Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP

PPOK EKSASERBASI AKUT

Oleh :
dr. Abdi lesmana

Pembimbing :
dr. Rahmat akbar. dr.desri marlina

RSUD SELASIH
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia rahmat dan
kesempatan Nya lah penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang PPOK EKSASERBASI AKUT
Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk pemenuhan tugas makalah dari laporan
kasus yang berjudul PPOK EKSASERBASI AKUT. Pada makalah ini akan dibahas tentang
pengertian, klasifikasi, patofisiologi dan penatalaksanaan PPOK EKSASERBASI AKUT
Selain itu saya juga sadar bahwa pada makalah ini dapat ditemukan banyak sekali
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya benar-benar menanti kritik dan
saran untuk kemudian dapat saya revisi untuk tulisan selanjutnya.
Di akhir saya berharap makalah sederhana saya ini dapat dimengerti oleh setiap pihak
yang membaca. Saya pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah saya
terdapat kekurangan.

Pelalawan, 10 Februari 2022


Penulis

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ponirin
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : sudah menikah
Agama : islam
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Pangkalan kuras pelalawan
Tanggal masuk RS :6 Februari 2022
No. Rekam Medik : 082762

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan sesak,sesak yang dialami os lebih kurang
2 hari yang lalu dan memberat hari ini. Sesak tidak hilang pada saat os istrahat. Os juga
mengeluhkan demam yg dialami os 2 hari (+), batuk berdahak (+) yg dialami os lebih
kurang 1 bulan ini(+), mual(+),muntah(-),keringat malam (-) BB naik(+),Nafsu makan
(+). Riwayat merokok (+) os mengatakan pada saat muda os perokok aktif ,sehari bisa
menghabiskan 1bungkus rokok. Tapi setelah sakit ini os mengatakan berhenti merokok.
Riwayat Penyakit Sekarang : PPOK eksaserbasi Akut
Riwayat Penyakit Sebelumnya : HT + Bronkitis
Riwayat Penyakit dalam keluarga : Tidak ada
Riwayat Pengobatan Sebelumnya : Tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA

Keadaan umum : Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis
TD : 160/100 mmHg
Nadi : 125 ×/menit
Nafas : 34x/i
Suhu : 39,0derjat celcius
BB : 80 kg
Kepala : Normosephali
Mata : Konjungtiva anemis(-),sklera ikterik(-)
THT : Dalam batas normal
KGB : tidak ada pembesaran kgb
DADA
Paru
Inspeksi :simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : hipersonor(+)
Auskultasi : wheezing (+)
Jantung
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : TDP
Perkusi : TDP
Auskultasi : TDP

ABDOMEN
Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrim (-) hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : TDP
Auskultasi : bising usus(+) N

PUNGGUNG : DBN

Alat kelamin : DBN

Anggota gerak : normal


Kekuatan : 55555/55555 55555/55555
55555/55555 55555/55555

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
● Pemeriksaan darah lengkap
● KGD
● EKG
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL

DARAH LENGKAP
AUTOMATIC

HEMOGLOBIN 12,5 g/dL P:13,0-18,0 W:12,0-


16,0

LEUKOSIT 16.000 /mm3 4.000-11.000

LAJU ENDAP DARAH - Mm/1jam P:0-10 W:0-20

JUMLAH 209.000 /uL 150.000-400.000


TROMBOSIT

HEMATOKRIT 39.0 % P :39.-54 W: 36-47

ERITROSIT 4,46 Juta/mm3 P:4.50-6,50 W:4.10-


5.10

MCV 87.4 fl 80.0-100

MCH 28.0 pg 27.0-32.0

MCHC 32.1 g/dl 32.0-36,0

RDW 14,9 % 10.0-16.5

PDW 17.8 % 12.0-18.0

MPV 4.5 fl 5.0-10.0

HITUNG JENIS
LEUKOSIT

EOSINOFIL 0 % 1-3

BASOFIL 0 % 0-1

NEUTROFIL 78 % 50-70
SEGMEN

LIMFOSIT 20 % 20-40

MONOSIT 2 % 2-8

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAl


GLUKOSA DARAH 102 Mg/dL <140
AD RANDOM

Diagnosa kerja :
Dypsnoe ec susp DD - PPOK
- Bronkitis

Penatalaksanaan :
Terapi:
- 02 2-5 liter/i
- IVFD RL 10 gtt/i
- Inj. Norages 1 amp(k/p)
- Inj. Ranitidine 1 amp/ 8jam
-Inj. Ceftiaxone 1gr/ 12jam
- Bisoprolol 5mg 1x1
- PCT 3x500mg
- Ambroxol 3x1

