Anda di halaman 1dari 12

STASE FARMASI KLINIK BANGSAL PENYAKIT DALAM

PEMANTAUAN TERAPI OBAT DI RUANG PERAWATAN DAHLIA


PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE – HEMODIALISIS
DENGAN EDEMA PULMO

DISUSUN OLEH:
WA ODE SALFIA (2020801003)

PRAKTEK KLINIK
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
PERIODE OKTOBER – DESEMBER 2021
A. PATOFISIOLOGI
Chronic Kidney Desease (CKD) atau di Indonesia umum dikenal dengan
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan kerusakan ginjal yang terjadi pada ginjal
>3 bulan yang ditentukan dengan adanya kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan GFR. Gambaran umum perjalanan gagal ginjal dapat
diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan filtrasi
glomerulus (GRF) sebagai persentase keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar
nitrogen urea darah (BUN) dengan rusaknya nefron secara progresif oleh penyakit ginjal
kronik (Price dan Wilson, 1995). Penyebab utama kerusakan pada ginjal adalah
penurunan jumlah nefron. Nefron yang tersisa mengalami hipertrofi untuk
meningkatkan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus, baik reabsorpsi maupun
sekresi, sebagai upaya kompensasi bagi fungsi ginjal yang hilang. Hal ini dilakukan
melalui proses autoregulasi. Hilangnya nefron akan meningkatkan pelepasan renin
dan mengubah mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II (ATII). ATII adalah vasokonstriktor kuat yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler glomerulus dan fraksi filtrasi.
Seiring waktu, hal tersebut dapat menyebabkan perkembangan hipertensi dan
hipertrofi intraglomerulus dan penurunan jumlah nefron yang masih berfungsi.
Tekanan kapiler intraglomerular yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan
ekskresi albumin dan proteinuria melalui urin (DiPiro et al., 2020).
Penyebab lain terjadinya CKD adalah Hipertensi. CKD dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas Renin–angiotensin Aldosteron system (RAAS). Adanya
penurunan aliran darah di kapiler peritubular di glomeruli yang mengalami sclerosis
mengakibatkan hipersekresi renin, sehingga meningkatkan kadar angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriktor langsung, yang meningkatkan
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah. Karena pada CKD glomerulus yang
berfungsi lebih sedikit, setiap glomerulus yang tersisa harus meningkatkan laju
filtrasi glomerulus (GFR), sehingga meningkatkan tekanan arteri sistemik yang
akan meningkatkan tekanan perfusi dan GFR (Ku et al., 2019)
CKD juga dikatkan penurunan produksi hormon. Penurunan jumlah nefron
yang berfungsi akan menurunkan produksi Eritropoietin, yakni hormone untuk

2
memproduksi sel darah merah yang menjadi penyebab utama anemia pada pasien
CKD. Pada individu dengan fungsi ginjal normal, ketika Hb, hematokrit (Hct), dan
oksigenasi jaringan menurun, konsentrasi plasma EPO meningkat secara
eksponensial. Beda halnya pada pasien CKD dengan jumlah nefron yang berfungsi
menurun, produksi EPO juga menurun. Ketika Hb, Hct, dan oksigenasi jaringan
menurun pada pasien CKD, kadar EPO plasma tetap konstan dalam kisaran normal
tetapi relatif rendah terhadap derajat hipoksia yang ada (Chisholm-Burns MA, et
al., 2015).Pada pasien dengan CKD dikatakan anemia jika kadar Hemoglobin (Hb)
<14,0 g/dl (laki-laki) atau <12g/dl (perempuan). Anemia pada CKD termasuk ke
dalam anemia normositik normokromik, yakni anemia dengan MCV normal (antara
80-95 fL) (PERNEFRI, 2011).
B. STUDI KASUS
1. Kasus
Waktu pemeriksaan: 10 Oktober 2021
Anamnesa: Tn. S (69 tahun) merupakan pasien rujukan RS Ananda dengan
keluhan sesak nafas sejak semalam, batuk, dan lemas. Memiliki riwayat CKD
on HD rutin selasa jumat di RSUD Prof. Dr. Margono. Pasien juga memiliki
riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus

TD: 140/82 mmHg Nadi: 95 kali/menit


RR: 28 kali/menit Suhu: 36ºC

Assesment dokter pemeriksa:


- CKD on HD
- Edema Pulmo dd/CAP

3
2. Rekonsiliasi Obat

RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO


INSTALASI FARMASI

REKONSILIASI OBAT
SAAT ADMISI Alergi: -
Dari : RS Ananda Purwokerto
Aturan Pakai/Terakhir Tindak Lanjut Aturan Pakai Keterangan
Nama Obat
Penggunaan Oleh DPJP Perubahan
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
SAAT TRANSFER Tanggal:
Dari : IGD Ke: Asoka 28/10/2021
Aturan Pakai/Terakhir Tindak Lanjut Aturan Pakai Keterangan
Nama Obat
Penggunaan Oleh DPJP Perubahan
Inf D5% 10 tpm Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Inj
3x2 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Furosemide
Inj
2x1 gram Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
Ceftazidime
Inj
1x1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
omeprazole
Natrium
3x1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)
bicarbonat PO
ISDN PO 3x1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*)

4
3. Pemantauan Obat Harian

RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO


INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Rs No. RM: 00686172


Tgl lahir/umur : 4 Maret 1952/69 BB: 60 kg; TB: 160 cm; Kamar: Dahlia 1
RPM : CKD on HD rutin Selasa Jumat RPD: Hipertensi,
DPJP : Wahyu D., Dr. SpPD, KHOM Diagnosis: CKD
Merokok : - batang/hari Kopi : - gelas/hari
Alergi :-
MRS : 10 Oktober 2021

RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN


Diisi oleh Apoteker yang merawat:
Tanda Vital

Parameter Penyakit/Tanggal Nilai Normal 10/10 11/1 12/10 13/1 14/1 2/11
0 0 0
150/ 140/ 146/ 132/ 130/
Tekanan Darah (mmHg) 120/80
82 80 65 82 82
Nadi (x/menit) 60 – 100 95 95 85 91 88
Suhu (ºC) 36 – 37,5 36 36 36,90 36,80 36,7
Respirasi (x/menit) 14 – 20 28 20 24 22 20
Sesak nafas + + + +
Batuk +
Lemas + + + + +
KELUHAN

Dada bengkak +
BAK sedikit +
Kedua kaki bengkak + +
Laboratorium Rutin

Laboratorium Nilai Normal 11/10 12/1 13/10 14/1 15/1 2/11


Rutin/Tanggal 0 0 0
Hemoglobin 13,2 – 17,3 7,3
Hematokrit 40 – 52 21
Eritrosit 4,40 – 5,90 2,47
Leukosit 3800 – 10600 14590
Kreatinin darah 0,7 – 1,2 7,84
Ureum darah 150rb – 440rb 95,55
GDS <140 164
Kalium 3.4- 4.5 3.0
Terapi (Nama Obat, 11/10 12/1 13/10 14/1 15/1 2/11
Aturan Pakai
Kekuatan) 0 0 0
  
Rute Parenteral

Inj. Ceftriaxone 1 g 2x1 gram


Inj. Furosemide 3x2 amp     
Inj. Omeprazole 1x1 amp     
Inj. Ceftazidime 1 g 2x1 gram  
Drip Cedocard 4 mg/jam 

5
ISDN 3x1     
Natrium bicarbonat 3x1     
Rute Oral

Infus D5% 10 tpm     


I.V.F.D

BB: Berat Badan; TB: Badan; RPM: Riwayat Penyakit saat MRS; RPD: Riwayat Penyakit
Dahulu

