LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 37 thn
Agama : Islam
Anamnesa
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, demam muncul
tiba-tiba dengan suhu paling tinggi 39C. Demam dirasakan sepanjang hari, panas turun apabila
pasien meminum obat penurun panas. Demam disertai dengan rasa sakit disekitar mata seperti
ditekan. Keluhan lain badan terasa lemas, mual - muntah 1x isi makanan, dan nafsu makan
berkurang. Tidak ada keluhan mimisan, gusi berdarah, pilek, batuk, dan nyeri tenggorokan.
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah mengkonsumsi obat paracetamol, namun tidak membaik. Riwayat alergi
golongan gin.
Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 00 x/menit, teratur, kuat angkat
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36oC
SaO2 : 99%
BB : 57 kg
Pemeriksaan generalis
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Thorax : Bentuk dada simetris (+), gerak napas simetris (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SD ves/ves, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : datar, supel, BU(+) 8x/menit,
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT<2” ptekie dan rash tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 26/2/2022
Hematologi Darah
Darah Lengkap Hasil Satuan Nilai Normal
Hemaglobin 10.5 g/dL 12.0-16.0
Leukosit 2.760 ribu/μL 4.000-10.000
Eritrosit 3.9 juta/μL 4.2-5.2
Hematokrit 31 % 37-47
Indeks Eritrosit
MCV 80 fL 80-92
MCH 27 Pg 27-31
MCHC 34 g/dL 32-36
Trombosit 127 ribu/μL 150-400
Hitung Jenis
Basofil 1 % 0-1
Eosinofil 0 % 1-3
Neutrofil 74 % 52-76
Limfosit 13 % 20-40
Total limfosit 0.36 Ribu/ul 1.5-3.5
Monosit 12 % 2-8
Neutrofil Limfosit 5.63
Ratio
Laju Endap Darah 15 mm/jam <15
CRP Kuantitatif 62.4 mg/l <10
Kimia Klinik
GDS 121 mg/dL 70-200
SGOT 30 U/L <35
SGPT 40 U/L <41
Ureum 23 mg/dL 15-40
Creatinin 0.9 mg/Dl 0.9-1.3
Elektrolit
Na 147 mmol/L 135-147
Kalium 4.2 mmol/L 3.5-5.0
Clorida 110 mmol/L 94-111
IMUNOSEROLOGI
Antigen SARS-CoV-2
Rapid Covid-19 Ag : Non reaktif
NS1 antigen : Positif
Diagnosis Kerja
Dengue Hemorrge fever H-3
Planning IGD
1. Pemeriksaan Penunjang : RO thorax, EKG, Konsul SpPD
2. Terapi IGD
- IVFD RL 500ml+NB
- Sanmol drip 1 gr
Monitoring : keadaan umum, vital sign, dan gejala
3. Edukasi : Menjelaskan kepada keluarga pasien diagnosis sementara dan
pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan
4. Konsultasi : Konsul dokter spesialis penyakit dalam
Radiologi
Xray Thorax AP (06/01/2021)
Kesan : Tak Tampak Kelainan Radiologis pada Cor dan pulmo
Follow up di Ruangan
(Hari rawat ke 1 ) 24/02/2022
S: demam naik turun, sakit kepala, mual +
O: KU tampak sakit sedang, Kesadaran: CM
TD 110/80 mmHg, HR : 90 x/mnt, RR : 20x/mnt, T : 36,8°C
Mata : CA -/-, SI -/-, cekung -/-
Thoraks : cor/pulmo dbn
Abdomen : datar, BU (+) 8 x/ menit, supel
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2 detik, tidak tampak ptekie maupun rash.
H2TL :10.9/2390/32/75rb
A: DHF hari ke 4
P:
- RL 500cc/8jam
- Inj pantprazole 2x1 ampul
- Inj. Ondansetron 2x4mg
- Theragran M 1x1 PO
2.1. Pendahuluan
Demam dengue adalah penyakit demam yang disebabkan oleh infeksi dengan salah satu
dari empat virus dengue (DENV) yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopticus dan ditandai dengan trias dengue berupa demam yang tinggi, ruam dan nyeri
kepala. Pada Demam Berdarah Dengue terjadi pembesaran plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.1
Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, kasus DBD telah menyebar dan meningkat
jumlahnya, dari hanya 2 provinsi dan 2 kota menjadi 32 provinsi dan di 382 kota, dari jumlah
kasus hanya 58 menjadi 158.912 kasus. Angka insiden 0.05 per 100.000 penduduk pada tahun
1968 menjadi 68.22 per 100 penduduk pada tahun 2009. Pada tahun 2009 provinsi dengan
angka insiden tertinggi adalah DKI Jakarta (313 kasus per 100 000 penduduk), dan Nusa
Tenggara Timur merupakan provinsi dengan angka insiden terendah ( 8 kasus per 100 000
penduduk). Terjadi perubahan kelompok umur yang terserang penyakit DBD, menjadi
seluruh kelompok umur, terutama pada usia reproduktif. Risiko terkena DBD pada laki-laki
dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. 1
Angka kematian nasional pada tahun 2009 adalah 0.89% telah berhasil mencapai target
(dibawah 1%), namun sebagian besar provinsi (61.3 %) belum mencapai target. Laporan
kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di rumah sakit dari tahun 2004-2007
masih belum dapat dianalisis dan diinterpretasi. Pada banyak daerah tropis dan subtropics,
kasus cenderung meningkat pada musim penghujan (Desember-Maret) dan menurun pada
musim kemarau (Juni-September), walaupun setiap daerah mempunyai variasi musim sesuai
regionalnya.2
Gambar 1. Angka Insidensi DBD per 100.000 penduduk Tahun 2005-2009.2
2.2. Etiologi
2.2.1 Virus
Virus dengue merupakan anggota dari genus flavivirus dan family Flaviviridae. Virus
yang berukuran 50 nm ini memiliki genome RNA satu rantai. Virionny ateridir dari
nucleocapsod dengan kubik simetrik yang ditutup oleh laposan lipoprotein. Genome dari
virus dengue memiliki kepanjangan 11 644 nukleotide, dan terdiri dari tiga gen protein
struktudal yang mengkodekan nucleorapid atau gen dari core protein (C), membrane-
associtaed proten (M), envelope protein (E), dan 7 protein non-struktural (NS1, NS2a, NS2b,
NS4a, NS4b, dan NS5). Dari ketujuh protein non-srtuktural ini, envelope glycoprotein, NS1,
memiliki kepentingan dalam patologikal dan diagnostic. NS1 berukuran 45 kDa dan memiliki
asosiasi dengan haemaglutinasi viral dan aktivitas neutralisasi.4
Virus dengue membentuk kompleks yang jelas dalam genus flavivirus berdasarkan
karakterikrik antigenic dan biological. Terdapat 4 serotipe virus, yang dikenal sebagai
DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Infeksi dengan salah satu derotipe ini
menyebabkan imunitas seumur hidup pada serotipe virus tersebut. Meskipun empat serotipe
ini mirip secara antigenik, mereka berbeda dalam mendapatkan perlindungan untuk beberapa
bulan setelah infeksi salah satu dari mereka. Infeksu sekunder dengan serotipe yang berbeda
atau infeksi multiple dengan serotipe yang berbeda dapat berujung pada dengue dengan
kondisi yang lebih parah (DBD).
