Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI dan TUMOR


KASUS 1 INFEKSI SALURAN NAPAS AKUT (ISPA)

Dosen Pengampu :
Yane Dila Keswara, M.Sc., Apt

Anggota Kelompok 5:
Agnes Setiani (20144287A)
Sista Rediyanti (20144294A)
Krestiyani Putri (20144296A)
Anggriana Nomy (20144299A)
Bima Orbita D (20144302A)

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
I. DASAR TEORI

1.1 Pengertian ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut atau sering disebut sebagai ISPA adalah
infeksi yang mengganggu proses pernafasan seseorang. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh virus yang menyerang hidung, trakea (pipa pernafasan), atau
bahkan paru-paru.
ISPA menyebabkan fungsi pernapasan menjadi terganggu. Jika tidak segera
ditangani, infeksi ini dapat menyebar ke seluruh sistem pernapasan dan
menyebabkan tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen. Kondisi ini bisa berakibat
fatal, bahkan sampai berujung pada kematian.
ISPA merupakan penyakit yang mudah sekali menular. Orang-orang yang
memiliki kelainan sistem kekebalan tubuh dan orang-orang lanjut usia akan lebih
mudah terserang penyakit ini. Anak-anak juga memiliki risiko yang sama, karena
sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sepenuhnya.
Seseorang bisa tertular ISPA ketika dia menghirup udara yang mengandung
virus atau bakteri. Virus atau bakteri ini dikeluarkan oleh penderita infeksi saluran
pernapasan melalui bersin atau ketika batuk.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan
akut,dimana pengertiannya sebagai berikut :
1. Infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernafasan
Adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
3. Infeksi Akut
Adalah Infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
1.2 Epidemiologi

Salah satu penyakit yang di derita oleh masyarakat terutama adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Atas), yaitu meliputi infeksi akut saluran pernafasan
bagian atas dan akut saluran pernafasan bagian bawah. ISPA adalah suatu penyakit
yang terbanyak di derita oleh anak, baik di negara berkembang maupun di negara
maju dan sudah mampu banyak diantara mereka perlu masuk rumah sakit karena
penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernafasan pada masa bayi
dan anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan
kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dan 4 kematian yang
terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3 – 6 episode ISPA setiap tahunnya.
Data yang diperoleh dari kunjungan ke puskesmas mencapai 40 – 60 % adalah oleh
penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan ISPA adalah karena
pneumonia dan pada bayi berumur kurang 2 bulan.
Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi,
kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam
keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit kurang gizi. Data morbiditas
penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 – 20 % dan populasi
balita. Bila kita mengambil angka morbiditas 10% pertahun, berarti setiap tahun
jumlah penderita pneumonia di Indonesia berkisar 2,3 juta.
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984,
dengan tujuan berupaya untuk menurunkan kesakitan dan kematian khususnya
pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka
kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah dilaporkan
berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di atas.

1.3 Klasifikasi penyakit

ISPA terdiri dari sekelompok klinik dengan etiologi dan perjalanan klinik
yang berbeda. Berikut ini klasifikasi dari ISPA.
1.Klasifikasi menurut Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi
ISPA sebagai berikut:
a.Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
kedalam (chest indrawing).
b.Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
c.Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam,
tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis
dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA.
Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk
golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
a. Pneumonia berat : ditandai dengan batas napas cepat untuk golongan umur
kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada tiga klasifikasi penyakityaitu :
a. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
b. Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12
bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali
per menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada
bagian bawah dan tidak ada napas cepat (Lembang, 2003).

2. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomik


a. ISPA bagian atas adalah infeksi akut menyerang hidung sampai epiglotis,
misalnya:
1. Tonsilitis, penyakit ini ditandai rasa sakit pada saat menelan diikuti dengan
demam dan kelemahan tubuh, dapat disebabkan oleh virus dan bakteri.
2. Common cold adalah infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering
dijumpai pada balita yang disertai demam tinggi.
3. Sinusitus akut merupakan radang pada sinus, beringus, sakit kepala, demam,
malaise dan nausea.
4. Pharingitis yaitu peradangan pada mukosa pharing dengan gejala demam
disertai menggigil, rasa sakit pada tenggorokan, sakit kepala, sakit saat menelan
dan lain-lain.
b. ISPA bagian bawah adalah infeksi saluran pernapasan dari epiglotis sampai
alveoli paru, misalnya:
1. Bronchitis akut adalah demam yang disertai batuk-batuk, sesak napas, dahaknya
sulit keluar karena menjadi lengket, ditemukan adanya ronki basah dan wheezing.
2. Pneomonia adalah radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolodasi, panyakit
penyakit ini muncul karena akut dengan demam, penderita pucat, batuk-batuk dan
pernapasan menjadi cepat.
3. Bronkopnemonia adalah peradangan paru-paru, biasanya dimulai di bronkioli
terminal, gejalanya adalah demam, sesak napas, batuk dengan dahak yang kuning
kehijauan dan biasanya berupa serangan yang datangnya secara tiba-tiba.
4. Tubercolosis paru adalah penyakit yang disebabkan M. Tuberculosis, gejalanya
batuk biasanya disertai darah, panas, nyeri dada, kurus akibat kurang nafsu makan.

