiklin dan Kloramfenikol mengurangi efektivitas
Amoksisilin
Kehamilan -
Monitoring Tanda-tanda infeksi, tanda anafilaksis pada dosis pertama. Pada
pemakaian jangka panjang monitor fungsi liver.
Perhatian Penggunaan jangka panjang dapat memicu superinfeksi.
Informasi untuk pasien diminum sampai seluruh obat habis, meskipun kondisi klinik
Obat membaik sebelum obat habis.

2. CEFALOSPORIN

Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi tergantung


generasinya. Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu
berikatan dengan penicilin protein binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan
membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian
bakteri.

Generasi Rute Pemberian


Peroral Parenteral
Pertama Cefaleksin, Cefradin, Cefadroksil Cefaleksin, Cefazolin
Kedua Cefaklor , Cefprozil , Cefuroksim Cefamandole, Cefmetazole, Cefuroksim,
Cefonicid
Ketiga Cefiksim, Cefpodoksim, Cefiksim, Cefotaksim, Ceftriakson
Cefditoren Ceftazidime, Cefoperazone, Ceftizoxime
Keempat Cefepime, Cefpirome, Cefclidin

Adapun obat ISPA golongan cefalosforin seperti :

Nama Obat Cefuroksim


Dosis Dewasa 2x 250-500 mg selama 10 hari
Dosis Anak 3bln-12th Faringitis,tonsillitis:20mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis selama 10 hari Otitis media akut,sinusitis:
30mg/kg/hari dlm 2 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
ROB 1-10%:Eosinofilia, anemia,peningkatan SGOT/SGPT/ALP
<1%:anafilaksis,angiooedema,cholestasis,diare Interaksi
Kombinasi dg aminoglikosida meningkatkan nefrotoksisitas
Kehamilan B
Monitoring Observasi tanda anafilaksis pada dosis pertama, monitor
fungsi ginjal, liver dan hematology pada pemakaian jangka
panjang
Perhatian Modifikasi dosis pada gagal ginjal berat, penggunaan
lama dapat menyebabkan superinfeksi, dapat
menyebabkan colitis oleh karena C. difficile, gunakan
hati-hati pada pasien alergi terhadap penicillin.
Informasi untuk pasien Diminum bersama makanan, Laporkan bila diare
menetap, obat diminum selama 10-14 hari untuk
memastikan kuman terbasmi

Nama Obat Cefiksim


Dosis Dewasa 2x100-200mg
Dosis Anak 8mg/kg/hari
terbagi dlm 1-2 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
ROB >10%: Diare 1-10% Nyeri perut, mual, dispepsia
Interaksi -
Kehamilan B
Monitoring Observasi tanda anafilaksis pada dosis pertama,
monitor fungsi ginjal, liver dan hematology pada
pemakaian jangka panjang
Perhatian Modifikasi dosis pada gagal ginjal berat, penggunaan
lama dapat menyebabkan superinfeksi, dapat
menyebabkan colitis oleh karena C. difficile, gunakan
hati-hati pada pasien alergi terhadap penicillin.
Informasi untuk pasien Diminum dengan atau tanpa makanan

Nama Obat Cefadroksil


Dosis Dewasa 2x500-1000mg
Dosis Anak 30mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
ROB 1-10%: Diare
Interaksi Perdarahan mungkin terjadi bila diberikan bersamaan dg
antikoagulan
Kehamilan B
Monitoring Tanda-tanda anafilaksis padadosis pertama
Perhatian Modifikasi dosis pada gagal ginjal berat, penggunaan lama
dapat menyebabkan superinfeksi, dapat menyebabkan
colitis oleh karena C difficile, gunakan
hati-hati pada pasien alergi terhadap penicillin.
Informasi untuk pasien Laporkan bila diare menetap, obat diminum selama 10-14 hari
untuk memastikan kuman terbasmi

3. MAKROLIDA

Golongan makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan


secara reversibel dengan ribosom sub unit 50S, dan umumnya bersifat bakteriostatik,
walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka
(Setiabudy, 2007).

