Anda di halaman 1dari 23

1

PORTOFOLIO
KASUS PARU

BRONKIEKTASIS TERINFEKSI

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT DALAM MENEMPUH


PROGRAM DOKTER INTERNSIP
Oleh:
dr. Aulia Ayu Puspita
Pembimbing:
dr. Devi Ambarwati, Sp.P
Pendamping:
dr. Crystalia

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMKIT TINGKAT III BALADHIKA HUSADA
KABUPATEN JEMBER
2022
2

Portofolio Kasus Ilmu Penyakit Dalam

Nama Peserta : Aulia Ayu Puspita


Nama Wahana : Rumkit Tk. III Baladhika Husada Jember
Topik : Bronkiektasis Terinfeksi
Tanggal Kasus: Nama Presenter: Nama Pembimbing :
19 April 2022 dr. Aulia Ayu Puspita dr. Devi Ambarwati, Sp.P

Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :


dr. Crystalia
Tempat Presentasi :
Obyektif Presentasi :
■ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
■ Diagnostik □ Manajemen ■ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □Anak □ Remaja ■ Dewasa □Lansia □ Bumil
Deskripsi : Pasien perempuan usia 52 tahun datang dengan keluhan sesak nafas disertai batuk
berdahak. Dahak berwarna hijau dan berbusa. Keluhan sesak nafas dan batuk berdahak sudah
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan ini memberat dalam 3 hari terakhir. Pasien juga
mengalami keringat dingin di malam hari. Penurunan berat badan disangkal.

Tujuan : Mempelajari cara mendiagnosis dan memberikan terapi pada kasus Bronkiektasis pada
dewasa
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset ■ Kasus □ Audit
Cara Membahas : ■ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos
Data Pasien :
Nama : Ny. SI No. Register : 117303
Nama RS : Rumkit Tk. Telp : 085336540063 Terdaftar sejak : 19 April 2022
III Baladhika Husada
Jember
Data Utama Untuk Bahan Diskusi :
3

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan usia 52 tahun datang dengan keluhan sesak nafas disertai batuk berdahak.
Dahak berwarna hijau dan berbusa. Keluhan sesak nafas dan batuk berdahak sudah dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Keluhan ini memberat dalam 3 hari terakhir. Pasien juga mengalami keringat dingin
di malam hari. Penurunan berat badan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat infeksi paru 10 tahun yang lalu, pasien pernah dirawat di RS Paru dengan diagnosis
bronkiektasis. Hasil TCM saat di RS Paru non reaktive. tidak pernah mendapatkan pengobatan OAT
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa
Riwayat Pengobatan
Tidak diketahui
Riwayat Alergi
Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK (IGD)


Tanggal 19 April 2022
Keadaan Umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: compos mentis
Usia: 52 tahun
Tanda-tanda vital: Tekanan Darah = 130/70 - mmHg; Nadi = 81 x/menit
RR = 25x/menit; Suhu = 36,6° C, SpO2 = 98%
Kepala/leher: anemis/ikterik/cyanosis = -/-/-
Thorak: Cor = S1S2 tunggal, tidak ada extrasistole, gallop maupun murmur
Pulmo = Retraksi thoraks +/+ , suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen: Soepl, bising usus (+) normal, timpani, massa (-), nyeri tekan epigastrium (-)
4

Ekstremitas: akral hangat, CRT ≤2 detik, edema -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG (19 April 2022)


Darah Lengkap Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.9 g/dL 12,4-17,7
Leukosit 13.300 /µl 4.300-10.300
Diff count 2/8/73/10/7 1-3/0-1/2-4/45-65/30-45/2-6
Hematocrit 38,2 % 38-42
Trombosit 333.000 /µl 150.000-450.000
Eritrosit 4.48 juta/µl 4,5-5,5
MCV 85.3 fL 80-100
MCH 26.6 g/dL 26-36
MCHC 31.2 g/dL 32-37
RDW 16.6 % 12-15
Rapid Antigen Sars Covid-19 NEGATIF NEGATIF
SGOT 13.6 U/L 0-37 U/L
SGPT 33.1 U/L 0-12 U/L
Urea 14.6 mg/dL 10-50 mg/dL
Creatinin 0.05 mg/dL 0.7-1.2 mg/dL
BSS/GDA 202 mg/dL 70-140 mg/dL
Na 139.7 mmol/L 135-145 mmol/L
K 3.56 mmol/L 3.5-5 mmol/L
Clorida 100.8 mmol/L 95-105 mmol/L

DIAGNOSIS
Bronkiektasis terinfeksi + Susp. TB paru

TERAPI
O2 NK 3 lpm
IVFD PZ 14 tpm
Inj. Levofloksasin 750 mg/24 jam
5

Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv


Nebulizer combivent 3x1
Drip aminofilin 1 ½ amp dalam 12 jam
Sanadryl expetoran sirup 3x1

FOLLOW UP RUANGAN
Tanggal 20/April/2022 (14.00 WIB)
Subjective: Sesak nafas (+) , batuk (+), mual (-), muntah (-). Makan dan minum baik. BAB dan BAK
baik.

