Disusun oleh :
Clarista Apriani Ujan, S.Farm
1820353898
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018/2019
BAB I
ANALISIS KASUS
1) IDENTIFIKASI PASIEN
NAMA PASIEN An. M. Rijal Alfiansyah
UMUR 5 bulan
JENIS KELAMIN Laki-laki
BERAT BADAN 4 Kg
TINGGI BADAN -
ALAMAT Tangerang
NO. REKAM MEDIK 20.85.45
STATUS JAMINAN -
TANGGAL MASUK 10 Januari 2019
DOKTER YANG MERAWAT dr. Fastralina, SpA, M. Ked
RUANG RAWAT Intensive Care Unit (ICU)
RIWAYAT KELUARGA
-
RIWAYAT SOSIAL
-
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 135 – 147 mEq/L - - - 131 135 128 136
Kalium (K) 3,5 – 5,0 mEq/L - - - 3,9 4.8 4,8 4.1
Chloride (Cl) 96 – 105 mEq/L - - - 91 95 98 94
KIMIA FUNGSI HATI
Albumin 3,4 – 4,8 g/dl - - - - -
4) HASIL PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hasil pemeriksaan diagnostik
-
6) DIAGNOSIS
HAP dengan atelektasis paru kiri
PH severe
Sepsis + ASD sekunder
7) CATATAN PEMBERIAN OBAT
TANGGAL
N REGIME 11/02/19 12/02/19 13/02/19 14/02/19 15/02/19
NAMA OBAT INDIKASI
O N S S S S P S So M
P S M P S M P S M P S M
o o o o
ORAL
4 x 2mg
Hipertensi
1. Sildenafil √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pulamonal
4 x 2mg
Hipertensi
1. Sildenafil √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pulamonal
1. Amikasin 1 x 80 mg Antibiotik √ √ √ s t o p s t o p s t o p s t o p s t o p
2. Fluconazole 1 x 50 mg Antijamur √ √ √ s t o p s t o p s t o p s t o p s t o p
Cefoperason 3 x 200 Antibiotik √ √ √ √ √ √ √ √ √ s t o p s t o p s t o p s t o p s t o p
3.
mg
Tigecyl 8 mg Antibiotik
(dalam
100cc
4.
drip 1jam
selanjutny
a 12 jam)
Selanjutn √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ya 2 x
4mg
Inhalasi 4x / hr √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
1.
(ventolin : N5)
Fentanyl IA + √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2
N5 50 cc
Miloz IA + N5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3
20 cc
TANGGAL
N REGIME 24/02/19 25/02/19 26/02/19 27/02/19 28/02/19
NAMA OBAT INDIKASI
O N
S S S p S S M P S S M P S S M P S S M P S S M
P S M P S M P S M
o o o o o o o o
4 x 2mg
Hipertensi
1. Sildenafil √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pulamonal
1. Amikasin 1 x 80 mg Antibiotik s t o p s t o p s t o p s t o p s t o p
2. Fluconazole 1 x 50 mg Antijamur s t o p s t o p s t o p s t o p s t o p
Cefoperason 3 x 200 Antibiotik s t o p s t o p s t o p s t o p s t o p
3.
mg
Tigecyl 8 mg Antibiotik
(dalam
100cc
4.
drip 1jam
selanjutny
a 12 jam)
Selanjutn √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ya 2 x
4mg
Inhalasi 4x / hr √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
1.
(ventolin : N5)
Fentanyl IA + √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2
N5 50 cc
3 Miloz IA + N5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
20 cc
8) CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Hipersensitivitas,
Mengatasi impotensi gangguan Insomnia, sakit kepala,
1 Sildenafil 3 x 20mg /hari dan hipertensi kardiovaskular berat, kemerahan, dyspepsia, gangguan -
pulmonal tekanan darah rendah, penglihatan
kerusakan hati berat.
INJEKSI
Gangguan vestibular dan
Hipersensitivitas, pendengaran, nefrotoksisitas,
1 Amikasin i.v 20 mg/kg/hari antibiotika kehamilan, miastenia hipomagnesemia pada pemberian -
gravis jangka panjang, colitis karena
antibiotic.
- Interaksi major dengan
Hipersensitivitas,
Gangguan saluran cerna, urtikaria, fentanyl : CYP3A4 Inhibitors
hamil, menyusui,
2 Fluconazole 6-12 mg/kg Antifungi eusinofilia, SSJ, gangguan fungsi (Moderate) meningkatkan
gangguan fungsi hati
hati dan trombositopenia konsentrasi serum fentanyl.
dan ginjal.
Resiko D : modifikasi terapi.
pruritus, demam urtikaria, eritema
3 Cefoperason 2-4 gram Antibiotik Hipersensitivitas, -
multiforme, reaksi analfilaksis
Mual parah berkelanjutan, nyeri
4 Tigecyl i.v 100 mg single dose antibiotik Hipoglikemia punggung dengan atau muntah, -
sakit perut.
5 Fentanyl I.V 0.05 mg/mL (2 mL, Penghilang nyeri Depresi napas akut, Mual dan muntah, konstipasi, rasa Interaksi major dengan fluconazole :
5 mL, 10 mL, 20 mL; intraoperasi, nyeri alkholisme akut, mengantuk, dosisi lebih besar CYP3A4 Inhibitors (Moderate)
30 mL; 50 mL) kanker, nyeri kronik, penyakit hati akut, menyebabkan depresi napas, meningkatkan konsentrasi serum
nyeri post operasi, ileus paralitik, hipotensi dan kekakuan otot. fentanyl. Resiko D : modifikasi terapi
nyeri sedang hingga peniingkatan tekanan
berat yang tidak intrakarnial atau
berespon dengan cedera kepala,
opioid lainnya. feokromositoma,
penggunaan bersama
MAOI atau obat SSP
lain.