Nama Obat Eritromisin


Dosis Dewasa 2-4x250-500 mg (base)
Dosis Anak Bayi&anak: 30-50mg/kg terbagi 3-4 dosis. Dosis dapat dilipat
gandakan pada infeksi berat
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap eritromisin, pasien dengan riwayat
penyakit hati (khusus bagi eritromisin estolat), gagal hati,
penggunaan bersama preparat ergotamine, cisapride, astemizol
ROB 10-15%: mual, muntah, rasa terbakar pada lambung:
bersifat reversibel, biasanya terjadi setelah 5-7 hari
terapi, insiden Ototoksisitas: terjadi pada dosis tinggi disertai
gagal hati ataupun ginjal Cholestatic Jaundice: Umum terjadi
pada garam estolat dari eritromisin.
Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine. Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine,
alfentanil, carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskuler-bloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin
Kehamilan B
Monitoring -
Perhatian -
Informasi untuk pasien Diberikan 2 jam sebelum makan atau sesudah makan, untuk
sirup kering simpan di refrigerator setelah dicampur, buang
sisa sirup bila lebih dari 10 hari.

Nama Obat Azitromisin


Dosis Dewasa ISPA: 1x500mg hari I, diikuti 1x250mg pada hari kedua-
kelima
Dosis Anak Anak> 6 bln:
CAP: 10mg/kg pada hari I diikuti 5mg/kg/hari sekali sehari
sampai hari kelima
Otitis media: 1x30mg/kg; 10mg/kg sekali sehari selama 3 hari
Anak>2th: Faringitis,Tonsilitis: 12mg/kg/hari selama 5 hari
Kontraindikasi
ROB 1-10%: sakit kepala, rash, diare, mual,muntah
Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole, cisapride,
gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine. Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine,
alfentanil, carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskuler-bloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin

Kehamilan B
Monitoring Tanda infeksi, fungsi liver
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat
hepatitis,disfungsi hepar, disfungsi ginjal. Uji efektivitas
dan keamanan belum pernah dilakukan pada bayi < 6
bulan dengan otitis media, CAP atau pada anak < 2
tahun dengan faringitis/tonsillitis.
Informasi untuk pasien Obat diminum bersama makanan untuk mengatasi efek
samping terhadap saluran cerna. Jangan minum
antasida bersama obat ini.

4. TETRASIKLIN

Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki spektrum


aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke ribosom bakteri
(sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang luas terhadap gram
positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan rickettsia. Generasi pertama meliputi
tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari
sebelumnya yaitu terdiri daridoksisiklin, minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik
farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas
karena profil lipofiliknya. Selain itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh
eliminasi lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap
stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob
seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap vanko misin sekalipun
tetap efektif (Depkes RI, 2005).

Nama Obat Doksisiklin


Dosis Dewasa 2 x 100mg
Dosis Anak >8 th
CAP:2x100mg
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap semua golongan
tetrasisklin, anak < 8 th, disfungsi hepar berat, kehamilan
ROB Alergi: rash, anafilaksis, urtikaria, demam Fotosensitivitas
Diskolorisasi tulang dan gigi: hindari pemakaian pada anak-
anak, kehamilan, laktasi.
Interaksi Meningkatkan toksisitas digoksin, protrobin time bila
diberikan bersama warfarin Mengurangi kadar plasma do
ksisiklin bila diberikan bersamaan dg antasida, barbiturate,
fenitoinsukralfat,carbamazepin
Kehamilan D
Monitoring -
Perhatian Jangan digunakan selama kehamilan atau selama
pertumbuhan gigi karena dapat menyebabkan
diskolorisasi gigi dan hipoplasia enamel. Hindari
terpapar sinar matahari
Informasi untuk pasien Diminum dengan segelas air untuk menghindari iritasi
lambung

5. Quinolon

Golongan quinolon merupakan antimikroba oral memberikan pengaruh yang baik


dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi
asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal
mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya
yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin,
lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi
infeksi community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi
ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang
memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan
agen lain (Depkes RI, 2005).
Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat
DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P.
aeruginosa, staphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob
pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga
quinolon seperti levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap
anaerob seperti B. fragilis, dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu
trovafloksacin (Depkes RI, 2005).