6
4. Asuhan Kefarmasian

RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO


INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Rs No. RM: 00686172


Tgl lahir/umur : 4 Maret 1952/69 BB: 60 kg; TB: 160 cm; Kamar: Dahlia 1

PEMANTAUAN TERAPI OBAT


Diisi oleh Apoteker yang merawat:

Asuhan Kefarmasian
Tgl
Subjektif Objektif Assesment Planning
30/ Sesak Diagnosa: CKD 1. Potensi interaksi furosemid 1. Monitor tekanan
10 nafas, on HD Edema + ISDN menimbulkan darah.
dada Pulmo dd/CAP hipotensi. 2. Direkomendasikan
bengkak, DM CHF 2. Duplikasi terapi ISDN dan memberikan terapi
BAK drip cedocard meningkatkan tablet tambah darah
sedikit Tanda Vital: potensi terjadi ESO untuk menaikan Hb,
TD: 136/ 65 hipotensi. dan memulai terapi ...
mmHg 3. Pasien mengalami anemia. 3. Melanjutkan terapi
Nadi: 85 4. Terdapat udema dibagian injeksi furosemide
kali/menit paru, peningkatan serum dan disarankan
Suhu: 36,90ºC kreatinin dan ureum darah. melakukan
Respirasi: 24 5. eGFR pasien 7,55 mL/min hemodialisa.
kali/menit (CKD stage 5), penggunaan 4. Disarankan
ceftazidime perlu menyesuaikan dosis
Hasil Lab: penyesuaian dosis untuk ceftazidime menjadi
Hb: 7,3 g/dL; pasien CKD. 500 – 1 g setiap 24
Ht: 21%; 6. Efek samping natrium jam.
Eritrosit: bikarbonat adalah 5. Monitoring kadar
2,47x106/ uL hypokalemia kalium pasien
Leukosit:
14590/uL;
GDS: 164 mg/dL;
Scr: 7,84 mg/dL;
Ureum darah:
95,55 mg/dL
Terapi:
Inf D5% 10 tpm;
Inj
Furosemide 3x2
amp;
Inj OMZ 1x1
amp;
Inj Ceftazidime
2x1;
Drip cedocard 4
mg/jam;
ISDN 3x1 PO;
Na bicarbonat

7
3x1 PO

C. PEMBAHASAN
Tn. R (69 tahun) merupakan pasien rujukan RS Ananda datang ke IGD
(28/10) dengan keluhan sesak nafas sejak semalam, batuk, dan lemas. Memiliki
riwayat CKD on HD rutin selasa jumat di RSUD Prof. Dr. Margono. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus. Pasien mendapatkan terapi
infus D5% 10 tpm, O2 NRM 10 lpm, injeksi furodemide, injeksi ceftazidime,
injeksi omeprazole, natrium bicarbonat 3x1 PO, dan ISDN 3x1 PO. Kemudian
pasien dipindahkan ke ruang perawatan Dahlia. Selama di ruang perawatan, pasien
menerima terapi seperti yang tertera pada form pemantauan terapi obat.