Batuk, nafas pendek, kesulitan
Anastesi dengan fungsi bernapas, lemah atau dangkal,
menyebabkan kantuk, denyut jantung yang lambat,
Milloz I.V 1-2,5mg mengurangi kecemasan perasaan kepala ringan seperti
6 hipersensitivitas -
(Midazolam) I.M 0,07-0,08 mg/kg dan menyebebkan akan pingsan, agitasi, mudah
kelupaan dari operasi tersinggung atau kebingungan,
atau prosedur. halusinasi, pikiran atau perilaku
tidak biasa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMONIA
1. Pengertian
Pneumonia merupakan suatu peradangan parenchym paru-paru, mulai dari bagian
alveoli sampai bronhus, bronchiolus, yang dapat menular, dan ditandai dengan adanya
konsolidasi, sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan carbon dioksida di paru-paru.
Konsolidasi adalah proses patologis, dimana alveoli terisi dengan campuran eksudat
inflamatori, bakteri dan sel darah putih. Secara klinis Pneumonia diklasifikasi sebagai
Pneumonia Lobaris, Bronchopneumonia, dan Atypical Pneumonia. Tapi ini tidak
berkorelasi sepenuhnya dengan penyebab bakteriologis, dan perbedaan disetiap kasus
sering kurang jelas (Walker R & Whittlesea C, 2012). Pengklasifikasian yang lebih
praktis untuk Pneumoia adalah menurut sifat aquisisinya, seperti yang sering digunakan
yaitu Community-assosiated Pneumonia (CAP), Hospital-associated Pneumonia (HAP)
atau Health care-associated Pneumonia (HCAP) dan Ventilator-associated Pneumonia
(VAP).
Infeksi Nosokomial (asal kata dari nosos = penyakit, komeon = merawat) adalah suatu
infeksi yag diperoleh atau dialami oleh pasien selama dirawat di rumah sakit dan
menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit, serta
infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk rumah sakit. Infeksi
nosokomial dapat terjadi pada berbagai system atau organ tubuh seperti saluran kemih
kelamin, saluran pencernaan, pembuluh dan aliran darah, luka pembedahan atau post-
operasi, dan pada sistem pernafasan misalnya Pneumonia nosokomial.
Faktor resiko terjadinya pneumonia secara umum adalah status gizi, umur, jenis
kelamin, berat badan lahir, pemberian ASI, status imunisasi, ventilasi ruangan, merokok,
dan riwayat penyakit saluran nafas
2. Klasifikasi Pneumonia
Terdapat beberapa klasifikasi Pneumonia berdasarkan letak terjadi dan cara didapatnya :
Community-acquired Pneumonia (CAP), adalah Pneumonia pada masyarakat,
yang terjadi melalui inhalasi atau aspirasi mikroba patogen ke paru-paru (lobus
paru). Penyebabnya 85% disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,
Haemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Hospital-acquired Pneumonia (HAP) atau Health care-associated Pneumonia
(HCAP), adalah pneumonia yang muncul setelah 48 jam dirawat di rumah sakit
atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya, dengan tanpa pemberian intubasi
tracheal. Pneumonia terjadi karena ketidakseimbangan pertahanan host dan
kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi saluran pernafasan bagian
bawah.
Ventilator-acquired Pneumonia (VAP), adalah pneumonia yang berhubungan
dengan ventilator. Pneumonia terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi
trachea. Ventilator mekanik adalah alat yang dimasukkan melalui mulut dan
hidung atau lubang didepan leher dan masuk ke dalam paru.
Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah suatu Pneumonia yang terjadi 48 jam
atau lebih setelah pasien masuk rumah sakit, dan tidak dalam masa inkubasi atau
diluar suatu infeksi yang ada saat masuk rumah sakit. HAP merupakan penyebab
paling umum kedua dari infeksi diantara pasien di Rumah Sakit, dan sebagai
penyebab utama kematian karena infeksi (mortalitas-rate sekitar 30-70%), dan
diperkirakan 27-50% berhubungan langsung dengan pneumonia. HAP
memperpanjang tinggal di Rumah Sakit 7-9 hari dan dihubungkan dengan biaya
perawatan yang lebih tinggi. Faktor resiko umum untuk berkembangnya HAP
adalah umur lebih tua dari 70 tahun, co-morbiditas yang serius, malnutrisi,
penurunan kesadaran, berlama lama tinggal di rumah sakit, dan penyakit obstruksi
paru yang khronis. HAP adalah infeksi yang paling umum terjadi pada pasien
yang membutuhkan perawatan pada Intensive Care Unit dan hampir 25% dari
infeksi nosokomial di Intensive care unit, dengan insiden rate 6-52%.
Health Care-Associated Pneumonia (HCAP)
Health Care-associated pneumonia (HCAP) adalah Pneumonia yang terjadi pada
anggota masyarakat (yang tidak dirawat di rumah sakit), yang secara ekstensif
kontak dengan perawatan kesehatan, sehingga merubah resiko mereka terhadap
mikroba yang virulent dan resisten dengan obat. Anggota masyarakat yang kontak
secara ekstensip dengan sistem perawatan kesehatan (health Care) akan membawa
flora yang jauh lebih mirip dengan pasien di Rumah Sakit dari pada anggota
masyarakat yang sehat, sehingga pneumonia pada penderita ini dikenal sebagai
Health Care-associated pneumonia (HCAP).