3. Klasifikasi berdasarkan derajat keparahan penyakit


a. ISPA ringan, penatalaksaan cukup dengan tindakan penunjang tanpa pengobatan
anti mikroba. Tanda dan gejalanya: batuk, pilek, sesak dengan ataupun tanpa napas,
keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari 2 minggu tanpa rasa sakit di telinga.
b. ISPA sedang, penatalaksanaannya memerlukan pengobatan anti mikroba, tetapi
tidak perlu dirawat. Tanda dan gejalanya: pernapasan cepat (lebih dari 50 kali
permenit), wheezing, napas menciut-ciut dan panas.
c. ISPA berat, kasus ISPA yang perlu pananganan langsung oleh tenaga madis atau
tenaga kesehatan. Tanda dan gejalanya: penarikan dada ke dalam pada saat
penarikan napas, pernasan ngorok, tak mau makan, kulit kebiru-biruan, dehidrasi,
kesadaran menurun.
Perlu diingat, bahwa sebenarnya tidak semua batuk, pilek dan panas
disebabkan oleh kuman penyakit, tetapi dapat juga disebabkan karena seseorang
tidak tahan terhadap sesuatu, misalnya makanan tertentu, udara dingin, debu, dan
sebagainya. Namun penyebab yang paling umum adalah kuman penyakit. ISPA
dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa. Tetapi bagi kita sangat penting
memperhatikan ISPA pada anak-anak, karena penyakit ini merupakan salah satu
penyebab penting kematian pada anak-anak, terutama pada bayi dan anak-anak di
bawah umur lima tahun (Balita).
1.4 Faktor resiko
Beberapa faktor mempengaruhi tingginya mortalitas dan morbiditas ISPA
serta berat ringannya penyakit, faktor inilah yang dikenal sebagai faktor risiko.
Berbagai penelitian mengenai faktor risiko telah dilakukan baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Nampaknya faktor risiko di negera industri agak
berlainan dari faktor risiko di negara berkembang. Beberapa faktor risiko yang telah
diketahui antara lain, malnutrisi, kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR),
pemberian ASI, kepadatan hunian, sosioekonomi yang rendah, asap rokok, cuaca,
pendidikan orang tua, dan lain-lain. Sedangkan beberapa lainnya masih
diperdebatkan, seperti peran vitamin A. Secara umum faktor risiko dapat
dikelompokkan menjadi faktor diri (host) dan faktor lingkungan .
Menurut WHO, beberapa faktor yang telah diketahui mempengaruhi pneumonia
dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi
tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian, udara
dingin, jumlah kuman yang banyak di tenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap
rokok, gas beracun dan lain-lain.

II. PATOGENESIS

2.1 Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan


tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia
yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke
arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks
tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernafasan.
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering.
Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan
aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas,
sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap
awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada
saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza
dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang
produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan
adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan
gangguan gizi akut pada bayi dan anak.
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat
yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa
menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat
menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek
imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas
yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik
pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas
sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA
(sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas.
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
1.Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan
reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah.
3. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
4. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.

2.2 Etiologi
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek
dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Kebanyakan infeksi
saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikroplasma. Etiologi ISPA
terdiri dari 300 lebih jenis bakteri, virus,dan jamur. Bakteri penyebab ISPA
misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus
Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium Diffteria.
Bakteri tersebut, di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri ini
menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan
musim panas ke musim hujan. Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain
golongan miksovirus (termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa,
dan virus campak), dan adenovirus. Virus para-influensa merupakan penyebab
terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran
nafas bagian atas.Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya
terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada
bayi dan anak-anak, virus-virus influenza merupakan penyebab terjadinya lebih
banyak penyakit saluran nafas bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah.

