Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH STUDI KASUS PRAKTIKUM PBL FARMAKOTERAPI

“MATERI PENYAKIT KARDIOVASKULAR”

Dosen jaga :
Apt. Ema Rachmawati, S.Farm., M.Sc.

Disusun Oleh :

Kelompok 2
Emil Rahma Fauziah 182210101015
Ami Reza Novitasari 182210101056
Reynaldi Edo Mahendra 182210101115
Charang Sukma Mulyana 182210101140
Siti Zulaiha 182210101152
Moch. Chusnul Rifqi Zauhair 182210101162

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2021

1
Daftar Isi
Cover ........................................................................................................................................... I

Daftar Isi ................................................................................................................................... II

Soal Studi Kasus 1 PBL Farmakoterapi..................................................................................... 3

I. Diagnosa Penyakit Pasien ................................................................................................... 7


1. ACS STEMI ............................................................................................................... 7

2. Diabetes Mellitus 2..................................................................................................... 9

3. Atrial Fibrilasi .......................................................................................................... 12

II. Perbandingan Fondaparinux dengan Enoxaparin sebagai Anticoagulan .......................... 15


III. Evidence Based Medicine Asetil Salicylic Acid dan Clopidogrel dengan Enoxaparin
pada Pasien ACS STEMI yang menjalani Tindakan PCI ................................................. 18
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 21

2
SOAL STUDI KASUS 1 PBL FARMAKOTERAPI
KASUS KARDIOVASKULAR

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. FR
Umur : 45 tahun BB: 75 kg TB: 178 cm
Tanggal MRS : 13/04/2021
Tanggal KRS : 17/04/2021
Diagnosis awal : STEMI
Diagnosis akhir : STEMI + DM Tipe 2 + Atrial Fibrilasi
Status asuransi : BPJS/JKN

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri menjalar tembus punggung sejak pukul 16.00
13/04/2021 selama 35 menit seperti tertindih disertai keringat dingin. Pagi harinya
pasien pernah mengalami keluhan seperti masuk angin, namun membaik dengan
istirahat. Pasien mengaku perokok aktif 1 pack/hari

2.2. Riwayat Penyakit :


Diabetes sejak 2 tahun lalu, 6 bulan yang lalu ada pendarahan di dubur. Pasien menjalani
pemotongan usus besar 7 cm (Januari 2021) dan 2 minggu yang lalu melakukan operasi
ulang

2.3. Riwayat Pengobatan :


Rutin dengan Metformin 3x500 mg

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -

2.5. Alergi Obat : -

3
III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital/Pemeriksaan fisik
Parameter Nilai Tanggal
Normal
13/4 14/4 15/4 16/4

Suhu (C) 36-37,2 36,4 36 36 36

Tekanan darah 120/80 138/75 90/70 100/70 110/80


(mmHg)
Nadi (x/menit) 60-80 92 100 93 94

RR (x/menit) 20 24 20 20 20

SpO2 (%) 95-100 95 100 100 100


(on nasal (on nasal (on nasal
canule) canule) canule)