Nama Obat Levofloksasin


Dosis Dewasa Eksaserbasi Bronkhitis kronik: 1x500mg selama 5 hari
Sinusitis akut: 1 x500mg selama 10 hari
CAP: 1x500mg selama 7-14 hari
Dosis Anak -
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap levofloksasin maupun quinolon lain

ROB 3-10%: sakit kepala, pusing,mual, diare, reaksi alergi,


reaksi anafilaktik,angioneurotik oedema,
bronkhospasme, nyeri dada
Interaksi Hindari pemberian bersamaan dg
eritromisin,cisapride,antipsikotik,antidepressant karena akan
memperpanjang kurva QT pada rekaman EKG. Demikian pula
hindari pemberian bersama betabloker, amiodarone karena
menyebabkan bradikardi. Hindari pemberian bersama insulin,
karena akan merubah kadar glukosa.Meningkatkan perdarahan
bila diberikan bersama warfarin. Meningkatkan kadar
digoksin. Mengurang kadar plasma gatifloksasin
Kehamilan C
Monitoring Evaluasi lekosist & tanda infeksi lainnya, kemungkinan
kristaluria, fungsi organ (ginjal, liver, mata) secara periodik.
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan epilepsi, karena
dapat memperparah kejang; gunakan hati-hati pada pasien
dengan gagal ginjal.
Informasi untuk pasien Obat diminum 1-2 jam sebelum makan. Jangan
diminum bersamaan dengan antasida. Anda dapat mengalami
fotosensitifitas oleh karena itu gunakan sunscreen, pakaian
protektif untuk menghindarinya. Laporkan bila ada diare,
palpitasi, nyeri dada, gangguan saluran cerna, mata atau kulit
menjadi kuning, tremor.

6. Sulfonamida

Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan.


Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang
dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol.
Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan menghambat sintesis asam folat,
sedangkan trimetoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat
sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat
sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired
seperti sinusitis, otitis media akut, infeksi saluran kencing (Depkes RI, 2005). Aktivitas
antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gram-negatif seperti E. coli,
klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P. vulgaris, H. Influenza,
Salmonellaserta gram-positif seperti S. Pneumoniae, Pneumocystis carinii., serta parasit
seperti Nocardia sp (Depkes RI, 2005).

Nama Obat Kotrimoksazol


Dosis Dewasa 2 x 2 tab dewasa.
Dosis Anak > 2bln: 8 mg Trimetoprim/kg/hari dlm 2 dosis terbagi
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sulfonamide, kotrimoksazol.
ROB Mual, muntah,anoreksia
Confusion, depresi, halusinasi
Rash, pruritus, urtikaria, fotosensitivitas, Steven-
Johnson
Thrombocytopenia, anemia megaloblastik, anemia
Aplastik
Hepatotoksisitas
Nefritis Interstitial
Interaksi Dapat meningkatkan efek sulfonylurea dan warfarin.
Meningkatkan toksisitas fenitoin, siklosporin, metotreksat.
Meningkatkan toksisitas renal dari siklosporin.
Meningkatkan kadar digoksin
Kehamilan C. Jangan digunakan pada pasien hamil tua karena dapat
menyebabkan kekuningan pada bayi.
Monitoring -
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada disfungsi hepar, ginjal;
fatalitas berkaitan dengan Steven-Johnson syndrome,
nekrose liver, agranulositosis, anemia aplastik, terutama
pada pasien manula.
Informasi untuk pasien Obat diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam
sesudah makan. Obat diminum bersama 1 gelas air.
Stop terapi bila muncul tanda hipersensitivitas.