Faktor-faktor resiko bagi Health Care-associated pneumonia (HCAP) :
1. Mendapat terapi antibiotik didalam 90 hari sebelumnya
2. Pernah masuk Rumah Sakit secara akut paling tidak 2 hari dalam 90 hari
sebelumnya
3. Mengalami perawatan dirumah atau fasilitas perawatan yang diperpanjang
4. Terapi infus dirumah, termasuk khemoterapi, dalam 30 hari yang lewat
5. Dialisis yang panjang dalam 30 hari yang lewat
6. Perawatan luka dirumah
7. Anggota famili dengan infeksi melibatkan mikroba resisten obat
8. Penyakit immunosupresive atau terapi Imunosupresif.5
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)
Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah suatu Pneumonia yang terjadi
lebih dari 48 jam sesudah pemakaian endotracheal intubasi. Kondisi ini dapat
terjadi karena pemakaian ventilasi mekanik atau endotracheal tube, yang akan
melewati pertahanan saluran nafas bagiaa atas, membiarkan atau mendorong
sekresi orofaring, selain mencegah batuk yang efektif, dan ini merupakan suatu
titik lemah untuk suatu infeksi.
3. Etiologi
Mikroorganisme yang banyak pada Pneumonia nosokomial (HAP, VAP, HCAP)
adalah :
Streptococcus pneumonia, sering resisten obat pada HCAP
Staphylococcus aureus, baik metisilin sensitif (MSSA) atau metisilin resisten
(MRSA)
Gram negatif batang yang tidak memproduksi Extended Spectrum Beta-lactamase
(ESBL)
Gram negatif batang penghasil ESBL, termasuk Enterobacter sp., Escherichi coli,
Klebsiella pneumonia
Pseudomonas aeruginosa, dan
Acinetobacter spesies (Maxine AP et al, 2013; Justin LR et al, 2010).
Mikroba yang paling bertanggung jawab untuk HAP adalah Streptococcus
pneumonia, Staphylococcus aureus (MSSA dan MRSA), Pseudomonas
aeruginosa, Gram negatif batang yang tidak memproduksi ESBL dan yang
memproduksi ESBL (Enterobacter sp., Escherichi coli, Klebsiella pneumonia).
Mikroorganime yg bertanggung jawab pada VAP adalah Acinetobacter sp. dan
Strenotrophomonas maltophilia. Adapun penyebab HCAP umumnya
Streptococcus pneumonia dan Haemophylus Influenzae yang mungkin resisten
obat, atau adanya mikroba yang mirip penyebab HAP. Mikroba anaerobik
(bacteroides, streptococcus anaerobic, fusobacterium) mungkin dapat juga
menyebabkan pneumonia pada pasien di rumah sakit, dan jika diisolasi
merupakan bagian dari flora polimikroba. Mycobacterium, Jamur, Chlamydiae,
Virus, Rickettsiae, dan Protozoa tidak umum menyebabkan pneumonia
nosokomial .
4. Patogenesis
Dalam proses patogenesis terjadinya pneumonia, paru-paru memiliki
mekanisme pertahanan yang kompleks dan bertahap. Mekanisme pertahanan paru-
paru yang diketahui sampai sekarang ini, adalah :
1. Mekanisme perbersihan di saluran nafas, yaitu re-epitelialisasi saluran nafas, flora
normal, faktor humoral lokal immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin A (IgA),
sistem transport mukosilier, refleks bersin, batuk dan aliran lendir.
2. Mekanisme pembersihan dibagian penggantian udara pernafasan, yaitu surfactan,
immunitas humoral lokal IgG, makrofag alveolar dan mediator inflamasi.
3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik, yaitu mekanisme anatomik,
mekanik, humoral dan seluler. Mekanisme ini merupakan pertahanan utama dari
benda asing di orofarings, seperti adanya penutupan dan reflek batuk .
Cara mikroba menyerang saluran pernafasan paling banyak adalah melalui
aspirasi sekret orofaringeal. Aspirasi terjadi sering pada saat tidur, terutama pada
lansia, dan penderita dengan tingkat kesadaran yang menurun. Beberapa patogen
menyerang melalui inhalasi dalam bentuk droplet, misalnya Streptococcus
pneumonia. Pada kasus yang jarang, pneumonia dapat terjadi karena penyebaran
infeksi melalui hematogen, misalnya Endocarditis trikuspid, atau melalui penyebaran
infeksi yang meluas dari infeksi pleura atau infeksi rongga mediastinum.9 HAP, VAP,
HCAP mungkin terjadi melalui mikroaspirasi (adalah faktor paling penting) dari
sejumlah besar mikroba pada sekresi orofaring, atau kontaminasi peralatan terapi
pernafasan, juga pertahanan host yang lemah (akibat imunodefesiensi, terlibatnya
mikroba yang virulent), yang secara primer dilewatkan pada saluran pernafasan
bagian bawah. Selain itu juga dapat dimulai dengan perubahan didalam flora normal
saluran nafas bagian atas. Kolonisasi pada faring dan mungkin pada lambung dengan
bakteri adalah tahap paling penting dalam patogenesis pneumonia nosokomial.