EKG ST elevasi AF RVR new Sinus Rhytm Sinus Rhytm


V1-V2-V3- onset
V4-V4-I Nadi
120x/menit

B. Tanda-tanda klinik
Gejala fisik Tanggal

4
C. Data laboratorium
Parameter Nilai Normal Tanggal

13/4 14/4 15/4 16/4

HbA1C <5,7 % 8,9

Glukosa darah 60-100 mg/dL 220


puasa
Glukosa darah < 200 mg/dL 270 222 82 149
acak
Troponin I <1 ug/dL 24,5

CK-MB 7-25 U/L 188

Kolesterol total <200 mg/dL 235

Trigliserida <150 mg/dL 468

HDL >50 mg/dL 39

LDL <100 mg/dL 156

Ureum 16,6 – 48,5 13,6


mg/dL

Kreatinin <1,2 mg/dL 0,68

Hb 12-14 g/dL 14,2 13,1

WBC 4,3-10,3 x 103 12,8 10,1


/uL
Trombosit 142-425 x 103 346 342
/uL

5
IV. TERAPI PASIEN
Nama Obat Rute Dosis Tanggal

13/4 14/4 15/4 16/4

NaCl 0,9% IVFD 500cc/24 jam v v v v

ASA PO 1x80 mg 1x320 v v v

Clopidogrel PO 1x75 mg 1x300 v v v

ISDN IV 2mg/jam v

ISDN PO 3x5 mg 5 mg v v v

Enoxaparin SC 2x60 mg v v v v

Simvastatin PO 1x20 mg v v v v

Captopril PO 3x6,25 mg v v 3x12,5

Diazepam PO 1x2 mg v v v v

Lansoprazole IV 1x30 mg v v v v

Laxadine syrup PO 1x1 C v v v v

Bisoprolol PO 1x1,25 mg v v

Insulin Actrapid IVFD 5 U/jam v


(16.00-22.00)
Lantus SC 1x12 U v v v

Amiodaron IV 150 mg bolus v 0,5 mg/


lanjut 1 menit
mg/menit
Amiodaron PO 3x200 mg v

N asetil sistein PO 3x200 mg v v

Ramipril PO 1x2,5 mg v

Keterangan:
Pasien mendapatkan Tindakan Primary PCI tanggal 14/4/2021

6
I. Diagnosa Penyakit Pasien
1. Acute Coronary Sindrome (ACS) ST segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
Menurut tata laksana global menyatakan bahwa ST-segment elevation myocardial
infarction (STEMI) menjadi hal utama yang menyebabkan kematian dan menjadi perhatian
dunia (Tu dkk., 2019). Kejadian ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) telah
menurun selama dekade terakhir, di sebagian besar negara maju berpenghasilan tinggi. Namun,
di negara berkembang yang berpenghasilan rendah, insiden infark miokard akut (baik STEMI
maupun Non-STEMI) telah meningkat, seperti halnya insiden gagal jantung iskemik secara
global (Heusch dan Gersh, 2017).
a. Patofisiologi
Menurut tata laksana global menyatakan bahwa ST-segment elevation myocardial
infarction (STEMI) menjadi hal utama yang menyebabkan kematian dan menjadi perhatian
dunia (Tu dkk., 2019). Kejadian ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) telah
menurun selama dekade terakhir, di sebagian besar negara maju berpenghasilan tinggi.
Namun, di negara berkembang yang berpenghasilan rendah, insiden infark miokard akut
(baik STEMI maupun Non-STEMI) telah meningkat, seperti halnya insiden gagal jantung
iskemik secara global (Heusch dan Gersh, 2017).
b. Etiologi
Etiologi atau asal penyebab terjadi ACS Stemi ini secara garis besar dapat disebabkan
oleh beberapa hal berikut :
a. Ruptur plak
b. Trombosis arteri koroner
c. Spasme koroner
d. Gangguan hematologic
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang khas dari ACS Stemi ini ditunjukkan dengan adanya
peningkatan frekuensi angina exertional atau nyeri dada saat istirahat, ketidaknyamanan
dada berat onset baru, atau meningkatkan angina dengan durasi melebihi 20 menit. Rasa
sakit biasanya ketidaknyamanan pada dada anterior garis tengah yang dapat menyebar ke
lengan kiri, punggung, bahu, atau rahang dan dapat dikaitkan dengan diaforesis, dyspnea,
mual, dan muntah serta sinkop yang tidak dapat dijelaskan.
Pasien dengan STEMI biasanya akan mengeluh sakit dada yang tak henti-hentinya
sedangkan pasien dengan UA atau NSTEMI dengan angina saat istirahat, angina onset baru
(2 bulan atau kurang), atau angina yang meningkat frekuensi, durasi, atau intensitas.
7
d. Tata Laksana Terapi
Terapi secara non farmakologis dapat dilakukan dengan terapi reperfusi, terapi
reperfusi awal dengan PCI primer arteri infark dalam waktu 90 menit pasca pengobatan
medis pertama. Selain itu adapun terapi secara farmakologis dari ACS STEMI sebagai
berikut:
• Pedoman american college of cardiology foundation / American Heart
Association (ACCF / AHA) merekomendasikan bahwa semua pasien dengan
STE MI dan tanpa kontraindikasi harus menerima dalam hari pertama rawat
inap dan sebaiknya di departemen darurat: (1) oksigen intranasal (jika saturasi
oksigen rendah), (2) sublingual (SL) nitrogliserin (NTG), (3) aspirin, (4)
inhibitor trombosit P2Y12, (5) dan antikoagulasi dengan bivalirudin, heparin
unfractionated (UFH), atau enoxaparin.
• Inhibitor GP IIb / IIIa dengan UFH kepada pasien yang menjalani PCI primer.
• Berikan IV β-blocker dan IV NTG untuk memilih pasien. Memulai oral β-
blocker hari pertama pada pasien tanpa syok kardiogenik.
• Berikan morfin untuk pasien dengan angina refrakter sebagai analgesik dan
venodilator yang menurunkan preload.
• Inhibitor angiotensinconverting enzyme (ACE) dalam waktu 24 jam pada
pasien yang memiliki mi dinding anterior atau LVEF 40% atau kurang dan tidak
ada kontraindikasi.

Gambar 1. Tata Laksana Terapi STEMI (dengan studi Cohort) (Carrick dkk., 2015)

