Anda di halaman 1dari 43

CKD HD, ANEMIA,

KRISIS HIPERTENSI

Safira Nur Hasanah I1C017015


Giri Gumelar I1C017029
Reeva Rahma Izzati I1C017035
Winda Dwi Septianti I1C017043
Ainun Adiyati Nevi Duhita I1C017053
Devita Sukma Rahmawati I1C017089
01 02
KASUS PATOFISIOLOGI

03 04
ASSESMENT RENCANA ASUHAN
DRUG PROBLEM KEFARMASIAN

05 06
EVIDENCE BASE PARAMETER
MEDICINE PEMANTAUAN
Nama : Tn. NV
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 35 tahun
Tgl MRS : 19/2/2019

KASU
Tgl KRS :
Keluhan utama : lemas, keluhan sesak dan
bengkak di kaki
Diagnosa : CKD HD, anemia, krisis hipertensi S
Riwayat Penyakit Dahulu : HT tidak rutin minum obat, gagal
ginjal HD rutin 2x/minggu (Selasa, Jumat)
Riwayat Obat :-
Riwayat Alergi :-
KRS :
Nilai
Tanda-Tanda Vital 19/2 20/2 21/5 22/2 23/2 24/2 25/2
normal
TD (mmHg)   190/1 140/9 160/ 160/ 140/ 150/ 160/9
00 0 80 90 90 90 0 Tanda-tanda
Nadi (x/menit)   80 86 88 85 86 85 86 Vital
Suhu (oC)   37 36.8 36.3 36.5 36.7 36.3 36.5
Nafas (x/menit)   20 21 20 22 20 20 20

Parameter Nilai normal 19/2            


Hemoglobin 11.7-15.5 g/dL 8.1            
Eritrosit 4.4-5.9x103/uL 2.8            
Hematokrit 40-52% 22.4            
MCV 80-100 fl 80            
Data Lab MCH 26-34 pg 28.8            
MCHC 32-36 g/dL 36            
Trombosit 150-450x103/uL 109            
Leukosit 3.6-11x103/uL 4.9            
Neutrofil 50-70% 60            
Ureum 15-39 mg/dL 257            
Kreatinin 0.6-1.3 mg/DL
19.03            
Terapi (Nama obat, IGD Bangsal 23/ 24/ 25/
Aturan pakai 21/2 22/2
kekuatan) 19/2 20/2 2 2 2

Amlodipin 1x10 mg PO v            
Inj.Ranitidin v            
Inj.Furosemide
2x1 A IV
v            
Terapi Obat
1x20 mg IV
Irbesartan 1x300 mg PO v            
Asam folat 3x1000 mcg PO   v v v v v v
NaBic 3x500 mg PO   v v v v v v
Valesco 1x160 mg PO   v v v v v v
Inj.Furosemide 40 mg/24 jam IV   v v v v v v
Nitrokaf Retard 1x2 mg PO   v v v v v v
Amlodipin 1x10 mg PO   v v v v v v
Inj.Hemapo 3000 iu/minggu     v        
PATOFISIOLOGI
Gagal ginjal kronik merupakan suatu gangguan pada ginjal yang ditandai
dengan abnormalitas fungsi ginjal dan berlangsung lebih dari 3 bulan. Adanya
cedera pada sebagian ginjal dapat menyebabkan pengurangan massa ginjal,
sehingga mengakibatkan terjadinya proses adaptasi berupa hipertropi pada
jaringan ginjal normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. Proses adaptasi ini
hanya berlangsung sementara, kemudian akan berubah menjadi proses
maladaptasi berupa sclerosis pada nefron yang tersisa. Pada stadium dini GGK, CHRONIC
terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal laju filtrasi KIDNEY
glomelurus (LFG) masih normal atau meningkat. Secara perlahan tapi pasti DISEASE
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang agresif. Edema merupakan akibat
dari penumpukan cairan karena berkurangnya tekanan osmotic plasma dan
retansi natrium dan air. Akibat peran gravitasi, cairan yang berlebih akan lebih
mudah menumpuk di tubuh bagian perifer seperti kaki, sehingga edema perifer
akan lebih cepat terjadi dibanding gejala lain
PATOFISIOLOGI