2.3 Gejala
ISPA akan menimbulkan gejala yang terutama terjadi pada hidung dan
paru-paru. Umunya, gejala ini muncul sebagai respons terhadap racun yang
dikeluarkan oleh virus atau bakteri yang menempel di saluran pernapasan.
Contoh-contoh gejala ISPA antara lain:
1. Sering bersin
2. Hidung tersumbat atau berair.
3. Para-paru terasa terhambat.
4. Batuk-batuk dan tenggorokan terasa sakit.
5. Kerap merasa kelelahan dan timbul demam.
6. Tubuh terasa sakit.
Apabila ISPA bertambah parah, gejala yang lebih serius akan muncul, seperti:
a. Pusing
b. Kesulitan bernapas.
c. Demam tinggi dan menggigil.
d. Tingkat oksigen dalam darah rendah.
e. Kesadaran menurun dan bahkan pingsan.
Gejala ISPA biasanya berlangsung antara satu hingga dua minggu, di mana
hampir sebagian besar penderita akan mengalami perbaikan gejala setelah minggu
pertama. Untuk kasus sinusitis akut, gejala biasanya akan berlangsung kurang dari
satu bulan, sedangkan untuk infeksi akut di paru-paru seperti bronkitis, gejalanya
berlangsung kurang dari tiga minggu.

2.4 Manifestasi klinik


1. Tanda-tanda ISPA
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan
keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit
mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh
dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam
kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit,
meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang
ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan
tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris.
a. Tanda-tanda klinis :
· Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi
dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang,
grunting expiratoir dan wheezing.
· Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan
cardiac arrest.
· Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung,
papil bendung, kejang dan koma.
· Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
b. Tanda-tanda laboratoris :
· Hypoxemia,
· Hypercapnia, dan
· Acydosis (Metabolik dan atau Respiratorik).
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah:
tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan
tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa
minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume
yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam
dan dingin

2.5 Diagnosis
Adanya infiltrat baru di paru-paru, demam, status pernafasan memberat,
sekret kental

III. SASARAN TERAPI

1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progesivitas penyakit
3. Mencegah dan mengatasi eksaserbasi dan komplikasi
4. Menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien
5. Meningkatkan kualitas hidup pasien

IV. TUJUAN TERAPI

1. Eradikasi patogen dan penyembuhan klinis

2. Menurunkan morbiditas

V. STRATEGI TERAPI

1. Guideline terapi

Community-Acquired Pneumonia (CAP) Terapi CAP dapat


dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang berat pasien
dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral. Pilihan
antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan makrolida
atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru.1,19 Namun untuk dewasa muda
yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena
mencakup mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk
bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin
direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat fluoroquinolon terbaru.
Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung pilihan
jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida yang dapat dipilih
mulai dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan
agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin
ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5
hari, memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin
merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan eritromisin,
namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.

Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan
pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang
lebih luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten
khususnya terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri
penyebab pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan
Mycoplasma pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin. Beberapa
pneumonia masih menunjukkan demam dan konsistensi gambaran x-ray dada
karena telah terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun abses
paru yang kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan
aspirasi.

Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :


1. Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan
tanda sesak, hipoksemia.
2. Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
3. Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
4. Nutrisi
5. Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
6. Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
7. Nutrisi yang memadai.

2. Terapi non farmakologi


1. Istirahat yang cukup
2. Istirahat ditempat tidur
3. minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi

VI. PENYELESAIAN KASUS

a) Kasus
Pasien : Bapak VJ, 78 tahun, BB 60 Kg
Keluhan: sering merasa bingung dan timbul batuk yang makin memburuk
sejak 3 hari yang lalu dan mulai mengalami kesulitan bernafas
RPD:
Tergantung rokok selama 62 tahun
Bronchitis kronik selama 10 tahun ( combivent MDI 2 puffQID + Albuterol
MDI 2 puff QID prn)
Hipertensi 15 tahun yang lalu (Atenolol 100 mg Qd + HCT 25 mg QD)
Diketahui pasien alergi terhadap antibiotic golongan penicillin.
Pemeriksaan fisik:
TD : 130/90 mmHg
HR: 100 denyut/menit
RR: 28 kali/menit
Suhu tubuh: 37,5 °C
Tes Laboratorium:
FEV1 : 45%
FEV1/FVC: 60%
Proteinuria: -
Fotothorax menunjukkan abnormalitas
Diagnosis:
Pneumonia dan Hipoksemia

Data laboratorium meliputi:

