Anda di halaman 1dari 15

SINDROM CUSHING EKSOGEN DENGAN

INSUFISIENSI ADRENAL SEKUNDER PADA PASIEN DENGAN

PENGGUNAAN STEROID JANGKA PANJANG

Diajukan sebagai laporan kasus ujian divisi metabolik endokrin

Nafisah

Pembimbing
Prof. dr. Suzanna Immanuel, SpPK(K)
dr. Nuri Dyah Indrasari, SpPK(K)
Dr. dr. Astuti Giantini, SpPK(K), MPH
dr. Yusra, SpPK(K), PhD
Dr. dr. Merci Monica Pasaribu, SpPK(K)

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA 2021
Kasus
Seorang laki-laki, 28 tahun, datang dengan keluhan kelemahan di kedua tangan dan kaki sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Ia juga mengalami demam, mual, muntah, serta penurunan nafsu makan.
Buang air besar dan kandung kemih dalam batas normal. Pasien didiagnosis gout (3 tahun yang lalu) dan
sejak saat itu pasien secara rutin mengkonsumsi obat Deksametason. Dalam sehari, pasien bisa
meminum 9 hingga 15 tablet deksametason. Satu bulan yang lalu, pasien tiba-tiba menghentikan
konsumsinya.
Pemeriksaan fisik pada saat pasien datang di IGD pada tanggal 26 Agustus 2020 menunjukkan hasil:
- Keadaan umum: lemah Kesadaran: sadar penuh (Compos mentis, GCS 15)
- Tekanan darah 132/80 mmHg Denyut nadi 96 kali/menit,
- Laju pernapasan 22 kali/ menit Suhu aksila 36,5 °C.

Status generalis
- Wajah: moon face (+)
- Leher: buffalo hump (+)
- Jantung dan paru: dalam batas normal
- Perut: Striae merah keunguan (+)
- Ekstremitas: akral hangat, atrofi otot-otot tungkai bawah, serta edema dari kedua kaki.
- Neurologis: paraparesis dengan kekuatan otot motorik 2 untuk semua ekstremitas
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hematologi
Darah Perifer Lengkap 26/8 27/8 28/8 31/8 02/09 Satuan Nilai rujukan
Hemoglobin 9,0 9,6 8,8 9,6 9,7 g/dL 13.3-16,6
Hematokrit 26,4 38,3 27,4 30,4 29,4 % 41,3 -52,1
Eritrosit 3,36 3,66 3,33 79,8 80,5 10^6/uL 3,69-5,46
MCV/VER 84,7 81,5 82,3 25,2 26,6 fL 86,7-102,3
MCH/HER 26,6 26,2 26,4 25,2 26,6 Pg 27.1-32.4
MCHC/KHER 34.1 33,9 32,1 31,6 33,0 g/dL 29,7-33,1
Jumlah Trombosit 599 367 548 585 553 10^3/uL 150-450
Jumlah Leukosit 11.22 9,84 9,68 12,73 13,5 10^3/uL 4.10-11.00
Hitung jenis
Basofil 0.4 0.8 0,8 0,7 0,4 % 0,3-1,4
Eosinofil 1,9 2,1 2,2 2,5 1,5 % 0,6-5,4
Neutrofil 82 70,3 % 19,8-70,5
Limfosit 14,8 17,6 % 23,1-49,9
Monosit 10,5 9,2 % 4,3-10
Selisih 0.0 %
RDW-CV 12 13,5 14,0 13,2 14,5 % 9-12,0
LED 52 mm/jam
Hemostasis
Masa Protrombin (PT) 11,6 Detik 9-12
APTT 27,9 30,0 Detik 23-33
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Kimia Darah
Parameter 26/8 28/8 31/8 02/09 03/09 Satuan Nilai Rujukan
Natrium 137 137 137 138 136 mEq 136-145
Kalium 2,3 3,4 3,4 2,9 3,4 mEq 3.5-5.1
Clorida 98 98 104 100 99 mEq/L 98.0-107.0
Kalsium 6,8 mg/dL 8.5-10.1
Magnesium 0,8 1,2 1,4 1,3 mg/dL 1,8-2,4
BUN 4 2 9 mg/dL 7-18
Serum Kreatinin 1,2 1,2 0,9 mg/dL 0,6-1,3
Albumin 2,6 2,8 2,9 3,0 g/dL 3,4-5
Glukosa 67 90 109 mg/dL <200
SGOT 56 59 U/L L: 0-50, P: 0-35
SGPT 39 47 U/L L: 0-50, P: 0-35
Kolesterol total 240 mg/dL 0-200
HDL 44 mg/dL 40-60
LDL 164 mg/dL 0-90
Trigliserida 160 mg/dL 30-150
CRP 13 14,67 mg/dL 0-1