HIPERTENSI
PATOFISIOLOGI

ANEMIA
ASSESMENT DRUG
RELATED PROBLEM
CKD
Problem Medik : CKD
Subjektif : Udem pada kaki
Objektif : Ureum 257 mg/dL, Kreatinin 19.03 mg/dL, Hasil
eGFR : 3.656 mL/min/ 1.73 m2
Terapi : 1.Dialysis 2x / minggu (selasa, Jumat)
2.Injeksi furosemide 1x20 mg IV (hanya di IGD) dan 40 mg/
24 jam (di bangsal)
  3. Na Bicarbonat 3x500 mg PO
4. Ranitidine 2x1 A (hari pertama di IGD)
Assesment :
1. DRP: underdose
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan rumus eGFR menurut Henry Fold Health
System (2011), pasien termasuk kedalam CKD stage 5. Pasien didiagnosis CKD stage 5 (end
stage), sehingga pasien membutuhkan terapi hemodialisis. Pasien mendapatkan terapi
hemodialisis rutin 2x/ minggu ( Selasa, Jumat) Sedangkan menurut KDOQI (2015) pasien end
stage seharusnya rutin menjalani HD minimal 3x/ minggu dengan waktu perawatan 3-4 jam
(HFHS,2011) untuk meningkatkan kualitas hidup
ASSESMENT DRUG
RELATED PROBLEM
Assesment :

2. DRP: underdose
Pada pasien dengan CKD, cairan intrasel berkurang sehingga dibutuhkan dosis yang lebih
tinggi. Furosemide <80 mg IV tidak efektif untuk pengobatan udema pada pasien dengan
CKD. Dosis furosemide injeksi yang digunakan untuk mengatasi CKD 80-200mg/dL dengan
kecepatan infus 10-20 mg/dL yang dapat ditingkatkan 40 mg tiap jam (Oh dan Sang, 2015)

3. DRP: -
 
4. DRP: terapi tidak efektif
Penggunaan ranitidine pada pasien CKD hemodialysis sebaiknya obat digunakan setelah
terapi hemodialysis untuk menghindari interaksi antara ranitidine dengan hemodialysis (Drug,
2020)
ASSESMENT DRUG
RELATED PROBLEM
HIPERTENSI

Problem Medik : Hipertensi


Subjektif :-
Objektif : Diagnosis: Hipertensi, TDH1:190/100, TDH2: 140/90, TDH3: 160/80,
TDH4:160/90, TDH5:140/90, TDH6: 150/90, TDH7: 160/90
Terapi : Valesco 1x160 mg PO, Amlodipin 1x10 mg PO, Inj. furosemid 40
mg/24 jam, Irbesartan 1x300 mg (Di IGD), Amlodipine 1x10 mg (Di IGD),
Nitrokaf Retard 1x2 mg PO
Assesment :
1. DRP:Kebutuhan Terapi Tambahan
Pasien mendapatkan valesco (valsartan), amlodipine, dan inj. furosemid namun tekanan darah
pasien hingga hari ke tujuh masih tidak normal, sehingga dibutuhkan terapi tambahan
(PERHI, 2019)
ASSESMENT DRUG
RELATED PROBLEM
Assesment :

2. DRP: Ketidakpatuhan
Pasien tidak rutin minum obat sehingga tekanan darah saat masuk rumah sakit tidak normal.
 
3. DRP: Obat tidak efektif
Pasien mendapatkan nitrokaf retard di bangsal yang mana kurang efektif digunakan pada
terapi maintenance hipertensi. Menurut Mallidi et al (2013), Penggunaan nitrokaf retard yang
berisi nitroglycerin digunakan sebagai terapi pada hipertensi krisis
 
4. DRP: Obat tidak efektif
Saat di IGD, pasien mendapat terapi irbesartan 1x300 mg dan amlodipine 1x10 mg.
Kombinasi kedua obat ini dapat meningkatkan resiko edema pasien (Yagi et al., 2015)
ASSESMENT DRUG
RELATED PROBLEM
ANEMIA

Problem Medik : Anemia


Subjektif : Lemas
Objektif : Diagnosis anemia , Hb : 8,1 g/dL, Hematokrit: 22,4 %,
Trombosit: 109/uL
Terapi : Inj Hemapo 3000 iu/minggu, Asam folat 3x1000 mcg PO

Assesment :
1. DRP: Underdose
Dosis injeksi hemapo (epoetin alfa) untuk pasien dewasa sebagai terapi anemia pada pasien
CKD adalah 50-100 units/kg 3x1 minggu (WHO, 2016)
2. DRP: Terapi tidak diperlukan.
Pasien mendapatkan terapi asam folat pada tanggal 20 hingga 25. Pemberian adjuvant seperti
asam folat pada terapi ESA tidak direkomendasikan (KDIGO, 2012) karena keterbatasan
bukti, dan data keamanan yang tidak memadai (KDOQI, 2013)
RENCANA ASUHAN
KEFARMASIAN
CKD
Masalah Medik : CKD
Assesment : DRP Underdose
Rekomendasi Terapi : Menambahkan jadwal Hemodialisis rutin dari 2x / minggu
(Selasa, Jumat) menjadi 3x / minggu (senin, rabu jumat) (KDOQI,
2015) dengan waktu perawatan 3-4 jam tiap hemodialysis (HFHS,2011)
Assesment : DRP Underdose
Rekomendasi Terapi : Mengubah dosis injeksi furosemide menjadi 1x 80mg IV
dengan kecepatan infus 10-20 mg/dL yang dapat ditingkatkan 40 mg
tiap jam (Oh dan Sang, 2015) dan dilakukan selama 2-4 hari berturut turut
(Drugs,2020)
Assesment : DRP Terapi Tidak Efektif
Rekomendasi Terapi : Merubah terapi Ranitidine 2x1 (hari pertama di IGD) menjadi
ranitidine dengan dosis 50 mg/ hari secara intravena setelah terapi
hemodialysis (Gaston et al, 2017).
RENCANA ASUHAN
KEFARMASIAN
CKD