Terdapat variasi genetic pada setiap serotipe secara phylogenetic yang disebut juga
“sub-tipe) atau “genotype”. Sekarang, diidentifikasikan 3 subtipe untuk DENV-1, 6 subtipe
untuk DENV-2, 4 subtipe untuk DENV-3 dan 4 subtipe untuk DENV-4.4 Semua 4 serotipe
virus dengue ini diasosiasikan dengan epidemik dari demam berdarah dengue dengan tingkat
keparahan yang bervariasi.
2.2.2 Vektor
Aedes (Stegmyia) aegypti (Ae. Aegypti) dan Aedes (Stegomyia) albopticus (Ae.
Albopticus) merupakan 2 vektor dengue yang paling penting.
• Aedes (Stegomyia) aegypti
Nyamuk Aedes (Stegmyia) aegypti (Ae. Aegypti) berorigin dari Afrika, dimana spesien
ini berkembang biak di dalam hutan. Pada tahap selanjutnya, spesies ini beradaptasi pada
lingkungan peridomestik dengan berkembang biak di penampungan air di daerah afrika.
Penukaran budak di seluruh dunia pada abad ke 17th dan 19th mekanisme untuk spesies ini
menyebar ke Asia Tenggara. Pada tahin 1800, spesies ini menetap pada kota-kota tropis di
seluruh dunia. Nyamuk ini hidup di lingkungan perkotaan dan berkembang biak seringnya di
wadah yang dibentuk manusia. Lain dari nyamuk lainnya, nyamuk Aedes melakukan kegiatan
menyengatnya di pagi – siang hari.; tertinggi pada pagi dan di sore hari menjelang senja.2
• Aedes (Stegomyia) albopticus
2.2.3 Penjamu
Virus dengue menginfeksi orang-orang disegala usia dan kedua jenis kelamin. Infeksi
dengue sekunder merupakan faktor risiko dari DBD, termasuk antibody yang didapat secara
pasif dari bayi. Faktor risiko yang paling penting adalah perjalanan ke daerah endemik.
Migrasi seorang terinfeksi selama viremia ke daerah non-endemik dapat menyebabkan
demam berdarah ke daerah itu. Penyebaran geografis DBD telah dilaporkan terjadi terutama
oleh orang-orang yang berpergian dari daerah endemik ke daerah non-endemil. Penting untuk
diingat bahwa demam lebih dari 2 minggu setelah perjalanan bukan merupakan infeksi
dengue.5
Inkubasi virus dengue adalah 4 – 10 haro. Seye;ah masa inkubasi, virus dengue
menyebabkan spektrum penyakit dari asimptomatik menjadi subklinis. Saat virus dengue
masuk ke dalam darah, respon imun humoral dan seluler melawan virus ini dengan
membentuk antibodi dan mengaktifkan limfosit CD4+ dan CD 8+. Seseorang dengan demam
dengie mampu menularkan virus selama 4-5 hari (maksimum 12 hari). Setelah masa inkubasi
4 – 10 hari, nyamuk yang terinfeksi dapat menularkan virus selama sisa hidupnya ( 2 minggu
sampai 1 bulan). Ae. albopictus lebih toleran terhadap dingin daripada Ae. aegypti, sehingga
dapat bertahan dan menularkan virus di daerah yang lebih beriklim di Amerika Serikat dan
Eropa.7
Dengue juga dapat ditularkan secara nosocomial yaitu melalui produk darah, cidera
jarum suntik, dan secara vertical dari ibu ke anak. Transmisi secara vertical dapat dicurigat
ketika ibu terkenan dengue dalam 10 hari sebelum persalinan (termasuk onset pada hari
persalinan). Penyakit muncul pada bayi baru lahir hingga 11 hari setelah lahir.7,8 Penularan
virus terdiri dari dua pola yakni epidemic dengue dan hiperendemik dengue. Penularan
demam dengue secara epidemik terjadi ketika virus dengue dimasukkan ke suatu daerah
sebagai kejadian terisolasi yang melibatkan satu jenis virus. Penularan demam dengue
hiperendemik ditandai dengan sirkulasi terus-menerus dari berbagai serotipe virus di area di
mana kumpulan host yang rentan dan vektor yang kompeten (dengan atau tanpa variasi
musiman) selalu ada. Hiperendemisitas merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap
terjadinya DBD.4
Berikut beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian Demam Berdarah Dengue:9
- Usia
Risiko DBD tampak menurun seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 11
tahun. Selama epidemi DBD 1981 di Kuba, usia modal dari kasus dan kematian DBD
adalah 4 tahun, meskipun frekuensi infeksi DEN-2 sekunder serupa pada mereka yang
berusia 4 hingga 40 tahun. Populasi spesifik yang berisiko lebih tinggi untuk DBD di
daerah endemis adalah bayi, terutama mereka yang berusia antara 6 dan 12 bulan.
Anak-anak ini memperoleh antibodi spesifik virus dengue secara transplasenta dan
menjadi rentan terhadap infeksi virus dengue primer ketika tingkat antibodi menurun
di bawah ambang batas netralisasi.
- Faktor virulens
DBD dapat terjadi selama infeksi dengan salah satu dari empat serotipe demam
dengue; beberapa studi prospektif telah menyarankan bahwa risiko tertinggi dengan
virus DEN-2. Analisis genetik virus dengue yang diisolasi dari belahan bumi Barat
sangat menunjukkan bahwa DBD hanya terjadi selama infeksi dengan virus yang
masuk ke dalam genotipe spesifik dalam setiap serotip dengue
- Infeksi Sekunder Dengue
Berbagai studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa risiko penyakit parah (DBD
dan DSS) secara signifikan lebih tinggi selama infeksi virus dengue sekunder daripada
selama infeksi primer. Meningkatnya risiko DBD pada infeksi virus dengue sekunder
dirasakan mencerminkan perbedaan dalam respon imun antara infeksi virus dengue
primer dan sekunder yang dijelaskan di atas: peningkatan infeksi yang tergantung pada
antibodi, peningkatan pembentukan kompleks imun, dan / atau respon limfosit T yang
dipercepat.
2.4 Patogenesis
2.4.1 Paparan pejamu terhadap virus
Pejamu mendapatkan virus dengue dari gigitan nyamuk Aedes betina yang terinfeksi.
Betina membutuhkan makanan darah sebagai sumber protein untuk perkembangan sel telur.