Objective:
Keadaan Umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
TTV: TD: 130/60 mmHg, HR=87x/mnt, RR=25x/mnt, Tax=36,50C , SpO2: 99%

Kepala/Leher:
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-)

Thorax:
Jantung:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, ekstrasistol (-), gallop (-),murmur (-)
Paru-paru:
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba normal
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

Abdominal:
Inspeksi : flat, darm contour (-) darmsteifung (-)
6

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi : timpani
Palpasi : soepel, massa (-), pembesaran organ (-), nyeri epigastrium (-)

Extremitas:
Atas: akral hangat +/+, edema -/-, CRT <2 detik
Bawah: akral hangat +/+, edema -/-, CRT <2 detik

Thorax

Cor : dalam batas normal


Pulmo : Terdapat suatu gambaran adanya bronkiektasis

Kesimpulan : Brokientasis
7

Assessment: Bronkiektasis terinfeksi + suspek TB. paru

Planning:
Dexamtasone syr ekstra
Aminopilin stop
Nebulizer combivent 3x1
Codein 3x10mg
NAC 3x200mg

Tanggal 20 April 2022 (20.00WIB)


Subjective: pasien merasa sesak , batuk (+), mual (-),muntah(-)

Objective:
Keadaan Umum: Lemah
Kesadaran: Compos Mentis
TTV: TD: 90/60 mmHg, HR=100x/mnt, RR=26x/mnt, Tax=36,10C , SpO2: 95% (O2 masker)

Kepala/Leher:
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-)
Thorax:
Jantung:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, ekstrasistol (-), gallop (-),murmur (-)
Paru-paru:
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba normal
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

Abdominal
8

Inspeksi : flat, darm contour (-) darmsteifung (-)


Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : soepel, massa (-), pembesaran organ (-), nyeri epigastrium (-)

Extremitas
Atas: akral dingin +/+, edema -/-, CRT <2 detik,
Bawah: akral dingin +/+, edema -/-, CRT <2 detik

Assessment: Bronkiektasis terinfeksi + susp. TB paru

Planning:
Extra dexametason 1amp
Aminophilin stop
Nebul combivent 3x1
Codein 3x10mg
NaC 3x200mg

Tanggal 21 April 2022 (14.30 WIB)


Subjective: Pasien tampak lemah, pasien merasa sesak bertambah berat, batuk (+), mual (-),muntah(-)

Objective:
Keadaan Umum: Lemah
Kesadaran: Compos Mentis
TTV: TD: 100/80mmHg, HR=50/mnt, RR=29x/mnt, Tax=36,10C , SpO2: 95% (O2 masker)

Kepala/Leher:
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-)
Thorax:
Jantung:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
9

Perkusi : Redup, batas jantung normal


Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, ekstrasistol (-), gallop (-),murmur (-)
Paru-paru:
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba normal
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

Abdominal
Inspeksi : flat, darm contour (-) darmsteifung (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : soepel, massa (-), pembesaran organ (-), nyeri epigastrium (-)

Extremitas
Atas: akral dingin +/+, edema -/-, CRT <2 detik,
Bawah: akral dingin +/+, edema -/-, CRT <2 detik

Assessment: Bronkiektasis terinfeksi + susp. TB paru

Planning:
Nebul combivent 3x1
Ganti masker NRM 15lpm
Observasi TTV tiap jam

Tanggal 21 April 2022 (15.30)


Subjective: Penurunan Kesadaran

Objective:
Keadaan Umum: Lemas
Kesadaran: Koma
GCS: 3 E1V1M1
TTV:
10

TD: tidak teraba/terukur , HR=nadi radialis tidak teraba, RR=nafsu spontan tidak ada , Tax=35.0 0C ,
SpO2: 50% (O2 masker)

Kepala/Leher:
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), sianosis (-)
Mata: Reflek kornea (-/-), pupil midriasis maximal (+/+)
Denyut Nadi carotis tidak teraba

Thorax:
Jantung:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : Suara jantung tidak terdengar

Paru-paru:
Inspeksi : Tidak terlihat pergerakan dada
Palpasi : Tidak teraba pergerakan dada
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Suara nafas tidak terdengar

Abdominal
Inspeksi : flat, darm contour (-) darmsteifung (-)
Auskultasi : bising usus tidak terdengar
Perkusi : timpani
Palpasi : soepel, massa (-), pembesaran organ (-), nyeri epigastrium (-)

Extremitas
Atas: akral dingin +/+ edema -/-, CRT >2 detik,
Bawah: akral dingin +/+, edema -/-, CRT >2 detik

Pemeriksaan Penunjang: EKG Asistole, flat


11

Assessment: Bronkiektasis terinfeksi + susp. TB paru + cardiac arrest + mati batang otak

Planning:
Aff infus
Aff O2
Perwatan Jenazah
Pasien dinyatakan meninggal tanggal 21 April 2022 pukul 15.29 WIB

Hasil Pembelajaran :
1. Bronkiektasis
2. Diagnosis Bronkiektasis
3. Pemeriksaan dan diagnosis Bronkiektasis
4. Penanganan kasus Bronkiektasis