FEV1 : 45%
FEV1/FVC: 60%
Proteinuria: -
Fotothorax menunjukkan abnormalitas
b) Analisis Kasus ( SOAP; PAM; dan FARM )
S ( Subyek ) :
 Umur 78 tahun
 Keluhan : sering merasa bingung dan timbul batuk yang makin memburuk
sejak 3 hari yang lalu dan mulai mengalami kesulitan bernafas
 Bronchitis kronik selama 10 tahun
Obat : ( combivent MDI 2 puffQID + Albuterol MDI 2 puff QID prn),
 Hipertensi 15 tahun yang lalu
Obat (Atenolol 100 mg Qd + HCT 25 mg QD)
O (Obyek)
1. Tanda laboratorium
Tanda Hasil Keterangan
Normal
Laboratorium Laboratorium
Tekanan Darah 130/90 mmHg 130-150/80-90 prehipertensi
mmHg
(TD)

Heart Rate (HR) / 100 denyut/menit 60-70 x/mnt Tinggi


Detak Jantung

Repiration Range 28 kali/menit 14-16 x/mnt Tadipnea :


Pernapasan lebih dari
(RR) normal/napas cepat
( lebih dari 20 x/menit)

Suhu Tubuh 37,50C 36,50C ‒ Demam ringan


37,50C

2. Pemeriksaan Fisik
Hasil
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Normal Keterangan
Fisik
FEV1 (Forced 45% 75-80% Di bawah normal
Expiratory Volulme
in One Secend)
FEV1/FVC (Forced 60% 75-80% Abnormal
Expiratory Volulme
in One
Secend/Vorced
Volume Capacity)
Proteinuria -

Fotothorax Abnormalitas Normal Abnormalitas

3. Diagnosa : Pasien menderita Pneumonia dan Hipoksemi yang ditandai


dengan keluhan sering merasa bingung dan timbul batuk yang semakin
memburuk sejak 3 hari yang laludan mulai mengalami kesulitan bernapas.

A ( Assesment ) :
Problem SO Terapi DRP Analysis
1. Pneumonia Bingung, - Indikasi Pasien
batuk, sulit belum didiagnosis
bernafas diterapi mengalamai
pneumonia
dengan tanda
dan gejala spt
bingung,sulit
bernafas
meskipun
sudah
menerima obat
bronkitis

2. Hipoksemi RR 28x/mnt
- Indikasi
FEV1 : 45% Pasien
belum di mengalami
FEV1/FVC: terapi Tadipnea
60%

Pasien
Atenolol 100 Terapi tidak
3. Hipertensi menunjukan
130/90 mmHg
mg Qd + HCT tepat TD termasuk
gol.
25 mg QD
Pre-hipertensi
Fototorax :
4. Bronkitis
abnormalitas Combivent MDI Terapi tidak
kronis Bronkitis
Sesak nafas
2 puffQID + tepat kronik parah
batuk
FEV1 : 45% Albuterol MDI
FEV1/FVC: 2 puff QID prn
60%
indikasi
5. Demam 37,50C belum Tanda dari
- diterapi
ringan infeksi adalah
demam

P ( Plan )
1. Rencana Terapi
a) Terapi Non Farmakologi
1. Istirahat yang cukup
2. minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi
3. Berhenti merokok
4. Beri nutrisi yang cukup
5. Untuk mengatasi hipertensi lakukan terapi non-farmakologis berupa
olahraga, diet natrium,kurangi makanan berlemak, perbanyak makan buah
dan sayur

b) Terapi Farmakologi
1. Obat antihipertensi dihentikan diganti terapi non farmakologis karena
termasuk prehipertensi
2. Untuk mengobati pnemonia diberikan terapi eritromicin 2-4x 500mg
3. Obat analgetik-antipiretik yaitu acetaminophen 3x 500mg
4. Obat mukolitik yaitu acetylcystein 2x200 mg
5. Obat bronkitis kronik digunakan ipratropium bromida 2 puff 4x sehari
6. Untuk mengatasi hipoksemia bisa diterapi oksigen

2. Evaluasi Obat Terapi

Obat Indikasi Dosis Efek Samping Interaksi Alasan Harga


Obat Pemilihan
Antibiotik Infeksi 2-4x Mual, muntah, - Sebagai Rp.
Obat golongan sal.nafas,kulit 250mg nyeri perut, alternatif untk 116.500
makrolide yaitu dan jaringan diare, ruam dan pasien yang
eritromicin lunak,pnemo alergi penisilin
aalergi lainnya
nia,gonore untuk
pengobatan
pneumonia
Obat menurunkan 3x 500mg Mual, sakit perut - Tanda
analgetik-antipi demam bagian atas, keparahan dari
retik gatal-gatal, bronkitis akut
(acetaminophe kehilangan nafsu dan infeksi
n) makan adalah demam
yang berulang