8
Untuk pasien dengan gejala mirip akut STEMI dilakukan pengukuran kelayakan
proses terapi
1. Pendaftaran pasien untuk proses informasi
2. Analisis dengan menggunakan tata laksana
3. Proses terapi berkelanjutan dengan CMR selama 6 bulan
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit yang diakibatkan oleh kelainan metabolisme
heterogen yang ditandai dengan hiperglikemia. Pada tahun 2012, diperkirakan 29 juta orang
Amerika berusia diatas 20 tahun menderita diabetes mellitus. (DiPiro, 2020). Menurut WHO,
diabetes merupakan penyakit kronis berupa gangguan metabolisme yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah, yang dapat menyebabkan kerusakan serius pada jantung,
pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf.
Diabetes adalah suatu kondisi kronis yang disebabkan oleh kekurangan absolut insulin
atau kekurangan relatif insulin sebagai akibat dari gangguan sekresi dan aksi insulin. Ciri khas
klinisnya adalah intoleransi glukosa simtomatik yang mengakibatkan hiperglikemia dan
perubahan metabolisme lipid dan protein. Dalam jangka panjang, kelainan metabolik ini
berkontribusi pada perkembangan komplikasi seperti penyakit kardiovaskular (CVD),
retinopati, nefropati, dan neuropati dan risiko kanker yang lebih tinggi. Secara genetik, etiologi,
dan klinis, diabetes adalah kelompok yang heterogen dari gangguan. Namun, sebagian besar
kasus diabetes mellitus dapat digolongkan menjadi diabetes tipe 1 atau tipe 2.
a. Patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 berupa penurunan sekresi insulin akibat autoantibodi yang
merusak sel-sel pulau Langerhans pada pankreas. Kerusakan sel pulau Langerhans pankreas
pada diabetes mellitus tipe 1 terjadi akibat terbentuknya autoantibodi. Mekanisme autoimun
ini masih tidak diketahui penyebabnya, tetapi diduga berhubungan dengan faktor genetik
dan paparan faktor lingkungan. Autoantibodi yang terbentuk akan merusak sel-sel β
pankreas di dalam pulau-pulau Langerhans pankreas disertai terjadinya infiltrasi limfosit.
Kerusakan sel β pankreas ini tidak terjadi dalam jangka pendek tetapip dapat terjadi hingga
bertahun-tahun tanpa diketahui karena gejala klinis baru muncul setelah setidaknya 80% sel
β pankreas mengalami kerusakan.
Kerusakan sel-sel β pankreas akan menyebabkan terjadinya penurunan sekresi insulin.
Defisit insulin ini kemudian akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia yang bila
terus memburuk akan menyebabkan penderita mengalami hiperosmolaritas dan dehidrasi.
Hiperglikemia juga akan menyebabkan terjadinya degenerasi akson dan demielinisasi
9
segmental sehingga penderita akan mengalami neuropati. Selain itu, hiperglikemia juga
menyebabkan terjadinya penumpukan sorbitol pada saraf sensorik perifer yang
menyebabkan terjadinya neuritis. Hiperglikemia juga akan menyebabkan gangguan pada
sistem pembuluh darah mikro maupun makro di mata ginjal, otak, dan jantung, sistem
katabolisme tubuh, serta gangguan elektrolit.
b. Etiologi
Diabetes mellitus terbagi menjadi 2, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 terjadi
akibat kondisi kronis pada sel beta pankreas yang hanya menghasilkan sedikit insulin atau
tidak dapat menghasilkan insulin. DM tipe 2 umumnya terjadi pada orang dewasa yang
diakibatkan oleh resistensi tubuh terhadap insulin. (WHO, 2020). Selain itu, terdapat pula
tipe DM yang lebih spesifik diakibatkan oleh kelainan genetik pada fungsi sel beta, kelainan
genetik pada kerja insulin, penyakit yang menyerang kelenjar eksokrin, endocrinopathy,
penggunaan obat-obatan, infeksi, diabetes yang dimediasi oleh sistem imun, serta
Gestasional Diabetes Mellitus (GDM). (DiPiro, 2020).
c. Gejala klinis
Menurut (WHO, 2020), gejala klinis diabetes adalah :
- Ekskresi urin berlebih (polyuria)
- Sering haus (polydipsia).
- Sering lapar (polyphagia).
- Penurunan berat badan.
- Perubahan penglihatan.
- Merasa lelah
d. Menifestasi klinik
Terapi dan Monitoring
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya hiperglikemia, yang
disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya.
Hiperglikemia yang kronis akan mengakibatkan disfungsi dan kerusakan berbagai organ,
misalnya pada mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah. Target glikemik harus
tergantung pada keadaan individu penderita, berdasarkan usia, lama sakit diabetes, resiko
hipoglikemia berat, adanya pernyakit kardiovaskuler, serta life expectancy. Target yang
diharapkan ialah, untuk glukosa darah puasa antara 72 – 125 mg/dl, dan 2 jam setelah
makan antara 90 – 180 mg/dL.
Selain pemeriksaan kadar glukosa darah, para ahli juga menyarankan untuk melakukan
pemeriksaan kadar HbA1c/A1C. Targetnya adalah < 7,0%, dimana faktor resiko
10
mikrovaskuler dan makrovaskuler dapat ditekan. Lebih jauh, untuk menurunkan resiko
nefropati dan retinopati pada penderita diabetes tipe 2, A1C disarankan < 6,5%. Untuk
penderita diabetes tipe 2 dengan keadaan yang sudah parah, serta terdapat komplikasi-
komplikasi antara lain penyakit arteri koroner, pernah hipoglikemia berat dan keadaan berat
yang lain, target A1C adalah 7,1% - 8,5%. Pemeriksaan kadar A1C ini bisa memperkirakan
kadar glukosa darah selama 3 – 4 bulan. Perlu dilakukan pemeriksaan setiap 3 bulan sekali
guna melihat efektifitas terapi.
Monitoring
Pemantauan kadar gula darah secara mandiri (self monitoring of blood glucose =
SMBG) perlu dilakukan agar dapat mengetahui naik-turunnya kadar gula darah setiap
waktu, termasuk mengetahui timbulnya komplikasi hipoglikemik secara dini. Selanjutnya,
pemeriksaan kadar HbA1c juga perlu dilakukan, dimana target HbA1c adalah < 7%,
sehingga faktor risiko makrovaskuler dan mikrovaskuler dapat ditekan. Pemantauan
tekanan darah juga dilakukan pada pasien diabetes, dimana tekanan sistol harus < 130
mmHg dan tekanan diastol < 80 mmHg. Tak hanya itu, pemantauan profil lipid pun penting
untuk dilakukan, khususnya untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yang menunjukkan
peningkatan prevalensi abnormalitas dari profil lipid. Pemeriksaan profil lipid ini
disarankan dilakukan setiap tahun. Selain itu penting juga dilakukan pemantauan nefropati
diabetes, retinopati, neuropati, dan ulkus. Pemantauan nefropati diabetes pada pasien
diabetes dilakukan dengan pemeriksaan albumin urin dan serum kreatinin, yang nantinya
dilakukan konversi besaran ACR dan serum kreatinin menjadi eGFR untuk menentukan
derajat keparahan apabila terdapat penyakit ginjal kronik. Pemantauan renopati dilakukan
setiap 2-3 tahun sekali ke dokter spesialis mata. Pemantauan neuropati dengan dilakukan
tes persepsi monofilamen dan vibrasi untuk neuropati. Pemantauan ulkus pada kaki
menjadi masalah morbiditas pada pasien diabetes, dimana diperlukan pemantauan kadar
gula, infeksi, keadaan vaskularisasi tungkai bawah, dan perawatan luka (Widodo, 2014).
e. Terapi
Ada tiga komponen dalam pengobatan diabetes :
1. Diet
2. Obat-obatan ( insulin dan agen antidiabetik “oral dan suntik”) dan
3. Olahraga
Terapi nutrisi medis
MNT (MEDICAL NUTRITION THERAPY) merupakan komponen integral yang
penting dari perawatan diabetes, MNT memainkan peran penting dalam terapi semua
11
individu dengan diabetes. Sayangnya, penerimaan dan kepatuhan pasien terhadap diet dan
perencanaan makan seringkali buruk, tetapi rekomendasi berbasis bukti yang direvisi yang
lebih fleksibel daripada pendekatan sebelumnya menawarkan peluang baru untuk
meningkatkan efektivitas terapi nutrisi.
Terapi nutrisi dirancang untuk membantu pasien mencapai tujuan metabolik dan
fisiologis yang tepat (misalnya, glukosa, lipid, proteinuria BP, berat badan), memilih
makanan sehat, dan mempertimbangkan preferensi pribadi dan budaya. Tingkat dan jenis (
aktivitas fisik yang tepat untuk mencapai status yang lebih sehat dimasukkan ke dalam
rencana nutrisi.
Untuk pasien dengan Diabetes tipe 1 yang menggunakan insulin dosis tetap, rencana
makan dirancang untuk menyediakan karbohidrat yang cukup, diatur waktunya agar sesuai
dengan aksi puncak insulin waktu makan yang diberikan secara eksogen. Makanan dan
camilan yang dijadwalkan secara teratur harus mengandung jumlah karbohidrat yang
konsisten, yang diperlukan untuk mencegah reaksi hipoglikemik.
3. Atrial Fibrilasi
Fibrilasi Atrium merupakan suatu penyakit yang sering disebabkan oleh aritmia menurut
beberapa studi klinis (Benjamin dkk., 2018). Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Robert
Adams pada tahun 1827, tetapi baru pada pergantian abad ke-20 ketika William Einthoven
menemukan elektrokardiografi, fibrilasi atrium (AF) pertama kali direkam pada
elektrokardiogram. Robert Adams menjelaskan penemuannya itu setelah mengetahui ada
hubungan denyut nadi yang tidak teratur dan terjadi stenosis mitral pada jantung. Secara
patogenesis dan klinis Fibrilasi Atrium menjadi pusat perhatian oleh studi komunitas yang
dilakukan oleh Framingham Heart Studies (FHS) dalam menganalisis data epidemiologi pada
kumpulan faktor risiko dan uji secara klinis. Berdasarkan data yang diambil melalui studi
cohort, masa hidup relatif penderita Fibrilasi Atrium pada pria dan wanita kurang lebih diatas
40 tahun keatas adalah sekitar 1 dalam 4 pasien (Benjamin dkk., 1994).
a. Patofisiologi Fibrilasi Atrium
Fibrilasi Atrium ditandai dengan frekuensi rangsangan berlebihan dari atrium yang
menyebabkan ketidakstabilan kontraksi atrium dan perangsangan ventrikel yang abnormal.
Fibrilasi Atrium juga dapat menyebabkan ketiadaan struktural atrium dan abnormalitas secara
elektrofisiologis, menurut beberapa studi secara epidemiologi kondisi ini semakin diperparah
dengan keadaan memiliki penyakit penyerta (comorbid), banyak diantaranya telah diketahui
menyebabkan perubahan secara struktural dan histopatologi yang membentuk substrat
Fibrilasi Atrium yang khas atau disebut kardiomiopati atrium (Goette dkk., 2016).
12
b. Etiologi
Fibrilasi Atrium disebabkan oleh berbagai faktor penyakit jantung struktural (SHD,
structural heart disease) yang menyebabkan pelebaran atrium kanan termasuk iskemik
miokardia atau infark, hipertensi; gangguan valvular seperti stenosis mitral; abnormalitas
sejak lahir seperti defek septum, kardiomiopati dilatasi atau hipertrofik, dan obesitas (Dipiro
dkk., 2020).
c. Tata Laksana Terapi (Dipiro dkk., 2020)