Nyamuk Aedes betina mencari makan pada siang hari. Pada nyamuk Aedes Aegypti,
makanan darah diperlukan beberapa kali untuk menyelesaikan sati siklus gonotopik.
Sehingga menyebabkan mereka bergerak untuk menyelesaikan makan pada orang lain. Tidak
jarang, seluruh keluarga mengalami infeksi dalam periode 24 hingga 36 jam, dari gigitan
nyamuk yang terinfeksi tunggal.4
Nyamuk Aedes aegypti terinfeksi melalui pengisapan darah dari orang yang sakit dan dapat
menularkan virus dengue kepada orang lain, baik secara langsung (setelah menggigit orang
dalam fase viremia), maupun secara tidak langsung (setelah melewati masa inkubasi dalam
tubuhnya/extrinsic incubation period). Masa inkubasi dalam tubuh nyamuk antara 7-14 hari
dan virus bereplikasi dalam jaringan midgut nyamuk, kemudian menyebar melalui hemolymph
ke jaringan lain, seperti trakea, lemak tubuh, dan kelenjar ludah. Titer virus tertinggi dalam
midgut didapatkan pada 7-10 hari setelah infeksi, sedangkan abdomen terjadi antara 7-17 hari,
dan pada kelenjar ludah setelah 12-18 hari. Masa inkubasi pada tubuh manusia (intrinsic
incubation period) adalah antara 4-6 hari.10 Saat ini, virus bereplikasi dalam sel dendritik yang
berdekatan dengan gigitan, juga menginfeksi makrofag dan limfosit, dan akhirnya masuk ke
aliran darah. Sel dendritik (DC) adalah sel penyaji antigen yang merupakan bagian integral
untuk menginduksi suatu kekebalan tubuh tanggapan.11 Manusia bersifat infektif hanya pada
saat viremia saja (5-7 hari), tetapi nyamuk dapat bersifat infektif selama hidupnya dan terus
menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah.
2.5.2 Siklus Replikasi Virus Dengue
Replikasi virus melibatkan langkah-langkah berikut12:
• Masuk ke sitoplasma
Pengikatan virion dengue ke sel, yang dimediasi oleh envelope virus utama (E) glikoprotein,
sangat penting untuk infektivitas. Penentuan struktur tiga dimensi dari glikoprotein Dengue E
dan virion yang utuh telah memfasilitasi pemahaman proses ini. Virus dengue mengikat
melalui E glikoprotein ke reseptor virus pada permukaan sel, yang mungkin termasuk heparan
sulfat atau lektin seperti DC-SIGN dan CLEC5A; mereka juga dapat berikatan dengan reseptor
imunoglobulin permukaan sel dengan adanya antibodi terhadap E glikoprotein atau protein
prekursor membran (pra-M).12
Setelah fusi membran virus dan sel dalam vesikula endositik yang diasamkan, RNA virus
memasuki sitoplasma. Protein virus kemudian diterjemahkan langsung dari RNA virus sebagai
poliprotein tunggal, yang dibelah untuk menghasilkan tiga protein struktural dan tujuh protein
nonstruktural. Pembelahan beberapa protein virus membutuhkan protease virus fungsional
yang dikodekan dalam protein NS3 non-struktural. Protein NS5 nonstruktural adalah viral
RNA-dependent RNA polimerase, yang berkumpul dengan beberapa protein virus lain dan
beberapa protein inang untuk membentuk kompleks replikasi. Kompleks ini menyalin RNA
virus untuk menghasilkan RNA viral untai negatif, yang berfungsi sebagai templat untuk
produksi RNA genomik virus.
Virus Dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan empat serotip (DEN 1, 2, 3, 4). Terdiri
dari genom RNA stranded yang dikelilingi oleh nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam
nukleat untuk bereplikasi, sehingga mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus
untuk mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus berperan melalui
kemampuan virus untuk : a. Menginfeksi lebih banyak sel, b. Membentuk virus progenik, c.
Menyebabkan reaksi inflamasi hebat, d. Menghindari respon imun mekanisme efektor.
Penelitian terakhir memperkirakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan virulensi virus dalam
hal kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target. Perbedaan manifestasi klinis demam
dengue, DBD dan Dengue Syok syndrome mungkin disebabkan oleh varian-varian virus
dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda.
2.5.3 Imunopatogenesis pada Virus Dengue
Sistem imun tubuh terlibat dalam patogenesis DBD karena kecenderungan untuk menyebabkan
DBD dengan infeksi sekunder. infeksi sekunder oleh virus yang heterologous (secondary
heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya
dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Antibodi heterolog yang telah
ada sebelumnya akan mengenali virus lain yang telah menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membrane sel
leukosit, terutama makrofag. Antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga
mengenai antibody dependent enhancement (ADE)13, yaitu suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi sekunder pada replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear yaitu
terbentuknya komplek imun dengan virus yang berkadar antibodi rendah dan bersifat subnetral
dari infeksi primer. Komplek imun melekat pada reseptor sel mononukleus fagosit (terutama
makrofag) untuk mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan multiplikasi. Kejadian
ini menimbulkan viremia yang lebih hebat dan semakin banyak sel makrofag yang terkena.
Sedangkan respon pada infeksi tersebut terjadi sekresi mediator vasoaktif yang mengakibatkan
terjadinya keadaan hipovolemia dan syok.
Mekanisme sistem imun innate yang terdiri dari jalur komplemen dan sel NK serta mekanusme
imun yang diperantarai mekanisme sel humoral yang diaktifkan sebagai respons terhadap
stimulasi antigenic terlibat dalam manifestasi klinis. Aktivasi komplemen dan juga
permeabilitas vaskuler juga dipengaruhi produk viral seperti NS1. Mekanisme imun yang
berbeda dalam pembentukan antobidi yang diciptakan dari replikasi virus berujung pada respon
sitokin yang berlebihan dan berdampak pada permeabilitas vaskuler.14
Antibodi yang diproduksi selama infeksi DENV dapat mengalami reaksi silang dengan
beberapa antigen diri, namun hubungan antara produksi antibodi dengan infeksi sekunder
DENV masih belum diketahui. Sebagai contoh, antibodi yang mengenali epitop linear pada
protein E diketahui dapat melekat dengan plasminogen dan menghambat aktivitas plasmin.
