Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN AKHIR TUTORIAL FARMAKOTERAPI TERAPAN

SISTEM 2

KASUS GANGGUAN RENAL DAN ENDOKRIN

Disusun Oleh :

Ricky Arie Jatmiko (I4C021002)


Ryan Afandi (I4C021006)
Syeren Venesia Rasjid (I4C021007)
Melati Bela Addienillah (I4C021008)
Muhammad Aminulloh (I4C021010)
Puspa Juanega Septiani (I4C021024)
Aidatul Mufidah (I4C021031)
Silmi Azizah (I4C021035)
Dicky Rizky Febrian (I4C021043)
Mediana Ratna Komala (I4C021044)
Inas Haidar (I4C021055)
Dosen Tutor :
Apt. Dewanto, M.Farm.

PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2021
A. KASUS
Nama : Tn. SD
No. Rekam Medik :-
Tanggal Lahir/Umur : 15/04/1972
BB : 60 kg
TB : 165 cm
Tanggal MRS : 17/08/2021
DPJP : dr R, Sp.PD
Assessment DPJP : CKD, DM
Riwayat sakit : pasien pasca operasi retina mata kanan e.c retinopati
diabetikum di RSUP Sardjito
Merokok : - batang/hari
Riwayat Alergi : kopi/hari
Riwayat MRS : Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala mendadak
sejak 1 malam smrs, nyeri kepala dirasakan terus
menerus, mual (+), muntah kurang lebih 10x,
BAK<100ml/24 jam.
Riwayat pengobatan : metformin 2x500 mg tab, amlodipin 1x10 mg tab, dan
irbesartan 1x300 mg tab
Parameter Penyakit

TTV Nilai Tanggal


Nominal 17/8 18/8 19/8 20/8 21/8
TD (mmHg) 250/150 154/96 170/108 168/100 150/90
HR (x/menit) 130 120 98 100 110
T (C) 37,5 36 36,5 37,6 36,5
SpO2 99 99 99 99 9
RR(x/menit) 20 20 20 20 20

Keluhan 17/8 18/8 19/8 20/8 21/8


Lemah +++ ++ ++ + +
Apatis ++ + + - -
Mual + +

Muntah + - - - -
Nyeri kepala + + - - -

Bengkak di + + + + +
kedua kaki
Pemeriksaan Laboratorim
Parameter Satuan Nilai Tanggal
Normal
Laboratorium
17/8/21 18/8/21 19/8/21 20/8/21 21/8/21

Hemoglobin 12 11,4

Leukosit 21.730 27.040

Hematokrit 37

Eritrosit 4,05

trombosit 457.000

NLR 19,12

GDS 225 210 90 141

Kalium 6,2 4,5


Kreatinin 10,52 6,86
Ureum 175,15 93,97
Natrium 139 139
Kalsium 8,0
Klorida 109 108
BB: Berat Badan; TB: Tinggi Badan; RPD: Riwayat penyakit dahulu; DPJP: Dokter Penanggung Jawab
Pasien

Tindakan

Tanggal : 19/8/21
Tindakan : hemodialisis
Terapi Pengobatan yang Diberikan Selama di RS

Terapi Tanggal (Tahun 2021)


Aturan
(Nama obat. MRS 17/8 18/8 1/98 20/8 21/8
Pakai
kekuatan)
IVFD NaCl 0.9% 10 tpm v v v v v
Inj Ceftriaxon 1 g 2x1 vial v v v v v
Inj Ranitidin 2x1 ampul v v v v v
Inj Furosemid 3x1 ampul v v v v v
Amlodipin 10 mg 1x1 tab v v v v v