Gambar 1 Tata Laksana Terapi Fibrilasi Atrium (Dipiro dkk., 2020)


1. Collect (Kumpulkan)
a. Karakteristik pasien (misalnya, usia, jenis kelamin)
b. Riwayat penyakit saat ini (misalnya, tanda/gejala, durasi gejala) dan riwayat medis
pasien
c. Riwayat sosial (misalnya, penggunaan tembakau/etanol) dan kebiasaan diet
termasuk asupan makanan yang mengandung vitamin K (jika disarankan
penggunaan obat, warfarin)
d. Penggunaan obat-obatan hingga saat ini dan sebelumnya, termasuk obat resep
dokter, obat tanpa resep dokter, penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non-
steroid, produk herbal, dan suplemen diet
e. Data objektif, meliputi:

13
▪ Tekanan darah (BP), laju ventrikel (yaitu, denyut jantung), tinggi badan, berat
badan
▪ Kadar cairan tubuh: elektrolit (kalium, magnesium), kreatinin serum (SCr),
hemoglobin, hematokrit, trombosit, waktu tromboplastin parsial teraktivasi,
protrombin teraktivasi (PT), rasio normalisasi internasional (INR), fungsi tiroid
▪ Elektrokardiogram dan ekokardiogram sebanyak 12 sadapan
2. Assess (Ukurlah)
a. Ketidakstabilan hemodinamik (misalnya, TD sistolik <90 mm Hg), dekompensasi
gagal jantung, atau angina
b. Durasi gejala fibrilasi (tidak diketahui, kurang dari 48 jam, atau lebih dari 48 jam)
c. Fungsi sistolik ventrikel kiri (yaitu, fraksi ejeksi ventrikel kiri)
d. Risiko stroke (CHA2DS2-Skor VASc) dan risiko perdarahan (nilai HAS-BLED)
e. Adanya penyebab FA yang berpotensi reversibel (misalnya, tirotoksikosis, alkohol)
penarikan, infeksi, kelainan elektrolit [hipokalemia, hipomagnesemia])
f. Kemampuan/kesediaan untuk membayar pilihan pengobatan anti-koagulasi
g. Kemampuan/kemauan untuk mendapatkan tes pemantauan laboratorium (misalnya,
PT/INR [warfarin], SCr [antikoagulan oral langsung (DOACs)])
h. Potensi interaksi obat dengan obat pengontrol laju, anti-koagulan, dan/atau anti-
aritmia
3. Plan (Rencana)
a. Regimen terapi obat termasuk obat pengontrol laju, antikoagulan, dan/atau
antiaritmia serta dosis, rute, frekuensi, dan durasi;
b. Parameter pemantauan termasuk kemanjuran (misalnya, laju ventrikel, ritme,
PT/INR [warfarin], tanda/gejala stroke) dan keamanan (misalnya, proaritmia
[takikardia ventrikel, torsades de pointes], tanda/gejala perdarahan, SCr); frekuensi
dan waktu tindak lanjut
c. Edukasi pasien (misalnya, tujuan pengobatan, informasi spesifik obat,
pemantauan/tindak lanjut)
4. Implement (Melaksanakan)
a. Memberikan pendidikan pasien mengenai semua elemen rencana perawatan
b. Gunakan wawancara motivasi dan strategi pembinaan untuk memaksimalkan
ketaatan
c. Jadwalkan tindak lanjut (misalnya, PT/INR [warfarin], SCr [DOACs], kepatuhan
penilaian (semua obat), penilaian risiko perdarahan [warfarin dan] DOACs],
14
konsentrasi serum digoxin [digoxin], terkait tes laboratorium/radiologi
[amiodarone])
d. Follow-up (Tindak lanjut: Pantau dan Evaluasi)
e. Denyut dan irama ventrikel
f. Gejala adanya efek samping (misalnya, bradikardia [kontrol laju ventrikel] obat-
obatan], perdarahan [warfarin dan DOAC], toksisitas organ [antiaritmia])
5. INR [warfarin only] (sesuaikan dosis warfarin sesuai kebutuhan untuk
mempertahankan target INR dalam kisaran 2-3) dan menentukan waktu dalam rentang
terapeutik (TTR)
6. Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan menggunakan berbagai sumber
informasi
II. Perbandingan Fondaparinux dengan Enoxaparin sebagai Anticoagulan pada Pasien
ACS STEMI
Fondaparinux merupakan obat sintetis, yakni senyawa pentasakarida sulfat dengan
mekanisme kerja sebagai penghambat faktor Xa selektif yang diindikasikan untuk mencegah
pembentukan trombus pada pasien dengan Acute Coronary Sindrom (ACS), termasuk juga
dengan kelompok elevasi segmen ST miokard (STEMI), non-STEMI (NSTEMI), atau angina
tidak stabil (Blick dkk., 2011). Sedangkan enoxaparin adalah heparin berat molekul rendah
(LMWH) yang paling umum digunakan dalam mengobati pasien dengan ACS dan mencegah
komplikasi iskemik (Rosenthal dkk., 2021). Enocaparin ini bekerja dengan menghambat faktor
IIa dan Xa pada kaskade koagulasi. Enoxaparin berikatan dengan antithrombin III, suatu
penghambat serin protease, dan membentuk kompleks yang secara ireversibel menginaktivasi
factor Xa. Berkaitan dengan bentuk molekulnya, enoxaparin memiliki aktivitas yang lebih besar
dalam menghambat faktor Xa dibandingkan faktor IIa (4:1) .
1. Efikasi
Pada percobaan ATOLL membandingkan kemanjuran enoxaparin intravena dengan
UFH di antara pasien PCI primer (Zeitouni dkk., 2018). Peneliti melaporkan pengurangan
yang tidak signifikan dari titik akhir komposit primer kematian, komplikasi MI, kegagalan
prosedur, atau perdarahan besar pada 30 hari. Enoxaparin juga memberikan pengurangan
40% pada titik akhir komposit sekunder kematian, kekambuhan dan komplikasi MI.
Analisis head to head per-protokol menemukan bahwa titik akhir primer, angka kematian
dan kejadian perdarahan berkurang pada kelompok. Temuan ini dikonfirmasi oleh uji coba
terkontrol secara acak lainnya, di mana pemberian enoxaparin dikaitkan dengan penurunan
tingkat kematian dan infark ulang tanpa peningkatan tingkat kejadian perdarahan (Collet