Peningkatan kadar ureum darah dan kreatinin terjadi pada pasien, yang
merupakan salah satu indikasi adanya penurunan fungsi ginjal. Kadar ureum darah
dan kreatinin darah yang meningkat menunjukkan tingkat kerusakan laju filtrasi
glomerulus ginjal (Loho, 2016). Pasien mendapatkan terapi furosemide untuk
mengatasi edema pada bagian paru. Volume cairan ekstraseluler akan meningkat
pada pasien CKD, peningkatan ini berjalan seiring dengan meningkatnya stadium
CKD (Braam et al., 2020). Kelebihan volume pada pasien CKD lanjut
menyebabkan peningkatan risiko inisiasi dialisis dan penurunan fungsi ginjal.
Pemeliharaan keseimbangan cairan dengan terapi diuretik mampu memperlambat
perkembangan CKD dan bahkan memperbaiki penyakit ginjal (Esmeray et al.,
2018). Furosemid dianggap sebagai diuretik pilihan bagi pasien CKD karena dapat
meningkatkan diuresis hingga 20%. Furosemide merupakan obat golongan loop
diuretic berpotensi tinggi yang banyak digunakan dalam aplikasi klinik. Senyawa
ini adalah derivat asam antranilat yang biasanya digunakan untuk terapi pada pasien
dengan kondisi hipervolemik (Kitsios et al., 2014). Lokasi aksi Furosemide adalah
pada lapisan tebal loop henle ascenden di nefron dengan mekanisme kerja
menghambat transport aktif klorida ke kanal Na-K-2Cl yang akan menurunkan
reabsorpsi natrium dan klorida sehingga menyebabkan natriuresis dan klirens air
bebas Furosemid dapat diberikan 20 – 60 mg per hari dengan tetap melakukan
monitoring tekanan darah, serum kalium dan GFR (Dussol et al, 2012). Dosis yang
8
diberikan kepada pasien sudah tepat. Selain itu, furosemid juga diberikan untuk
menurunkan tekanan darah pasien yang mengalami peningkatan. Furosemid dipilih
bagi pasien dengan GFR <30/ml/menit/1,72 m2, karena thiazide/thiazide-like
diuretic efektivitasnya lebih rendah/tidak efektif pada pasien dengan GFR rendah
(PERHI, 2019).
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Oktober 2021, pasien memiliki
kadar Hb yang rendah yakni 7,3 g/dL, sehingga diberikan transfusi packed red cells
(PRC). Transfusi sel darah merah atau penggunaan erythropoiesis-stimulating
agent (ESA) merupakan pilihan pengobatan untuk anemia pada pasien CKD.
Transfusi dipertimbangkan jika manfaatnya lebih besar daripada risiko yang
ditimbulkan. Transfusi sebaiknya diberikan secara bertahap untuk mencegah
kelebihan cairan disirkulasi (KDIGO, 2012). Pada pasien dengan Hb < 7 g/dL dapat
dimulai untuk dilakukan transfusi PRC. Pemberian satu unit sel darah merah dapat
meningkatkan sekitar 3% hematokrit atau setara dengan 1g/dL Hb. Tansfusi PRC
dapat dihentikan bila Hb pasien sudah mencapai 9 g/dL, sehingga diperlukan
monitoring kadar Hb pasien (Müller et al., 2015).
Pasien menerima terapi antibiotik Ceftazidime 2x1 gram untuk penanganan
CAP (Community-acquired Pneumonia). Menurut (Metlay et al., 2019) penanganan
pasien dengan CAP ringan dapat direkomendasikan regimen β – Laktam +
Makrolida atau inhalasi floroquinolon. Sehingga dalam kasus pasien ini dapat
diberikan tambahan terapi azithromycin 1x500 mg. Pasien Tn. R di diagnosa CKD
on HD dengan nilai eGFR 7,55 mL/menit. Menurut (Jodoin, 2016), pasien yang
menerima terapi Ceftazidime dengan nilai eGFR 6 – 15 mL/menit harus melakukan
penyesuaian dosis menjadi 500 mg – 1 gram setiap 24 jam. Dalam pemilihan terapi
antibiotik untuk penanganan CAP pada pasien CKD penggunaan Ceftazidime sudah
tepat namun perlu dilakukan penyesuaian dosis. Atau bisa direkomendasikan
mengganti terapi Ceftazidime dengan Ceftriaxone 1x1 – 2 gram per hari tanpa perlu
penyesuaian dosis (Jodoin, 2016; Metlay et al., 2019).
Pasien menerima omeprazole yang merupakan obat golongan proton pump
inhibitor (PPI) yang akan mengikat H+/K+-ATPase di sel parietal lambung,
sehingga menekan sekresi asam lambung. Obat ini dapat digunakan untuk
9
profilaksis stress ulcer pada pasien penyakit kritis. Selain itu, digunakan untuk
mencegah efek samping obat-obat yang dapat mengiritasi lambung, seperti
ketorolac yang merupakan obat golongan NSAID (American Pharmacist