Terapi non farmakologis


1. Membatasi cairan dan elektrolit dengan membatasi asupan air 500-800 mL/hari
2. Membatasi obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran ).
Kadar kalium yang dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt.
3. Membatasi asupan kalori (30-35 kkal /kgBB/hari) dan protein (0.8/kgBB/hari) jika
diperlukan

( Fadhillah, 2014)
RENCANA ASUHAN
HIPERTENSI KEFARMASIAN

Masalah Medik : Hipertensi


Assesment : DRP: Kebutuhan Terapi Tambahan
Rekomendasi Terapi : Berdasarkan PERHI (2019), pasien yang menerima kombinasi 3 obat
tetapi tekanan darah masih tidak terkontrol, dibutuhkan terapi tambahan spironolakton.
Spironolakton dapat menurunkan tekanan darah tanpa menyebabkan hiperkalemia dan
dapat mencegah left ventricular hypertrophy, dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
yang menerima hemodialisis serta dapat mengurangi resiko kematian dan morbiditas
(Hasegawa et al., 2018).
Assesment : DRP: Ketidakpatuhan
Rekomendasi Terapi : Pasien direkomendasikan diberikan layanan konseling farmasi dan leaflet
untuk menigkatkan kepatuhan pasien minum obat (Dewanti et al., 2015)
Assesment : DRP Terapi Tidak Efektif
Rekomendasi Terapi : Pasien direkomendasikan untuk menggunakan nitrokaf retard saat di IGD
sebagai terapi pada hipertensi krisis pasien (Mallidi et al., 2013)
Assesment : DRP: Obat tidak efektif
Rekomendasi Terapi : Pasien direkomendasikan untuk menghentikan terapi irbesartan 1x300 mg
dan amlodipine 1x10 mg (Yagi et al., 2015)
RENCANA ASUHAN
KEFARMASIAN
HIPERTENSI

Terapi Non Farmakologi :


1. Mengurangi berat badan dan menargetkan berat badan ideal (IMT 18.5-22.9 kg/m2)
dengan lingkar pinggang <90 cm pada laki-laki dan <80 cm untuk perempuan
2. Mengurangi asupan garam <50 mmol/hari (setara ≤ 3 gr/hari)
3. Olahraga teratur 30-60 menit/hari, min 3 hari/minggu. Contohnya bersepeda, berjalan
kaki atau naik turun tangga (Pugh et al., 2019)
RENCANA ASUHAN
ANEMIA KEFARMASIAN

Masalah Medik : Anemia


Assesment : DRP: Underdose
Rekomendasi Terapi : Mengubah dosis inj. Hemapo menjadi 4000 units 3x1 minggu
(WHO, 2012)
Assesment : DRP: Terapi Tidak Diperlukan.
Rekomendasi Terapi : Direkomendasikan untuk menghentikan terapi asam folat
RENCANA ASUHAN
KEFARMASIAN
HIPERTENSI

Terapi Non Farmakologi


1. Pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi (seperti
kerang, sirsak, kacang kedelai, bayam, dan daging sapi), asam folat (seperti sereal,
selada, kol, brokoli, papaya, stroberi, jeruk), dan vit B12 (seperti tuna kaleng, yoghurt,
keju) (USDA, 2015)
2. Pada pasien CKD 5D, selama terapi ESA pengukuran konsentrasi Hb dilakukan minimal
1x tiap bulan (KDIGO, 2012)
EVIDENCE BASED MEDICINE