Irbesartan 300 mg 1x1 tab v v v v v


Asam folat 3x1 tab v v v v v

Calos 3x1 tab v v v v v

Natrium Bikarbonat 3x1 calps v v v v v


Novorapid 8-8-8 units v v v v v
Citikolin tab 3x1 tab v v

B. PATOFISIOLOGI
1. CKD
Paparan setiap faktor resiko (seperti diabetes) dapat menyebabkan
berkurangnya massa nefron. Permulaan kerusakan struktur tergantung pada penyakit
primer yang mempengaruhi ginjal. Cedera pada glomerulus menyebabkan
pengurangan area filtrasi yang juga di inisiasi DM dan arteriosklerosis. Akibat
pengurangan area filtrasi, nefron mengimbanginya melalui proses autoregulasi
(adaptive hemodinamic changes). Hasilnya penurunan tekanan perfusi dan GFR,
pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular meningkat dan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang kemudian diubah menjadi angiotensin II
(ATII). ATII adalah vasokonstriktor kuat dari aferen dan eferen arteriol, tetapi lebih
mempengaruhi arteriol eferen, yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler
glomerulus dan akibatnya meningkatkan fraksi filtrasi. Awalnya, tindakan kompensasi
ini mungkin adaptif dan bermanfaat. Namun, seiring waktu hal tersebut dapat
menyebabkan perkembangan hipertensi dan hipertrofi intraglomerular dan penurunan
lebih lanjut dalam jumlah nefron yang berfungsi. Tekanan Intraglomerular kapiler
tinggi mengganggu fungsi size-selective glomerulus permeability barrier yang
mengakibatkan peningkatan ekskresi urin albumin dan proteinuria. Perkembangan
hipertensi intraglomerular biasanya paralel dengan perkembangan hipertensi sistemik.
ATII, serta aldosteron, mungkin juga memediasi perkembangan CKD melalui efek
non-hemodinamik dengan meningkatkannya faktor pertumbuhan (misalnya, mengubah
faktor pertumbuhan beta [TGF-β]) dan penyebab proliferasi seluler dan hipertrofi sel
endotel glomerulus, sel epitel, dan fibroblas akhirnya mengakibatkan peradangan lebih
lanjut dan fibrosis (Dipiro, 2020).
Cedera endotel menstimulasi proteinuria yang akan menyebabkan hilangnya
massa nefron secara progresif sebagai hasil dari kerusakan sel langsung. Keberadaan
protein di tubulus ginjal menyebabkan peningkatan inflamasi dan vasoaktif sitokin.
Akhirnya mengarah pada jaringan parut pada interstitium, hilangnya struktural unit
nefron secara progresif dan penurunan GFR. Infiltrasi ginjal yang rusak dengan sel
inflamasi ekstrinsik. Aktivasi, proliferasi, dan hilangnya sel ginjal intrinsik (melalui
apoptosis, nekrosis, mesangiolisis, dan podocytopenia). Deposisi extracellular matrix
(ECM) mengantikan struktur normal. Rangkaian tersebut menyebabkan jaringan parut
dan fibrosis. Selanjutnya, kondisi hipertensi sistemik dan intraglomerular, hipertrofi
glomerulus, pengendapan kalsium fosfat intrarenal, dan mesangial expansion memicu
entitas histologis yang disebut segmental fokal glomerulosklerosis yang memicu
progresifitas penyakit ginjal (Dipiro, 2020 dan Vaidya et al, 2021).
2. Diabetes melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya (PERKENI, 2019). Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh sel
beta pankreas. Insulin yang disekresikan ke sirkulasi akan melewati hepar dan
mengalami ekskresi, sisanya akan berikatan dengan reseptor insulin dan menyebabkan
transduksi sinyal intraseluler yang menyebabkan masuknya glukosa ke dalam sel
(Kelana et al., 2015).

Dua faktor utama yang berperan dalam patofisologi diabetes melitus tipe 2
adalah resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin merupakan
keadaan dimana sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal. Resistensi insulin banyak terjadi akibat obesitas, kurangnya aktivitas fisik,
penuaan, faktor genetik, dan kebiasaan makan makanan tinggi karbohidrat secara
berlebihan (Fatimah, 2015). Perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 dimulai
dengan terjadinya hiperinsulinemia untuk mengkompensasi terjadinya peningkatan
kadar glukosa sehingga kadar glukosa tetap dalam batas normal. Jika hal tersebut
berlangsung terus menerus maka dapat mengganggu fungsi insulin sehingga terjadi
resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi terutama pada postreseptor.
Peningkatan produksi insulin secara terus menerus akan menyebabkan kelelahan pada
sel beta pankreas sehingga terjadi gangguan sekresi insulin yang mengakibatkan
timbulnya gangguan toleransi glukosa (Kelana et al., 2015).