Daftar Pustaka:
1. Chalmers JD. Bronchiectasis and COPD overlap: A case of mistaken identity. American College
of Chest Physician [Internet]. 2017. Available from http://dx.doi. org/10.1016/j.chest.2016.12.027
2. Fatmawati F, Rasmin M. Bronkiektasis dengan sepsis dan gagal napas. J Respir Indon.
2017;37(2):165-76.
3. Eva P, Pieter CG, Melissa JM, Stefano A, Sara EM, Michael RL. European Respiratory Society
guidelines for the management of adult bronchiectasis. Eur Respir J. 2017;50:1700629
4. Chalmers JD, Sethi S. Raising awareness of bronchiectasis in primary care: Overview of diagnosis
and management strategies in adults. NPJ Prim Care Respir Med. 2017;27(1):18

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio Kasus Emergency


Subjektif:
Pasien perempuan usia 52 tahun datang dengan keluhan sesak nafas disertai batuk berdahak.
Dahak berwarna hijau dan berbusa. Keluhan sesak nafas dan batuk berdahak sudah dirasakan
sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan ini memberat dalam 3 hari terakhir. Pasien juga mengalami
keringat dingin di malam hari. Penurunan berat badan disangkal. Riwayat infeksi paru 10 tahun
12

yang lalu, pasien pernah dirawat di RS Paru dengan diagnosis bronkiektasis. Hasil TCM saat di
RS Paru non reaktive. tidak pernah mendapatkan pengobatan OAT.
Objektif:
Pada pemeriksan fisik awal, didapatkan pasien compos mentis. Pada pemeriksaan tanda-
tanda vital didapatkan : Tekanan Darah 130/70 mmHg, Nadi 81x/mnt, laju nafas 25x/mnt, Suhu
36.6 0C , saturasi oksigen 98%. Pada pemeriksaan mata tidak di dapatkan konjungtiva anemis
maupun sklera ikterus. Pemeriksaan fisik thoraks di dapatkan suara nafas vesikuler seluruh
lapang thoraks, didapatkan adanya sura rhonki pada seluruh lapang thoraks dan tidak
didapatkan suara wheezing pada seluruh lapang thoraks. Suara jantung S1 S2 tunggal, reguler,
tidak didapatkan adanya sura jantung tambahan seperti gallop ataupun murmur. Batas jantung
normal.
Saat pasien di IGD di lakukan pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap dan fungsi
ginjal serta pemeriksaan foto thoraks, didapatkan hemoglobin 11.9 gr/dl, hematokrit 38.2%,
leukosit 13.300 /µl dan trombosit 333.000/ul. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan thorax
dimana hasil pemeriksaan thoraks pada pasien menunjukkan adanya bronkiektasis dan tidak
terdapat kelainan pada jantung pasien.

Assessment:
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progesif yang ditandai dengan dilatasi bronkus dan
bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus. Keadaan ini disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi yang diikuti dengan pelepasan mediator.
Prevalensi bronkiektasis di dunia umumnya tidak diketahui, tetapi diduga prevalensi
penyakit ini cukup tinggi di populasi terisolasi yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan,
dan dengan prevalens IRA (pneumonia) pada bayi dan anak yang tinggi. Kemungkinan terdapat
sejumlah besar pasien yang tidak menunjukkan gejala, atau hanya menunjukkan gejala ringan,
tetapi berisiko untuk menyandang bronkiektasis akibat mengalami pneumonia rekuren, pertusis,
campak, atau asma yang tidak terkontrol. Mereka akan luput dari penanganan bila tidak
menjalani pemeriksaan lanjutan. Frekuensi penyakit ini dilaporkan lebih tinggi di negara
berkembang yang banyak melaporkan kejadian penyakit campak, TB, dan infeksi HIV. Di
negara maju, kejadian penyakit ini berkaitan dengan fibrosis kistik, cilliary dyskinesia, atau
13