Association, 2009; Medscape 2021). Pemberian profilaksis golongan antagonis H2
lebih disarankan daripada golongan PPI intravena dengan tujuan untuk
meningkatkan efektivitas terapi dan menurunkan biaya terapi. Golongan antagonis
H2 yang disarankan pasien adalah ranitidin, hal ini disebabkan karena ranitidin jika
dibandingkan dengan obat-obat golongan antagonis H2 lainnya mempunyai efek
samping dan interaksi dengan obat-obat lain yang lebih sedikit jika dibandingkan
dengan golongan antagonis H2 yang lain. Selain itu, mula kerja ranitidin juga lebih
cepat jika dibandingkan dengan PPI, yaitu 30 menit dengan lama kerja 10 jam.
Selain itu antagonis H2 juga terbukti jarang menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial terutama pneumonia (Ganet-Schoeller, 2015).
Pasien Menerima ISDN untuk menangani hipertensi pasien. ISDN adalah suatu
Nitrat Organik (NO) yang menimbulkan vasodilatasi pada semua sistem vaskular dan efek
antiagregasi trombosit, dimana Nitrat Organik (NO) membentuk kompleks nitrosheme
dengan guanilat siklase dan menstimulasi cGMP sehingga kadar cGMP meningkat dan
menyebabkan defosforilasi miosin yang membuat relaksasi otot polos (non-
endhoteliumdependent). NO juga melepaskan prostasiklin (PGI2) dari endotelium yang
bersifat vasodilator (endhotelium-dependent) (Nafrialdi, 2007).
Penggunaan Natrium bikarbonat 3x1 pada pasien adalah untuk mencegah
terjadinya asidosis metabolik. Asidosis metabolik merupakan salah satu komplikasi
pada pasien Gagal ginjal kronik. Asidosis metabolik terjadi ketika nilai GFR
menurun 30-40% akibat ketidakmampuan ginjal mensekresi muatan asam yang
berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
mensekresi ammonia (NH3) dan mengabsorbsi bikarbonat (NaHCO3). Terapi yang
diberikan untuk pasien asidosis metabolik adalah Natrium Bikarbonat, yang
merupakan zat pengalkali yang memberikan ion bikarbonat. Natrium bikarbonat
meningkatkan pH darah dan urin dengan memberikan ion bikarbonat yang dapat
menetralkan konsentrasi ion hidrogen. Dosis awal yang umum adalah 1-2 mEq/Kg BB
(Behrman, Kliegman and Arvin, 2000). Untuk mencegah terjadinya asidosis, serum
bikarbonat harus dipertahankan yakni minimal 22 mEq/L, dengan melakukan hal ini maka
10
dapat memperlambat perkembangan dari gagal ginjal kronik itu sendiri. Pasien dengan
gagal ginjal kronis biasanya menunjukan asidosis metabolik karena adanya peningkatan
anion yang tidak terukur. Asidosis metabolik kemungkinan memiliki dampak negatif pada
perkembangan disfungsi ginjal (Adeva-Andany et al., 2014). Pasien dengan asidosis
metabolik akan menyebabkan perkembangan pada penyakit gagal ginjal kronik. Hal ini
dikarenakan pasien dengan asidosis metabolik meningkatkan produksi aldosteron,
endotelin dan juga angiotensis II. Asidosis metabolik juga dikaitkan dengan peningkatan
dari produksi amonia ginjal. Peningkatan asam yang terjadi pada pasien asidosis metabolik
ini merangsang sitokin pro inflamasi (Kraut and Madias, 2015). Pemberian natrium
bikarbonat secara oral dapat diberikan satu hingga empat kali sehari yang mana dilakukan
untuk mengkoreksi asidosis metabolik pasien (Alldredge et al., 2013). Sehingga cara
pemberian natrium bikarbonat pada pasien sudah tepat yaitu sehari tiga kali. Namun perlu
pemantauan kadar kalium pada pasien karena dalah satu efek samping dari natrium
bikarbonat adalah hypokalemia.
Potensi DRP yang terjadi pada pasien ini adalah, Potensi interaksi furosemid
+ ISDN menimbulkan hipotensi. Oleh karena ini disarankan untuk memonitoring
tekanan darah pasien. Selain itu pasien ini mendapat duplikasi terapi ISDN dan drip
cedocard meningkatkan potensi terjadi ESO hipotensi. DRP lain yaitu adanya
indikasi tanpa terapi. Nilai HB, MCV, MCH pasien sangat rendah. Oleh karena itu
pasien membutuhkan tambahan terapi untuk mengatasi anemia pasien. Namun pada
terapi pasein belum mendapatkan terapi untuk anemianya. Disarankan pemberian
tablet penambah darah Pasien mengalami anemia. Juga terdapat beberapa efek
samping dari penggunaan obat terutama natrium bikarbonat oleh karena itu perlu
pemantauan terhadap kadar kalium.