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan hormon dan urin


Parameter 26/8 28/8 2/9 Nilai Rujukan
Kortisol 18,67 19,58 Serum pagi ng/mL
(Dexamethasone 08.00-10.00: 57,2-194,2
suppresion test)
Serum malam
(16.00-18.00): 20,2-131,0
ACTH 2,1 7,4-64,3 pg/mL
Urinalisis Semua dalam rentang nilai rujukan
Kalium urin 27,75 35-50 mg/dL
Natrium urin 122,5 30-300 mg/dL
Klorida urin 145 85-170 mg/dL

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Analisa Gas Darah

Kesan:
- Hasil AGD pada tanggal 26 Agustus menunjukkan alkalosis metabolik dengan asidosis repiratorik
sebagai kompensasi.
- Hasil AGD pada tanggal 28 Agustus menunjukkan alkalosis metabolik tidak terkompensasi
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Imunologi

Gambar 1. Moon face (kiri) dan Striae pada abdomen pasien (kanan)
Gambar 2. Buffalo hump (kiri) dan atrofi pada tungkai bawah disertai edema (kanan)

Teori singkat
Sindrom Cushing (CS) terjadi akibat paparan kronik terhadap kortisol dalam jumlah yang berlebihan di
sirkulasi. Insiden SC adalah 0,7-2,4 per1.000.000 populasi per tahun. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
faktor-faktor di luar (eksogen) atau di dalam tubuh (endogen). Cushing Disease merupakan penyebab
hiperkortisolisme endogen tersering sedangkan penggunaan kortikosteroid merupakan penyebab SC
tersering. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya SC pada penggunaan steroid meliputi dosis
dan potensi, durasi penggunaan, serta cara penghentian steroid yang digunakan. Glukokortikoid mulai
dikenal pada tahun 1950-an, dan digunakan secara luas sebagai anti-inflamasi, autoimun dan pengobatan
lainnya. Pada penggunaan kortikosteroid dengan dosis tinggi dan jangka pan panjang, tubuh telah
beradaptasi dengan kortikosteroid dari luar. AKibatnya, penghentian kortikosteroid secara mendadak
akan menyebabkan gejala withdrawal berupa insufisiensi adrenal sekunder karena penekanan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA-aksis). Insufisiensi adrenal ditandai dengan penurunan produksi
glukokortikoid oleh tubuh. Insufisiensi adrenal jarang terjadi (angka kejadian <0,01% pada populasi
umum). Insufisiensi adrenal dapat diklasifikasikan menjadi insufisiensi adrenal primer dan sekunder.

Gejala klinis

Gejala yang dialami penderita Sindrom Cushing berkaitan dengan tingginya kadar kortisol di
dalam tubuh. Gejalanya antara lain peningkatan berat badan, penumpukan lemak, terutama di bahu
(buffalo hump) dan wajah (moon face), guratan berwarna ungu kemerahan (striae) di kulit perut, paha,
payudara, atau lengan, penipisan kulit sehingga kulit menjadi mudah memar, adanya luka atau bekas
gigitan serangga di kulit sulit sembuh, berjerawat, mengalami lemah otot, lemas, cemas, depresi, atau
mudah marah, gangguan mengingat, tekanan darah tinggi, sakit kepala, osteoporosis, serta gangguan
pertumbuhan pada anak. Pada wanita, sindrom Cushing dapat gangguan haid sehingga haid menjadi
tidak teratur dan menimbulkan gejala hirsutisme. Sedangkan pada pria, keluhan lain yang mungkin
muncul akibat sindrom Cushing adalah penurunan gairah seksual, gangguan kesuburan, dan impotensi.
Gambar 3. Manifestasi Klinis pada Sindrom Cushing

Pemeriksaan
Pemeriksaan awal harus sangat sensitif, meskipun diagnosis bisa dieksklusi oleh uji yang lebih spesifik
nantinya. Diagnosis tegak jika dua uji lini pertama memberi hasil abnormal. Berdasarkan Panduan
Endocrine Society 2008:
• Pasien dengan kecurigaan rendah, lakukan 1 dari berikut: 2 pengukuran kortisol saliva malam
hari, ekskresi kortisol bebas urin 24 jam (2 pengukuran), atau tes supresi dexamethasone 1 mg
overnight
• Kecurigaan tinggi, lakukan 2 dari tes sebelumnya di atas
• Meningkatkan sensitvitas, nilai rujukan UFC, kortisol saliva, dan kortisol serum < 1.8 mgc/dL
sesudah diberikan dexamethasone