Adanya gangguan toleransi glukosa dan penurunan fungsi sel beta pankreas
yang terus menerus menyebabkan terjadinya hiperglikemia postprandial. Hal tersebut
dapat dilihat dari penurunan respon sekresi insulin fase pertama. Jika keadaan tersebut
terus berlanjut akan menyebabkan gangguan sekresi insulin fase kedua yang ditandai
dengan hiperglikemia pada saat puasa (Kelana et al., 2015). Pada penderita DM tipe 2
juga dapat terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
kerusakan sel-sel beta langerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut
(Fatimah, 2015).
3. Hipertensi

CKD dikaitkan dengan peningkatan aktivitas RAAS. Ada penurunan aliran


darah di kapiler peritubular di bagian hilir glomeruli yang mengalami sklerosis.
Akibat penurunan aliran darah efektif (dirasakan) ini, glomeruli di daerah ini
mengakibatkan hipersekresi renin sehingga meningkatkan kadar angiotensin II yang
bersirkulasi. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriktor langsung, yang
meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah. Karena glomerulus
yang berfungsi lebih sedikit pada CKD, setiap glomerulus yang tersisa harus
meningkatkan laju filtrasi glomerulus (GFR): meningkatkan tekanan arteri sistemik
membantu meningkatkan tekanan perfusi dan GFR (Ku et al., 2019).
Angiotensin II juga meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan
(melalui aldosteron) duktus pengumpul. Selain itu, kehilangan bersih GFR
keseluruhan mengganggu ekskresi natrium, yang juga menyebabkan retensi natrium.
Retensi natrium menyebabkan hipertensi melalui mekanisme volume-dependent dan
volume-independent. Kelebihan volume ekstraseluler menyebabkan peningkatan
perfusi jaringan perifer, yang merangsang vasokonstriksi, meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer, dan karena itu meningkatkan tekanan darah. Ekspansi
volume ekstraseluler juga mengarah pada produksi steroid seperti ouabain yang
menginduksi vasokonstriksi dan oleh karena itu meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer. Mekanisme volume-independen termasuk peningkatan kekakuan
pembuluh darah dan peningkatan aliran simpatik sentral (sekuele langsung dari
peningkatan natrium ekstraseluler) (Ku et al., 2019).
Overaktivitas SNS pada CKD merangsang produksi renin oleh sel
jukstaglomerulus ginjal. Di luar aktivasi SNS oleh retensi natrium, iskemia ginjal juga
menyebabkan eksitasi saraf aferen ginjal melalui adenosin. Akhirnya, studi
eksperimental dan klinis menunjukkan bahwa tingkat angiotensin II (yang lebih tinggi
pada pasien dengan CKD seperti yang dijelaskan di atas) secara langsung merangsang
aktivitas SNS. Disfungsi endotel (termasuk gangguan produksi nitrit oksida), stres
oksidatif, dan peningkatan kadar endotelin juga terlibat dalam patogenesis hipertensi
pada pasien dengan CKD (Ku et al., 2019).
4. Anemia
Anemia didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai
turunnya massa sel darah merah yang salah satunya dapat dinilai melalui dari kadar
hemoglobin (Hb) kurang dari nilai acuan pada kelompok demografi tertentu. Satu hal
yang penting dipahami tentang anemia adalah bahwa anemia bukanlah suatu penyakit,
anemia adalah kondisi patologis yang disebabkan oleh masalah kesehatan tertentu.
Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui apa penyebab anemia tersebut sebelum
memutuskan cara mengatasinya. Defisiensi zat gizi, penyakit dan kelainan genetik
pada haemoglobin merupakan kontributor utama penyebab anemia di dunia (WHO,
2017).
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat penting di negara
berkembang termasuk di Indonesia terutama pada populasi wanita muda, wanita
hamil, populasi geriatrik, dan Balita. Menurut WHO (2001) apabila prevalensi anemia
di suatu populasi melebihi 20%, maka hal itu sudah menjadi masalah kesehatan
masyarakat.