Pasien pada kasus ini didiagnosa CKD HD yang rutin melakukan hemodialysis 2x
seminggu setiap hari selasa dan jumat. Pada hari pertama masuk IGD kadar ureum 257
mg/dL dan kadar kreatinin 19.03 mg/dL. Strategi terapi CKD HD disertai krisis hipertensi
dan anemia adalah obat golongan loop diuretic (Oh dan Sang, 2015). Obat yang diberikan
saat di IGD adalah injeksi furosemide 80 mg IV dengan kecepatan infus 10-20 mg/dL yang
dapat ditingkatkan 40 mg tiap jam (Oh dan Sang, 2015) dan menambah waktu dialysis
menjadi 3x seminggu dengan waktu >4.5 jam tiap sesi.
Pilihan terapi ini sudah tepat. Injeksi furosemide terbukti lebih efektif mengeluarkan
cairan ekstraselluler yang meningkat sekitar 30% pada pasien CKD dengan eGFR<30 CHRONIC
dibandingkan diuretic lainnya (Oh dan Sang, 2015). Pasien dengan eGFR< 30 disarankan
menggunakan loop diuretic dan pasien dengan eGFR >30 disarankan menggunakan
KIDNEY
thiazide (Khan et.,al, 2016). Injeksi furosemide termasuk ke dalam diuretic yang tersedia di DISEASE
Indonesia. Injeksi Furosemide juga memiliki onset yang cepat yaitu 5 menit (Medscape,
2020). Pasien sudah tepat mendapatkan Furosemide (Loop Diuretik) untuk pasien CKD
end stage, namun terdapat DRP yaitu underdose. Dosis furosemide <80mg IV tidak efektif
pada pasien dengan CKD. Dosis furosemide injeksi yang digunakan untuk mengatasi CKD
80-200 mg IV dengan kecepatan infus 10-20 mg/dL yang dapat ditingkatkan 40 mg tiap
jam (Oh dan Sang, 2015). Pada pasien udema, perlu diberikan terapi terus menerus selama
2-4 hari dan perlunya pemantauan apabila dosis >80mg IV (Drugs,2020)
( Khan et.,al, 2016)

(Oh dan Sang, 2015)


EVIDENCE BASED MEDICINE
Pilihan terapi hemodialysis sudah tepat. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan
dengan rumus eGFR menurut Henry Fold Health System (2011), pasien termasuk kedalam
CKD stage 5. Pasien didiagnosis CKD stage 5 (end stage), sehingga pasien membutuhkan
terapi hemodialisis. Hemodialysis mampu menurunkan kadar ureum 40% menurunkan kadar
serum kretainin 58% pada pasien CKD end stage (Amin et.,al, 2014). Pasien sudah tepat
mendapatkan hemodialysis untuk terapi CKD end stage namun terdapat DRP yaitu
underdose . Pasien mendapatkan terapi hemodialisis rutin 2x/ minggu ( Selasa, Jumat).
Sedangkan menurut KDOQI (2015) pasien end stage seharusnya rutin menjalani HD minimal
3x/ minggu dengan waktu perawatan 3-4 jam (HFHS, ) untuk meningkatkan kualitas hidup.
Tujuan hemodialysis ini adalah agar dicapainya kadar ureum 101-200 mg/dL dan kadar CHRONIC
Kreatinin < 7 mg / dL (Amin et.,al, 2014). Perlu dilakukan monitoring kadar Hb pasien karena
hemodialysis dapat menurunkan kadar Hb sehingga kadar Hb pasien menjadi (5-11 g/dL)
KIDNEY
(Amin et.,al, 2014). DISEASE
Pada kasus ini pasien diberikan terapi berupa Na Bikarbonat untuk mengatasi asidosis
metabolik. Pasien dengan nilai GFR yang kurang dari 15-60 L/min/1.73m 2 sudah tepat
diberikan terapi natrium bikarbonat oral karena terbukti aman dan mengurangi risiko
perkembangan CKD serta semua penyebab kematian pada pasien dengan CKD 3-5 tanpa tahap
lanjut dari gagal jantung kronis (Bellaci A., et al., 2019). Dosis natrium bikarbonat untuk
dewasa yaitu 325-2000 mg oral 1-4 kali sehari, dimana pada kasus ini pasien diberikan dengan
dosis 3x500 mg PO, 500 mg tablet sesuai dengan 6mmol sodium + 6mmol bicarbonate
(Drugs, 2020).
(KDOQI, 2015) (Amin et al, 2014) (Bellaci et al, 2019)
EVIDENCE BASED MEDICINE