Kadar Kortisol bebas urin 24 jam akan normal pada 10-15% pasien sindrom Cushing pada 1 dari
4 pengukuran. Sindrom Cushing endogen dapat menghasilkan kortisol secara siklik (mengganggu
dokumentasi hasil biokimia dan interpretasi uji supresi). Jika sangat curiga dan hasilnya normal, lakukan
berulang, sebulan sekali selama 4 bulan berturutan Jika dilakukan tandem mass spectrometry, ULN
adalah 45 µg (124 nmol). Pada tes supresi dexametason, pasien akan diberikan dexamethasone 1 mg oral
pada pukul 11 malam. Pengukuran kortisol serum pagi jam 8. Kortisol serum orang sehat ditekan hingga
< 1.8 µg/dL (50 nmol/L). Jika pemeriksaan awal normal dan kecurigaan pada pasien rendah,
kemungkinan memang normal, kecuali sindrom Cushing sangat ringan atau bersifat siklik makan tidak
disarankan pemeriksaan tambahan kecuali ditemukan episode siklik atau progresivitas gejala. Jika
ditemukan salah satu hasil abnormal. Pikirkan false positif, lakukan pemeriksaan tambahan

Gambar 4. Beberapa tes untuk menegakkan diagnosis Sindrom Cushing


Diskusi
Kelenjar adrenal, terdiri dari korteks dan medula, terletak di atas ginjal (supra-renal). Korteks adrenal
korteks kelenjar memiliki 3 lapisan yaitu zona glomerulosa, zona fasciculata dan zona retikuler. Ketiga
lapisan ini mengeluarkan hormon steroid yang berbeda. Mineralokortikoid dihasilkan di zona
glomerulosa sedangkan glukokortikoid dan androgen di zona fasciculata dan zona retikularis (Gambar
5). Kortisol adalah produk utama glukokortikoid yang berperan dalam mengatur metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak.

Gambar 5. Anatomi Kelenjar Adrenal

Sekresi kortisol dikendalikan oleh kortikotropin atau hormon adrenokortikotropik (ACTH), yang
disekresikan oleh hipofisis anterior. Sekresi ACTH dipengaruhi okeh sekresi corticotropin (CRH) di
hipotalamus. CRH dilepaskan hipotalamus pada kondisi stress, olahraga, dan hipoglikemia. Sekresi
ACTH dan CRH dikendalikan oleh kortisol melalui mekanisme umpan balik negatif. Pemberian dosis
tinggi glukokortikoid menekan aksis sehingga terjadi atrofi adrenal, dan jika steroid dihentikan
mendadak, terjadi krisis Addisonian (insufisiensi glukokortikoid). (Gambar 6)
Gambar 6. Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
Glukokortikoid bekerja sebagai hormon katabolik yang menyebabkan pemecahan protein dan lemak dan
menghambat sintesis protein di otot, jaringan ikat, jaringan lemak, dan sel limfoid. Hormon ini juga
memiliki anabolik pada metabolisme di hati (Gambar 7)

Gambar 7. Kerja hormon kortisol di berbagai organ


Pasien ini datang dengan keluhan kelemahan dan kelelahan. Pada pemeriksaan fisik, striae
keunguan didapatkan pada ketiak dan perut bagian bawah. Pemecahan protein akan menyebabkan otot
melemah, penipisan struktur tulang, serta penurunan elastistisitas kulit. Peregangan kulit diatas deposisi
lemak ditambah dengan hilangnya elastisitas akibat katabolisme protein mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah di permukaan. Kemudian, darah merembes melalui celah yang terbentuk akibat
katabolisme kolagen sehingga terbentuk striae berwarna merah keunguan.

Pasien mengalami hiperlipidemia yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total
240g/dL, trigliserida 160 g / dL, dan low-density-lipoprotein (kolesterol LDL) 164 mg / dL serta
penurunan high-density-lipoprotein (kolesterol HDL) 44 mg / dL. Hiperlipidemia terjadi karena efek
potensi kortisol pada hormon lain seperti somatotropin dan katekolamin pada proses lipolisis di jaringan
lemak (Gambar 8). Hiperkortisolisme menyebabkan akumulasi lemak jaringan di tempat-tempat
tertentu seperti wajah membentuk moon face, daerah interscapular (buffalo hump) dan mesenterik
(obesitas sentral). Penyebab distribusi jaringan lemak ini belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan
berkaitan dengan resistensi insulin dan/atau kadar insulin yang tinggi. Pasien pada kasus ini memiliki
moon face, buffalo hump, dan obesitas sentral.