Anemia terjadi melalui tiga mekanisme (patofisiologi) utama, yaitu: 1) adanya


masalah produksi dan maturasi sel darah merah atau eritropoiesis yang tidak efektif
sehingga sel darah merah yang dihasilkan sedikit atau tidak berkualitas, kondisi ini
disebut hipoploriferatif, 2) adanya peningkatan penghancuran atau lisis sel darah
merah, ini disebut kondisi hemolisis, dan 3) kehilangan darah melalui perdarahan akut
(segera) atau kronis (menahun) (Peterson & Cornacchia, 2018).

Tanda dan gejala klinis anemia terjadi akibat hipoksia jaringan karena
penurunan pasokan oksigen. Gejala anemia bervariasi bergantung pada tingkat
keparahan anemia dan seberapa cepat anemia terjadi. Banyak kasus anemia awalnya
asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala. Diagnosis mungkin tidak terduga karena
anemia berkembang pelan dan dalam waktu yang begitu lama sehingga tubuh pasien
telah beradaptasi dengan kondisi anemianya sehingga sudah terbiasa dan tidak
menyadari gejala yang dialaminya. Tidak jarang pasien dengan anemia kronis
menolak diobati karena merasa tidak mengalami gangguan kesehatan.

Klasifikasi anemia berdasarkan patofisiologi


C. GUIDELINE THERAPY
1. CKD

(NICE, 2021)

2. Diabetes melitus

(KDIGO, 2020)
3. Hipertensi

(PERHI, 2019)
D. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN
1. DRP (DRUG-RELATED PROBLEM)

Problem Medic Subjective Objective Assessment Plan


CKD Bengkak di kaki, Nilai kreatinin dan DRP : Untreated Indication Merekomendasikan pemberian
Pasien mengalami muntah dan
BAK < 100ml/hari ureum meningkat ondansentron oral 4 mg 3 x
mual yang konsisten.
sehari (Nina, 2012).

DRP : Improper Drug Selection Merekomendasikan untuk


Normal saline dapat menyebabkan mengganti NS menjadi ringer
asidosis metabolik dimana pasien asetat (Sartika, 2021).
telah memiliki kadar klorida di
atas normal.
DRP : Drug Interaction Merekomendasikan untuk
Penggunaan Ceftriaxone dan melakukan kultur bakteri untuk
Furosemid mempunyai interaksi mengetahui antibiotik yang
moderate merusak fungsi ginjal tepat untuk pasien
(drugs.com)

Diabetes melitus Lemah, bengkak di  GDS tinggi DRP : Improper Drug Selection Merekomendasikan penggunaan
(250 mg/dl)
kedua kaki Pasien menerima terapi insulin insulin detemir (Savu et al,
 Diagnosis
novorapid. Menurut Perkeni 2016) dengan dosis 0.1/kg/day
dokter : (2019) sasaran utama terapi yaitu 6 IU/day (Iyer dan
diabetes
hiperglikemia dengan Tanenberg, 2016 ).
melitus
mengendalikan glukosa darah
basal menggunakan insulin basal.
DRP : Interaksi Obat Rekomendasi monitoring kadar
gula darah pasien.
Irbesartan dan insulin mengalami
interaksi kategori yang dapat Rekomendasi untuk monitoring
menurunkan kadar gula dalam nilai HbA1c setelah 3 bulan
darah (Drugs.com) menggunakan insulin (Perkeni
2019).
DRP : Subterapeutik dose Merekomendasikan pemberian
citikolin untuk menurunkan
Setelah operasi retinopati
intraocular pressure dari hari
diabetikum pasien perlu diberi
pertama.
anti-glaukoma seperti citikolin
(Shukla et al., 2021)
Hipertensi Pusing, Mual dan Tekanan darah DRP: Kebutuhan terapi Rekomendasi memberikan
250/150 tambahan
Muntah terapi tambahan nitrogliserin
Perlu diberikan terapi tambahan dengan dosis 5 mg/menit
karena nilai tekanan darah yang naikkan tiap 5 menit sampai
tinggi (PERHI, 2019). tekanan darah 140/80 (PERHI,
2019).