15
dkk., 2013). Dengan demikian, terdapat bukti kuat bahwa penggunaan rutin enoxaparin
intravena untuk pasien yang dirawat dengan STEMI dapat meningkatkan hasil iskemik
dan perdarahan. Akibatnya, saat ini didukung oleh level IIa dalam pedoman ESC terbaru.
Pada tahun 2006, peneliti OASIS-6 mengacak 12.000 subjek dengan STEMI untuk
menerima UFH atau fondaparinux apa pun jenis reperfusinya (Yusuf, 2006). 30% dari
populasi penelitian tersebut diobati dengan PCI primer. Hasilnya menunjukkan
fondaparinux mengurangi tingkat kematian dan perdarahan pada populasi penelitian
secara keseluruhan, namun menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan dari trombosis
kateter periprocedural (0 vs 22; P<0,001) dan komplikasi koroner termasuk trombosis akut
baru dan tidak ada reflow (225 vs 270; P= 0,04) pada subkelompok yang diobati dengan
PCI primer. Akibatnya, penggunaan fondaparinux masuk dalam rekomendasi kelas III
dalam pedoman internasional untuk STEMI, dan tidak boleh digunakan.
Pada studi lain oleh (Zhao dkk., 2016) yang menargetkan pada pasien ACS STEMI
yang diobati dengan GPI tirofiban dan menjalani PCI membandingkan penggunaan
fondaparinux dan enoxaparin sebagai antikoalagan pendukung. Setelah menyesuaikan
data subjek uji mulai dari usia, jenis kelamin, dan pemberian obat antiplatelet, tingkat
kejadian semua peristiwa perdarahan secara signifikan lebih rendah pada kelompok
fondaparinux dibandingkan kelompok enoxaparin pada 1 tahun masa tindak lanjut,
menurut penggunaan GPI secara bersamaan. Setelah disesuaikan untuk usia, jenis kelamin,
berat badan dan faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya, fondaparinux tidak
meningkatkan risiko MACCE dibandingkan dengan enoxaparin. Selain itu, evaluasi juga
dilakukan pada faktor risiko tambahan pasien yang berisiko tinggi untuk MACCE dan
menemukan bahwa riwayat diabetes merupakan faktor risiko independen untuk kejadian
MACCE.
Dari beberapa studi yang didapatkan mengenai percobaan pengobatan fondaparinux
dan enoxaparin pada pasien ACS STEMI, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
fondaparinux memberikan hasil efikasi yang tidak inferior jika dibandingkan dengan
enoxaparin. Namun dengan penggunaan fondaparinux pada ACS STEMI, justru dapat
menurunkan resiko perdarahan cukup signifikan jika dibandingkan pemberian enoxaparin
sesuai dosis terapinya.
2. Efek samping
Pada studi yang dituliskan oleh Rev dan Ther (2009), menjelaskan bahwa fondaparinux
mencapai efikasi antitrombotik yang setara atau superior pada pasien dengan ACS, dengan
dan tanpa elevasi ST, tanpa adanya peningkatan kejadian perdarahan. Peristiwa perdarahan
16
ini kemudian dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk, termasuk kematian, MI dan stroke,
terlepas dari prediktor risiko lainnya. Analisis ini dilakukan dengan desain randomized,
double-blind dari fondaparinux pada pasien dengan STEMI, yang mana membandingkan
pasien dengan melibatkan lebih dari 26.000 pasien, hasilnya menegaskan bahwa
fondaparinux, dibandingkan dengan enoxaparin atau unfractionated heparin (UFH),
mengurangi angka kematian, MI atau stroke sebesar 9% dan mengurangi perdarahan besar
sebesar 33% pada 30 hari percobaan.
Fondaparinux merupakan pentasakarida sintetik yang secara reversibel mengikat
antitrombin (AT) dengan afinitas tinggi. Kompleks pentasakarida-AT yang dihasilkan
secara ireversibel menghambat Faktor Xa secara selektif. Fondaparinux tidak bekerja pada
trombin seperti UFH dan ataupun rantai LMWH seperti enoxaparin yang bekerja dengan
menghambat trombin (Karthikeyan dkk., 2009). Perbedaan mekanisme pada
penghambatan trombin ini menjadi salah satu alasan potensial yang memberikan efek
pengurangan perdarahan yang diberikan dari penggunaan fondaparinux. Penjelasan yang
lebih lebih lanjut disebutkan bahwa dosis standar enoxaparin yang dievaluasi dalam
percobaan mencapai efek antitrombotik yang jauh lebih besar daripada fondaparinux 2,5
mg/hari. Enoxaparin dibandingkan dengan fondaparinux 2,5 mg/hari tidak meningkatkan
perdarahan bila diberikan pada dosis yang biasa digunakan untuk pencegahan
tromboemboli vena (30 mg dua kali sehari atau 40 mg sekali sehari) (Tran dan Lee, 2003).
Terdapat kemungkinan bahwa dosis enoxaparin 1 mg/kg dengan yang dikonsumsi
sebanyak dua kali sehari pada pasien ACS lebih tinggi dari yang diperlukan dalam
manajemen pengobatan optimal pasien ACS. Namun, kemanjuran dosis enoxaparin yang
lebih rendah dari ini belum dievaluasi dalam uji coba secara acak dalam pengobatan ACS.
Berdasarkan Evidence-base Pharmacoterapies for ACS dalam buku CLinical Use of
Drugs edisi 10 oleh Koda-Kimble of young's (Alfridge dkk., 2013) pada pengobatan
STEMI, baik enoxaparin dan juga fondaparinux merupakan alternatif pengobatan untuk
pasien yang mendapat terapi fibrinolitik atau yang tidak menjalani terapi reperfusi.
Adapun penggunaan fondaparinux dapat mengurangi mortalitas dan reinfraksi tanpa
meningkatkan pendarahan atau stroke jika dibandingkan dengan UFH, namun dengan
catatan tidak digunakan untuk pasien yang menjalani terapi PCI. Adapun enoxaparin,
merupakan pendekatan alternatif sebagai koagulan pada pasien STEMI dengan terapi PCI.
Pada studi kasus Tn. FR yang memiliki diagnosis STEMI + DM Tipe 2 + Atrial Fibrilasi
dan melakukan intervensi ACS, tidak disarankan untuk menggunakan pengobatan terapi
Fondaparinux secara tunggal sebagai antikoagulan karena adanya risiko trombosis kateter