Natrium bikarbonat oral dapat ditoleransi dengan baik, bahkan pada dosis tinggi, selama
intervensi jangka pendek pada pasien dengan CKD dan asidosis metabolik ringan
(Abramowitz K. M., et al., 2013). Selain itu, natrium bikarbonat juga menunjukkan bahwa
dalam uji coba jangka panjang tidak memiliki efek buruk pada tekanan darah atau fungsi
jantung. Meskipun terapi alkali ditoleransi dengan baik pada CKD lanjut, potensi komplikasi
dari natrium bikarbonat, seperti volume berlebih dan hipertensi yang memburuk, perlu
dipantau dengan hati-hati pada CKD stadium 5 (JW Jeong, et al., 2014).
Pasien pada kasus ini didiagnosa Chronic Kidney Disease (CKD) hemodialysis dan
CHRONIC
mendapatkan terapi berupa obat ranitidine. Pada pasien CKD hemodialysis sebaiknya obat KIDNEY
digunakan setelah terapi hemodialysis untuk menghindari interaksi antara ranitidine dengan
hemodialysis (Drug, 2020). Hemodialysis dapat beresiko terjadi nya PUD untuk pencegahan
DISEASE
nya dapat menggunakan golongan PPI atau H2RA (Liang et al, 2014). PPI dianggap sangat
efektif untuk menghilangkan GERD, mecegah dan mengobati PUD. Tetapi penggunaan PPI
1,3 kali beresiko terhadap peningkatan resiko pengembangan CKD atau ESRD, dibandingkan
dengan penggunaan H2RA (Chesdachai et al, 2017). Terapi yang digunakan yaitu obat
ranitidine dengan dosis 50 mg/ hari secara intravena setelah terapi hemodialysis (Gaston et al,
2017).
(Liang et al, 2014)

(Abramowitz K. M., et al., 2013)

Chesdachai et al, 2017)

(JW Jeong, et al., 2014).


(Gaston et al, 2017)

(Drug, 2020)
EVIDENCE BASED MEDICINE

Saat di IGD tekanan darah pasien 190/100 mmHg yang mengindikasikan


bahwa pasien mengalami hipertensi krisis karena tekanan darah >180/110 dan
pasien mendapatkan terapi irbesartan 1x300 mg dan amlodipine 1x10 mg. Pasien
direkomendasikan untuk menghentikan penggunaan irbesartan dan amlodipine
karena dapat meningkatkan resiko edema pada pasien (Yagi et al., 2015) serta
memiliki onset yang lama yaitu irbesartan 1.5-2 jam dan amlodipin 6-12 jam. Pada
hipertensi krisis, obat yang ideal adalah yang memberikan penurunan tekanan
darah secara cepat, reversible, dan mudah dititrasi tanpa menimbulkan efek
samping (Nurkhalis, 2015). Nitrokaf retard 1x2 mg PO yang mengandung HIPERTENSI
nitroglycerin diberikan kepada pasien saat di bangsal. Obat ini dapat digunakan
untuk mengatasi hipertensi krisis, sehingga pemakaian nitrokaf retard
direkomendasikan diberikan saat di IGD. Nitrogliserin adalah vaenodilator dan
menurunkan tekanan darah dengan mengurangi preload ke jantung (Mallidi et al.,
2013)
EVIDENCE BASED MEDICINE

Nitrogliserin yang digunakan yaitu nitrogiserin IV 5-200 mcg/min titrasi 2-25


mcg/ menit setiap 5-10 menit dengan onset 2-5 menit dan durasi 5-10 menit
(Benken, 2018).
Autoregulasi yang berubah pada pasien dengan hipertensi krisis tekanan
darah tinggi dan berlebihan mengurangi perfusi dan menyebabkan cedera organ
lebih lanjut. Oleh karena itu, pasien dengan keadaan hipertensi krisis paling baik
dikelola dengan infus (Marik, 2011)
Pasien pada kasus ini didiagnosis hipertensi, terapi mainetnance saat di
bangsal yang diberikan yaitu valesco (valsartan) 160 mg 1x sehari PO dan HIPERTENSI
amlodipine 10 mg 1x sehari PO. Berdasarkan guideline, pasien hipertensi dengan
chronic kidney disease (CKD) diberikan ACEi/ARB+CCB (PERHI, 2019). Pasien
juga mendapatkan diuretik berupa furosemide untuk mengatasi udem, sehingga
pasien mendapatkan kombinasi tiga obat, namun tekanan darah pasien hingga hari
ke tujuh masih tergolong tinggi (160/90 mmHg) sehingga pasien dikatakan
mengalami hipertensi resistensi dan direkomendasikan untuk menambah terapi
tambahan berupa antagonis aldosteron yaitu spironolakton 25 mg 1x sehari
(PERHI, 2019).
(PERHI, 2019)
(Marik, 2011)
EVIDENCE BASED MEDICINE