Adanya serum antibodi yang spesifik terhadap NS1 juga berhubungan dengan keparahan
infeksi ini. Reaksi silang dari anti NS1 dengan sel hati, sel endotel dan platelet dapat menjadi
dasar observasi ini. Antibodi anti NS1 yang bereaksi silang dengan sel endotel dapat
merangsang sel untuk menghasilkan nitrit oksida dan mengalami apoptosis. Meskipun adanya
nitrit oksida diketahui dapat menghambat replikasi DENV, adanya produksi berlebihan dari
hal ini juga dapat menyebabkan kerusakan sel. Sebagai tambahan, antibodi anti NS1 juga dapat
bereaksi silang dengan platelet sehingga dapat menyebabkan trombositopenia dan perdarahan
pada tikus percobaan sehingga adanya reaksi silang antara platelet dan antibodi ini adalah
patogenik.14
Dalam model infeksi virus akut, adanya antibodi baik dengan efek netralisasi maupun non
netralisasi memiliki hubungan dengan kontrol, eliminasi dan proteksi. Infeksi dengan satu
serotipe dengue memunculkan kekebalan terhadap serotipe itu namun tidak memberikan
imunitas jangka panjang pada serotipe virus lainnya. Namun, peran antibodi yang spesifik
terhadap virus tertentu menunjukkan adanya peningkatan infeksi dalam sel, sebuah fenomena
yang tidak terbatas pada patogen viral saja. Infeksi berikutnya dengan serotipe yang berbeda
menghasilkan pengikatan virus baru dengan antibody reaktif nonneutralisasi dari infeksi
sebelumnya dimana akan memfasilitasi penyerapan oleh fagosit mononuclear sehingga
mengamplifikasi replikasi virus. Peningkaan dari viral load ini mengaktikan kaskade
imunipatogenik yang meningkarkan permeabilitas mikrovaskuler sesaat. Hal ini juga terjadi
pada infeksi DENV dimana dari data epidemiologi yang ada menunjukkan adanya
peningkatan risiko terjadinya demam berdarah dengue maupun sindrom syok dengue setelah
infeksi DENV sekunder. Antibodi neutralizer merupakan faktor kunci dalam etiopatogenesis
penyakit ini. Namun, respon imun seluler juga penting. Telah dibuktikan bahwa limfosit T
memori setelah infeksi primer meliputi serotipe-spesifik dan serotipe cross-reactive.15
Sitokin yang dapat menyebabkan kebocoran plasma seperti interferon gamma, IL-2, dan TNF-
α meningkat pada kasus DBD. Interferon gamma juga meningkatkan penyerapan partikel
dengue oleh sel target melalui peningkatan reseptor sel fc. Sitokin lain seperti IL-6, IL-8 dan
IL-10 juga akan meningkat. Protein 22-25 kDa telah dikaitkan dengan pathogenesis DBD.
Faktor sitotoksik ini dapat menginduksi permeabilitas kapirler pada mencit, dan dapat
memperlihatkan seluruh lesi patologikal yang terdapat pada manusia, dan telah terdeteksi
dalam serum pasien DBD.16-17
Sebagian besar investigasi berfokus pada hipotesis bahwa faktor-faktor yang bersirkulasi
menginduksi peningkatan sementara permeabilitas kapiler. Beberapa mediator kemungkinan
terlibat secara in vivo, dan interaksi antara berbagai faktor ini telah ditunjukkan pada hewan
percobaan. Nitric oxide telah dikaitkan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
demam berdarah yang parah dalam dua studi prospektif di Asia. Namun, mediator yang paling
penting masih dianggap termasuk faktor nekrosis tumor (TNF)-alpha, interferon (IFN) -
gamma, interleukin (IL) -2, IL-8, faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), dan
komplemen. Sumber-sumber sitokin ini telah diusulkan untuk memasukkan monosit yang
terinfeksi virus, sel dendritik dan sel mast, trombosit teraktivasi, dan limfosit CD4 dan CD8
spesifik virus dengue.16
Kebocoran plasma, karena peningkatan permeabilitas kapiler, adalah fitur utama dari demam
berdarah dengue (DBD) tetapi tidak ada dalam demam berdarah (DD). Kebocoran plasma
terjadi karena peningkatan difus permeabilitas kapiler yang bermanifestasi berupa
hemokonsentrasi, efusi pleura, atau ascites. Hal ini biasanya muncul pada hari ke 3-7 penyakit.
Terdapat gangguan sementara pada fungsi lapisan glikokaliks endotel. Kebocoran plasma akan
resolusi dalam 1-2 hari pada pasien yang menerima resusitasi cairan yang memadai.18
Leukopenia dan trombositopenia pada awalnya disebabkan oleh penekaanan sumsum tulang
selama fase viremia (5-7 hari). Studi in vitro menunjukkan bahwa virus dengue menginfeksi
sel stroma sumsum tulang manusia dan sel progenitor hematopoietik dan menghambat
pertumbuhan sel progenitor Trombositopenia progresig dari defeverensensi dari kerusakan
platelet yang di mediasi oleh imun. Kompleks antibodi-virus telah terdeteksi pada permukaaan
trombosit pada pasien DBD yang menunujukan peran penghancuran trombosit yang di mediasi
oleh kekebalan tubuh. Adhesi trombosit yang teraugmentasi pada sel endotel vaskuler dari
pelepasan faktor platelet-activating oleh monosit dengan infeksi sekunder heterolog juga
berkontribusi terhadap trombositopenia.19 Trombositopenia berkorelasi buruk dengan
manifestasi perdarahan. Perdarahan spontan jarang terjadi bahkan jumlah dibawah 100.000
cells/mm. Jumlah dibawah 100.000 dikaitkan dengan tingkat keparahan kebocoran vaskuler.
Heparan sulfat membentuk bagian intergral dari glikolaks yang bila rusak oleh respon sitokin
pada awal DBD akan dilepaskan ke dalam sirkulasi dan bertindak sebagai aintokoagulan yang
dapat menjelaskan perpanjangan APTT. Gangguan kedua indeks hemostatic ini jelas tidak
mungkin meyebabkan perdarahan spontan. Perdarahan dipicu oleh trauma dalam pengaturan
koagulopati ini.
Patogenesis perdarahan pada DBD masih belum jelas meskipun tampak gangguan koagulasi.
Manifestasi klinis hemoragik berkisar dari tes tourniquet yang positif, petekie, dan ekimosis
hingga epistaksis, dan perdarahan gusi hingga perdarahan saluran cerna.19 DBD fatal dapat
dikaitkan dengan perdarahan petekie difus yang melibatkan lambung, kulit, jantung, usus, dan
paru-paru. Trombositopenia adalah temuan yang konsisten, sementara prolonged
tromboplastin time dan penurunan konsentrasi fibrinogen anadalah buktu abnormalitas
hemostatic pada perjalanan awal penyakit. Abnormalitas hematological ini dikorelasikan lebih
baik dengan pejalanan penyakit dan tingkat keparahan kebocoran plasma dibandingkan
manfestasi klinis hemoragik
Infeksi dengue merupakan penyakit yang bersifat sistemik dan dinamis. Infeksi
dengue mempunyai spektrum klinis yang luas meliputi manifestasi klinis yang berat dan tidak
berat. Setelah massa inkubasi, infeksi dengue dibagi menjadi tiga fase yaitu: fase demam,
fase kritis dan fase penyembuhan20.