17
(O’Gara dkk., 2013) pada intervensi PCI. Maka dari itu, penggunaan Enoxaparin bisa
dipilih untuk digunakan sebagai terapi pendukung antikoagulan pada studi kasus Tn. Fr
yang menjalani intervensi PCI.
III. Evidence Based Medicine Asetil Salicylic Acid dan Clopidogrel dengan Enoxaparin
pada Pasien ACS STEMI yang menjalani Tindakan PCI
Uji coba Clopidogrel secara acak dan buta versus Aspirin pada pasien yang berisiko
Iskemik (CAPRIE) adalah studi pertama dari obat antiplatelet. Aspirin merupakan terapi lini
pertama pada pasien STEMI, dimana secara khusus menargetkan COX1 sebagai efek anti-
plateletnya. Namun, jika digunakan mono-terapi masih terdapat resiko trombotik residual pada
fase akut dan jangka panjang. Oleh karena itu, pedoman saat ini menekankan terapi anti-platelet
ganda (DAPT), terutama penggunaan inhibitor P2Y12 secara luas dalam manajemen
antitrombotik oral. Hasil dari pengobatan berbasis bukti yang menegaskan bahwa inhibitor
P2Y12 dikombinasikan dengan efek antiplatelet sinergis aspirin dapat memaksimalkan
manfaat pasien dengan STEMI, dan itu adalah kunci pengobatan awal dan jangka panjang
untuk pasien dengan STEMI. Sebagai catatan, karena rekomendasi dari pedoman dan uji coba
DAPTTEMI, DAPT jangka pendek hingga 6 bulan efektif dan bermanfaat untuk STEMI
dengan populasi risiko perdarahan tinggi.
Clopidogrel merupakan prodrug yang tidak aktif juga memerlukan oksidasi oleh
sitokrom P450 dan isoenzim 2C19 di dalam hepar dan usus (Setiadi, dkk., 2018). Clopidogrel
merupakan antiplatelet yang dapat digunakan secara tunggal maupun secara kombinasi.
Permulaan kerja obat dalam 1 jam setelah pemberian oral dosis tunggal, tetapi efek
penghambatan menetap memerlukan waktu antara 3-7 hari. Pemberian dosis muatan 300
mg/oral memberikan efek penghambatan maksimal dalam 24-48 jam, sedangkan pemberian
dosis muatan 600 mg mencapai efek penghambatan maksimal setelah 2 jam (Fox KAA,
dkk.,2009). Efek dari penghambatan Clopidogrel ini sifatnya menetap, maka dari itu diperlukan
waktu 4 - 5 hari untuk pembentukan 50% platelet baru. Dosis clopidogrel 300 mg 75 mg/ hari
untuk penderita dengan usia <70 - 75 tahun, sedangkan untuk penderita dengan usia >75 tahun
dosis dapat disesuaikan. Untuk penderita dengan strategi invasif, diberikan dosis pembebanan
clopidogrel 300-600 mg sesegera mungkin sebelum atau saat PCI primer/non primer (ACC/
AHA kelas I, tingkat bukti C) (Kushner FG, dkk., 2009). Sedangkan pada pasien NSTEMI
Clopidogrel diberikan untuk pasien yang tidak toleransi terhadap aspirin dan pasien dengan
riwayat perdarahan gastrointestinal oleh karena aspirin harus diberikan penghambat pompa
proton untuk mengurangi berulangnya perdarahan. Pemberian klopidogrel bersama aspirin
pada pasien dengan NSTEMI memberikan manfaat penurunan angka kejadian kematian, infark
18
miokard non fatal, dan stroke sebesar 20% dibandingkan pemberian aspirin sendiri (CURE
trial) (Anderson JL,2007). Pemberian Clopidogrel sebelum dilakukan percutaneous coronary
intervention (PCI) memberikan penurunan angka kejadian kematian kardiovaskular, infark
miokard atau stroke sebesar 30% (PCI-CURE trial).
Generasi kedua thienopyridine clopidogrel adalah inhibitor P2Y12 yang paling banyak
digunakan. Dengan munculnya uji klinis skala besar termasuk CLARITY dan COMMIT,
penggunaan kombinasi clopidogrel dan aspirin sebagai rejimen pengobatan standar telah
menjadi rekomendasi kelas I dalam pedoman. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa
pada sekitar 30-40% pasien, terutama mereka yang berisiko tinggi mengalami perdarahan,
memiliki hiperresponsif trombosit selama pengobatan clopidogrel, hingga akhirnya dapat
menyebabkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Dalam uji coba TRITON-TIMI 38
pasien (n = 13.608) dengan ACS risiko sedang hingga tinggi yang dijadwalkan untuk PCI
secara acak ditugaskan untuk menerima prasugrel atau clopidogrel, selain aspirin.
Hasil studi mengungkapkan bahwa pemberian clopidogrel jangka panjang (durasi rata-
rata) terapi, 1,91 tahun) lebih efektif daripada aspirin dalam mengurangi risiko komposit stroke
iskemik, MI, atau kematian vaskular. Clopidogrel terbukti memberikan manfaat yang lebih
besar pada pasien dengan aterotrombotik penyakit tanpa meningkatkan tingkat efek samping
yang signifikan ketika dibandingkan dengan aspirin. Clopidogrel memberikan tambahan 8,7%
relatif pengurangan risiko (RR) di luar 25% pengurangan kematian yang diamati dengan
aspirin. Clopidogrel juga mencegah 24 peristiwa klinis utama untuk setiap 1000 pasien yang
dirawat selama 1 tahun dibandingkan dengan 19 peristiwa yang dicegah pada pasien diobati
dengan aspirin. Studi ini menegaskan pentingnya ADP jalur di CVD dan menyebabkan indikasi
clopidogrel untuk sekunder pencegahan kejadian kardiovaskular dalam pelabelan yang
disetujui oleh Pangan dan Administrasi Obat (FDA).
Selain itu, analisis subkelompok TRITON-TIMI 38 menegaskan bahwa prasugrel yang
dikombinasikan dengan aspirin efektif dalam mengurangi risiko kejadian titik akhir utama pada
pasien STEMI yang menjalani PCI dibandingkan dengan clopidogrel yang dikombinasikan
dengan aspirin (6,5% vs 9,5%, HR 0,68, P = 0,002), dan titik akhir sekunder utama (kematian,
kardiovaskular, infark miokard, atau revaskularisasi pembuluh darah target yang mendesak)
juga berkurang secara signifikan dengan prasugrel pada 30 hari (HR 0,75, P = 0,02) dan 15
bulan (HR 0,79, P = 0,02).
Percobaan PLATO yang diterbitkan pada tahun 2009 untuk ticagrelor menunjukkan
bahwa ticagrelor dapat secara konsisten mengurangi kejadian titik akhir primer (infark
miokard, stroke, atau kematian kardiovaskular) pada titik waktu 1 tahun pada pasien dengan
19
STEMI yang menjalani PPCI, dibandingkan dengan clopidogrel ( 10,8% vs 9,4%; HR 0,87, P
= 0,07). Pengobatan dengan ticagrelor versus clopidogrel mengurangi terjadinya trombosis
stent yang pasti (HR 0,58, 95% CI 0,37 hingga 0,89, P = 0,013). Obat berbasis bukti ini
menegaskan bahwa ticagrelor dan prasugrel adalah strategi antikoagulan jangka panjang yang
lebih optimal. Pedoman STEMI ESC 2018 juga merekomendasikan ticagrelor dan prasugrel
sebagai pilihan pengobatan pasca operasi untuk pasien STEMI dengan risiko perdarahan tinggi
untuk PPCI.

