Kedua mata juga dikeluhkan berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Warna kuning ini muncul perlahan-lahan. Riwayat kulit tubuh pasien menguning
disangkal. Selain itu, dikatakan pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan
susah tidur di malam hari. Keluhan bengkak di kaki maupun tangan disangkal.
Pasien pernah mengalami sakit sekitar 5 tahun yang lalu yang membuat pasien tampak
kuning dan buang air kecil berwarna seperti teh. Namun tidak ada riwayat keluhan serupa
pada keluarga pasien.
2. Riwayat Pengobatan : -
3. Riwayat kesehatan/Penyakit : -
4. Riwayat keluarga : Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama
Daftar Pustaka :
1. Tjokroprawiro, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sirosis hati. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo: Surabaya. 2007.
2. Sudoyo, W.A., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5 jilid 1. Sirosis hati. Interna
Publishing: Jakarta. 2009.
3. Fauci, A.S. et all. Cirrhosis and its complications in Harrison’s Principles of Internal
Medicine 17th Edition. Mc-Graw Hill: USA. 2008.
4. Tanto, C., dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta. 2014.
5. Sutadi, S.M. USU digital library. Sirosis hati. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Dalam USU: Medan. 2003.
6. Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. Dalam : Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N.
Robbins. Buku Ajar Patologi. 7th Edition. Volume 2. Hati dan saluran empedu . Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 2004.
7. Wolf, C.D. Medscape. Cirrhosis. [online] 20 Oktober 2015.
<http://emedicine.medscape.com/article/185856>. 2014.
8. EASL. Hepatic Encephalopaty in Chronic Liver Disease: 2014 Practice Guideline by the
European Association for the Study Liver and the American Association for the Study of
Liver Diseases. Journal of Hepatology. 2014; 1-18.
9. EASL. Clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial
peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal of Hepatology. 2010; vol. 53;
397–417.Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med. 2011;154:329-3.
Hasil Pembelajaran:
SUBJEKTIF
Seorang pasien laki-laki, 63 tahun, datang ke IGD RSUD Patut Patuh Patju (19 Februari
2018, pukul 1.05 WIB) diantar keluarga dengan keluhan muntah darah berwarna kehitaman
sejak pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah juga disertai perasaan mual. Saat ini
pasien tampak pucat dan lemas. Selain itu pasien juga dikeluhkan buang air besar berwarna
hitam seperti aspal dengan konsistensi lunak dan lengket sejak dua hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan nyeri di ulu hati disangkal, namun dikeluhkan perut terasa penuh dan makin
kencang.
Kedua mata juga dikeluhkan berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Warna kuning ini muncul perlahan-lahan. Riwayat kulit tubuh pasien menguning
disangkal. Selain itu, dikatakan pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan
susah tidur di malam hari. Keluhan bengkak di kaki maupun tangan disangkal.
Pasien pernah mengalami sakit sekitar 5 tahun yang lalu yang membuat pasien tampak
kuning dan buang air kecil berwarna seperti teh.
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit stroke disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat asma maupun alergi disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat dispepsia disangkal
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.
Riwayat stroke disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
Riwayat asma maupun alergi disangkal
Riwayat batuk lama atau penyakit kronis disangkal
Riwayat penyakit jantung dan ginjal disangkal
Riwayat kejang disangkal
Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya pernah mengkosumsi obat parasetamol yang diberikan oleh
Puskesmas.
Riwayat Alergi:
Riwayat Imunisasi:
OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik :
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Kesan gizi: kesan gizi cukup
TTV :
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 93 x/menit, kuat angkat, regular
RR : 20 x/menit, regular
SPO2 : 98 % tanpa O2
Suhu : 36,7 0C axila
Status Generalisata
Kepala/ Leher: normosefal, JVP 5 + 2 (tidak meningkat), KGB (-)
Mata : anemis (+/+), ikterik +-/+), pupil isokor (+/+)
THT : otorea (-/-), rinorea (-/-)
Thoraks :
Inspeksi : simetris (+),spider naevi (-), vena kolateral (-), massa (-),
ginekomasti (-)
Palpasi : kekakuan otot dinding dada (+)
Perkusi : sonor diseluruh lapang paru
Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/- wheezing -/-
Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), jejas (-), scar (-) , vena kolateral (-), caput
meducae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10 x/menit
Perkusi : shifting dullness (+)
Palpasi : defans muscular (-)
Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedema -/-, CRT< 2”, eritema palmaris (-/-)
Ektremitas inferior: akral hangat +/+, oedema -/-, CRT< 2”
Pemeriksaa Penunjang :
Pemeriksaan Laboratorium : (19/02/2018)
Neut 47,4 50 – 70 %
Limf 37,5 25 – 33 %
Tatalaksana :
IVFD NS 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam IV
Inj. Ondansetrone 4 mg/8 jam
Inj. Pantoprazole 30 mg/12 jam
Inj. Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam
Inj. Furosemide 40 mg/24 jam
Sukralfat syr 3 x Cth I
Pro Transfusi PRC 2 kolf/hari sampai Hb ≥ 10 mg/dL
Pro USG Abdomen
ASSESMENT
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan didapatkan kasus Hematemesis Melena e.c sirosis hepatis + anemia sedang
PEMBAHASAN
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh proses keradangan difus
menahun pada hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus (fibrosis)
di mana seluruh kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan-bentukan regenerasi nodul.