1. Fase Demam
Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba (>38,5oC). Fase demam akut ini biasanya
terjadi selama 2-7 hari dan sering disertai dengan muka kemerahan, eritema kulit, nyeri
seluruh badan, myalgia, arthtalgia dan nyeri kepala. Beberapa pasien mengalami nyeri
tenggorokan, penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Cukup sulit untuk membedakan
dengan infeksi virus lainnya. Tes tourniquet positif (≥10 bintik) pada fase ini memperbesar
kecurigaan infeksi dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan
mukosa dapat terjadi. Perdarahan vagina yang masif dan perdarahan gastrointestinal dapat
terjadi pada fase ini namun jarang terjadi. Dapat pula terjadi pembesaran hepar. febris Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia, leukopenia, dan peningkatan
aminotransferase hepar yang reversibel. Karena pada fase ini masih terjadi viremia, dapat
ditemukan NS1 positif pada hari pertama-kedua demam
2. Fase Kritis
Pada hari ke 3-7, ketika suhu menurun pada 37,5-38oC, peningkatan permeabilitas
kapiler yang secara peralel terhadap kenaikan hematokrit dapat terjadi. Hal ini
menandakan dimulainya fase kritis. Biasanya kebocoran plasma secara klinik terjadi
selama 24-48 jam. Leukopeni yang progresif diikuti dengan penurunan angka
trombosit biasanya mendahului terjadinya kebocoran plasma. Dalam keadaan seperti
ini pasien yang tidak mengalami peningkatan permeabilitas kapiler keadaan
umumnya akan membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan
permeabilitas kapiler justru akan memburuk keadaannya karena kebocoran plasma.
Derajat kebocoran plasma bervariasi mulai dari kebocoran plasma minimal sampai
terjadi efusi pleura dan ascites. Peningkatan kadar hematokrit dari nilai awal dapat
digunakan untuk melihat keparahan dari kebocoran plasma. Bila terjadi kebocoran
plasma plasma yang berat dapat terjadi syok hipovolemik. Bila syok terjadi
berkepanjangan maka organ tubuh akan mengalami hipoperfusi sehingga dapat
menyebabkan kegagalan organ, acidosis metabolik dan disseminated intravascular
coagulation. Selain syok dapat pula terjadi gangguan organ berat yang lain misalnya
hepatitis berat, encephalitis atau myocarditis serta perdarahan berat.
3. Fase Penyembuhan
Bila pasien dapat bertahan pada masa kritis maka akan terjadi reabsorbsi cairan
ekstravaskular secara bertahap selama 48-72 jam. Keadaan umum akan membaik,
nafsu makan kembali baik, gejala gastrointestinal mereda, hemodinamik stabil.
Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil, dan diuresis kembali lancar. Beberapa pasien mengalami ruam
eritematosa berkonfluens dengan area kecil kulit normal; digambarkan sebagai “pulau
putih di lautan merah”. Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah akibat efek dilusi
dari cairan reabsorpsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah demam turun,
namun pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih lambat daripada jumlah sel darah
putih. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan asites masif, edema paru atau
gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan
2.7. Diagnosis
Diagnosis infeksi virus dengue (DENV) harus dicurigai pada individu yang demam dengan
manifestasi klinis yang khas (demam tinggi akut sekitar 39˚C sampai 40˚C dapat disertai
dengan mengigil dan terus menerus, berpola bifasik dan terjadi 5-7 hari secara umum; sakit
kepala; mual; muntah; nyeri retro-orbital; mialgia; artralgia; ruam; manifestasi hemoragik) dan
relevan pajanan epidemiologis (tinggal dalam atau melakukan perjalanan dalam dua minggu
terakhir ke daerah dengan penularan nyamuk melalui infeksi virus dengue). Pada demam
dengue didapatkan trias sindrom yaitu demam tinggi, nyeri anggota badan dan timbulnya ruam.
Pengenalan akan tanda-tanda seperti muntah persisten, nyeri perut, lemas atau gelisah dan
oligouri sangat penting untuk mencegah terjadinya syok.18
Demam berdarah muncul dengan cara yang tidak spesifik dan mungkin tidak dapat
dibedakan dari penyakit virus atau bakteri lainnya. Menurut Pan American Health
Organisation (PAHO), deskripsi klinis demam berdarah adalah penyakit demam akut dengan
durasi 2-7 hari yang terkait dengan 2 atau lebih dari yang berikut:
• Sakit kepala parah dan menyeluruh
• Nyeri retro-orbital
• Ruam khas
• Manifestasi hemoragik
• Leukopenia
• Konjungtiva injeksi
• Pembilasan wajah, prediktor yang sensitif dan spesifik terhadap infeksi dengue
Hingga setengah dari pasien dengan demam berdarah mengembangkan ruam yang
khas. Ruam itu bervariasi dan mungkin makulopapular atau makula. Petekie dan purpura
dapat berkembang sebagai manifestasi hemoragik. Manifestasi hemoragik yang paling umum
termasuk petekie dan perdarahan di lokasi tusukan vena.
Tes tourniquet seringkali positif. Tes ini dilakukan dengan menggembungkan manset
tekanan darah pada lengan atas ke tengah antara tekanan darah diastolik dan sistolik selama
5 menit. Hasilnya dianggap positif jika lebih dari 20 petekie per inci persegi diamati pada
kulit di daerah yang berada di bawah tekanan. Manifestasi hemoragik lainnya termasuk
perdarahan hidung atau gingiva, melena, hematemesis, dan menorrhagia.
Gambar 4. Petekiae. 21
Gambar 5. Ruam Konvalesen 21
Dengue viremia pada pasien berdurasi pendek, biasanya terjadi 2-3 hari sebelum onset demam
dan berlangsung selama 4 sampai 7 hari. Pada periode ini, asam nukleat dari virus dengue dan
antigen viral yang bersikulasi dalam darah dapat terdeteksi. Sehingga, infeksi dengue dapat
didiagnosis dengan isolasi virus pada kultur sel, deteksi RNA virus dengan nucleic acid
amplification test (NAAT) atau dengan mendeteksi antigen virus dengan ELISA atau rapid
test. NS1 dan rapid dengue antigen detection test dapat digunakan karena cepat dan terjangkau.
Setelah hari ke 5 dari onset penyakit, virus dengue dan antigen akan menghilang dari darah dan
mulai muncul antibodi spesifik. Antigen NS1 mungkin masih dapat dideteksi pada sebagian
kecil orang. Tes serologi, waktu pengambilan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus
atau antigen. Pemeriksaan protein non-spesifik 1 (NS1) dapat dilakukan sejak 1 hari setelah
onset demam sampai 5 – 6 hari berikutnya. Adanya protein NS1 ini selama fase klinis awal
penyakit, infeksi dengue primer. 22
Respon antibodi terhadap adanya infeksi sangat bervariasi antar individu. Antibodi IgM
merupakan imunoglobulin yang paling awal muncul. Antibodi ini dapat dideteksi pada 50%
pasien 3-5 hari setelah onset penyakit, meningkat menjadi 80% pada hari ke 5 dan menjadi
99% pada hari ke 10. Puncak IgM adalah 2 minggu setelah onset penyakit kemudian menurun
sampai pada kadar yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti dengue srum IgG secara
umum dapat dideteksi pada kadar kecil pada akhir minggu pertama kemudian meningkat
perlahan. Serum IgG dapat dideteksi setelah beberapa bulan bahkan seumur hidup.