Gambar 8. Patogenesis gejala pada Sindrom Cushing


Pada pasien dengan Sindrom Cushing sering didapatkan gejala kardiovaskular, seperti hipertensi,
kejadian infark miokardial, atau stroke. Pada kasus ini, pasien mengalami hipertensi. Pada pasien
dengan Sindrom Cushing, terjadi karena peningkatan produksi angiotensin II sebagai akibat dari
peningkatan produksi angiotensinogen di hepar. Akibatnya, terjadi peningkatan vaskonstriksi vascular
serta terjadi penurunan reuptake degradasi katekolamin, disertai dengan penghambatan vasodilator
seperti kinin dan prostaglandin (Gambar 8).

Gambar 8. Patogenesis kelainan kardiovaskular pada Sindrom Cushing

Penghentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba tanpa tapering off dapat menyebabkan
efek withdrawal berupa insufisiensi adrenal sekunder karena penekanan aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (HPA). Sindrom withdrawal steroid menyebabkan gejala kelesuan, malaise, anoreksia, myalgia,
sakit kepala, demam, dan deskuamasi kulit sesuai dengan gejala pasien pada kasus ini.
Diagnosis sindrom Cushing eksogen dimulai dengan kecurigaan klinis berdasarkan pemeriksaan
fisik. Sindrom Cushing eksogen diindikasikan jika kadar serum kortisol pagi hari rendah. Kadar
hormone ACTH juga rendah karena pada produksi ACTH di hipofisis ditekan oleh steroid eksogen.
Insufisiensi adrenal sekunder yang disebabkan oleh defisiensi ACTH paling sering disebabkan oleh
terapi glukokortikoid. Pasien ini memiliki riwayat penggunaan deksametason jangka panjang dalam
dosis tinggi. Konsumsi deksametason akan menyebabkan kadar kortisol serum tinggi sehingga
mengurangi produksi ACTH. Diagnosis insufisiensi adrenal didasarkan pada gejala pasien, pemeriksaan
pemeriksaan kimia darah, kadar ACTH serum, serta kadar kortisol serum. Pada insufisiensi adrenal
sekunder, supresi ACTH hanya memberikan efek minimal pada sekresi aldosteron oleh zona
glomerulosa sehingga tidak didapatkan gejala defisiensi mineralokortikoid pada pasien.

Pasien mengalami asupan rendah dan muntah sehingga menyebabkan kadar kalium dan
magnesium rendah dan menyebabkan kelemahan di 4 ekstremitas. Kelemahan dirasakan membaik
setelah terapi seiring dengan perbaikan kadar kalium dan magnesium pasien. Pendekatan diagnosis pada
pasien yang dicurigai Sindrom Cushing adalah membuktikan adanya kadar hormon kortisol yang
berlebih dan apakah terdapat gangguan mekanisme umpan balik pada aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal.

Pemeriksaan laboratorium,awal yang direkomendasikan adalah satu dari tes berikut:


1. Dua kali pemeriksaan kortisol bebas di urin 24 jam
2. Pemeriksaan saliva kortisol larut malam
3. 1 mg overnight dexamethasone suppression test (ONDST) atau tes supresi dengan pemberian
deksametason lebih lama

Ketiga tes tersebut merupakan tes awal yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi
kemungkinan sindrom Cushing. Karena ketersediaan di beberapa tempat, sehingga kadang hanya
kortisol pagi yang diperiksa dan biasanya jika hasilnya sangat tinggi dapat mendukung diagnosis
Sindrom Cushing. Riwayat pasien dan pemeriksaan fisik pasien ini sangat mendukung dalam penegakan
diagnosis sindrom Cushing, tetapi pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan peningkatan pada
kadar kortisol serum. Pasien malah didapatkan mengalami penurunan tingkat kortisol (serum 08.00
pagi), yaitu 18.67 ng/mL. Tingkat kortisol serum pagi menunjukkan insufisiensi adrenal akibat terapi
kortikosteroid jika kadarnya <3μg/dL (<30 ng/mL) dan menunjukkan fungsi adrenal normal ketika nilai
>20μg / dL (>200 ng/mL).