2.10 OBAT TERAPI SUPORTIF

2.10.1. Analgesik-Anti Inflamasi

Nama Obat Acetaminofen/Parasetamol


Mengurangi demam karena aksinya yang langsung kepusat
pangatur panas di hipotalamus yang berdampak vasodilatasi
serta pengeluaran keringat.
Dosis Dewasa 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 3-4 x 1000 mg, tidak
melebihi 4g/hari
Dosis Anak < 12 th: 10-15mg/kg setiap 4-6jam, max 2,6g/hari >12 th:
seperti dosis dewasa.
Kontraindikasi Hipersensitivitas yang terdokumentasi, Defisiensi Glukosa-6-
fosfat.
ROB Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen,
pemberian bersama dengan barbiturate, karbamazepin,
hydantoin INH dapat meningkatkan hepatotoksisitas.
Interaksi Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen, pemberian
bersama dengan barbiturate, karbamazepin, hydantoin INH
dapat meningkatkan hepatotoksisitas.
Kehamilan Klasifikasi B: Biasanya aman, namun tetap
dipertimbangkan keuntungan terhadap risikonya.
Monitoring
Perhatian Hepatotoksisitas pada pasien alkoholik dapat terjadi
setelah terpapar dosis yang bervariasi. Nyeri yang
sangat, berulang atau demam mengindikasikan sakit
yang serius.

Nama Obat Ibuprofen


Menghambat reaksi inflamasi dengan cara mengurangi
aktivitas enzim cyclooxigenase yang menghasilkan
penghambatan sintesis prostaglandin. Merupakan salah
satu NSAID yang diindikasikan untuk mengurangi demam
Dosis Dewasa 4-6 x 200-400 mg, max 3,2g/hari
Dosis Anak 6 bulan – 12 th: 10mg/kg/dosis setiap 6-8 jam, max
40mg/kg/hari >12 th: 200-400 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam,
max 3,2 g/hari
Kontraindikasi Hipersensitivitas yang terdokumentasi, tukak lambung,
insufisiensi renal, risiko perdarahan yang itnggi
ROB
Interaksi Pemberian sesama NSAID meningkatkan risiko efek obat
berlawanan. Dapat mengurangi efek hydralazin, captopril,
beta-bloker, diuretik, dapat meningkatkan
Prothrombin Time pada pasien yang sedang meminum
antikoagulan, dapat meningkatkan risiko toksisitas
metrotreksat, dapat meningkatkan kadar fenitoin
Kehamilan Klasifikasi B: Biasanya aman, namun tetap
dipertimbangkan keuntungan terhadap risikonya.
Monitoring Perdarahan lambung khususnya pada pasien yang sensitive
terhadap NSAID.
Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gagal jantung,
hipertensi, gagal ginjal, maupun penurunan fungsi liver.
Informasi untuk Dapat menyebabkan tukak lambung, perdarahan lambung
pasien khususnya pada pemakaian kronik. Stop terapi bila nyeri,
demam, inflamasi hilang.
2.10.2. Antihistamin

Nama Obat CTM


Dosis Dewasa 4mg setiap 4-6 jam, max 24mg/hari
Dosis Anak <1th tidak direkomendasikan
1-2th: 2x1mg
2-5th: 1mg setiap 4-6jam, max 6mg/hari
6-12th: 2mg setiap 4-6jam, max 12 mg/hari
Kontraindikasi Hati-hati pada pasien dengan hyperplasia prostate,
retensi urin, glaucoma dan penyakit liver, epilepsy
ROB Sedasi, menurunnya kemampuan psikomotor, retensi
urin, mulut kering, pandangan kabur serta gangguan
saluran cerna.
Interaksi Meningkatkan sedasi bila diberikan bersama alkohol.
Meningkatkan efek anti muskarinik bila diberikan
bersama obat anti muskarinik.
Kehamilan Tidak ada bukti teratogenitas
Informasi untuk pasien Menyebabkan kantuk, hati-hati jangan mengendarai
motor,mobil atau mengoperasikan mesin.
Monitoring Sedasi

Anda mungkin juga menyukai