Anjuran : DL,KGD,EKG
Konsul Dokter Sp.PD

Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad malam
Quo Ad sanactionam : Dubia ad malam
FOLLOW UP
Tanggal 1 februari 2022 S: sesak (+),batuk berdahak P:
(+),demam(+)
- tirah baring
O:
- diet MB
TD :160/100mmHg
-02 2-3 liter/i
HR;125x/i
- IVFD RL 20 gtt/i
RR: 34x/i
- nebul flutin+ fulmicort /8
T: 39,0 C jam
A: PPOK Eksaserbasi akut - inj norages /8jam
- inj cefotaxime 1 gr/8jam
- Acetylsistein 3x200mg
- retaphyl 2 x 300mg
- ambroxol syr 3xCthII

Tanggal 2 februari 2022 S: sesak nafas(+), sakit P:


kepala(+) batuk berdahak(+)
- tirah baring
O:
- diet MB
TD :130/80 mmHg
-02 2-3 liter/i
HR 94 x/i
- IVFD RL 20 gtt/i
RR: 30x/i
- nebul flutin+ fulmicort /8
T: 37,6 jam
Thorax : whiziing(+) - inj norages K/P
A: PPOK Eksaserbasi Akut - inj cefotaxime 1 gr/8jam
- Acetylsistein 3x200mg
- retaphyl 2 x 300mg
- ambroxol syr 3xCthII
- PCT 3x500mg
Tanggal 3 februari 2022 S: sesak nafas berkurang P : terapi lain lanjutkan
(+),batuk berdahak(+)
O:
Sens: CM
TD :120/80 mmHg
HR 82 x/i
RR: 24x/i
T: 36,7
Thorax:whiziing berkurang(+)
A: PPOK Eksaserbasi Akut
Tanggal 4 februari 2022 S: batuk berdahak(+) P: terapi lain lanjutkan
O:
Sens: CM
TD :130/70 mmHg
HR 82 x/i
RR: 24x/i
T: 36,6
Thorax:whiziing berkurang(+)
A: PPOK Eksaserbasi Akut
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) saat ini menjadi salah satu masalah kesehatan
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia terutama pada negara berkembang
seperti Indonesia, Nigeria, Pakistan akibat konsumsi rokok. Prevalensi perokok secara perlahan
menurun pada dunia industri dan meningkat di negara-negara berkembang, khususnya di Asia
dan Afrika. Morbiditas dan mortalitas PPOK bervariasi di seluruh negara, akan tetapi secara
umum berkaitan dengan peningkatan prevalensi merokok. Kebiasaan merokok yang lama
mengakibatkan kerusakan jaringan pernapasan dan kelainan fungsi paru akibatnya saluran napas
membengkak dan terjadi penyempitan saluran napas, kejadian ini menjadi faktor risiko utama
terjadinya penyakit paru obstruktif kronis.
Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan adanya
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel
parsial. Penyakit ini berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap pajanan zat
toksik. Inflamasi kronis menyebabkan perubahan struktural dan obstruksi saluran napas. Hal ini
disebabkan karena ketidakseimbangan antara respon protease dan antiprotease pada paru yang
menyebabkan terjadinya obstruksi parenkim paru secara progresif. Sehingga terjadi penurunan
fungsi paru dan membuat aliran udara terhambat khususnya saat ekspirasi. Hambatan aliran
udara ini dapat disebabkan oleh inflamasi saluran napas kecil (bronkitis kronik) atau kerusakan
parenkim paru (emfisema).
Beberapa faktor risiko pencetus PPOK telah berhasil diidentifikasi, yakni: genetik, usia,
jenis kelamin, polusi udara, merokok, dan paparan akibat pekerjaan. Menurut Global Initiative
for Chronic Obstruktive Lung Disease (GOLD 2014) diagnosis PPOK dapat ditegakkan bila
terdapat gejala: sesak napas, batuk kronis dan sputum produktif. Selain itu GOLD
merekomendasikan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis berupa
spirometri. Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi; edukasi, obat-obatan, terapi oksigen,
ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi.
Prevalensi penderita PPOK di dunia mencapai 10,1 %. Menurut World Health
Organization (WHO) pada tahun 2020 diperkirakan prevalensi PPOK akan meningkat dari
peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 terbanyak di dunia. Data Nasional Center of Health
Statistics, jumlah penderita PPOK di Amerika Serikat tahun 2011 mencapai 15 juta jiwa dan
diprediksi akan menjadi penyebab penyakit kematian ke-3 pada tahun 2030. Sedangkan laporan
lainnya di Kanada pada tahun 2009-2010, penderita PPOK mencapai sekitar 777.200 jiwa.
Prevalensi PPOK di Jepang mencapai 10,9%.
Di Indonesia PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian.
Prevalensi PPOK di Indonesia berkisar 3,7 per 100.000 penduduk dengan perbandingan antara
laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Aceh merupakan salah satu provinsi dengan angka
penderita PPOK tinggi sekitar 4,3 per 100.000 penduduk di atas rata-rata nasional. Berdasarkan
data Kementrian Kesehatan, PPOK masuk dalam 10 penyakit tidak menular penyebab rawat inap
di rumah sakit Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Nisa, jumlah pasien PPOK yang
dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan mencapai 88 orang dan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Husna di RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh, pasien PPOK rawat inap
mencapai 93 orang.
Penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi yaitu perburukan kondisi yang bersifat akut
dengan gejala sesak nafas bertambah, produksi sputum meningkat, serta perubahan warna
sputum. Faktor penyebab eksaserbasi akut diantaranya; infeksi saluran pernapasan, polusi udara,
dan lingkungan. Kejadian ini mengakibatkan peningkatan angka mortalitas pada penderita
PPOK. Pasien PPOK eksaserbasi akut memerlukan perawatan yang intensif berupa rawat inap di
rumah sakit dan terapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit pernapasan umum yang
mempengaruhi lebih dari 10% dari orang dewasa berusia ≥ 40 tahun. Penyakit ini merupakan
kelompok penyakit paru yang di tandai oleh peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi
akibat penyempitan lumen saluran napas bawah dan ditandai dengan gejala berupa batuk
berdahak dan sesak napas. Penyakit ini dapat berupa bronkitis kronik, emfisema atau kedua-
duannya.
Penyakit paru obstruktif kronik menjadi penyebab utama ke-4 kematian di Amerika
Serikat dan Eropa. Selama tahun 1971-2003, sekitar 26.000 orang meninggal akibat PPOK di
Inggris. Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan
adanya hambatan aliran udara di saluran pernapasan yang bersifat progressif non-reversibel
atau reversibel parsial dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel atau gas racun berbahaya terutama disebabkan oleh merokok.

2.2 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa PPOK merupakan penyebab


morbiditas dan mortalitas ke-3 terdepan yang menyebabkan beban sosioekonomi semakin
meningkat di seluruh dunia. Pada 12 negara Asia Pasifik, angka prevalensi PPOK sedang-berat
pada usia 30 tahun keatas, dengan rata-rata 6,3%, dimana Vietnam dengan angka prevalensi
terbesar 6,7% dan angka prevalensi terkecil 3,5% pada Hongkong dan Singapura.