Anemia Lemas Hemoglobin DRP : Untreated Indication Merekomendasikan untuk


pasien menurun Niali HB pasien menurun, perlu memeriksa satT < 30% dan
diberikan terapi iron IV feritin < 500ng/Ml. jika
memenuhi syarat diberikan
terapi Iron IV (KDIGO, 2012).
2. Uraian DRP
a. CKD
1) DRP Untreated Indication
Pada pasien yang mengalami mual dan muntah memiliki lebih besar
resikonya untuk mengalami nafsu makan yang berkurang. Mual dan muntah
menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada perut sehingga membuat
seseorang tidak nafsu. Menurut Hirata et al. (2012) gangguan gastrointestinal
seperti mual dan muntah pada pasien gagal ginjal kronik juga disebabkan oleh
perlambatan pengosongan dan gangguan aktifitas mioelektrik pada lambung.
Menurut Smeltzer (2010), semakin banyak kadar ureum dalam darah semakin
tinggi pula efek dalam menimbulkan mual dan muntah. Tn.SG juga menjalani
hemodialisis, menurut Sitifa (2018) gangguan sistem gastrointestinal pada
penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dilihat dari keluhan
mual, muntah, dan tidak nafsu makan. Terapi mual muntah akibat uremia dapat
diterapi menggunakan ondansetron, metoklopramid, dan haloperidol (Nina,
2012). Kami merekomendasikan menggunakan ondansetron oral karena
memiliki efektivitas lebih baik dibandingkan metoklopramid. Dosis yang
digunakan yaitu 4 mg 3 x sehari.

(Nina, 2012)

(Nina, 2012)

(Claudia et al,2019)

2) Improper Drug Selection


Penggunaan normal saline dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya asidosis metabolik karena tingginya kadar klorida dalam darah.
Kadar klorida pada pasien sudah berada di atas normal sehingga tidak
disarankan untuk menggunakan normal saline apabila dilihat dari kondisi
pasien. Pemilihan penggunaan ringer asetat karena dapat berfungsi sebagai
prekursor bikarbonat yang dapat meningkatkan pH darah dan juga mengurangi
resiko terjadinya cedera ginjal akut karena pasien sudah mengalami CKD.

(Hayes, 2018)

(Sartika, 2021)
3) Drug Interaction
Terdapat interaksi antara antibiotik empiris ceftriaxone dan furosemid,
sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan kultur bakteri agar diketahui
terapi antibiotik defitinif yang sesuai untuk pasien
(Drugs.com)
b. Diabetes melitus
1) Improper drug selection
Pasien menerima terapi insulin novorapid, Menurut Perkeni (2019)
sasaran utama terapi hiperglikemia dengan mengendalikan glukosa darah basal
menggunakan insulin basal. Merekomendasikan penggunaan insulin detemir
(Savu et al., 2016) karena detemir lebih efektif pada pasien dengan end stage
renal disease dan sedang menjalani hemodialisis. Insulin detemir dapat
mengontrol nilai HbA1c, menurunkan kejadian hipoglikemik dan menurunkan
kadar glukosa darah pasien labih baik daripada insulin glargine. Menurut Iyer
dan tanenberg (2016) dosis insulin untuk pasien rawat inap pada gagal ginjal
kronis dengan nilai GFR < 10 mL/min yaitu 0.1/kg/hari. Berat badan pasien
60 kg sehingga dosis insulin pasien yaitu 6 IU/hari.

(Perkeni, 2019) (Savu et al, 2016)


(Iyer dan Tanenberg, 2016)

2) DRP interaksi obat

Terdapat interaksi irbesartan dengan insulin, dimana kedua terapi


tersebut dapat menyebabkan risiko hipoglikemia karena penurunan kadar gula
darah. Interaksi keduanya tergolong kedalam interaksi moderate sehingga
penggunaan keduanya masih dapat digunakan namun perlu dilakukan
monitoring untuk mengontrol kadar gula darah pasien agar tidak terjadi
hipoglikemia (Drugs.com, 2021).

(Drugs.com., 2021).
3) Subterapeutik dose
Pada kasus pasien diberikan citikolin pada tanggal 20 yaitu 4 hari
setelah MRS. Menurut Shukla et al., (2021) pada pasien pasca operasi
retinopati diabetikum perlu diberikan anti-glaukoma untuk menurunkan
tekanan intraocular yang dapat terjadi setelah melakukan operasi. Oleh karena
itu dapat diberikan citikolin sebagai anti-glaukoma yang dapat menurunkan
tekanan intraocular pada mata pasien (Oddone et al., 2021).