ARB memiliki action yang lebih lama, dan memiliki efek antiinflamasi yang
lebih baik pada pasien hemodialisis dibandingkan golongan ACEi. Efek
antiinflamasi ini berkaitan dengan adanya bradikinin pada ACEi (Shireman et al.,
2016). Penggunaan ARB tidak hanya efektif dalam mengurangi kejadian
kardiovaskular dan mortalitas, tetapi juga dapat meningkatkan prognosis jangka
panjang pada pasien hemodialisis (Razi et al., 2016). Penggunaan ARB memiliki
resiko hiperkalemia sehingga harus dilakukan monitoring kadar kalium 1x dalam
1-2 minggu (Jennifer et al., 2019). Efek menguntungkan CCB pada pasien
hemodialisis adalah karena efek relaksasi pada otot polos pembuluh darah arteri HIPERTENSI
koroner yang meningkatkan sirkulasi arteri sistemik dan pulmonal yang mengarah
pada peningkatan aliran darah koroner dan pengurangan kebutuhan oksigen
jantung sebagai hasil dari penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan
tekanan darah (Razi et al., 2016)). Penggunaan valsartan dan amlodipine efektif
dalam menurunkan tekanan darah, dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
hipertensi (Setiawati et al., 2015). Kombinasi valsartan dan amlodipin juga dapat
mengurangi oxidative stress pada pasien hemodialisis (Razi et al., 2016)
(Razi et al., 2016) (Setiawati et al., 2015)

 
(Shireman et al., 2016) (Razi et al., 2016)

(Razi et al., 2016)


EVIDENCE BASED MEDICINE

Pasien juga sudah mendapatkan diuretik berupa furosemide untuk


mengurangi tekanan darah sekaligus udema akibat CKD tersebut. Pasien
membutuhkan terapi tambahan berupa spironolakton karena tekanan darah yang
masih tergolong tinggi hingga hari ketujuh. Spironolakton dapat menurunkan
tekanan darah tanpa menyebabkan hiperkalemia dan dapat mencegah left
ventricular hypertrophy, dapat ditoleransi dengan baik pada pasien yang menerima
hemodialisis serta dapat mengurangi resiko kematian dan morbiditas (Hasegawa et
al., 2018). HIPERTENSI
Pasien tidak rutin minum obat sehingga tekanan darah pasien saat masuk
rumah sakit tidak normal. Pasien diberikan layanan konseling faramasi untuk
meningkatkan pengetahuan pasien terkait penyakit dan obat yang diminum. Selain
itu, pemberian leaflet juga dapat membantu pasien dalam meningkatkan efikasi diri
dan self management serta akan meningkatkan pengetahuan pasien (Dewanti et al.,
2015)

(Hasegawa et al., 2018)


EVIDENCE BASED MEDICINE

Pasien dalam kasus ini merupakan pasien dengan diagnosis CKD HD dan
anemia. Terapi yang dapat diberikan untuk pasien anemia dengan CKD adalah iron
suplemen, Erythropoietin Stimulating Agent (ESA), dan transfusi sel darah merah.
Terapi iron suplemen disarankan untuk digunakan pada pasien dewasa anemia
dengan CKD jika kadar TSAT ≤30% dan ferritin ≤500 ng/ml. Berdasarkan KDIGO
(2012), terapi ESA disarankan untuk digunakan pada pasien dewasa anemia dengan
CKD 5D untuk menghindari penurunan konsentrasi Hb dibawah 9 g/dl, sehingga
disarankan untuk memulai terapi ESA ketika Hb diantara 9,0-10,0 g/dl. Menurut
ANEMIA
Cohen&Townsend (2011), terapi ESA diberikan bila HB <10 mg/dL. Berdasarkan
KDOGI (2012), transfusi darah disaranakan untuk melakukan transfuse jika
kemungkinan manfaatnya lebih besar dibanding risiko yang mungkin terjadi,
seperti jika terapi ESA tidak efektif (missal karena Hemoglobinopati, kerusakan
sumsum tulang, resistensi ESA), atau risiko terapi ESA lebih besar dari manfaat
yang ditimbulkan.
(Cohen&Townsend,2011)