2.3 Faktor Risiko


Adapun faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu:
a. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK pada sebagian besar kasus.
Berdasarkan studi oleh Konet al didapatkan bahwa pasien dengan emfisema berat sekitar 99%
memiliki riwayat merokok yang lama. Kebiasaan merokok menyebabkan perubahan bentuk
dan fungsional jaringan di saluran napas sehingga tidak berfungsi normal.
b. Polusi
Polusi udara dapat mempengaruhi perkembangan fungsi paru. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konsentrasi polusi yang lebih tinggi di udara berhubungan dengan terjadinya
peningkatan risiko batuk, produksi sputum, sesak napas dan berkurangnya fungsi ventilasi.
Paparan partikel polusi dan nitrogen dioksida pada udara berpolusi dikaitkan dengan
gangguan fungsi ventilasi pada orang dewasa dan terhambatnya pertumbuhan paru-paru pada
anak-anak. Pada negara-negara berkembang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi seperti
bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan pemanasan terlibat sebagai faktor
risiko untuk PPOK, terutama pada wanita yang lebih sering terpapar.
c. Faktor genetik
Sebuah penelitan membuktikan bahwa faktor genetik yaitu defisiensi alfa-1 antitripsin
merupakan enzim penetral enzim proteolitik yang dikeluarkan sel-sel inflamasi menjadi faktor
risiko terjadinya PPOK.
d. Infeksi
Angka kejadian infeksi paru masih tinggi seperti Tuberkolosis maupun infeksi paru lainnya
pada negara berkembang. Infeksi paru yang berulang-ulang dalam jangka panjang juga dapat
meningkatkan risiko menderita PPOK.
e. Jenis Kelamin
Prevalensi penderita PPOK lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan
lebih banyak perokok pria dibandingkan dengan wanita.
f. Usia
Pada orang yang memiliki riwayat merokok sampai usia 40 tahun dapat menimbulkan
penurunan fungsi paru dengan cepat dibandingkan yang tidak merokok, umumnya gejala
PPOK dapat muncul pada usia > 60 tahun.

2.4 Patogenesis
Kerusakan struktur paru akibat respon inflamasi terjadi saat pajanan gas beracun seperti
asap rokok yang mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas sehingga membentuk
faktor kemotaktik. Selanjutnya faktor kemotaktik tersebut akan menginduksi infiltrasi sel-sel
hematopoetik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Respon epitel saluran
pernapasan juga berpengaruh terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa peningkatan jumlah
kemokin seperti Interleukin 8 (IL-8), Macrophage Inflamatory Protein-1 α (MIPI-α) dan
Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP).
Sumber oksidan termasuk asap rokok, oksigen reaktif, dan nitrogen yang dilepaskan
dari sel-sel inflamasi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan dari
stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan inaktivasi antiprotease atau stimulasi
produksi mukosa. Peningkatan stres oksidatif pada PPOK stabil dapat berlanjut menjadi PPOK
eksaserbasi.
Inflamasi yang terjadi pada PPOK berkaitan dengan peningkatan makrofag, limfosit T
(CD8+) dan netrofil. Sel-sel inflamasi merangsang perlepasan berbagai mediator LB4, ILA8, dan
Tumor Necrosis Factor (TNF) serta menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara protease
dan antiprotease yang akhirnya mengakibatkan kerusakan struktur paru. Inflamasi umumnya
dimulai dari saluran napas selanjutnya meluas ke parenkim paru hingga akhirnya merusak
struktur vaskular paru.
Ketidakseimbangan protease dan antiprotease yang menjadi penyebab utama inflamasi
kronis pada PPOK dipengaruhi oleh inhalasi gas berbahaya, merokok, stress oksidatif. Hal ini
akan menyebabkan pelepasan beberapa kombinasi protease dan inaktivasi antiprotease. Protease
utama yang terlibat dalam kerusakan paru adalah protease yang diproduksi oleh neutrofil (serin
protease elastase, cathepsin G dan protease 3) dan makrofag (protease sistein cathepsins dan E ,
A , L , dan S) , dan berbagai metalloprotease matriks (MMP-8 , MMP-9 dan MMP-12).
Sedangkan defisiensi alpha-I antitrypsin, sekresi leucoprotease inhibitor, inhibitor jaringan
metalloprotease merupakan antiprotease utama dalam patogenesis emfisema.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dari PPOK meliputi: batuk produktif dan kronis pada musim dingin, batuk
kronik disertai dengan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang banyak, dispnea, nafas
pendek dan cepat (takipnea), anoreksia, penurunan berat badan dan kelemahan, takikardi,
berkeringat serta hipoksia dan sesak dalam dada. Gejala dapat diperburuk oleh faktor-faktor
lingkungan seperti, cuaca dingin dan polusi udara. Pada keadaan lebih lanjut, sesak napas
menjadi lebih berat ketika olahraga ringan seperti berpakaian.
Pada PPOK yang ringan hanya ditemukan mengi pada seluruh lapangan paru sedangkan
pada PPOK yang berat ditemukan tanda berupa napas pendek dan cepat. Sedangkan penggunaan
otot-otot napas tambahan dan ada atau tidaknya pelebaran sela iga pada saat inspirasi serta
mengerucutkan bibir pada saat bernapas umumnya ditemukan pada PPOK berat-sangat berat.