20
DAFTAR PUSTAKA

Alfridge, B. K., R. L. Corelli, M. E. Ernst, B. J. Guglielmo, P. A. Jacobson, W. A. Kradjan,


dan B. R. Williams. 2013. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The Clinical
Use of Drugs. Philadeplhia, USA.
Anderson JL, et al. ACC/AHA 2007 guideline for the management of patients wih unstable
angina/non-ST elevation myocardial infarctio-executive summary. A report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on practice
guidelines. J.Am.Coll Cardiol. 2007;50:652-726.
Benjamin, E. J., D. Levy, S. M. Vaziri, R. B. D’agostino, A. J. Belanger, dan P. A. Wolf. 1994.
Independent risk factors for atrial fibrillation in a population-based cohort: the framingham
heart study. JAMA: The Journal of the American Medical Association. 271(11):840–844.
Benjamin, E. J., S. S. Virani, C. W. Callaway, A. M. Chamberlain, A. R. Chang, S. Cheng, S. E. Chiuve, M.
Cushman, F. N. Delling, R. Deo, S. D. De Ferranti, J. F. Ferguson, M. Fornage, C. Gillespie, C. R.
Isasi, M. C. Jiménez, L. C. Jordan, S. E. Judd, D. Lackland, J. H. Lichtman, L. Lisabeth, S. Liu, C. T.
Longenecker, P. L. Lutsey, J. S. MacKey, D. B. Matchar, K. Matsushita, M. E. Mussolino, K. Nasir,
M. O’Flaherty, L. P. Palaniappan, A. Pandey, D. K. Pandey, M. J. Reeves, M. D. Ritchey, C. J.
Rodriguez, G. A. Roth, W. D. Rosamond, U. K. A. Sampson, G. M. Satou, S. H. Shah, N. L.
Spartano, D. L. Tirschwell, C. W. Tsao, J. H. Voeks, J. Z. Willey, J. T. Wilkins, J. H. Y. Wu, H. M.
Alger, S. S. Wong, dan P. Muntner. 2018. Heart Disease and Stroke Statistics - 2018 Update: A
Report from The American Heart Association. 12. Circulation.

Blick, S. K. A., J. S. Orman, A. J. W. And, dan L. J. Scott. 2011. Fondaparinux sodium: a


review of its use in the management of acute coronary syndromes. Drugs. 71(7):909–933.
Collet, J. P., K. Huber, M. Cohen, U. Zeymer, P. Goldstein, C. Pollack, J. Silvain, P. Henry,
O. Varenne, D. Carrié, P. Coste, M. Angioi, H. Le Breton, G. Cayla, S. Elhadad, E. Teiger,
E. Filippi, M. Aout, E. Vicaut, dan G. Montalescot. 2013. A direct comparison of
intravenous enoxaparin with unfractionated heparin in primary percutaneous coronary
intervention (from the atoll trial). American Journal of Cardiology. 112(9):1367–1372.
Dipiro. 2020. Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, tenth edition. American Journal
of Health-System Pharmacy.
Fox KAA, White H, Opie JJS, Gersh BJ, and Opie LH. Antithrombotic agents: platelet
inhibitors, anticoagulants, and fibrinolytics. In: Opie LH, editor. Drugs for the heart. 7th
ed. Philadelphia: Saunders; 2009. P. 293-340.Karthikeyan, G., S. R. Mehta, dan J. W.