(KDIGO,2012)
EVIDENCE BASED MEDICINE

Pada kasus ini, kadar Hb pasien pada tanggal 19 sebesar 8,1 g/dL. Terapi
anemia yang diberikan yaitu Inj. Hemapo (ESA) pada kasus ini sudah tepat. Untuk
pasien CKD 5HD disarankan pemberian ESA dengan rute intravena atau subkutan
(WHO,2016). Namun terdapat DRP yaitu underdose. Pada kasus, injeksi Hemapo
diberikan dengan dosis 3000 iu/minggu. Sedangkan menurut WHO (2016), dosis
injeksi hemapo (epoetin alfa) untuk pasien dewasa adalah 50-100 units/kg 3x1
minggu. Pada kasus ini berat badan pasien adalah 70 kg, sehingga disarankan untuk
dilakukan penyesuaian dosis menjadi 4000 ui digunakan 3x1 minggu.
Pasien dengan terapi ESA direkomendasikan untuk tidak menggunakan
adjuvant termasuk vitamin C, vitamin D, vitamin E, asam folat, L-carnitine, dan ANEMIA
pentoxifylline, karena keterbatasan bukti dan data keamanan yang tidak memadai
(KDOQI, 2013; KDIGO, 2012). Beberapa laporan anekdotal, seri kasus kecil, dan
studi nonrandomized, terutama pada pasien CKD 5HD telah dipublikasikan, tetapi
tidak memberikan bukti yang cukup untuk menjadi dasar rekomendasi penggunaan
adjuvant ini (KDIGO, 2012). Karena pertimbangan antara potensi risiko dan
manfaat merupakan hal yang penting, maka sebaiknya penggunaan adjuvant ini
dihindari hingga terdapat bukti baru yang memadai (KDOQI, 2013). Pasien pada
kasus ini mendapatkan terapi asam folat pada tanggal 20 hingga 25, sehingga kami
merekomendasikan untuk menghentikan penggunaan asam folat.
(WHO,2016)

(KDOQI, 2013)
(WHO,2016)

(KDIGO, 2012) (KDIGO, 2012)


PARAMETER
PEMANTAUAN
PARAMETER PEMANTAUAN
REKOMENDASI TERAPI
PATIENT
MONITORING
DAFTAR PUSTAKA
Aisara, S., Syaiful, A., Mefri,Y., 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1).

Amin, N.U., Raja,T.M., M.Javaid,A., Mudassar,Z., Asad,M.R., 2014. Evaluating Urea and Creatinine Levels in Chronic Renal Failure Pre and Post Dialysis: A Prospective Study. Journal Of
Cardiovascular Disease Vol.2 No.2

Benken., S., T. Hypertensive Emergencies. Medical Issues in The ICU. Vol 1

Biagio R. Di Iorio, Antonio Bellasi, Kalani L. Raphael, Domenico Santoro, Filippo Aucella, Luciano Garofano, Michele Ceccarelli, Luca Di Lullo, Giovanna Capolongo, Mattia Di Iorio, Pasquale
Guastaferro, Giovambattista Capasso. 2019. Treatment of metabolic acidosis with sodium bicarbonate delays progression of chronic kidney disease: the UBI Study. Journal of Nephrology
32:989–1001

Chesdachai, S., Thongprayoon, C., Wijarnpreech, K., Panjawatanana, P., Ungprasert, P., Cheungpasitporn, W. 2017. Associations of Proton-Pump Inhibitors and H2 Receptor Antagonists with
Chronic Kidney Disease: A Meta-Analysis. Springer. 62: 2821-2827
Cohen, D. & Townsend, R. 2011. Hypertension in Chronic Kidney Disease (CKD): Clinical Practice Recommendations For Primary Care Physicians And Healthcare Providers - A Collaborative
Approach (Edition 6.0). Henry Ford Health System: 19-23.
Dewanti., S., W., Andrajati., R., Supardi., S. 2015. Pengaruh Konseling dan Leaflet terhadap Efikasi Diri, Kepatuhan Minum Obat, dan Tekanan Darah Pasien Hipertensi di Dua Puskesamas Kota
Depok. Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol 5 (1): 33-40
Drug. 2020. Drug Interaction Chacker Ranitidine. Diakses pada tanggal 6 April 2020 pada https://www.drugs.com/disease-interactions/ranitidine.html#hemodialysis

Fadhillah,A.Z., 2014. Chronic Kidney Disease Stage V. Jurnal Agromed UNILA Volume 1 Nomor 2.

Gaston, C., Shull, S., Pietruszka, M., Thongsanit, S. 2017. Renal Function-Based Dose Adjustments - Adult - Inpatient/Ambulatory Clinical Practice Guideline. UW Health.

Hasegawa., T., Nishiwaki., Ota., Levack., Noma., H. 2018. Aldosterone Antagonists fo People With Chronic Kidney Disease Requiring Dialysis. Cochrane
DAFTAR PUSTAKA