defisiensi imun. Meskipun di negara maju insidensnya dilaporkan mengalami penurunan, tetapi
akhir-akhir ini diperkirakan meningkat sejalan dengan penggunaan metode pemeriksaan yang
semakin sensitif. Hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa angka kejadian bronkiektasis
yang dikonfirmasi dengan HRCT pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 147 per 10.000
anak suku Aborigin. Suatu survei nasional yang dilakukan oleh dokter anak di New Zealand
menyatakan bahwa insidens bronkiektasis nonkistik fibrosis pada populasi ini adalah 3,7 per
100.000 dengan prevalens 1 per 3000 orang. Data dari Inggris memperlihatkan prevalens 1 setiap
5.800 anak.
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa 70% pasien bronkiektasis memiliki penyakit
yang mendasari/penyebab terjadinya bronkiektasis, sedangkan sisanya masih idiopatik. Dengan
meningkatnya teknik diagnostik, maka proporsi pasien yang idiopatik mengalami perubahan,
terutama dengan dikenalnya kelainan imunologis seperti defisiensi antibodi fungsional, dan
meningkatnya fasilitas untuk menilai adanya primary ciliary dyskinesia (PCD).
Etiologi lainnya adalah konsekuensi dari kerusakan akibat community acquired
pneumonia (CAP). Telah dilakukan kajian pada anak penduduk asli di Alaska yang lahir tahun
1970, dan didapatkan hasil bahwa pneumonia rekuren merupakan penyakit utama yang
menyebabkan kerusakan bronkus. Akan tetapi saat ini, dengan pemberian imunisasi, kerusakan
pascainfeksi sepertinya menjadi berkurang. Penelitian mengenai adanya pengaruh penyakit
pneumonia terhadap terjadinya bronkiektasis merupakan hal yang rumit, karena pada
kenyataannya seringkali terdapat keterlambatan atau jeda waktu antara penyakit infeksi akut
dengan saat diketahuinya penyakit paru supuratif kronis.
Semua penyebab bronkiektasis mempunyai patofisiologi yang sama, yaitu adanya
inflamasi dan infeksi kronis atau rekuren yang menyebabkan kerusakan progresif kartilago,
sehingga terjadi pelebaran bronkus yang permanen. Selanjutnya, keadaan ini menyebabkan
drainase pulmonal menjadi tidak efektif. Adanya infeksi sekunder pada segmen bronkial yang
terkena memudahkan terjadinya overgrowth bakteri opurtunistik dan supurasi. Seluruh keadaan
ini bermanifestasi sebagai batuk produktif dengan sputum berwarna kehijauan.
Beberapa laporan kasus menjelaskan adanya bronkiektasis (konfirmasi dengan gambaran
patologis) dengan manifestasi batuk kronis, tetapi tidak disertai dengan produksi sputum.
Penyakit ini diidentifikasikan sebagai bronchiectasis sicca atau dry bronchiectasis. Pada keadaan
ini, hemoptisis merupakan manifestasi yang biasa ditemukan. Bronkiektasis akibat TB biasanya
14

tidak memproduksi banyak sputum bila lobus paru-atas yang terkena, karena drainase sekret
yang lebih baik, sehingga infeksi rekuren tidak terjadi. Mengacu pada hal ini, maka anak dengan
TB paru yang telah mendapat pengobatan adekuat dan tetap mengalami batuk kering persisten,
bronchiectasis sicca harus menjadi salah satu diagnosis bandingnya.
Secara umum, berikut ini adalah beberapa penyebab bronkiektasis:
 Infeksi campak, TB, dan pertusis, terutama di negara yang sedang berkembang. Strategi
program imunisasi pada anak telah berhasil menurunkan insidens bronkiektasis yang disebabkan
oleh pertusis. Di sisi lain, ternyata infeksi saluran respiratorik lainnya yang terjadi pada anak
juga dapat menyebabkan kerusakan saluran respiratorik yang permanen.
 Aspirasi benda asing. Keberadaan benda asing yang lama di dalam jalan napas akan
menyebabkan obstruksi kronis dan inflamasi. Kedua hal tersebut adalah faktor terpenting pada
proses terjadinya bronkiektasis.
 Kelainan kongenital.
- Fibrosis kistik (terutama di negara maju). Adanya infiltrasi yang tampak di lobus paru-atas
pada foto rontgen toraks, dan ditemukannya pertumbuhan S. aureus atau P. aeruginosa pada
kultur sputum, merupakan tanda bahwa fibrosis kistik merupakan penyakit yang mendasarinya.
Adanya peningkatan konsentrasi natrium dan klorida pada sweat chloride test mendukung kistik
fibrosis.
- Primary cilliary dyskinesia (PCD). Primary cilliary dyskinesia adalah keadaan kurang atau
tidak berfungsinya silia, sehingga sekret bertumpuk dan terjadi infeksi rekuren, yang selanjutnya
menyebabkan bronkiektasis. Kelainan ini bersifat diturunkan sebagai autosomal resesif. Lebih
kurang 50% pasien dengan PCD menunjukkan sindrom Kartagener (bronkiektasis, sinusitis, dan
situs inversus).
- Marfan syndrome. Wood dkk. (1984) menyatakan bahwa rentannya pasien sindrom Marfan
terhadap kejadian bronkiektasis adalah akibat kelemahan jaringan ikat.
- Bruton agammaglobulinemia.
- Mounier-Kuhn syndrome (congenital tracheobronchomegaly), yaitu kelainan jaringan ikat.
- Williams-Campbell syndrome, yaitu tidak adanya otot dan kartilago bronkus. - Sekuestrasi
paru.  Defisiensi imun. Individu yang menunjukkan sindrom defisiensi imun yang melibatkan
defisiensi IgG, IgM, dan IgA mempunyai risiko mendapatkan infeksi sinopulmoner supuratif
berulang dan bronkiektasis.
15