Pada infeksi sekunder, titer antibodi akan meningkat lebih cepat. Imunoglobulin yang
dominan adalah IgG yang terdeteksi dalam kadar yang tinggi bahkan dalam fase akut. Antibodi
IgM sangat rendah pada kasus infeksi sekunder. Maka, perbandingan IgM/IgG biasa dipakai
untuk membedakan antara infeksi dengue primer dan sekunder. 22
Hasil Interpretasi
IgG IgM
+ + Dengue Sekunder
- +
Dengue Primer
+ -
Dugaan Dengue Sekunder
- -
Non Dengue/ Primer awal
Gambar 6 . Perjalanan Penyakit Dengue dan Alat Diagnositk yang Dapat Digunakan22.
2.8. Klasifikasi
- Peningkatan
hematokrit >=20%
- Peningkatan
hematokrit >=20%
Virus lain yang mampu menyebabkan demam berdarah meliputi virus Ebola, virus
Marburg, virus Lassa, virus demam kuning, demam berdarah Krimea-Kongo,
hantavirus (demam berdarah dengan sindrom ginjal), dan demam berat dengan virus
sindrom trombositopenia (SFTSV)). Semua penyakit ini dapat menyebabkan
penyakit sistem multiorgan yang parah disertai pendarahan. Penyakit dapat
dibedakan berdasarkan paparan epidemiologi yang relevan dan reaksi berantai
polimerase atau uji serologis.
• Chikungunya
Virus Chikungunya dan virus dengue menyebabkan gejala dan tanda yang serupa dan
ditularkan oleh vektor nyamuk yang sama. Nyeri sendi dilaporkan agak lebih sering
oleh pasien dengan chikungunya, sedangkan nyeri perut dan leukopenia lebih umum
pada mereka yang menderita demam berdarah. Bengkak sendi sangat spesifik untuk
chikungunya; manifestasi perdarahan dan trombositopenia relatif spesifik untuk
demam berdarah. Diagnosis infeksi virus chikungunya ditegakkan melalui serologi
atau reaksi rantai balik transkriptase polimerase (RT-PCR).
• Virus zika
Manifestasi klinis sama dan vektor sama. Tidak seperti dengue, zika sering
berhubungan dengan konjungtivitis. Diagnosis zika ditegakkan dengan serologi atau
RT-PCR
• Malaria
Malaria ditandai dengan demam, malaise, mual, muntah, sakit perut, diare, mialgia,
dan anemia. Diagnosis malaria ditegakkan dengan visualisasi parasit pada apusan
tepi.
• Demam tifoid
Manifestasi klinis demam tifoid termasuk demam, bradikardia, sakit perut, dan ruam.
• Leptospirosis
Infeksi Rickettsial dengan manifestasi yang mirip dengan infeksi virus dengue
termasuk demam gigitan kutu Afrika dan demam kambuh. Demam gigitan kutu
Afrika diamati di antara para pelancong ke Afrika dan Karibia dan ditandai oleh sakit
kepala, demam, mialgia, eskar soliter atau multipel dengan limfadenopati regional,
dan ruam menyeluruh; diagnosis ditegakkan melalui serologi. Demam kambuh
ditandai dengan demam, sakit kepala, leher kaku, artralgia, mialgia, dan mual; alat
diagnostik termasuk sediaan apus langsung dan reaksi berantai polimerase.
• Sepsis akibat bakteremia
2.10 Tatalaksana
Tidak ada terapi antivirus langsung yang tersedia untuk melawan virus dengue (DENVs).
Penatalaksanaan bersifat suportif, yang sebagian besar terdiri dari mempertahankan volume
intravaskular yang adekuat. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%.
Parameter yang secara efektif digunakan untuk menyaring kasus dengue yang lebih
parah adalah:
• Demam >3 hari. Durasi rata-rata demam pada pasien DBD/DSS adalah 4 hari.
Durasi demam terpendek pada pasien DBD/DSS adalah 2 hari.
• Leukopenia dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000 sel/mm3)
• Tanda-tanda peringatan
• Tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan situasi sebelum atau ketika transisi
ke fase afebris atau ketika penyakit memburuk
• Muntah persisiten, tidak minum
24
Algoritma 2 . Triase pada OPD .
5. Konsultasi medis
Pasien yang membutuhkan rawat inap dirumah sakit untuk pengawasan terutama saat
mendekati fase kritis. Grup ini meliputi pasien dengan tanda peringatan, pasien dengan keadaan
khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, obesitas, diabetes mellitus dan gagal ginjal, pasien
dengan kondisi sosial tertentu misalnya tinggal sendiri dan jauh dari pelayanan kesehatan.
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di lnstalasi Gawa Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam mem utuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
1. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 - 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat.
2. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
3. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.1
Fase kritikal DBD mengacu pada periode kebocoran paslma yang dimulai saat penuruban suhu
tubuh atau transisi dari fase febril menjadi afebrile. Trombositopenia merupakan indicator
sensitive dari kebocoran plasma namun juga dapat diobservasi pada pasien Dengue Fever.
Peningkatan hematocrit 10% dari baseline adalah indicator objektif awal dari kebocoran
plasma. Terapi cairan intravena harus dimulai pada pasien dengan intake oral yang buruk dan
peningkatan hematokrit dan mereka dengan tanda-tanda bahya.
Parameter yang harus dimonitor 22:
• Keadaan umum, nafsuk makan, muntah, perdarahan, dan gejala lainnya
• Perfusi peripheral perlu dilakukan sesuai indikasi karena merupaan indicator awal dari
syok
• Tanda-tanda vital seperti temperature, laju nafas, dan tekanan darah harus diperiksa
setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-2 jam pada pasien syok
• Serial hematocrit harus dilakukan setidaknya setiap 4-6 jam pada kasus stabil dann
harus lebih sering dilakukan pada pasien tidak stabil. Harus dicatta bahwa hematocrit
harus dilakukan sebelum resusutasu cairan. Bila tidak bisa dulakukan, makan harus
dilakukan setelah cairan bolus tapi tidak saat infuse dari bolus
• Urine output harus dicatat setiap 8 – 12 jam pada kasus stabil dan setiap jam pada
pasuen dengan syok berkepanjangan atau pada pasien dengan cairan berlebih
• Pada pasien dengan syok perlu dilakukan pemeriksaan tambahan: CBC, glukosa darag,
analisa gas darah, elektrolit serum, BUN, kreatinine, serum kalsium, fungsi lliver,
profile koagulasi, crossmatch test.