Henry Fold Health System. 2011. Chronic Kidney Disease : Clinical Practice Recommendations for Primary Care Physicians and Healthcare Providers. 6th Edition. University of California. Los Angels
Jennifer., R., L., Harrison., R., V, Jimbo., M., Mahallati., A Saran, R, Annie. 2019. Management of Chronic Disease. UMHS Chronic Kidney Disease Guideline
Jiwon Jeong, M.D., Soon Kil Kwon, M.D. and Hye-Young Kim, M.D. 2014. Effect of Bicarbonate Supplementation on Renal Function and Nutritional Indices in Predialysis Advanced Chronic Kidney
Disease. Electrolyte Blood Press 12:80-87
KDIGO. 2012. Clinical Practice Guidelines for Anemia in Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements. Boston, MA,USA.
KDOQI. 2013. US Commentary On The 2012 KDIGO Clinical Practice Guidelines for Anemia in Chronic Kidney Disease. Am J Kidney Dis. 62(5):849-859.
KDOQI. 2015. KDOQI Clinical Practice Guideline For Hemodialysis Adequacy: 2015 UPDATE. Am J Kidney Dis. 2015;66(5):884-930.
Khan,Y.H., Azmi,S., Azreen,S.A., Amer, H.K., Tauqeer,H.M., 2016. Chronic Kidney Disease, Fluid Overload and Diuretics: A Complicated Triangle. PLoS ONE 11(7): e0159335. doi:10.1371/journal.
pone.0159335.
Liang, CC., Muo, HC., Wang, KI., Chang, TC., Chou, YC., Liu, HJ., Yen, T., Huang, CC., Chung, JC. 2014. Peptic Ulcer Disease Risk in Chronic Kidney Disease: Ten-Year Incidence, Ulcer Location, and
Ulcerogenic Effect of Medications. Plos One. 9(2): e87952.
Marik,. P., E., Rivera., R. 2011. Hypertensive Emergencies: an Update. Current Opinion in Critical Care. Vol 17: 569-580
Matthew K. Abramowitz, Michal L. Melamed, Carolyn Bauer, Amanda C. Raff, and Thomas H. Hostetter. 2013. Effects of Oral Sodium Bicarbonate in Patients with CKD. Sodium Bicarbonate and
Muscle Strength, 8: 714–720
Medscape. 2020. Valsartan. https://reference.medscape.com/drug/diovan-prexxartan-valsartan-342325#4. Diakses tanggal 6 April 2020
Medscape. 2020. Amlodipine. https://reference.medscape.com/drug/katerzia-norvasc-amlodipine-342372#4. Diakses tanggal 6 April 2020
Medscape. 2020. Spironolactone. https://reference.medscape.com/drug/carospir-aldactone-spironolactone-342407#4. Diakses tanggal 6 April 2020
Medscape. 2020. Nitroglycerin IV. https://reference.medscape.com/drug/glyceryl-trinitrate-iv-iv-nitroglycerin-nitroglycerin-iv-342278#4 . Diakses tanggal 7 April 2020
Nurkhalis. 2015. Penanganan Krisis Hipertensi. Idea Nursing Jurnal. Vol 6 (3): 61-67
Oh,S.W., dan Sang,Y.H., 2015. Loop Diuretic in Practice. The Korean Society of Electrolyte Metabolism Electrolyte Blood Press 13:17-21, 2015.
PERHI. 2019. Consensus Penatalaksanaan Hipertensi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
Pugh., D, Gallacher, J., P, Dhaun., N. 2019. Management Hypertension in Chronic Kidney Disease. Drugs. Vol 79:365-379
Razi., A., Habib., A., Rehman., S. 2016. Management of Hypertension in Patients with End Stage Renal Disease Leading to Haemodialysis: a challenge. International Journal of Advances in
Medicine. Vol 3(4):790-798
USA.
DAFTAR PUSTAKA

Setiawati., A., Kalim., H., Abdillah., A. 2015. Clinical Effectiveness, Safety and Tolerability of Amlodipine/Valsartan in Hypertensive Patients: The Indonesian Subset of
The Excite Study. Vol 47 (3): 223-233
Shireman., T., I, Mahnker, J., K, Phadnis., M., A, Ellerback., E., F, Wetmore., J., B. 2016. Comparative Effectiveness of Renin-Angiotensin Ststem Antagonists in
Maintenance Dialysis Patients. Kidney Blood Press Res. Vol 41:873-885
US Department of Agriculture. Agricultural Research Service, Nutrient Data Laboratory. USDA National Nutrient Database for Standard Reference, Release 27 (slightly
revised). Washington DC, USA.
WHO. 2016. Application For Erythropoietin-Stimulating Agents (Erythropoietin Type Blood Factors). Essential Medicine List. WHO Drug Information, Version 3.
Yagi., S., Takashima., A., Mitsugi., M., Wada., T., Hotchi., J., Aihara., K., Hara., T., Ishida., M., Fukuda., D., Ise., T., Yamaguchi., K., Tobiume., T., Iwase., T., Yamada., H.,
Soeki., T., Wakatsuki., T., Shimabukuro., M., Akaike., M., Sata., M. 2015. Effect of Combination Tablets Containing Amlodipine 10 mg and Irbesartan 100 mg on Blood
Pressure and Cardiovascular Risk Factors in Patients With Hypertension. Therapeutics and Clinical Risk Management. Vol 11: 83-88

 
THANKS

Anda mungkin juga menyukai