 Kelainan jaringan ikat, meliputi rheumatoid arthritis (RA) dan systemic lupus erythematosus
(SLE). Bronkiektasis berhubungan dengan RA dijelaskan sebagai berikut: bronkiektasis
mendahului terjadinya artritis atau terjadi selama perjalanan penyakit RA. Di klinik khusus RA,
kejadian bronkiektasis terjadi pada 1−3% pasien RA, tetapi dengan penggunaan HRCT,
prevalensnya meningkat hingga 30%.
 Infeksi HIV. Pasien pengidap HIV sering mengalami infeksi saluran respiratorik berulang dan
menunjukkan jumlah sel CD4 yang rendah.
 Komplikasi allergic bronchopulmonary fungal diseases (misalnya allergic bronchopulmonary
aspergillosis/ABPA). Allergic bronchopulmonary aspergillosis adalah suatu keadaan yang
melibatkan pasien asma dengan menyebabkan kerusakan saluran respiratorik akibat berbagai
faktor. Bronkiektasis pada pasien dengan ABPA disebabkan oleh reaksi imun terhadap
aspergilus, mikotoksin, elastase, IL-4, dan IL-5, yang pada tahap akhir akibat invasi langsung
dari fungus ke saluran respiratorik.
 Defisiensi alpha 1-antitrypsin (alpha1-protease) inhibitor.

Patogenesis :
Patogenesis untuk penyakit paru kronis ini belum dimengerti seluruhnya. Banyak faktor
yang berperan dalam patogenesisnya. Beberapa teori mekanik yang diajukan membaginya
menjadi empat kelompok.
1. The pressure of secretion theory.
Menurut teori ini, sekret yang kental mula-mula menyebabkan obstruksi, kemudian diikuti
dengan pelebaran saluran respiratorik.
2. Atelectasis theory.
Teori ini mengemukakan bahwa dilatasi bronkus terjadi akibat peningkatan tekanan negatif
intrapleural.
3. Traction theory.
Fibrosis dan jaringan parut penyakit parenkim menyebabkan traksi dinding bronkus.
4. Infection theory.
Infeksi dan respons inflamasinya merupakan penyebab utama dan yang menyebabkan
kerusakan struktur penunjang dinding bronkus.
16

Secara umum, bronkiektasis merupakan kelainan yang bersifat permanen dan ireversibel.
Patofisiologinya diduga sebagai berikut.
1. Traksi dari saluran respiratorik yang kolaps, penonjolan saluran respiratorik akibat sekresi
sisa, perubahan dinding bronkial akibat infeksi atau inflamasi, atau kombinasi ketiga
mekanisme tersebut.
2. Infeksi akut atau berulang, obstruksi kronis akibat kelainan kongenital, tumor, fibrosis kistik,
asma kronis, atau imunodefisiensi merupakan faktor pendukung terjadinya bronkiektasis.
3. Jejas berulang saluran respiratorik akibat aspirasi kronis, dengan atau tanpa GER sebagai
salah satu faktor penyebab. Pada bronkiektasis terjadi beberapa perubahan pada anatomi
saluran respiratorik. Awalnya, kelainan yang terlihat secara makroskopis berupa dilatasi
fusiformis atau silindris bronkus subsegmental. Daerah yang terdiri dari dilatasi dan konstriksi
yang bergantian disebut sebagai varicose bronchiectasis. Pada stadium selanjutnya terjadi
dilatasi sakular.
Secara patologis dan radiologis, bronkiektasis diklasifikasikan menjadi:
 Bronkiektasis silindris atau tubular, dengan karakteristik hanya terdapat pelebaran saluran
respiratorik.
 Bronkiektasis varikosa, dengan karakteristik adanya daerah konstriksi fokal di sepanjang
saluran respiratorik yang mengalami pelebaran sebagai akibat kerusakan dinding bronkus
(gambaran seperti varises vena).
 Bronkiektasis sakular atau kistik, dengan karakteristik dilatasi saluran respiratorik yang
progresif dan berakhir dengan terbentuknya kista besar, sakulus berisi cairan atau mukus, atau
berkelompok seperti buah anggur (grape-like clusters). Adanya gambaran seperti ini
menunjukkan bronkiektasis berat.
Perubahan mikroskopis pada bronkiektasis pertama kali dilaporkan sekitar tahun 1940
hingga 1950-an. Secara mikroskopis terjadi perubahan yang berlangsung terus-menerus. Pada
bronkiektasis bentuk silindris, yang terjadi adalah destruksi fokal jaringan elastis, edema, dan
infiltrasi sel inflamasi di sekitar parenkim. Sejalan dengan proses tersebut, maka infiltrasi sel
inflamasi terus berlangsung, disertai kerusakan lapisan otot, dan akhirnya terjadi destruksi
kartilago di sekeliling saluran respiratorik.
Pelebaran bronkus dihubungkan dengan hilangnya silia, terjadinya metaplasia skuamosa
dan kuboid pada epitel kolumner di daerah yang terkena, hipertrofi kelenjar bronkial, dan
17