Koreksi hasil laboratori abnormal perlu dilakukan jika: hipogolikemia, hipokalsemia,
dan asidosis metabolic tidak membaik setelah pemberian caiarna. IV vitamin K1 dapat
diberikan pada prothrombin time yang memanjang. Pada pasien syok dan tidak
membaik dengan cairan, asidosis bisa diperbaiki dengan Natrium Bicarbonate jika pH
< 7.35 dan serum bicarbonate < 15mEq/L
• Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb trombo dilakukan tiap 12 jam.
• Bila, Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalkasanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.1
Jika pasien menunjukkan tanda peringatan, tatalaksana yang harus dikerjakan yaitu:
• Periksa kadar hematokrit pasien sebelum melakukan terapi cairan. Berikan cairan
isotonik seperti salin normal atau ringer lactate (RL). Mulai dengan 5-7 ml/jam/KgBB
untuk 1-2 jam, kemudian kurangi menjadi 3-5 ml/jam/KgBB untuk 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/jam/KgBB atau kurang berdasarkan keadaan
klinisnya.
• Nilai ulang keadaan klinis dan hematokrit. Jika kadar hematokrit masih sama atau
meningkat sedikit maka lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan yang sama yaitu 2-3
ml/jam/KgBB selama 2-4 jam. Jika vital sign memburuk dan hematokrit meningkat
secara cepat, naikkan kecepatan tetesan menjadi 5-10 ml/jam/KgBB untuk 1-2 jam. Nilai
ulang keadaan klinis dan hematokrit.
• Berikan volume cairan intravena yang sesuai untuk menjaga perfusi jaringan yang bagus
dan urin output 0,5 ml/Kg/jam. Cairan intravena biasanya hanya dibutuhkan dalam 2448
jam. Kurangi cairan intravena secara bertahap ketika fase kritis akan berakhir. Hal ini
diindikasikan dengan urin output dan intake cairan oral yang adekuat serta kadar
hematokrit yang menurun sampai dibawah nilai dasar.
• Pasien dengan tanda peringatan harus dimonitor hingga fase kritis berakhir.
Keseimbangan cairan yang masuk dan keluar harus dijaga. Hal-hal yang harus dimonitor
adalah vital sign dan perfusi jaringan perifer (setiap 1-4 jam hingga fase kritis berakhir),
urin output (setiap 4-6 jam), hematokrit (setiap 6-12 jam), kadar glukosa dan fungsi organ
yang lain.
Jika pasien tidak menunjukkan tanda peringatan, tatalaksana yang harus dilakukan
adalah:
• Menyarankan intake cairan oral. Jika tidak dapat ditoleransi, baru dilakukan terapi cairan
intravena dengan salin normal atau RL dengan kecepatan rumatan. Untuk pasien dengan
berat badan lebih atau obesitas digunakan berat badan ideal untuk menghitung kebutuhan
cairan.
• Pasien harus dimonitor untuk pola demam, volume intake cairan dan cairan yang hilang,
urine output (jumlah dan frekuensi), tanda peringatan, hematokrit dan angka trombosit.
22
Tabel 2 . Perhitungan Jumlah Kebutuhan Cairan Rumatan.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cema (hematemesis dan mele n a atau hematoskesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4- 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan
trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.1
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/ mm3 disertai atau tanpa KID. 1
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tampa renjatan, dan renjatan
dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.1
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama ·berikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen -4 lit r/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pem · an darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kad trium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.1
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 0-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (diandai dengan tekanan darah sistolik I
00 mmHg dan tekanan nadi le 1 dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis
0,5- lml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu
60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/ kgBB/jam. Bila dalam
waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena
jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terns diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru
atau gagal jantung dapat terjadi). 2
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, temyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja
yang menetap dalam pembuluh darah setelah I jam saat pemberian). Oleh karena untuk
mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital
yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas,
pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah
diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit,
dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. 2
Bila setelah fase awal pemberian cairan temyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/ kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun,
berarti terjadi perdarah ( internal bleeding ) maka pada penderita diberikan transfusi darah
segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 1
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah I 0-30 menit. Bila keadaan tetap belum teqitasi maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian
koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 11,5 l/hari)
dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH 0. Bila keadaan tetap belum teratasi harus
diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan
target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/ vasopresor.
1
Parameter yang harus dimonitor pada pasien dengan syok adalah vital sign dan perfusi perifer
(setiap 15-30 menit kenudian setiap 1-2 jam). Urin output harus dimonitor tiap jam hingga
pasien tidak syok lagi, sehingga harus dipasang kateter urin. Urin output dipertahankan kirakira
0,5 ml/Kg/jam. Hematokrit diperiksa tiap 4-6 jam. 22
2.10.6 Tatalaksana Pasien Hipotensi Syok
Pasien dengan syok hipotensif harus dilakukan tata laksana yang lebih agresif, yaitu:
• Jika keadaan pasien membaik, berikan infus cairan 10 ml/KgBB selama 1 jam kemudian
lanjutkan dengan pengurangan kecepatan bertahap mulai dari 5-7 ml/KgBB/jam selama
1-2 jam, kemudian 3-5 ml/KgBB/jam selama 2-4 jam dan kemudian 2-3 ml/KgBB/jam
untuk 24-48 jam kedepan.
• Jika vital sign belum stabil, periksa hematokrit bandingkan dengan sebelum bolus
pertama. Jika hematokrit rendah mengindikasikan adanya perdarahan dan dibutuhkan
tranfusi darah secepatnya.
• Jika hematokrit meningkat maka ganti cairan intravena dengan koloid 10-20 ml/Kg
sebagai bolus kedua selama ½-1 jam. Setelah bolus kedua nilai kembali keadaan pasien.
Jika kondisi membaik kurangi kecepatan menjadi 7-10 ml/KgBB/jam selama 1-2 jam,
kemudian ganti dengan caiaran kristaloid dan kurangi kecepatan secara bertahap seperti
yang disebutkan diatas.
• Pemberian oksigen 2-4 L/menit.
• Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada asites.
• Jumlah trombosit lebih dari 50.000 / mm3. Bila tidak, pasien dapat direkomendasikan
untuk menghindari kegiatan traumatis selama setidaknya 1-2 minggu agar jumlah
trombosit menjadi normal. Pada sebagian besar kasus yang tidak rumit, trombosit naik
ke normal dalam 3-5 hari.22
2.12 Pencegahan
Pendekatan untuk pencegahan infeksi DENV dan penyakit di daerah endemik meliputi
pengendalian nyamuk, tindakan perlindungan pribadi, dan vaksinasi.
1. Kontrol vektor
3. Vaksinasi
Infeksi dengan satu tipe DENV memberikan perlindungan jangka panjang terhadap
infeksi ulang dengan tipe yang sama, mendukung kelayakan vaksin demam berdarah
yang efektif. Setelah infeksi dengan satu jenis, ada kekebalan jangka pendek dan
perlindungan silang terhadap penyakit yang disebabkan oleh tiga jenis DENV
lainnya.
Satu vaksin saat ini disetujui untuk pencegahan infeksi dengue. Sanofi Pasteur
mendaftarkan Dengvaxia (CYD-TDV), vaksin tetravalen rekombinan langsung, di
beberapa negara pada akhir 2015-2016. Vaksin diberikan dalam 3 dosis pada usia 0,
6 , dan 12 bulan. Ini menjalani pengujian di lebih dari 30.000 sukarelawan dan terbukti
mengurangi risiko penyakit parah dan rawat inap sebanyak 30% pada individu yang
sebelumnya terinfeksi dengan satu atau lebih strain. Vaksin terbukti kurang efektif
pada orang yang sebelumnya tidak terkena demam berdarah dan di daerah dengan
beban penyakit yang lebih rendah. Pengembangan vaksin dengue berkepanjangan
karena kekebalan terhadap satu jenis demam berdarah adalah faktor risiko utama
untuk demam berdarah yang parah; dengan demikian, vaksin harus memberikan
kekebalan tingkat tinggi ke semua 4 jenis demam berdarah agar bermanfaat secara
klinis. Serokonversi saja tidak memprediksi perlindungan. Beberapa kandidat vaksin
imunogenik tetravalen lainnya telah dikembangkan dan sedang menjalani uji klinis14
2.13 Prognosis
Demam berdarah biasanya penyakit yang sembuh sendiri dengan tingkat kematian
kurang dari 1%. Saat dirawat, demam berdarah dengue memiliki angka kematian 2-5%.
Ketika tidak diobati, demam berdarah dengue memiliki tingkat kematian hingga 50%.
Korban biasanya sembuh tanpa gejala sisa dan mengembangkan kekebalan terhadap serotipe
yang menginfeksi. Pada 20-30% kasus demam berdarah dengue, pasien mengalami syok,
yang dikenal sebagai sindrom syok dengue. 21
BAB III
KESIMPULAN
Demam dengue adalah penyakit demam yang disebabkan oleh infeksi dengan salah
satu dari empat virus dengue (DENV) yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopticus dan ditandai dengan trias dengue berupa demam yang tinggi, ruam dan
nyeri kepala. Pada Demam Berdarah Dengue terjadi pembesaran plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Pada
pemeriksaan penunjang berupa tes darah lengkap dapat ditemukan leukopenia, limfositosis,
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Test diagnostik yang pada digunakan yaitu NS1 dan
dengue IgG & IgM. Pada pasien dengan jumlah Hb, Ht, dan trobosit normal (100.000-
150.000) masih dapat dilakukan observasi secara rawat jalan, namun jika Hb dan Ht normal
trombosit <100.000 atau Hb Ht meningkat trombosit normal/menurut dianjurkan untuk
dirawat.Penatalaksanaan DBD bersifat suportif, yang sebagian besar terdiri dari
mempertahankan volume intravaskular yang adekuat. Dengan terapi suportif yang adekuat,
angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L. Demam Berdarah Dengue. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid I. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
2014;539-48.
2. Achmadi UF. Epidemiologi Demam Berdarah. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI. 2009; 2:8-13.
3. Rajapakse S, Rodrigo C. Treatment of dengue dever. Infect Drug Resist. 2012; 5:103-12.
4. Camero P et al. Dengue. N Engl J Med 2012;366:1423-32.
5. Biswas A, Pangtey G, Devgan V, Singla P, Murthy P, Dhariwal AC, et al. Indian national
guidelines for clinical management of dengue fever. J Indian Med Assoc.
2015;113(12):196–206.
6. Hadinegoro Srh. Satari HI. Demam Berdarah dengue. Naskah lengkap pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2000
7. Sabino EC, Loureiro P, Lopes ME, et al. Transfusion-Transmitted Dengue and Associated
Clinical Symptoms During the 2012 Epidemic in Brazil. J Infect Dis. 2016; 213:694.
8. Sirinavin S, Nuntnarumit P, Supapannachart S, et al. Vertical dengue infection: case
reports and review. Pediatr Infect Dis J. 2004; 23:1042.
9. Thein S, Aung MM, Shwe TN, et al. Risk factors in dengue shock syndrome. Am J Trop
Med Hyg 1997; 56:566.
10. Suyasa IG, Putra NA, Aryanta IR. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku masyarakat
dengan keberadaan vektor demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas I
Denpasar Selatan. ECOTROPHIC: Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental
Science). 2008;3(1).
11. Murrell S, Wu SC, Butler M. Review of dengue virus and the development of a vaccine.
Biotechnol Adv. 2011;29(2):239–47.
12. Mukhopadhyay S, Kuhn RJ, Rossmann MG. A structural perspective of the flavivirus life
cycle. Nat Rev Microbiol 2005; 3:13.
13. D. M. Morens, “Antibody-dependent enhancement of infection and the pathogenesis of
viral disease,” Clinical Infectious Diseases, vol. 19, no. 3, pp. 500–512, 1994.
14. P. Avirutnan, A. Fuchs, R. E. Hauhart et al., “Antagonism of the complement component
C4 by flavivirus nonstructural protein NS1,” The Journal of Experimental Medicine, vol.
207, no. 4, pp. 793–806, 2010.
15. D. H. Libraty, T. P. Endy, H. S. H. Houng et al., “Differing influences of virus burden and
immune activation on disease severity in secondary dengue-3 virus infections,” Journal of
Infectious Diseases, vol. 185, no. 9, pp. 1213–1221, 2002.
16. S. Halstead, “Pathophysiology and pathogenesis of dengue hemorrhagic fever,”
in Monograph on Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever, P. Thongcharoen, Ed., Regional
Publication, SEARO no. 22, pp. 80–103, WHO, 1993.
17. U. Kontny, I. Kurane, and F. A. Ennis, “Gamma interferon augments Fc(γ) receptor-
mediated dengue virus infection of human monocytic cells,” Journal of Virology, vol. 62,
no. 11, pp. 3928–3933, 1988.
18. Thomas SJ, Rothman AL. Dengue virus infection: Pathogenesis. UpToDate. 2018.
19. R. Mukerjee, U. C. Chaturvedi, and R. Dhawan, “Dengue virus-induced human cytotoxic
factor: production by peripheral blood leucocytes in vitro,” Clinical and Experimental
Immunology, vol. 102, no. 2, pp. 262–267, 1995.
20. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. World Health Organization. 2009;1-160
21. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue [Internet]. CDC. 2010 [cited 2019
July 1]. Available from: https://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html
22. World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
World Health Organization, Regional Publication SEARO. 2011. 1-212 p.
23. Stephen J et al. Dengue virus infection: Clinical manifestations and diagnosis. Uptodate.
2018
24. Vangveeravong M, Vatcharasaevee V. Clinical Practice Guidelines of Dengue / Dengue
Hemorrhagic Fever Management for Asian Economic Community. 2010; p239–47.