2.6 Diagnosa dan Klasifikasi PPOK

Diagnosa PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan spirometri untuk menentukan diganosa PPOK sesuai derajat penyakit,
sedangkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks dapat menentukan PPOK klinis.
Diagnosis PPOK bergantung pada anamnesis dan temuan pemeriksaan yang tepat. Pada
penderita usia > 35 tahun datang dengan keluhan sesak napas, batuk kronik atau produksi sputum
dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya di perkirakan sebagai suatu
PPOK.
1. Anamnesis
Faktor risiko seperti usia dan riwayat pajanan baik berupa asap rokok, polusi udara maupun
polusi tempat kerja merupakan kausal yang terpenting ditanyakan. Riwayat merokok atau
bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan perlu diperhatikan. Penentuan derajat
berat merokok dapat ditentukan dengan Indeks Brikman (IB), perkalian jumlah rata-rata
batang rokok di hisap sehari dan dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasil
dikelompokkan menjadi derajat ringan (1-200 batang), sedang (201-600), dan berat (> 600).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan peranan yang terpenting untuk menegakkan diagnosis pada
PPOK. Pemeriksaan fisik dapat normal terutama pada pasien dengan PPOK ringan. Tanda
fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan fungsi paru
yang bermakna. Pada inspeksi dapat ditemukan sianosis sentral, bentuk dada barrel chest,
penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga, pursed-lips breathing dan edema tungkai
sebagai tanda mengalami gagal jantung kanan. Perkusi dijumpai hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah serta hepar terdorong pada emfisema dan palpasi fremitus
melemah serta sela iga melebar. Pada auskultasi dijumpai suara napas melemah dan dapat
disertai dengan mengi.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan pengukuran volume paru statik dan dinamik dengan
menggunakan spirometri. Diagnosa PPOK dengan spirometri didapat: FEV1 (Forced
Expired Volume in one second) /FVC (forced expiratory ratio) < 70% penurunan FEV1
obstruksi yang menetap dan progresif.
b. Radiologi
Pada derajat PPOK ringan, gambaran foto dada sebagian besar tidak menunjukkan adanya
kelainan yang nyata, hanya tampak sedikit penambahan gambar corakan bronkovaskuler.
Pada derajat PPOK sedang terlihat sebagian paru yang hiperinflasi atau hiperlusen,
umumnya dilapangan atas atau perikardial dan birateral. Gambaran hiperlusen akan
meliputi seluruh lapangan paru disertai dengan diafragma letak rendah pada derajat PPOK
berat hingga sangat berat.
c. Laboratorium darah rutin
Pemeriksaan laboratorium darah rutin meliputi: hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), leukosit
serta bertujuan melihat adanya timbul polisitemia yang menunjukkan telah terjadi hipoksia
kronik.
d. Analisis gas darah
Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan terutama untuk menilai gagal napas. Apabila
kadar PaO2 menurun dibawah nilai normal akan terjadi insufisiensi pernapasan dan terjadi
kegagalan napas bila PaO2 turun hingga 50 mmHg.
e. Mikrobiologi sputum
Mikrobiologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui
pola kuman serta pemilihan antibiotik yang tepat untuk terapi bila terjadi eksaserbasi.
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri, The Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD 2014) membagi klasifikasi keparahan PPOK menjadi 4 tahap
(tabel 2.1)