Tingkat ACTH serum diperlukan untuk membedakan insufisiensi adrenal primer dan sekunder.
Idealnya, dilakukan ACTH stimulation test menggunakan ACTH sintetis (Cortrosina®, Synacthen®)
untuk menentukan kadar kortisol serum baseline, kemudian disuntikkan 250 mcg ACTH intravena,
diikuti dengan penilaian serum kortisol pada waktu 30 dan 60 menit setelah pemberian ACTH.
Normalnya, setelah ACTH stimulation test akan didapatkan peningkatan kadar kortisol serum >20
mcg/dL atau peningkatan >10 mcg/dL dari kajdar baseline. Pada insufisiensi adrenal sekunder, tidak
akan dijumpai peningkatan kortisol serum. Sayangnya uji ini tidak dilakukan pada pasien karena tidak
ada ACTH sintesis yang tersedia.

Gambar 9. Alur Diagnosis Cushing Syndrome


Pada insufisiensi adrenal sekunder, kadar ACTH serum akan didapatkan rendah yaitu <5 pg/mL
atau 1,10 pmol/L. Pada pasien ini, diapatkan penurunan kadar ACTH serum yaitu 2.1 pg/mL. Hal ini
mendukung diagnosis insufisiensi adrenal sekunder. Pasien didiagnosis Sindrom Cushing eksogen
berdasarkan riwayat penggunaan deksametason jangka panjang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
moon face, buffalo hump, striae keunguan, dan hipertensi. Penghentian mendadak deksametason
menyebabkan gejala withdrawal, salah satunya adalah insufisiensi adrenal sekunder. Hal ini sesuai
dengan temuan serum kortisol pagi dan ACTH yang rendah.
Ringkasan
Seorang laki-laki, berusia 28 tahun, datang dengan kelemahan pada keempat ekstremitas. Pasien
memiliki riwayat meminum kortikosteroid yaitu deksametason, dengan dosis yang besar dan waktu yang
lama. Akibat suplai kortikosteroid eksogen tersebut, pasien mengalami hiperkortisolime (Sindrom
Cushing). Temuan klinis pasien mendukung Sindrom Cushing, yaitu didapatkan obesitas, hipertensi,
moon face, buffalo hump, striae pada abdomen, serta atrofi ekstremitas. Karena selama ini mendapat
kortikosteroid eksogen, aksis hipotalamus- hipofisis-adrenal pasien menjadi terganggu dan ACTH dan
kortisol yang dihasilkan oleh tubuh rendah. Akibatnya, ketika pasien secara mendadak menghentikan
konsumsi kortikosteroid, terjadi insufisiensi adrenal sekunder sebagai salah satu manifestasi steroid-
withdrawal syndrome. Hasil pemeriksaan berupa kadar kortisol dan ACTH rendah pada pasien
mendukung hal ini.

jenis prednison berusia 6 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala di bagian dahi yang memberat. Ia
telah mengalami gejala letargi, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, batuk, serta demam
hilang timbul. Foto toraks pasien menunjukkan adanya kondolidasi pada lobus kiri atas dan CT-Scan
menunjukkan adanya lesi multipel dengan penyangatan disertai edema di kedua hemisfer cerebri. Akibat
kecurigaan yang kuat pada tuberkulosis (TB), maka pasien dirawat dan ditatalaksana dengan obat anti
tuberkulosis dan steroid. Beberapa hari setelahnya, infeksi TB pada pasien terkonfirmasi dengan
pemeriksaan PCR sputum Mycobacterium tuberculosis. Analisis cairan serebrospinal tidak
menunjukkan kelainan dan hasilnya negatif M. tuberculosis. Pada minggu pertama tatalaksana, pasien
mengalami poliuria, nokturia, dan polidipsia dan didiagnosis mengalami diabetes insipidus tipe sentral.
Pasien diberikan tatalaksana dengan desmopressin dan gejalanya membaik dengan cepat. Pemberian
desmopressin pada pasien dilanjutkan hingga 3 bulan. Kondisi pasien saat ini menunjukkan respon yang
baik pada tatalaksana anti-tuberkulosis yang diberikan.

Kesimpulan
Penggunaan kortikosteroid merupakan penyebab tersering Sindrom Cushing eksogen. Hal ini dapat
ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan kadar hormone
kortisol, tes supresi deksametason, serta ACTH simulation test. Insufisiensi adrenal sekunder akibat
penghentian tiba-tiba kortikosteroid merupakan salah satu kondisi yang diwaspadai pada pasien dengan
Sindrom Cushing Eksogen.

Anda mungkin juga menyukai