hiperplasia limfoid. Proses ini diikuti juga dengan adanya perubahan vaskular berupa pelebaran
arteri bronkial, serta anastomosis antara arteri bronkial dan arteri pulmoner yang terletak di
bronki subsegmental distal. Perubahan-perubahan ini dihubungkan dengan infeksi bakteri kronis.
Konsep vicious cycle yang dikemukakan oleh Peter Cole dan kawan-kawan telah disepakati
untuk diterima. Teori tersebut menyatakan bahwa infeksi bakteri endobronkial yang kronis
menyebabkan inflamasi dan kerusakan saluran respiratorik, sehingga bronkus melebar. Pelebaran
saluran respiratorik menyebabkan stasis mukosilier, yang nantinya akan mencetuskan infeksi
bakteri lebih lanjut lagi, lebih meningkatkan inflamasi saluran respiratorik, dan selanjutnya lebih
banyak lagi dilatasi bronkial yang terjadi.
Pada penderita bronkiektasis yang stabil, saluran respiratorik-bawah menunjukkan
kolonisasi oleh potential pathogenic microorganism (PPMs), yang pada penelitian pada orang
dewasa mikroorganismenya adalah Haemophilus influenzae (55%) dan spesies Pseudomonas
(26%). Bukti ilmiah menunjukkan bahwa kolonisasi saluran respiratorik-distal oleh PPMs sangat
membahayakan pasien bronkiektasis, karena mikroorganisme ini merupakan risiko untuk infeksi
paru, dan akan mengeluarkan mediator inflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan paru
progresif dan obstruksi saluran respiratorik.
Cole menjelaskan bahwa pasien dengan predisposisi, infeksi paru, atau cedera jaringan
akan menyebabkan respons inflamasi yang kuat. Inflamasi saluran napas didominasi oleh
kemoatraktan neutrofil terutama interleukin-8 (CXCL-8) dan leukotriene. Respons inflamasi
yang melibatkan neutrofil, limfosit, dan makrofag, serta produk inflamasi yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme dan pertahanan tubuh (protease, kolagenase, dan radikal bebas) akan membuat
dinding bronkus menjadi lemah karena kehilangan elemen muskuler dan elemen elastisitasnya.
Neutrophil elastase (NE) menurunkan kecepatan klirens mukosilier dan meningkatkan sekresi
mukus, sehingga menimbulkan stasis mukus. Stasis mukus dan penurunan kemampuan
fagositosis dari neutrofil akan menyebabkan kolonisasi bakteri di sinobronchial tree. Penurunan
kemampuan opsonofagositosis terjadi pada beberapa tingkat, yakni pemecahan opsonin melalui
permukaan luar bakteri dan pemecahan reseptor neutrofil. Pengeluaran alpha defensin dari
granula neutrofil juga mensupresi fagositosis.Mekanisme disfungsi imun lain yang berpengaruh
adalah penurunan klirens apoptosis dan infiltrasi sel T. Hasil akhir proses di atas adalah
terbentuknya kolonisasi bakteri yang menyebabkan inflamasi kronis dan menjadi lingkaran setan
kembali menjadi progresif sehingga makin merusak paru
18

Diagnosis :
Dari anamnesis diketahui adanya batuk yang produktif serta pengeluaran banyak sputum
yang biasanya berubah dari jernih menjadi kekuningan bahkan kuning kehijauan yang
berlangsung lebih dari 6 minggu. Batuk ditemukan pada 97% kasus bronkiektasis anak,
sedangkan sputum ditemukan pada 46% kasus. Sputum yang dihasilkan dapat bersifat mukoid,
mukopurulen, kental, atau blood-streak sputum. Batuk produktif merupakan tanda khas dari
bronkiektasis. Batuk biasanya terjadi pada pagi hari dan semakin memberat pada siang hari. Pada
anak, adanya peningkatan produksi sputum sulit dinilai karena kebanyakan anak terutama balita
belum mampu mengeluarkan sputum dan biasanya menelan sputum tersebut. Meskipun kadang-
kadang dapat terjadi hemoptisis (14%), tetapi keadaan ini jarang terjadi pada anak. Demam
merupakan keluhan yang tidak selalu ditemukan. Keluhan lain yaitu sesak napas dan mengi,
yang masing-masing terjadi pada 7% dan 21% kasus.
Pada beberapa pasien sering disebut sebagai batuk varian asma (cough variant asthma)
yang tidak respon terhadap obat antiasma. Anoreksia dan kenaikan berat badan yang tidak
adekuat terjadi seiring perjalanan proses penyakit. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya
batuk produktif, disertai dengan crackles (pada 82% pasien) atau ronki kasar (pada 44% pasien),
terutama di daerah lobus-bawah kiri dan lobus tengah kanan; kadang-kadang juga dapat
terdengar mengi (pada 21% pasien). Perkusi pekak merupakan pemeriksaan fisis toraks yang
juga dapat ditemukan. Salah satu hal yang dapat menerangkan mengi adalah adanya riwayat
asma yang dapat terjadi pada 30% anak dengan bronkiektasis. Jari tabuh (clubbing of the fingers)
dilaporkan terdapat pada 37−51% pasien dan menghilang setelah dilakukan reseksi daerah paru
yang terkena. Adanya jari tabuh pada pasien tanpa penyakit jantung kongenital biasanya
menandakan bronkiektasis yang ireversibel.
Pemeriksaan radiologi berperan dalam diagnosis dan monitoring. Pemeriksaan x-ray atau
foto polos dada untuk skrining awal penyakit dan eksaserbasi, namun spesifisitas dan
sensitivitasnya terbatas. Pemeriksaan foto polos dada bronkiektasis memiliki gambaran tram-
track opacities, parallel linear densities, ring shadows, dan struktur tubuler.Tanda eksaserbasi
pada foto polos dada antara lain tampak densitas merata karena adanya pemadatan mukus yang
berlebih. High resolution chest computed tomography (HRCT) adalah pemeriksaan standar untuk
menegakkan diagnosis bronkiektasis. HRCT memberikan informasi morfologi paru yang lebih
19