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit


menurut GOLD 2014

Tahap Gambaran klinis Faal Paru


Tahap I: Batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi FEV1 /FVC < 70%
PPOK Ringan FEV1≥ 80% prediksi.
tidak sering. Pasien sering tidak menyadari bahwa
faal paru mulai menurun.
Tahap II: Batuk kronis dan produksi sputum menigkat, FEV1 /FVC < 70%/
PPOK Sedang 50% ≤ FEV1 < 80%
serta gejala sesak mulai dirasakan saat aktifitas.
prediksi.
Penderita mulai memeriksakan kesehatannya.
Tahap III: Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa FEV1 /FVC < 70%/
PPOK Berat 30% ≤ FEV1 < 50%
lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering
prediksi.
dan berdampak pada kualitas hidup.
Tahap IV: Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas FEV1 /FVC < 70%
PPOK FEV1 < 30% prediksi,
atau gagal jantung kanan dan ketergantungan
Sangat Berat
atau < 50% prediksi
oksigen. Kualitas hidup pasien memburuk dan
disertai gagal napas
risiko eksaserbasi dapat mengancam nyawa.
kronik.

2.7 Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala obstruksi yang terjadi seminimal
mungkin agar oksigenasi kembali normal. Keadaan ini dilakukan dan dipertahankan untuk
mencegah eksaserbasi atau menghindari perburukan penyakit. Secara umum penatalaksanaan
PPOK meliputi.:

a. Edukasi
Edukasi merupakan hal yang terpenting dalam suatu pengobatan. Edukasi mengenai PPOK
dapat diberikan sejak ditentukan diagnosa dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan baik diberikan pada penderita maupun bagi keluarganya. Edukasi pada penderita
PPOK mencangkup pengetahuan dasar tentang PPOK, obat-obatan, manfaat maupun efek
samping obat, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritan, dan
menciptakan lingkungan yang sehat dengan mencukupi kebutuhan cairan, diet makanan yang
baik serta penyesuaian aktifitas.
b. Obat-obatan
Secara Umum, penatalaksanaan PPOK adalah pemberian obat-obatan. Terapi obat pada
penderita PPOK hanya dapat digunakan untuk mengurangi keluhan dan komplikasi yang
terdiri dari:
1. Bronkodilator, diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator.
a. Golongan antikolinergik, yaitu ipatropium, bromide digunakan pada derajat ringan
sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi mukus
(maksimal 4 kali per hari ).
b. Golongan agonis beta-2, yaitu salbutamol, terbutalin, fenoterol dalam bentuk inhaler
digunakan untuk mengatasi sesak, namun peningkatan jumlah penggunaan dapat
terjadinya eksaserbasi. Oleh sebab itu, sebaiknya digunakan dalam bentuk tablet yang
berefek panjang.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta–2 akan memperkuat efek bronkodilatasi
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Penggunaan obat kombinasi
lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin, yaitu: aminofilin, teofilin digunakan dalam bentuk lepas lambat
sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan
berat. Bentuk tablet atau puyer untuk mengatasi sesak. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
2. Kortikosteroid, terapi kortikosteroid inhalasi hanya diberikan setelah pemeriksaan faal paru
atau PPOK dengan FEV1 < 50% prediksi atau eksaserbasi berulang yang memerlukan
antibiotik atau kostikosteroid oral. Namun pemakaian kortikosteroid jangka panjang tidak
dianjurkan.
3. Antiinflamasi diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif dan digunakan sebagai terapi
jangka panjang dalam bentuk inhalasi. Antiinflamasi berfungsi menekan inflamasi yang
terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
4. Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan yaitu lini I:
amoksisilin, makrolid dan lini II: amoksisilin, asam klavulanat seperti sefalosporin,
kuinolon.
5. Mukolitik diberikan tidak secara rutin, hanya digunakan sebagai pengobatan simptomatik
terhadap beberapa pasien dengan sputum yang purulen. Antitusif diberikan hanya pada
pasien yang memiliki batuk yang sangat mengganggu akan tetapi penggunaan secara rutin
merupakan kontraindikasi.
c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi akan hipoksemia kronik dan progresif sehingga menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel otot maupun organ lainnya. Manfaat pemberian oksigen yaitu:
mengurangi sesak, memperbaiki fungsi neuropsikiatri dan meningkatkan kualiti hidup.
d. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK akibat peningkatan kebutuhan energi yang tidak
tercukupi. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang
dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)
dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat.
e. Rehabilitasi PPOK
Tujuan rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup
penderita PPOK. Sharman menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif terdiri
atas: exercise training, respiratory muscle training, edukasi kesehatan, dan penatalaksanaan
yang terdiri dari fisioterapi, nutrisi, serta psikososial.