Obat mukolitik Mukolitik 2x200 mg Mengantuk, - Untuk


pada bronkial Mengurangi
(acetylcystein) Mual, Muntah.,
akut dan sputum
kronik dan Sariawan,
paru dengan Hidung
mukus tebal beringus,
Demam.

ipratropium Terapi 2 puff 4x tremor (getaran - Krn termasuk


bromida bronkitis sehari pada jari – jari kategori parah
yang tidak dapat maka di obati
kronik dan dengan long
dikendalikan),
acting
ppok rasa gugup, dan antikolinergik
kesulitan tidur

3. Komunikasi,Informasi dan Edukasi


KOMUNIKASI
 Menjelaskan Pada pasien tentang penyakit yang di derita
 Menjelaskan cara penyimpanan obat
 Menjelaskan terapi untuk penyakit yang di derita pasien
INFORMASI
 memberi tau kepada pasien tentang obat-obat yang diberikan, cara
penggunannya, dosen pemakaian nya.
 Memberitahu dan menjelaskan efek samping dari obat yang akan di pakai.
 Memberitahu perkiraan masa terapi pasien , dan apa bila tidak memberikan efek
terapi yang baik maka di sarankan untuk berkonsultasi kembali kepada dokter
EDUKASI
 memberi tahu terapi-terapi non farmakologi yang harus di jalankan oleh pasien
untuk menunjang terapi farmakologi.
 memberikan education tentang self medication terhadap pasien jikalau
sesaknya kambuh lagi.
 pasien di harapkan untuk berhenti 100% dari merokok.
 pasien diharapkan tidak untuk memasak menggunakan kayu bakar , kontak
dengan debu polusi dan kontak langsung dengan asap karena dapat
menyebabkan ke kambuhan dan keparahan penyakit.
 pasien diharapkan mengikuti program rehabilitas paru seperti olah raga dan
pernafasan.
 pasien di harapkan untuk meminum air secukupnya, pasien diharapkan
mengkonsumsi makan-makanan tinggi energy dan menjaga pola makan yang
baik.

4. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan
keberhasilan terapi baik terapi farmakologi maupun terapi non farmakologi.
Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan pasien
(medication record). Pengobatan rasional pada kasus ini digunakan sebagai
pengobatan yang tepat, meliputi pemilihan dosis, pemilihan obat, diagnosis, dan
kepatuhan pasien.
1) Bronkhitis
 Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum
 Efek samping obat potensial:
Takikardia, palpitasi akibat bronchodilator
Interaksi Obat (lihat monografi obat)
2) Pneumonia
 Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum, sesak napas,
nyeri dada, suhu badan, nadi, leukosit, fungsi paru pada pneumonia berat.
 Kegagalan antibiotika dalam menurunkan tanda-tanda infeksi dinilai dalam
48-72 jam setelah dosis pertama diberikan.
 Efek samping obat potensial:
 Rash, urtikaria setelah pemberian antibiotika baik pada dosis pertama
atau dosis selanjutnya.
 Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator

VII.KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien menderita


pneumonia yang disertai dengan hipoksemia yang diberikan obat antibiotik
golongan makrolide adalah eritromicin 2-4x250 mg, obat analgetik-antipiretik
yaitu acetaminophen 3x500mg obat mukolitik acetylsistein 3x200mg dan
ipratropium bromida 2 puff 4x sehari
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society. Hospital Acquired pneumonia in adults; diagnosis,
assessment of severity, initial antimicrobial therapy, and preventatitive strategies.
A consensus statement. Am Rev Respir Crit Care Med
1995;153:1711.
Asdie, H. Ahmad. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta: Jakarta.
Daulay, Ridwan Muchtar. 1992. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernafasan
Akut. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta
Depkes RI,1994. Pedoman Program P2 ISPA dan Penanggulangan Pneumonia Pada
Balita. Depkes RI: Jakarta.
Depkes RI.(2000). Informasi Tentang ISPA pada Balita. Jakarta : Pusat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
Sukandar, E.Y dkk.2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan. Hal :
700-740
WHO. Cough and cold remedies for the treatment of acute respiratory infection in
young children. WHO;2001

Anda mungkin juga menyukai