11
DAFTAR PUSTAKA
Braam, B., Lai, C.F., Abinader, J., dan Bello, A.K., 2020, Extracellular fluid volume
expansion, arterial stiffness and uncontrolled hypertension in patients with chronic
kidney disease, Nephrol Dial Transplant, 35: 1393–1398.
DiPiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod, V.
(2020). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Eleventh Edition.
http://www.aacp.org/resources/education/cape/Pages/default.aspx
Dussol, B., Moussi-Frances, J., Morange, S., Somma-Delpero, C., Mundler, O., dan
Berland, Y., 2012, Pilot Study Comparing Furosemide and Hydrochlorothiazide
inPatients With Hypertension and Stage 4 or 5 Chronic Kidney Disease, The
Journal of Clinical Hypertension, 14(1)
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/j.1751-7176.2011.00564.x
Esmeray, K., Dizdar, O.S., Erdem, S., Gunal, A.I., 2018, Effect of Strict Volume
Control on Renal Progression and Mortality in Non-DialysisDependent Chronic
Kidney Disease Patients : A Prospective Interventional Study, Med Princ Pract.,
27:420–427.
Ganet-Schoeller M, Ducamp M. Gastrointestinal Disorder. In: Dipiro J,
Schwinghammer T, editors. Pharmacotherapy Handbook. 9th ed. Mc Graw Hill;
2015. p. 251.
Jodoin, K. (2016). The Renal Drug Handbook: The Ultimate Prescribing Guide for
Renal Practitioners, 4th edition. In European Journal of Hospital Pharmacy (Vol.
23, Issue 4). https://doi.org/10.1136/ejhpharm-2016-000883
KDIGO, 2012, Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease,
Journal of The International Society of Nephrology, Vol 2, Issue 4.
Ku, E., Lee, B. J., Wei, J., & Weir, M. R. (2019). Hypertension in CKD: Core
Curriculum 2019. American Journal of Kidney Diseases : The Official Journal of
the National Kidney Foundation, 74(1), 120–131.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2018.12.044
Metlay, J. P., Waterer, G. W., Long, A. C., Anzueto, A., Brozek, J., Crothers, K.,
Cooley, L. A., Dean, N. C., Fine, M. J., Flanders, S. A., Griffin, M. R., Metersky,
M. L., Musher, D. M., Restrepo, M. I., & Whitney, C. G. (2019). Diagnosis and
treatment of adults with community-acquired pneumonia. American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine, 200(7), E45–E67.
https://doi.org/10.1164/rccm.201908-1581ST
PERHI. (2019). Konsensus Hipertensi. 118.
http://www.inash.or.id/upload/event/event_Update_konsensus_2019123191.pdf
PERNEFRI. (2011). Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

12

Anda mungkin juga menyukai