2.8 Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah insufisiensi pernapasan atau gagal
napas yang digolongkan menjadi gagal napas kronik dan gagal napas akut. Gagal nafas kronik
terjadi secara bertahap ketika struktur paru mengalami kerusakan secara ireversibel dan ditandai
adanya sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen serta demam dan
penurunan kesadaran. Gagal napas terjadi ketika PaO2 kurang dari 8 kPa (60 mHg) atau PaCO2
lebih dari 7 kPa (55 mmHg).
Selain itu, PPOK juga dapat menyebabkan hipoksia alveolar kronis dan hiperkapnia
yang menetap sehingga menyebabkan penyempitan arteriol paru dan hipertensi pulmonal.
Pneumonia dan pneumotoraks juga dapat muncul sebagai komplikasi dari PPOK. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa inflamasi sistemik pada pasien PPOK menyebabkan
arterosklerosis, peningkatan prevalensi infark miokardium dan gagal jantung kanan (cor
pulmonale). Inflamasi sistemik menyebabkan resistensi insulin sehingga meningkatkan risiko
terjadinya diabetes mellitus. Komplikasi PPOK pada sistem muskuloskleletal ditunjukkan
dengan meningkatnya prevalensi osteoporosis dan fraktur kompresi vertebral.

2.9 Eksaserbasi Akut PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut atau Acute Exacerbation Cronic
Obstructive Pulmonal Disease (AECOPD) adalah perburukan dari gejala PPOK dengan sesak
napas bertambah, produksi sputum meningkat dan perubahan warna sputum. Eksaserbasi akut
dibagi menjadi tiga klasifikasi:
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas > 5
hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi.
Sebagian besar kasus pada PPOK eksaserbasi akut dipicu oleh infeksi saluran pernapasan.
Sekitar 50% dari ini disebabkan oleh bakteri patogen, 30% oleh infeksi virus dan kurang dari
10% oleh bakteri atipikal. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pneumoniae pada derajat PPOK lebih ringan. Moraxella catarrhalis telah
dilaporkan sebagai bakteri patogen lebih umum terisolasi selama eksaserbasi. Pseudomonas
aeruginosa adalah kurang umum dan ditemukan pada pasien dengan keterbatasan aliran udara
yang parah, terutama mereka yang telah diobati dengan antibiotik, dan tidak divaksinasi
influenza. Mycoplasma pneumonia dan pneumonia Chlamydophila bertanggung jawab untuk
kurang dari 10% dari pasien eksaserbasi.
Penelitian oleh Sethi and Murphy membuktikan bahwa virus dapat menyebabkan PPOK
eksaserbasi. Virus yang paling umum yang terkait dengan eksaserbasi PPOK adalah
rhinoviruses, namun pada keadaan PPOK eksaserbasi memerlukan rawat inap umumnya
disebabkan virus influenza.
Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut merupakan proses lanjutan dari inflamasi pada
saluran pernapasan penderita PPOK yang terkait dengan peningkatan konsentrasi mediator
tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, dan peningkatan biomarker stres oksidatif. Pada
keadaan eksaserbasi terdapat peningkatan neutrofil pada sekresi saluran napas selama
eksaserbasi. Hal ini juga berkaitan dengan perubahan sputum yang purulen. Hasil degranulasi
netrofil akibat pelepasan elastase dan proteinase yang lain diakibatkan kerusakan dari epitel
mengakibatkan penurunan aktifitas silia, perangsang sekresi mukus oleh sel goblet meningkatkan
permeabilitas mukosa bronkial dan mengakibatkan edema saluran napas dan eksudasi protein ke
dalam saluran napas. Perubahan patologi ini terjadi terutama pada saluran napas kecil sampai
respiratori terminalis sehingga mempengaruhi aliran udara yang mengarah ke peningkatan sesak
napas, serta sekresi sputum purulen.