Sirosis hepatis pada akhirnya dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus
lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap.1,2,3,4
Epidemiologi
Di negara maju, sirosis hepatis merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada usia
45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati
urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit
ini. Sirosis hepatis juga merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan
bagian penyakit dalam. Perawatan di rumah sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk
mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan oleh karena varises esophagus
yang pecah, ensefalopati hepatik, ascites, dan komplikasi lainnya.1,5
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadan ini sirosis ditemukan waktu
pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsy. Insidensi sirosis hepatis di Amerika
diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar
alkoholik dan infeksi virus kronik. 2 Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-
laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1. Umur rata-rata terbanyak antara
golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.5
Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik sedangkan di
Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia
menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis adalah virus hepatitis B (30-40%), virus
hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang tidak diketahui (10-20%). Alkohol sebagai penyebab
sirosis di Indonesia diduga frekuensinya sangat kecil walaupun belum terdapat data yang
menunjukkan hal tersebut.1,2
Patogenesis
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian sel-sel
hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya berawal dari kematian
sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Sebagai respons terhadap kematian
sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut.
Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan
IV) di saluran porta, sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen
tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-
sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke vena hepatika dan
arteri hepatika ke vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel
yang berlubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan
tinggi, beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein antara
hepatosit dan plasma sangat terganggu.6,7
Transisi dari penyakit hati kronis menjadi sirosis melibatkan proses yang kompleks antara
reaksi inflamasi, aktivasi sel stelata (penghasil kolagen), angiogenesis, dan oklusi pembuluh darah
yang berdampak pada perluasan lesi parenkim hati. Patogenesis utama dari proses fibrosis dan
sirosis hati ialah aktivasi sel stelata. Sel stelata normalnya bersifat “diam” dan berperan dalam
penyimpanan retinoid (vitamin A). Namun adanya stimulus jejas dan reaksi inflamasi akan
mengaktivasi sel stelata sehingga sel tersebut berproliferasi, memproduksi matriks ekstraselular
(kolagen tipe I dan III, proteoglikan sulfat, dan glikoprotein), serta menjadi sel miofibroblas yang
mampu berkontraksi.4
Patofisiologi
Secara garis besar, akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu hipertensi porta dan
insufisiensi hati. Kelainan yang terjadi diantaranya:1,2,3,4
1. Hipertensi porta
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena hepatik >5
mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap aliran darah
porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan resistensi tersebut
disebabkan oleh perubahan struktur parenkim hati (deposisi jarigan fibrosis dan
regenerasi nodular), serta mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah sinusoid hati
(utamanya akibat defisiensi nitrit oksida). Adanya hipertensi porta akan berdampak
pada:
a. Pemebesaran limpa dan skuestrasi trombosit (pada tahap lanjut dapat menjadi
hipersplenisme)
b. Terjadi aliran darah balik dan terbentuk pirau (shunt) dari sistem porta ke
pembuluh darah sistemik (portosistemik). Aliran portosistemik akan
menurunkan kemampuan metabolisme hati (first pass effect), fungsi
retikuloendotelial, dan mengakibatkan hiperamonemia. Namun, kolateral
postosistemik tetap tidak adekuat dalam mengurangi tekanan vena porta.
Sebaliknya, justru akan meningkatkan produksi NO sehingga terjadi
vasodilatasi splanikus dan peningkatan aliran darah ekstrahepatik (sementara
kadar NO intrahepatik tetap rendah).
c. Aktivasi siste renin angiotensin aldosteron, akibat vasodilatasi splanikus dan
vasodilatasi sistemik. Pada tahap lanjut kondisi ini mengakibatkan komplikasi
pada jantung, paru, dan renal.
2. Insufisiensi hati/ kegagalan fungsi hati
Perubahan struktur histologi hati akan diiringi oleh penurunan fungsi hati, antara lain:
a. Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan malnutrisis, defisiensi vitamin
K dan koagulopati (penurunan faktor koagulasiyang membutuhkan vitamin K,
yaitu faktor II, VII, IX, dan X), serta gangguan endokrin (kadar estrogen darah
meningkat, hiperparatiroidisme).
b. Gangguan fungsi ekskresi: kolestasis dan ikterus, hiperamonemia dan
ensefalopati.
c. Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostasis glukosa (dapat menjadi
diabetes melitus), malabsorpsi vitamin D dan kalsium.
Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Gejala Sirosis
Stadium awal sirosis seringkali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis) sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan
penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat
timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila
sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat, muntah darah dan/atau
melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai
koma. Mungkin disertai hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi. 1,2,3,4
Gambar manifestasi klinis dari sirosis hepatis
Pemeriksaan Fisis
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati hipertrofi suatu
periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia
Palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara
spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus, distrofi
reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.1,2,3,4
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil.Bilamana
hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada
sirosis yang penyebabnya nonalkoholik.Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena
hipertensi porta. Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. 1,2,3,4
Foetor hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat Ikterus pada kulit dan
membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak
terlihat.Warna urin terlihat gelap, seperti air teh. Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa
pergerakan mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.1,2,3,4
Gambar manifestasi hipertensi porta
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.Konsentrasi yang
tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis billier primer. Gama-
glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit
hati.Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain menginduksi
GGT mikrosomal hepatic, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.2,4
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun
sesuai dengan perburukan sirosis. Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis.Akibat
sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan
disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada
sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan eksresi air bebas.2,4
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta.Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan
karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati,
permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan
noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga
dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining
karsinoma hati pada pasien sirosis. Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG,
tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal. Magnetic Resonance Imaging, peranannya
tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.2,4
Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis
diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya. Komplikasi yang dapat terjadi
pada sirosis hepatis, antara lain:1,2,4
Penatalaksanaan
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi
utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu
bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga
terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali
seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.2
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada
peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan stelata sebagai target
pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi
aktifasi sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek antiperadangan dan
mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan
sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.2
Penatalaksanaan sirosis dekompensata
Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan mengembalkan ke kondisi
kompensata. Tatalaksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan, diantaranya:
1. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90
mmol/hari (rekomendasi: natrium 6-8 g/hari). Restriksi asupan cairan menjadi 1000
mL/hari hanya direkomendasikan pada pasien hiponatremia delusional (kadar Na+ serum
<130 mmol/L). Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg/hari. Respon diuretik bisa
dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1
kg/hari dengan edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa
dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa
ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi
dengan pemberian albumin. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya
diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram.2
2. Varises
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat β-blocker non selektif
(propanolol 80-160 mg/hari PO) yang dapat dikombinasi dengan isosorbid mononitrat
dosis 2x20 mg/hari PO. Target terapi penurunan gradient tekanan vena hepatik hingga
kurang dari <12 mmHg. Waktu perdarahan akut, terapi farmakologis yang dpat diberikan
yaitu vasopresin dosis 10 U/jam yang dikombinasikan dengan somatostatin dosis 250
µg/12 jam. Alternatif somatostatin ialah analog somatostatin seperti oktreotid dosis 100 µg
IV bolus dilanjutkan infuse 25 µg/jam. Terapi diberika selama 2-5 hari. Dapat diteruskan
dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.2,4
3. Ensefalopati hepatik
Pembatasan asupan protein sebaiknya dilakukan sementara, dan dapat kembali diberikan
setelah terdapat perbaikan. Diet protein dikurangi sampai 0,5 gram/kg berat badan per hari,
terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. Protein dapat ditingkatkan secara
bertahap, misalnya dari 10 gram menjadi 20 gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan
dengan respon klinis, dan apabila keadaan telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram
perhari. Pemakaian laksansia laktulosa diberika secara oral dengan dosis 60-120 ml perhari
untuk merangsang defekasi. Laktulosa merupakan disakarida yang tidak diabsorbsi oleh
usus halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga terjadi lingkungan dengan
pH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Antibiotik neomisin bisa
digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diberikan 2-4 gram perhari
baik secara oral atau secara enama. Alternatif lain yang dapat diberikan yaitu metronidazol
4x250 mg perhari.2
4. Peritonitis bakterial spontan
Terapi empiris diberikan antibiotika seperti sefalosporin generasi ketiga (seftriakson 1
gram/12 jam selama 7 hari), sebagai alternative yaitu sefotaksim intravena, amoksilin, atau
aminoglikosida.2,4
5. Sindrom hepatorenal
Pasien sirosis sangat sensitive dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, maka
perlu dihindari pemakaian diuretik agresif, parasentesis asites dan restriksi cairan yang
berlebihan. Hal utama yang perlu dilakukan yaitu mengatasi perubahan sirkulasi darah hati,
mengatur keseimbangan garam dan air.2
Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum
dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.2
Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya
kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh,
juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan manjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi
ini terdiri dari Child A, B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan
hidup selama satu tahun pada pasien. Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk penderita
sirosis dengan Child-Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-masing 100, 80, dan 45%.2
Tabel skor Child-Turcotte-Pugh:2,4
Faktor Unit 1 2 3
Serum µmol/L < 35 35−50 > 50
bilirubin mg/dL < 2,0 2,0−3,0 > 3,0
Serum albumin g/L > 35 30−35 < 30
g/dL > 3,5 2,8−3,5 < 2,8
Prothrombin Detik 0−4 4−6 >6
time pemanjangan
INR < 1,7 1,7-2,3 > 2,3
Ascites Tidak ada Dapat Tidak dapat
dikontrol dikontrol
Hepatic Tidak ada Minimal Berat/koma
encephalopathy (derajat 1-2) (derajat 3-4)
Klasifikasi Child-Pugh dihitung dengan menjumlahkan skor dari lima faktor dan dapat
bernilai dari 5 sampai 15. Klasifikasi Child-Pugh kelas A (5-6), B (7-9), atau C (10 atau lebih).
Keadaan dekompensasi mengindikasikan cirrhosis dengan skor Child-Pugh 7 atau lebih (kelas
B).4
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesunguhnya.
Pendamping