Kolonisasi pada faring meningkat oleh karena : faktor eksogen (instrumentasi
jalan nafas bagian atas dengan nasogastrik dan endotracheal tube, kontaminasi oleh
tangan yang kotor pada peralatan, aerosol yang terkontaminasi, dan pengobatan
dengan antibiotika broadspectrum, peningkatan timbulnya mikroba resisten obat) dan
faktor endogen dari pasien (malnutrisi, umur lanjut, penurunan kesadaran, gangguan
menelan, dan penyakit paru dan sistemik yang mendasari). Dalam 48 jam masuk
rumah sakit, 75% dari pasien di rumah sakit yang sakit serius, akan mendapat
kolonisasi mikroba pada jalan nafas bagian atas mereka, yang berasal dari lingkungan
di rumah sakit. Mekanisme pertahanan seluler dan mekanik yang lemah pada paru-
paru dari penderita di rumah sakit meningkatkan resiko infeksi sesudah terjadi
aspirasi. Intubasi tracheal meningkatkan resio infeksi saluran nafas bagian bawah oleh
obstruksi mekanik dari trachea, kegagalan dari pembersihan mukosiliary, trauma
sistem eskalator mukosiliary dan adanya gangguan dengan batuk. Perlekatan bakteria
(misal Pseudomonas) pada epitelium trachea dan biofilm yang melapisi tube
endotracheal membuat pembersihan mikroba dari jalan nafas bagian bawah menjadi
sulit.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(produktif, atau non produktif, atau produksi sputum yang berlendir dan purulent),
sakit dada karena pleuritis dan sesak. Sering berbaring pada posisi yang sakit dengan
lutut bertekuk karena nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik didapati adanya retraksi
dinding dada bagian bawah saat bernafas, tachypneu, meningkat dan menurunnya
taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak akibat terjadi konsolidasi atau cairan pada
pleura, ronchi, suara nafas brochial, dan peural friction rub .
Di ruang Intensive Care Unit, infeksi nosokomial khususnya pneumonia nosokomial
lebih sering terjadi dan merupakan infeksi yang serius, dibandingkan dengan di
bangsal rawat inap biasa. Peningkatan insiden HAP adalah karena penderita pada ICU
sering membutuhkan ventilator mekanik, dan penderita dengan ventilator mekanik
sebanyak 6-21 kali lebih mungkin berkembang menjadi HAP dari pada penderita
dengan non ventilator mekanik.
6. Diagnosis
Diagnosis dari pneumonia nosokomial adalah melalui anamnese, gejala-gejala dan
tanda-tanda klinik (non spesifik), pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis,
pemeriksaan laboratorium dan khususnya pemeriksaan mikrobiologis. Bagaimanapun
dua atau lebih manifestasi klinik (demam, leukositosis, sputum purulen), kekeruhan
paru yang baru atau progresif pada radiologi dada mendekati 70% sensitif dan 75%
spesifik untuk diagnosis VAP pada satu penelitian.
Walaupun terdapat banyak test-test yang digunakan, semuanya mempunyai hambatan
dan tak satupun betul-betul sensitif dan spesifik untuk dipertimbangkan sebagai test
gold standart. Kultur darah mempunyai nilai diagnostik dan prognostik, tetapi
sensitivitasnya hanya 8-20%, dan perannya terbatas. Serupa, dengan pemeriksaan
sputum juga tidak sensitif dan tidak digunakan secara rutin. Test noninvasif yang
paling berguna adalah pemeriksaan aspirasi tracheobronchial (TBAs). Metoda ini
mempunyai derajad sensitivitas yang tinggi, tapi kelemahannya tes ini tidak dapat
membedakan antara mikroba yang beranggungjawab sebagai penyebab pneumoni dan
koloni dari flora normal. Teknik invasive brochoscopy yaitu dengan mengambil
sampel langsung dari saluran nafas bagian bawah tanpa kontaminasi dari saluran
nafas bagian atas atau sekresi oral, hasilnya terlihat tidak berbeda secara bermakna
dengan teknik noninvasif.
Diagnosis banding dari gejala dan tanda infeksai saluran nafas bagian bawah yang
baru pada penderita di rumah sakit adalah congstive heart failure, atelektasis, aspirasi,
Akut Respiratory Distress Sindrome (ARDS), tromboembolisme paru, perdarahan
paru, dan reaksi obat
7. Tata Laksana
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. maka pada penderita pneumonia
dapat diberikan terapi secara empiris.
1. Farmakologi
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada
umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan
antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen
diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai
patogen (Kemenkes, 2005). Sebagai tatalaksana umum dengan pasien yang mempunyai
saturasi oksigen < 92% pada saat benapas dengan udara kamar harus diberikan terapi
oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen > 92%.
Petunjuk terapi empiris menurut PDPI (2003):
Rawat jalan
a. Tanpa faktor modifikasi :
Golongan β laktam atau β laktam + anti β laktamase
b. Dengan faktor modifikasi :
Golongan β laktam + anti β laktamase atau Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin,
moksifloksasin, gatifloksasin)
b. Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru (roksitrosin, klaritromisin,
azitromosin)
Rawat inap
a. Tanpa faktor modifikasi :
Golongan beta laktam + anti beta laktamase i.v atau Sefalosporin G2, G3 i.v atau
Fluorokuinolon respirasi i.v
b. Dengan faktor modifikasi :
Sefalosporin G2, G3 i.v atau Fluorokuinolon respirasi i.v
c. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru
Ruang rawat intensif
a. Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas :
Sefalosporin G3 i.v nonpseudomonas ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon
respirasi i.v
b. Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
Sefalosporin G3 i.v anti pseudomonas i.v atau karbapenem i.v ditambah
fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) i.v atau aminoglikosida i.v.
c. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik : sefalosporin anti pseudomonas i.v atau
carbamapenem i.v ditambah aminoglikosida i.v ditambah lagi makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi i.v
2. Terapi non farmakologi
a) Menghindari asap rokok. Asap rokok dapat memperparah terjadinya
pneumonia.
b) Istirahat yang cukup.
c) Memperbanyak minum air putih untuk mencegah terjadinya dehidrasi
d) Menerapkan pola makan yang sehat, misalnya dengan meningkatkan asupan
sayur dan buah serta mengurangi makanan berlemak.
e) Mencuci tangan secara rutin untuk menghindari perpindahan kuman dari
pasien ke orang lain atau objek tertentu dan sebaliknya. Saat batuk atau bersin, tutup
mulut dan hidung dengan tisu untuk menampung kuman, dan segera buang tisu yang
sudah terpakai di tempat sampah.