Penatalaksanaan pada penderita PPOK eksaserbasi yaitu pemberian obat-obatan yang


maksimal seperti: bronkodilator, kortikosteroid sistemik, antibiotik, oksigen, dan ventilasi
tekanan positif non-invasif adalah tindakan terapi yang paling umum pada PPOK eksaserbasi.
Prinsip penatalaksanaa PPOK eksaserbasi adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan
mencegah terjadinya kematian.
Bronkodilator sebagai landasan pengobatan PPOK eksaserbasi adalah short-acting β2-
agonist. Penambahan antikolinergik umumnya direkomendasikan bila respon dari obat tersebut
belum tercapai. Sebaliknya, penggunaan methylxanthines (seperti teofilin atau aminofilin) saat
ini dianggap lini kedua terapi intravena. Kortikosteroid direkomendasikan sebagai tambahan
terapi penanganan PPOK eksaserbasi karena penelitian menunjukkan bahwa kortikosteroid
sistemik pada PPOK eksaserbasi mempercepat pemulihan FEV1, menurunkan lamanya rawat
inap di rumah sakit dan meningkatkan hasil klinis. Efek pengobatan kortokosteroid terkuat
terjadi dalam 72 jam pertama dan setelah itu menunjukkan kurangnya manfaat lebih dari 5
hari masa pengobatan.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman dan komposisi kombinasi antibiotik
yang efektif. Antibiotik harus diberikan kepada:
a. Pasien eksaserbasi yang memiliki tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan sesak, volume
sputum dan sputum menjadi semakin purulen.
b. Pasien eksaserbasi yang memiliki dua gejala kardinal, bila peningkatan purulensi merupakan
salah satu dari dua gejala tersebut.
c. Pasien eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Oksigen merupakan terapi pertama dan utama pada PPOK eksaserbasi. Tujuan terapi
oksigen yaitu: memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. Bila
terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure
Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil digunakan dengan cara intubasi. Penggunaan ventilasi
mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi mortalitas dan morbiditas, dan
memperbaiki gejala.
BAB III
KESIMPULAN

PPOK merupakan penyakit kronik progresif dengan karakteristik yang ditandai dengan
terhambatnya jalan napas yang ireversibel. PPOK merupakan penyakit dengan angka kejadian
yang tinggi dan turut menyumbang angka kematian di dunia. Asap rokok, paparan debu, infeksi
respirasi, polusi udara, paparan rokok pasif merupakan factor risiko yang berperan penting pada
terjadinya proses PPOK.
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
lab, dan pemeriksaan penunjang seperti spirometri dan radiologi. Pada pasien ini terkena PPOK
karena adanya riwayat merokok. Penatalaksanaan penyakit ini meliputi penanganan PPOK
secara umum, penanganan PPOK pada keadaan stabil, dan penanganan PPOK fase eksaserbasi
akut. Pasien yang telah kembali kerumahnya dapat ditangani dengan penanganan PPOK pada
keadaan stabil sampai keluhan berkurang. Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan
merupakan intervensi awal yang baik dalam menanggulangi tingginya angka kejadian PPOK.
Oleh karena itu, pencegahan berupa penelusuran faktor risiko disertai edukasi dan informasi
dalam meminimalisir faktor risiko diharapkan dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas
pada penyakit ini.

Anda mungkin juga menyukai