(Shukla et al., 2021)

(Oddone et al., 2021).

c. Hipertensi
1) DRP: Dibutuhkan terapi tambahan
Pasien pada hari pertama masuk rumah sakit tekanan darahnya 250/150
mmHg dan mengeluhkan sakit kepala dan pusing disetai muntah dan mual.
Menurut PERHI (2019) dikategorikan mengalami hipertensi stage 3/hipertensi
emergensi, maka dapat dipertimbangkan penambahan terapi nitrogliserin
dengan dosis 5 mg/menit naikkan tiap 5 menit sampai tekanan darah
terkontrol. Setelah tekanan darah pasien tekontrol maka diberikan kombinasi 3
obat yaitu injeksi furosemide, amlodipine dan irbesartan.
(PERHI, 2019)

d. Anemia
1) DRP Untreated Indication
Pasien mengalami penurun Hemoglobin, Anemia yang terjadi pada
pasien ini kemungkinan berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Kami
merekomendasikan diberikan terapi Iron IV ,namun menurut KDIGO (2012)
pada pasien anemia yang belum mendapat terapi besi maupun terapi ESA,
disarankan untuk diberikan terapi besi (trial therapy), secara IV pada pasien
Hemodialisis dan oral pada PGK-ND dan PGK-PD selama 1-3 bulan, bila satT
< 30% dan feritin < 500ng/mL. Maka perlu pengecekan satT dan feritin
pasien, jika sudah sesuai maka dapat diberikan terapi Iron IV.
(KDIGO,2012)

3. Monitoring
Monitoring
Obat Target Keberhasilan
Keberhasilan ESO
Ondansetron Mual, Muntah Konstipasi, Diare Mengatasi mual muntah
teratasi (Medscape, akbat kadar ureum tinggi
2021) (Nina, 2019)
Insulin HbA1c dan GDS Hipoglikemia GDS Pasien < 200 mg/dL
Citikolin Retina mata Hipertensi, Mata kanan dapat melihat
Insomnia, sakit dengan jelas kembali
kepala (ISO (Bogdanov, et all 2018)
2019)
Amlodipin Tekanan darah Edema perifer, Targetkan tekanan darah <
Pusing, Sakit 140/80 (Unger T et al.,
kepala, kelelahan 2020)
Nasofaringitis
(Fares, 2016)
Irbesartan Hiperkalemia
(Medscape, 2021)
Furosemide Hiperurisemia,
Hipokalemia
(Dipiro, 2020)
Inj. Nitrogliserin Sakit kepala,
(PERHI, 2019)
Iron iv Hemoglobin Konstipasi, Diare HB > 12 g/dL
(Medscape,
2021)
Ringer Asetat Kebutuhan cairan Edema Terpenuhi kebutuhan
cairan pasien

4. Terapi Non Farmakologis


1) CKD
 Mengontrol tekanan darah dengan diet rendah natrium.
 Membatasi intake sodium. Apabila hipertensi, batasi sodium < 2 g/hari. Pada
pasien diabetes dengan CKD intake garam <5 g/hari.
 Menjaga berat badan sesuai BMI dan olahraga 30 menit 5 kali seminggu

(Dipiro et al., 2020) , (KDIGO, 2020)

2) Diabetes melitus
 Aktivitas fisik
Melakukan olahraga rutin 3-5 kali dalam seminggu dengan durasi 30-45 menit.
Olahraga yang dianjurkan berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut nadi maksimal), meliputi jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang
 Menjaga asupan kalori yang masuk ke dalam tubuh
Menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh pasien DM, antara lain dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB
 Mengatur pola makan
Komposisi makanan yang dianjurkan untuk pasien DM adalah karbohidrat yang
berserat tinggi 45-65% total asupan energi, lemak 20-25% total asupan energi,
asupan protein pada pasien yang sudah menjalani hemodialisa adalah 1-1,2
g/kgBB/hari, asupan natrium <1.500 mg/hari, dan serat 20-35 g/hari.