HIPERTENSI PULMONAL
1. Definisi
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas,
pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi
pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi
dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Penyakit ini pertama kali
ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun
progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan
menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel
kanan.
Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder.
Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui
penyebabnya sedangkan hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal
yang disebabkan oleh kondisi medis lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer
karena dapat menyebabkan kesalahan dalam penanganannya sehingga istilah
hipertensi pulmonal primer saat ini diganti menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal
Idiopatik.
Hipertensi pulmonal primer yang sekarang dikenal dengan hipertensi arteri
pulmonal idiopatik (IPAH) adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang secara
histopatologi ditandai dengan lesi angioproliferatif fleksiform sel-sel endotel,
muskularis arteriol-arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intima dan penebalan tunika
media yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga
meningkatkan tekanan darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan
tahanan vaskuler dari aliran darah di paru. Beratnya hipertensi pulmonal dibagi dalam
3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang PAP 46-64 mmHg dan berat bila
PAP > 65 mmHg.
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute
of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau “mean”
tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg
pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri,
penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru
2. Patologi
Arteri pulmonalis normal merupakan suatu struktur “complaint” dengan
sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi “pulmonary vaskuler bed” sebagai
sirkuit yang low pressure dan high flow. Gambaran patologi vaskuler pada HPP tidak
patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai arteriopati pada hipertensi
pulmonal dari berbagai macam penyebab. Kelainan vaskuler HPP mengenai arteri
pulmonalis kecil dengan diameter 4-10 mm dan arteriol, berupa hiperplasia otot polos
vaskuler, hiperplasia intima, dan trombosis in situ. Progresif dan penipisan arteri
pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan tahanan pulmonal yang pada akhirnya
menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan.
Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan
peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya trombotik arteriopati pulmonal.
Karakteristik dari trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombosis insitu pada
muskularis arteri pulmonalis. Pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal
meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk
arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis
laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotel pulmonal normal.
3. Etiologi
Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini
disebabkan karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katup jantung
seperti regurgitasi (aliran balik) dan stenosis (penyempitan) katup mitral. Manifestasi
dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya edema paru (penumpukan cairan pada
paru).
Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah : HIV, penyakit
autoimun, sirosis hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit
pada paru yang dapat menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab
penyakit ini misalnya : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru
interstitial dan sleep apnea, yaitu henti nafas sesaat pada saat tidur.
4. Patofisiologi
Pada HPP, vaskuler paru adalah target eklusif penyakit, meskipun
patogenesisnya masih spekulatif. Dunia luas mendukung teori bahwa orang-orang
tertentu memiliki predisposisi untuk terjadinya hipertensi pulmonal primer (IPAH),
dimana pada orang tersebut beberapa rangsangan dapat mengawali berkembangannya
arteriopati, remodeling dinding vaskuler, vasokonstriksi dan trombosis insitu. Hanya
sebagian kecil kelompok dengan resiko tinggi (Penyakit vaskuler kolagen, hipertensi
portal, infeksi HIV dan obat-obat penekan nafsu makan) dapat menimbulkan
gambaran klinis yang sama dengan HPP.
Kejadian HPP dalam suatu keluarga menunjukan kepakaan genetik. Bentuk
kelainan bawaan adalah autosomal dominan dengan ratio wanita dan pria 2 banding 1.
Meskipun melibatkan gen dalam familial HPP belum dapat diidentifikasi,
kemungkinan lokasi pada tangan panjang dari kromosom 2 q31. Vasokonstriksi dan
hipertrofi media terjadi pada awal HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap
kerusakan sel endotel, yang menyebabkan berkurangnya produksi “endothelium
drived vasodilator” atau meningkatkan vasokonstriktor. Kerusakan saluran ion pada
sel otot polos arteri pulmonalis berperanan penting dalam regulator kontraksi dan
proliferasi otot polos vaskuler. Vasokonstriksi akan diikuti oleh proliferasi dan
fibrosis intima, trombosis insitu, dan perubahan fleksogenik. Peningkatan ekspresi
vaskuler endothelial growth factor (VEGF), suatu mitogen sel endotel spesifik yang
dihasilkan oleh makrofak dan otot polos vaskuler, berperan dalam remodeling
vaskuler.
PATHWAY OF PULMONAL ARTERIAL HYPERTENSION
Kerusakan/sumbatan jaringan Vaskuler paru
↓
Peningkatan aliran darah
d. Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, korion, dan
beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan
kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan. Blanc (1961) membahaginya
dalam 3 golongan, yaitu: Pada masa antenatal atau sebelum lahir, pada masa antenatal
kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus, masuk kedalam tubuh bayi
melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat
menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis,
influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan
toksoplasma, triponema pallidum dan listeria.
Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi melalui cara ini lebih sering
terjadi daripada cara yang lain. Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada
pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion, akibatnya terjadi amnionitis
dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Pada saat
ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam
infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi
dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah
pecah lebih dari 18-24 jam. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat
terjadi melalui kontak langsung pada kuman saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi seperti herpes genitalis, Candida albicans dan gonorea.
Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah
kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh (acquired infection) yaitu
infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim misalnya melalui alat-alat; pengisap
lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik dan botol minuman. Bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator,
kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian
terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial ini.
Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat juga menyebabkan
terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi pascanatal ini sebetulnya sebahagian besar dapat
dicegah. Hal ini penting karena mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali
bayi lahir di rumah sakit terkena infeksi dengan kuman-kuman yang sudah tahan
terhadap banyak jenis antibiotika, sehingga menyulitkan pengobatannya. Bila paparan
kuman pada kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons
tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang
terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien.
Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh
karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan
pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
a. PATOGENESIS
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, syok septik,
kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel 1).
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium
pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International
Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan
mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 2 dan 3).
Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila
terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun
terbukti infeksi (proven).
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria
dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit).
e. Etiologi
g. Manifestasi Klinik
Menurut Arief, 2008, manifestasi klinis dari sepsis neonatorum adalah sebagai
berikut:
1. Umum : panas (hipertermi), malas minum, letargi, sklerema.
2. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali
3. Saluran nafas: apnoe, dispnue, takipnu, retraksi, nafas cuping hidung, merintih,
sianosis
4. Sistem kardiovaskuler: pucat, sianosis, kulit lembab, hipotensi, takikardi,
bradikardi
5. Sistem syaraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum,
pernapasan tidak teratur, ubun-ubun membonjol
6. Hematologi: Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan.
K. Terapi
Sasaran Terapi
1. Saluran pernafasan
2. Saluran urin
3. Rongga intraabdominal
Tujuan Terapi
1. Menetapkan Patogen
2. Eliminasi patogen
3. Terapi antimikroba secara agresif
4. Menhentikan kemungkinan terjadinya syok
5. Menghindari gagal organ
Strategi Terapi
Terapi farmakologi
1. Ampisilin
2. Aminogliksida
3. Infus RL 500 ml
B. Klasifikasi
Berdasarkan letak lubang, ASD dibagi dalam tiga tipe :
1. Ostium secundum : merupakan tipe ASD yang tersering. Kerusakan yang terjadi
terletak pada bagian tengah septum atrial dan fossa ovalis. Sekitar 8 dari 10 bayi lahir
dengan ASD ostium secundum. Sekitar setengahnya ASD menutup dengan sendirinya.
Keadaan ini jarang terjadi pada kelainan yang besar. Tipe kerusakan ini perlu dibedakan
dengan patent foramen ovale. Foramen ovale normalnya akan menutup segera setelah
kelahiran, namun pada beberapa orang hal ini tidak terjadi hal ini disebut paten foramen
ovale. ASD merupakan defisiensi septum atrial yang sejati.
2. Ostium primum : kerusakan terjadi pada bagian bawah septum atrial. Biasanya
disertai dengan berbagai kelainan seperti katup atrioventrikuler dan septum ventrikel
bagian atas. Kerusakan primum jarang terjadi dan tidak menutup dengan sendirinya.
3. Sinus venosus : Kerusakan terjadi pada bagian atas septum atrial, didekat vena besar
(vena cava superior) membawa darah miskin oksigen ke atrium kanan. Sering disertai
dengan kelainan aliran balik vena pulmonal, dimana vena pulmonal dapat berhubungan
dengan vena cava superior maupun atrium kanan. Defek sekat primum dikenal dengan
ASD I, Defek sinus Venosus dan defek sekat sekundum dikenal dengan ASD II.
C. Etiologi
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD. Faktor-faktor tersebut
diantaranya :
1. Faktor Prenatal
a. Ibu menderita infeksi Rubella
b. Ibu alkoholisme
c. Umur ibu lebih dari 40 tahun.
d. Ibu menderita IDDM
e. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
2. Faktor genetic
a. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
b. Ayah atau ibu menderita PJB
c. Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
d. Lahir dengan kelainan bawaan lain
ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan. Dalam keadaan normal, pada
peredaran darah janin terdapat suatu lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah
tidak perlu melewati paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini biasanya menutup. Jika
lubang ini tetap terbuka, darah terus mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan (shunt),
Penyebab dari tidak menutupnya lubang pada septum atrium ini tidak diketahui,
D. Patofisiologi
Darah arterial dari atrium kiri masuk ke atrium kanan. Aliran tidak deras karena
perbedaan tekanan atrium kiri dan kanan tidak besar (tekanan atrium kiri lebih besar dari
tekanan atrium kanan. Beban pada atrium kanan, atrium pulmonalis kapiler paru, dan
atrium kiri meningkat, sehingga tekanannya meningkat. Tahanan katup pulmonal naik,
timbul bising sistolik karena stenosis relative katup pulmonal. Juga terjadi stenosis
relative katup trikuspidal, sehingga terdengar bising diastolic. Penambahan beban atrium
pulmonal bertambah, sehingga tahanan katup pulmonal meningkat dan terjadi kenaikan
tekanan ventrikel kanan yang permanen. Kejadian ini berjalan lambat. Pada ASD primum
bias terjadi insufisiensi katup mitral atau trikuspidal sehingga darah dari ventrikel kiri
atau kanan kembali ke atrium kiri atau kanan saat sistol.