21
Eikelboom. 2009. Fondaparinux in the treatment of acute coronary syndromes: evidence
from oasis 5 and 6. Expert Review of Cardiovascular Therapy. 7(3):241–249.
Gelfand EV, and Cannon CP. Unstable angina and non-ST-elevation myocardial infarction.
In: Management of acute coronary syndrome. W. Editor: Gelfand EV. 1st edition. John
Willey & Sons; 2009. p 37-78.
Kushner FG, et al. 2009. focused updates: ACC/AHA guidelines for management of patients
with STelevation myocardial infarction (updating the 2004 guideline and 2007 focused
update) and ACC/AHA/SCAI guideline on percutaneous coronary intervention (updating
the 2005 guideline and 2007 focused update). A report of the American College of
Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Circulation. 2009;120:2271-306.
O’Gara, P. T., F. G. Kushner, D. D. Ascheim, D. E. Casey, M. K. Chung, J. A. De Lemos, S.
M. Ettinger, J. C. Fang, F. M. Fesmire, B. A. Franklin, C. B. Granger, H. M. Krumholz,
J. A. Linderbaum, D. A. Morrow, L. K. Newby, J. P. Ornato, N. Ou, M. J. Radford, J. E.
Tamis-Holland, C. L. Tommaso, C. M. Tracy, Y. J. Woo, dan D. X. Zhao. 2013. 2013
accf/aha guideline for the management of st-elevation myocardial infarction: a report of
the american college of cardiology foundation/american heart association task force on
practice guidelines. Journal of the American College of Cardiology. 61(4):78–140.
Rosenthal, N., Z. Xiao, A. Kartashov, A. Levorsen, dan B. R. Shah. 2021. Comparative
effectiveness and costs of enoxaparin monotherapy versus unfractionated heparin
monotherapy in treating acute coronary syndrome. American Journal of Cardiovascular
Drugs. 21(1):93–101.
Tran, A. H. dan G. Lee. 2003. Fondaparinux for prevention of venous thromboembolism in
major orthopedic surgery. Annals of Pharmacotherapy. 37(11):1632–1643.
Alfridge, B. K., R. L. Corelli, M. E. Ernst, B. J. Guglielmo, P. A. Jacobson, W. A. Kradjan,
dan B. R. Williams. 2013. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The Clinical
Use of Drugs. Philadeplhia, USA.
Blick, S. K. A., J. S. Orman, A. J. W. And, dan L. J. Scott. 2011. Fondaparinux sodium: a
review of its use in the management of acute coronary syndromes. Drugs. 71(7):909–933.
Carrick, D., C. Haig, S. Rauhalammi, N. Ahmed, I. Mordi, M. McEntegart, M. C. Petrie, H.
Eteiba, M. Lindsay, S. Watkins, S. Hood, A. Davie, A. Mahrous, N. Sattar, P. Welsh, N.
Tzemos, A. Radjenovic, I. Ford, K. G. Oldroyd, dan C. Berry. 2015. Pathophysiology of
lv remodeling in survivors of stemi inflammation, remote myocardium, and prognosis.
JACC: Cardiovascular Imaging. 8(7):779–789.
22
Collet, J. P., K. Huber, M. Cohen, U. Zeymer, P. Goldstein, C. Pollack, J. Silvain, P. Henry,
O. Varenne, D. Carrié, P. Coste, M. Angioi, H. Le Breton, G. Cayla, S. Elhadad, E. Teiger,
E. Filippi, M. Aout, E. Vicaut, dan G. Montalescot. 2013. A direct comparison of
intravenous enoxaparin with unfractionated heparin in primary percutaneous coronary
intervention (from the atoll trial). American Journal of Cardiology. 112(9):1367–1372.
Heusch, G. dan B. J. Gersh. 2017. The pathophysiology of acute myocardial infarction and
strategies of protection beyond reperfusion: a continual challenge. European Heart
Journal. 38(11):774–784.
Karthikeyan, G., S. R. Mehta, dan J. W. Eikelboom. 2009. Fondaparinux in the treatment of
acute coronary syndromes: evidence from oasis 5 and 6. Expert Review of Cardiovascular
Therapy. 7(3):241–249.
O’Gara, P. T., F. G. Kushner, D. D. Ascheim, D. E. Casey, M. K. Chung, J. A. De Lemos, S.
M. Ettinger, J. C. Fang, F. M. Fesmire, B. A. Franklin, C. B. Granger, H. M. Krumholz,
J. A. Linderbaum, D. A. Morrow, L. K. Newby, J. P. Ornato, N. Ou, M. J. Radford, J. E.
Tamis-Holland, C. L. Tommaso, C. M. Tracy, Y. J. Woo, dan D. X. Zhao. 2013. 2013
accf/aha guideline for the management of st-elevation myocardial infarction: a report of
the american college of cardiology foundation/american heart association task force on
practice guidelines. Journal of the American College of Cardiology. 61(4):78–140.
Rosenthal, N., Z. Xiao, A. Kartashov, A. Levorsen, dan B. R. Shah. 2021. Comparative
effectiveness and costs of enoxaparin monotherapy versus unfractionated heparin
monotherapy in treating acute coronary syndrome. American Journal of Cardiovascular
Drugs. 21(1):93–101.
Tran, A. H. dan G. Lee. 2003. Fondaparinux for prevention of venous thromboembolism in
major orthopedic surgery. Annals of Pharmacotherapy. 37(11):1632–1643.
WHO. 2020. Diabetes Mellitus. (https://www.who.int/health-topics/diabetes#tab=tab_1
diakses pada 27 November 2020)
Yusuf, S. 2006. Effects of fondaparinux on mortality and reinfarction in patients with acute st-
segment elevation myocardial infarction: the oasis-6 randomized trial. Journal of the
American Medical Association. 295(13):1519–1530.
Zeitouni, M., M. Kerneis, T. Nafee, J. P. Collet, J. Silvain, dan G. Montalescot. 2018.
Anticoagulation in acute coronary syndrome-state of the art. Progress in Cardiovascular
Diseases. 60(4–5):508–513.
Zhao, X., X. X. Yang, S. Z. Ji, X. Z. Wang, L. Wang, C. H. Gu, L. L. Ren, dan Y. L. Han.
2016. Efficacy and safety of fondaparinux versus enoxaparin in patients undergoing
23
percutaneous coronary intervention treated with the glycoprotein iib/iiia inhibitor
tirofiban. Military Medical Research. 3(1):1–7.
Setiadi, AP. Halim, SV. 2018. Penyakit Kardiovaskular Seri Pengobatan Rasional. GRAHA
ILMU : Yogyakarta. Hal. 69-80.
Sullivan, J., & Amarshi, N. (2008). Dual antiplatelet therapy with clopidogrel and aspirin.
American Journal of Health-System Pharmacy, 65(12), 1134–1143.
https://doi.org/10.2146/ajhp060662
Tu, Y., Hu, L., Yang, C., Nemat, A., Xian, G., Zhang, J., & Zeng, Q. (2019). Optimal
Antithrombotic Therapy for Patients with STEMI Undergoing PCI at High Risk of
Bleeding. Current Atherosclerosis Reports, 21(6), 1–7. https://doi.org/10.1007/s11883-
019-0782-xYusuf, S. 2006. Effects of fondaparinux on mortality and reinfarction in
patients with acute st-segment elevation myocardial infarction: the oasis-6 randomized
trial. Journal of the American Medical Association. 295(13):1519–1530.
Zeitouni, M., M. Kerneis, T. Nafee, J. P. Collet, J. Silvain, dan G. Montalescot. 2018.
Anticoagulation in acute coronary syndrome-state of the art. Progress in Cardiovascular
Diseases. 60(4–5):508–513.
Zhao, X., X. X. Yang, S. Z. Ji, X. Z. Wang, L. Wang, C. H. Gu, L. L. Ren, dan Y. L. Han.
2016. Efficacy and safety of fondaparinux versus enoxaparin in patients undergoing
percutaneous coronary intervention treated with the glycoprotein iib/iiia inhibitor
tirofiban. Military Medical Research. 3(1):1–7.

24

Anda mungkin juga menyukai