(PERKENI, 2019)

3) Hipertensi
 Diet garam dengan menghindari atau batasi konsumsi makanan tinggi garam
seperti kecap, makanan cepat saji dan makanan olahan termasuk roti dan sereal
tinggi garam.
 Diet sehat dengan makan diet yang kaya biji-bijian, buah-buahan, sayuran,
lemak dan produk dan mengurangi makanan tinggi gula.
 Penurunan berat badan
 Aktivitas fisik secara teratur selama 30 menit dalam 5-7 hari per minggu.
(Unger, T.et.al.2020)
4) Anemia
 Memperbaiki gizi makanan yang dimakan
 Memperbaiki pola makan dengan memakan makanan yang banyak
mengandunf zat besi seperti labu kuning, ubi ungu, dan beras merah
 Lalu memakan makanan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran seperti sayur
berdaun hijau yaitu bayam, kangkung, cesin, daun labu, daun singkong, daun
ubi jalar dan buah-buahan yang berwarna merah seperti buah anggur, pepaya,
dan jeruk
 Mengkonsumsi makanan dengan kelompok zat pembangun seperti makanan
nabati dan hewani berupa lauk-pauk juga susu.
(Eernawati et all.
2018)

5. KIE
a. Untuk Tenaga Kesehatan
 Jelaskan kepada keluarga pasien mengenai obat yang diresepkan dan cara
penggunaan yang tepat, seperti nama obat, dosis, dan frekuensi penggunaan
(MIMS, 2016).
 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai pengetahuan dasar tentanf DM.
 Memberikan edukasi cara pencegahan perburukan penyakiMonitoring GDS
pasien
 Cara pemakaian insulin yang benar
b. Untuk Pasien
 Menjaga kebersihan, cuci tangan dahulu sebelum makan
 Minum air putih yang cukup 2-3 liter/hari
 Melakukan olahraga ringan setiap hari
 Kurangi untuk makanan dan minuman yang manis
 Diwajibkan untuk mengkonsumsi gula rendah kalori seperti tropicana,
diabteasol dll
 Informasikan kepada pasien tentang kemungkinan komplikasi ginjal, sehingga
pasien akan mengontrol dietnya dan dapat meningkatkan aktifitas fisiknya.
 Informasikan kepada pasien untuk terus rajin mengontrol tekanan darah dan
kreatinin. Kadar kalium dan fosfat pasien juga perlu diperhatikan mengingat
komplikasi ginjal yang tidak terbatas.
 Berikan informasi kepada pasien tentang pentingnya kepatuhan dalam
mengkonsumsi obatnya. (Dipiro et al., 2020)
c. Keluarga pasien
 Mengingatkan pasien untuk selau menerapkan perilaku hidup sehat
 Mengingatkan pasien untuk tidak berlebihan mengkonsumsi gula dan harus
digantikan dengan gula yang rendah kalori
 Memberikat support moril kepada pasien

E. KESIMPULAN
1. Terdapat 4 problem medik pasien yang sesuai diagnose yaitu CKD, Diabetes Melitus,
Hipertensi, dan Anemia.
2. Terdapat beberapa DRP pada pengobatan pasien Tn. SD yaitu Untreated Indication
dan Improper Drug Selection pada problem medik CKD, Improper Drug Selection
dan Interaksi Obat pada problem medik DM, Untreated Indication pada problem
medik Anemia, dan Kebutuhan terapi tambahan pada Hipertensi. Namun hal tersebut
dapat dicegah dengan melakukan pengkajian, perencanaan dan follow up terhadap
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Bogdanov, Patricia et all. 2018. Effects of Liposomal Formulation of Citicoline in