ASD di awalnya tidak menimbulkan gejala. Saat tanda dan gejala muncul biasanya
murmur akan muncul. Seiring dengan berjalannya waktu ASD besar yang tidak
diperbaikidapat merusak jantung dan paru dan menyebabkan gagal jantung. Tanda dan
gejala gagal jantung diantaranya:
Kelelahan
Mudah lelah dalam beraktivitas
Napas pendek dan kesulitan bernapas
Berkumpulnya darah dan cairan pada paru
Berkumpulnya cairan pada bagian bawah tubuh
F.Manifestasi Klinis
Mild dyspneu pada saat bekerja (dispneu d’effort) dan atau kelelahan ringan adalah
gejala awal yang paling sering ditemui pada hubungan antar atrium. Pada bayi yang
kurang dari 1 tahun jarang sekali memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung kongestif
yang mengarah pada defek atrium yang tersembunyi. Gejala menjadi semakin bertambah
dalam waktu 4 sampai 5 dekade. Pada beberapa pasien yang dengan ASD yang lebar,
mungkin dalam 10 atau 7 dekade sebelumnya telah memperlihatkan gejala dispneu
d’effort, kelelahan ringan atau gagal jantung kongestif yang nyata.
Pada penderita ASD terdapat suara splitting yang menetap pada S2. Tanda ini adalah
khas pada patologis pada ASD dimana pada defek jantung yang tipe lain tidak
menyebabkan suara splitting pada S2 yang menetap.
G. Pemeriksaan Penunjang
1.Elektrokardiografi
Menilai irama, heart rate, gangguan konduksindan perubahan pola
2.Radiologi
Rontgen thorak untuk mengetahui gambaran paru dan jantung
3. Ekokardiografi
Dari pemeriksaan ini maka akan dapat dilihat adanyan kebocoran aliran darah dari atrium
kiri ke atrium kanan.
4.Kateterisasi
Prosedur diagnostik dimana kateter radiopaque dimasukan kedalam serambi jantung
melalui pembuluh darah perifer, diobservasi dengan fluoroskopi atau intensifikasi
pencitraan; pengukuran tekanan darah dan sample darah memberikan sumber-sumber
informasi tambahan.
H. Penatalaksanaan Medis
Bila pemeriksaan klinis dan elektrokardiografi sudah dapat memastikan adanya defek
septum atrium, maka penderita dapat diajukan untuk operasi tanpa didahului pemeriksaan
kateterisasi jantung. Bila telah terjadi hipertensi pulmonal dan penyakit vaskuler paru,
serta pada kateterisasi jantung didapatkan tahanan arteri pulmonalis lebih dari 10U/m²
yang tidak responsif dengan pemberian oksigen 100%, maka penutupan defek septum
atrium merupakan indikasi kontra.
v Tindakan operasi
Indikasi operasi penutupan ASD adalah bila rasio aliran darah ke paru dan sistemik lebih
dari 1,5. Operasi dilakukan secara elektif pada usia pra sekolah (3–4 tahun) kecuali bila
sebelum usia tersebut sudah timbul gejala gagal jantung kongaestif yang tidak teratasi
secara medikamentosa. Defect atrial ditutup menggunakan patch
v Tanpa operasi
Lubang ASD dapat ditutup dengan tindakan nonbedah, Amplatzer Septal Occluder
(ASO), yakni memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui pembuluh darah di
lipatan paha. Meski sebagian kasus tak dapat ditangani dengan metode ini dan
memerlukan pembedahan. Amplatzer septal occluder(ASO) adalah alat yang
mengkombinasikan diskus ganda dengan mekanisme pemusatan tersendiri (self-centering
mechanism). Ini adalah alat pertama dan hanya menerima persetujuan klinis pada anak
dan dewasa dengan defek atrium sekundum (DAS) dari the United States Food and Drug
Administration (FDA US). Alat ini telah berhasil untuk menutup defek septum atrium
sekundum, patensi foramen ovale, dan fenestrasi fontanella.
BAB III
HASIL & ANALIS
ANALISIS DRP
Kategori Major
Disarankan untuk menggunakan
Obat Alternatif.
interaksi antara obat fluconazole dan Jika pemberian co-inhibitor
fenthanyl yaitu fluconazole akan CYP3A4 dengan fentanyl
meningkatkan level atau efek fentanyl diperlukan, monitor pasien untuk
dengan memengaruhi metabolisme depresi pernapasan dan sedasi pada
enzim CYP3A4 hati / usus. interval yang sering dan
Interaksi Obat (Medscape) pertimbangkan penyesuaian dosis
fentanyl sampai efek obat yang
stabil tercapai. (Medscape)
Kategori Monitoring
Interaksi antara obat fluconasole dan Dilihat dari waktu paruh kedua obat ini
amikasin yaitu flukonazol maka disarankan pemberian jeda waktu
menurunkan kadar amikasin dengan minum obat antara fluconazole dan
mekanisme yang tidak diketahui..
amikasin.
(Medscape)
Amikasin diberikan terlebih dahulu
Catatan : T1/2 fluconazole : 30 jam setelah 4-5 jam baru diberikan
T1/2 amikasin : 4-5 jam (DIH) fluconazole.
An. M. Rijal Alfiansyah seorang bayi berusia 5 bulan, berat badan 5 kg,
datang ke ICU RSU Kabupaten Tangerang pada tanggal 10/01/19. Berdasarkan hasil
anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan demam 2 hari, sesak
nafas, kejang 2 kali, saat kejang atau tidak sadar, mual tapi tidak muntah dan BAB
sedikit 1 kali hari itu.
Pasien lahir secara SC dan tidak mendapat imunisasi lengkap.Pasien pernah di
rawat di paviliun kemuning selama 10 hari.
An. Rijal didiagnosa HAP dengan atelektasis paru kiri dan Sepsis. Menurut
dipiro, pasien HAP yang dirawat di ICU mendapat terapi antibiotik golongan
betalaktam + makrolida atau floroquinolon dan untuk terapi sepsis, diterapi dengan
antibiotic golongan betalaktam + aminoglikosida. Tetapi hasil kultur pada tanggal
16/01 pasien an. Rijal ini sudah resisten dengan antibiotic golongan penisilin dan
antibiotic golongan sefalosporin generasi III ( cefotaxime, ceftazidime,ceftriaxone)
dan generasi IV (cefepime). Sehingga untuk antibiotik an. Rijal hanya mendapat
golongan Aminoglikosida (Amikasin) dan golongan sefalosporin generasi III
(cefoperzone) dan mendapat antibiotik tambahan tigecycline golongan glycylcycline
yang menurut hasil kultur masih sensitive terhaddap bakteri. Pada pemeriksaan
laboratorium leukosit 30-35/LPK kemudian turun menjadi 6,48 x 10 3/UL (07/0219)
dan 7,59 x 103/UL karena penggunaan antibiotic amikasin, cefaperasone dan
tigecycline. Nilai leukosit pasien sudah mengalami penurunan yang signifikan dan
sudah dalam range normal maka disarakan hanya 1 penggunaan antibiotik yaitu
tigecycline.
Terapi fluconazole yang diberikan pada anak M. Rijal belum tepat karena
tidak ada indikasi infeksi jamur. Fluconazole juga berinteraksi major dengan Fentanil
yang menyebabkan fluconazole akan meningkatkan level atau efek fentanyl dengan
memengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus (Medscape). Sehingga
disarankan untuk menghentikan terapi fluconazole. Ada juga beberapa obat yang
berinteraksi tetapi masuk dalam range monitoring seperti fluconazole dan sildenafil,
midazolam dan amikasin, flukonazol dan midazolam. Dilihat dari waktu paruh setiap
obat yang berinteraksi maka disarankan untuk memberi jedah waktu pada setiap
pemberian obat.
An. M. Rijal juga di diagnosa PH severe dan sudah mendapat terapi oral
sildenafil. Menurut tatalaksana terapi PH severe sudah tepat penggunaan sildenafil.
Nilai Hemoglobin pasien pada awal pemeriksaan lab sebesar 10,1g/dL dan
pada pemeriksaan tanggal 26 Februari 2019 sebesar 8,5 g/dL. Pasien sudah mendapat
PRC tetapi nilai hemoglobin tidak mengalami peningkatan tetapi mengalami
penurunan. Hasil laboratorium tersebut hemoglobinnya tidak mengalami peningkatan
sehingga disarankan dilakukan PRC lagi sampai Hb pasien normal.
Terapi pada pasien ini mencakup terapi HAP, PH severe dan sepsis + ASD
Sekunder. Adapun pemberian fentanyl dan milloz pada pasien adalah untuk
menghilangkan nyeri pasca operasi tracheostomi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Terapi yang diberikan untuk pasien An. M. Rijal Alfiansyah dengan diagnosis
HAP dan atkelektasis paru kiri, PH Severe, sepsis dan ASD sekunder sudah tepat
namun masih terdapat DRPs (Drug Related Problems) sehingga perlu dilakukan
monitoring dalam pemberian obat.
SARAN
1. Melakukan pemantauan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat yang
didapatkan, karena pasien mendapatkan terapi obat dalam waktu jangka panjang.
2. Melakukan monitoring efek samping penggunaan obat yang kemungkinan timbul
seperti mual, muntah, reaksi alergi dan nyeri.
LAMPIRAN
Perhitungan dosis :
Sildenafil
Menurut Drug Information Handbook, dosis untuk hipertensi pulmonal oral untuk
anak 1 bulan 0,25-2mg/kg/dosis setiap 4-6jam. Sebagian laporan menggunakan
0,5mg/kg/dosis dan di titrasi hingga 2 mg/kg/dosis.
Dosis sildenafil untuk hipertensi pulmonal dewasa adalah 20 mg per 3 kali sehari (4-6
jam)
Jadi dosis sildenafil untuk An. M. Rijal umur dengan BB 4 kg = 0,25-2 mg/kg x 4 kg
= 1mg-8mg
Amikasin
Menurut Drug Information Handbook, dosis untuk HAP : i.v = 20mg/kg/hari dengan
antipseudomonal beta lactam atau carbapenem (ATS/ American Thoracil Society)
Jadi dosis Amikasin untuk An. M. Rijal umur dengan BB 4 kg = 20mg/kg x 4mg =
80mg
Fluconazole
Kisaran dosis biasa untuk anak : dosis muatan : 6-12mg/kg. Dosis pemelihaaan : 3-12
mg/kg/hari.
Jadi dosis Fluconazole untuk An. M. Rijal umur dengan BB 4 kg = 6-12mg/kg x 4kg
= 24mg-48mg
Tygecyclin
Menurut Drug Information Handbook, dosis pemeliharaan tygecyclin adalah 50mg
per 12 jam.
Jadi dosis tygecyclin untuk An. M. Rijal umur dengan BB 4 kg umur 5 bulan =
n 5
x dosis dewasa = x 50 mg = 1.66mg
150 150
DAFTAR PUSTAKA
Adam, JM. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Anonim. 2007. Sepsis. Akses internet di
http://www.pediatrik.com/ilmiah_popular/20060220-1uyr3qilmiahpopular.doc
Berkow & Beers. 1997. Neonatal Problems : Sepsis Neonatorum. Akses internet di
http://debussy.hon.ch/cgi-bin/find?1+submit+sepsis_neonatorum
Carpenito, LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktek Klinis, Edisi 6.Jakarta :
EGC.
Depkes. 2005. Pedoman Pharmaceutical care Pneumonia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Dipiro J.T et al. 2015. Pharmacoterapi Handbook 9th edition. Mc Graw Hill Education.
NewYork.