jelas; bronkiektasis ditandai dengan bronkus yang tidak meruncing ke arah perifer, bronkus
terlihat pada jarak 1-2 cm dari perifer paru, dan peningkatan rasio bronkoarterial (diameter
internal bronkus lebih besar daripada pembuluh darah yang menyertainya) yang disebut
signetring sign. Berdasarkan gambaran HRCT, bronkiektasis dapat diklasifikasikan menjadi
bentuk silindrik, varikose, dan sakuler atau kistik.
Diagnosa Banding Bronkiektasis
Diagnosis banding bronkiektasis meliputi hemosiderosis, hipersensitivitas pneumonitis,
obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), right middle-lobe syndrome, sarkoidosis,
trakeomalasia.

Analisis Diagnosis:
Pasien masuk rumah sakit dengan diagnose bronkiektasis + susp. TB paru, berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada Pasien perempuan usia 52 tahun
datang dengan keluhan sesak nafas disertai batuk berdahak. Dahak berwarna hijau dan berbusa.
Keluhan sesak nafas dan batuk berdahak sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan ini
memberat dalam 3 hari terakhir. Pasien juga mengalami keringat dingin di malam hari.
Penurunan berat badan disangkal. Riwayat infeksi paru 10 tahun yang lalu, pasien pernah
dirawat di RS Paru dengan diagnosis bronkiektasis. Hasil TCM saat di RS Paru non reaktive.
tidak pernah mendapatkan pengobatan OAT.

Di IGD juga di lakukan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksan fisik awal, didapatkan
kesadaran pasien compos mentis. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan : Tekanan
Darah 130/70 mmHg, Nadi 81x/mnt, laju nafas 25x/mnt, Suhu 36.6 0C , saturasi oksigen 98%.
Pada pemeriksaan fisik thoraks di dapatkan suara nafas vesikuler seluruh lapang thoraks,
didapatkan adanya sura rhonki pada seluruh lapang thoraks dan tidak didapatkan suara wheezing
pada seluruh lapang thoraks. Suara jantung S1 S2 tunggal, reguler, tidak didapatkan adanya sura
jantung tambahan seperti gallop ataupun murmur. Batas jantung dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan laboratorium pasien menunjukkan hemoglobin 11.9 gr/dl, hematokrit
38.2%, leukosit 13.300 /µl dan trombosit 333.000/ul sedangkan hasil pemeriksaan thoraks pada
pasien menunjukkan adanya bronkiektasis dan tidak terdapat kelainan pada jantung pasien. Hasil
pemeriksaan thoraks ini menunjukkan diagnose TB paru dapat disingkirkan dari pasien.
20

Berdasarkan teroi, pada pasien bronkiektasis juga bisa didapatkan adanya batuk berdahak
yang lama, dimana batuk yang terjadi adalah batuk yang produktif disertai pengeluaran sputum
yang banyak yang biasanya berubah dari jernih menjadi kekuningan bahkan kuning kehijauan
dan biasanya batuk berlangsung lebih dari 6 minggu. Keluhan lain pada pasien bronkiektasis
yaitu sesak napas dan mengi, yang masing-masing terjadi pada 7% dan 21% kasus. Hal ini sesuai
dengan kondisi pasien yang mengalami batuk sejak 1 bulan yang lalu dan memiliki riwayat
infeksi paru sebelumnya. Berdasarkan teori dikatakan bahwa pasien yang memiliki faktor
predeposisi infeksi paru sebelumnya menyebabkan terjadinya respon inflamasi yang kuat
terhadap paru-paru, dimana nanntinya akan terjadi peningkatan sekresi mucus yang
menyebabkan terbentuknya kolonisasi bakteri sehingga terjadi disfungsi imun. Hal ini
mengakibatkan pasien akan mengalami inflmasi yang bersifat kronis.
Pada pasien ini juga didapatkan bunyi nafas rhonki pada seluruh lapang paru dan pasien
juga merasa sesak nafas sehingga mendukung diagnose ini. Hal lain yang mendukung diagnose
bronkiektasis yaitu berdasarkan hasil foto thoraks yang menunjukkan adanya suatu gambaran
bronkiektasis.
Tatalaksana :
Ada dua prinsip penatalaksanaan bronkiektasis yang dapat digunakan, yaitu mengatasi
obstruksi saluran respiratorik dan mengatasi infeksi.
1. Mengatasi obstruksi saluran respiratorik.
 Chest physiotherapy.
Meskipun teknik fisioterapi telah terbukti bermanfaat dalam produksi sputum pada
penderita dewasa, tetapi hal ini tidak dapat diekstrapolasikan pada anak.
 Postural drainage
2. Mengatasi infeksi.
Antibiotik diperlukan selama terjadi eksaserbasi akut. Jenis antibiotik bergantung pada
identifikasi dan sensitivitas organisme yang ditemukan pada pemeriksaan sputum atau
bronchoalveolar lavage. Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisme yang paling sering
diisolasi pada anak adalah H. influenzae bentuk noncapsulated dan bentuk ini tidak dapat
dicegah dengan vaksinasi. Lama pemberian antibiotik parenteral adalah berkisar antara 2−6
minggu
Pemberian antiinflamasi
21

Pemberian kortikosteroid inhalasi juga dimungkinkan untuk mengatur respons dan


mencegah kerusakan akibat inflamasi paru. Kortikosteroid inhalasi yang dapat diberikan meliputi
flutikason, budesonid, atau beklometason. Meskipun demikian, belum ada bukti yang cukup
mendukung untuk merekomendasikan penggunaan kortikosteroid oral dan inhalasi tersebut.
Bronkodilator
Indikasi pemberian bronkodilator yaitu bila terdapat bukti adanya hiperreaktivitas
bronkial, karena obat ini membantu meningkatkan frekuensi gerakan silia dan klirens mukus.
Akan tetapi, beberapa pasien dapat memberikan respons paradoxic bronchoconstriction terhadap
pemberian ß2-agonis, karena itu perlu dilakukan penilaian respons terlebih dahulu sebelum
memulai terapi bronkodilator. Pemberian obat asma harus bersifat individual, selain itu belum
ada cukup data yang mendukung dan berbasis bukti ilmiah untuk merekomendasikan pemberian
ß2- agonis, mukolitik, maupun metilsantin. Hingga saat ini bukti yang ada hanya berdasarkan
laporan kasus. Operasi Reseksi segmental atau reseksi lobus paru dapat bermanfaat pada keadaan
bronkiektasis berat dan yang terlokalisir, atau yang tidak teratasi dengan pemberian antibiotik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik spektrum luas dapat memberikan perbaikan yang
cukup bermakna, sehingga tindakan bedah dapat ditunda.

Analisis Tatalaksana :
Pada kasus pasien diberikan terapi Oksigen, inj. Levofloksasi 720 mg/24jam, nebulizer
combivent 3x1, NAC 3x1, dan dexamethasone 3x1 dan codein 3x1, . Hal ini sesuai dengan teori
dimana pasien bronkiektasis diapat diberikan terapi berupa bronkodilator yaitu berupa nebulizer
dengan combivent. Pada pasien juga diberikan antibiotic berupa levofloksasin dimana terapi ini
diperlukan selama terjadi eksaserbasi akut, sehingga levofloksasin diberikan pada pasien ini.
Kemudian NAC diberikan kepada pasien sebagai pengencer dahak karena pasien mengeluhkan
batuk berdahak secara terus menerus dan diberikan codein untuk mengurangi nyeri yang
dirasakan oleh pasien akibat sesak nafas.

Prognosis :
Meskipun penyebab bronkiektasis tidak dapat ditentukan pada lebih kurang 50% kasus,
tetapi bila identifikasi defisiensi imun humoral, infeksi mikobakteri atau Pseudomonas, serta
22

fibrosis kistik atau ABPA dapat ditentukan, maka hal ini dapat meramalkan prognosis dan
penatalaksanaannya.
Pada pasien kriteria berat menurut skor BSI dengan hasil nilai ≥9, tingkat kematian satu
tahun pertama 7,6-10,5% dan angka rawat inap sebesar 52,6%. Dengan penatalaksanaan yang
tepat kebanyakan pasien bronkiektasis ringan dan sedang dapat menjalani hidup normal tanpa
disabilitas yang berart

Analisis Prognosis:
Prognosis bronkiektasis baik apabila mendapatkan perawatan sedini mungkin. Pada
kasus, pasien pasien sudah mengalami keluhan batuk-batuk sejak 1 bulan yang lalu namun tidak
pernah diobati dan ditambah lagi pasien pernah memiliki riwayat infeksi paru 10 tahun yang lalu
dan tidak pernah diobati sama sekali. Berdasarkan teori dikatakan bahwa pasien dengan
predisposisi, infeksi paru, atau cedera jaringan akan menyebabkan respons inflamasi yang kuat.
Proses inflamasi yang terjadi makin memperburuk keadaan paru-paru pasien sehingga pasien
mengalami sesak nafas karena terjadinya inflamasi kronis pada paru-paru akibat peningkatan
kolonisasi bakteri, sehingga pasien tidak mengalami perbaikan selama perawatan di rumah sakit
dan meninggal pada perawatan hari ke 2 di rumah sakit sehingga prognosis pada pasien ini
buruk.

KIE Pasien:
 Pasien harus beristirahat cukup
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai mekanisme penyakit dan menjelaskan bahwa
seharusnya pasien bisa dirawat sebelum mengalami sesak nafas sehingga bisa
meningkatkan angka kesembuhan.

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


- Mengkonsumsi makanan- makanan bergizi
- Banyak istirahat
- Menghindari faktor pencetus alergi jika pasien alergi
- Memeriksakan diri ke dokter sedini mungkin
23

Konsultasi : konsultasi kepada dokter spesialis penyakit paru

Anda mungkin juga menyukai