Experimental Diabetes-Induced Retinal Neurodegeneration. MDPI
Dipiro, Joseph, T., Yee Gary, C., Posey, LM., Haines, Stuart T., Nolin, T., Ellingrod, V.,
2020, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 11th Edition, United State
of America: The McGraw-Hill Companies
Drugs.com. 2021. Drug Interaction Report dilihat di https://www.drugs.com/interactions-
check.php?drug_list=1383-0,1343-0.
Drugs.com. 2021. Drug Interaction Report dilihat di https://www.drugs.com/interactions-
check.php?drug_list=1146-0,557-0
Ernawati, Fitraj et all. 2018 Anemia Baduta : IPB Press. Bogor, Indonesia
Fares,H., DiNicolantonio, J. J., O’Keefe, J. H., and Lavie, C. J. 2016. Amlodipine in hypertension: a
first-line agent with efficacy for improving blood pressure and patient outcomes. Open
Heart. Vol 3:e000473.
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. J MAJORITY. Volume 4 (1) : 93-101.
Ho, C., Martinusen, D. dan Lo, C. 2019. A Review of Cannabis in Chronic Kidney Disease
Symptom Management. Canadian Journal of Kidney Health and Disease. Vol. 6: 1–
14
Iyer, Shridhar & Tanenberg, Robert. 2016. Managing diabetes in hospitalized patients with
chronic kidney disease. Cleveland Clinic Journal Of Medicine. Vol 83, No. 4 pg :
301-310
KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.Kidney Int Suppl
2012: 283-308.
KDIGO. 2020. Clinical Practice Guideline For Diabetes Management In Chronic Kidney
Disease. Journal of the international society of nephrology; Vol. 98, Issue 4S.
Kelana, E., Nasrul, E., Yaswir, R., dan Desywar. 2015. Korelasi Indekas 20/(C-Peptide Puasa
x Glukosa Darah Puasa) dengan HOMA-IR untuk Menilai Resistensi Insulin
Diabetes Melitus Tipe 2. MKA. Vol. 38 (3) : 155-164.
Ku, E., Lee, B. J., Wei, J. and Weir, M. R. 2019. Hypertension in CKD: Core Curriculum.
AJKD. Vol. 74 (1).
NICE. 2021. Chronic kidney disease: assessment and management.
https://www.guidelines.co.uk/renal-conditions/nice-ckd-guideline/456282.article.
Diakses 15 Oktober 2021.
Nina dan Amy. 2012. End-Stage Renal Disease: Symptom Management and Advance Care
Planning. American Family Physician. Vol. 85 (7).
Oddone, Francesco., Luca Rossetti, Mariacristina Parravano, Diego Sbardella, Massimo
Coletta, Lucia Ziccardi , Gloria Roberti, Carmela Carnevale, Dario Romano,
Gianluca Manni and Vincenzo Parisi. 2021. Citicoline in Ophthalmological
Neurodegenerative Disease: A Comprehensive Review. Pharmaceuticals 2021, 14,
281. https://doi.org/10.3390/ph14030281
Perkeni. 2019. Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes Melitus tipe 2 dewasa di
Indonesia. Jakarta : PB Perkeni
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2019. Pedoman Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Jakarta : PB PERKENI.
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019.
Jakarta: Indonesian Society of Hypertension.
Peterson.P, & Cornacchia, M. F. 2018. Anemia : Pathophysiology , Clinical Features , and
Laboratory Evaluation, (May).
Sartika, Suriana Dwi. 2021 ASIDOSIS LAKTAT PADA PENGGUNAAN METFORMIN.
Jurnal Ilmiah Ecosystem. Vol. 21 (1) : 168 - 176
Savu, Octavian., Elian, Viviana., Steriade, Oana., Teodoru, Ileana., Mihut, Stela., Tacu,
Catalin., Covic, Adrian., & Serafinceanu, Cristian. 2016. The impact of basal insulin
analogues on glucose variability in patients with type 2 diabetes undergoing renal
replacement therapy for end-stage renal disease. Int Urol Nephrol. Vol. 48:265–27
Shukla, Unnati and Khoushik Tripathy. 2021. Diabetic Retinophaty. Statpearls.
Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N., Poulter, N., et al. 2020. International Society
of Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines. Hypertension. 75 (6).
Vaidya, Satyanarayana, R., Aeddula, Narothama, R., 2021, Chronic Renal Failure, NCBI.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535404/. Diakses 2 Oktober 2021.
Wesley Hayes. 2018. Ab-normal saline in abnormal kidney function: risks and alternatives.
London. Pediatric Nephrology. 34:1191–1199
World Health Organization – WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention
and Control: A Guide for Programme Managers. Geneva: WHO; 2001.
World Health Organization - WHO. 2017. Nutritional Anaemias : Tools for Effective
Prevention. World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai