Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. RIZKY HANIFAH NADIAWATI

PENDAMPING :
dr. NURUL FAJRI K
dr. MUH. HERMAN S

DOKTER INTERNSIP WAHANA RST TK IV DR ASMIR SALATIGA


PERIODE 15 NOVEMBER 2018 – 15 NOVEMBER 2019
KOTA SALATIGA
Borang Portofolio

Nama Peserta: dr. Rizky Hanifah Nadiawati


Nama Wahana: RST TK IV DR Asmir Salatiga
Topik: Sirosis Hepatis
Tanggal (kasus): 31 Desember 2018
Nama Pasien: Tn. S / 66 tahun No. RM: 086160
Nama Pendamping: dr. Nurul Fajri K
Tanggal Presentasi : -
dr. Muh. Herman S
Tempat Presentasi: -
Obyektif Presentasi:

■ Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka

■ Diagnostik ■ Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja ■ Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi:
Seorang laki-laki, 66 tahun dengan keluhan muntah darah
 Tujuan:
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis penyakit dalam untuk penanganan lebih lanjut
terkait kasus Sirosis Hepatis serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.
Bahan bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset ■ Kasus  Audit

Cara membahas:  Diskusi  Presentasi dan diskusi  Email  Pos

Data pasien: Nama: Tn. S Nomor Registrasi: 086xxx

Nama klinik: RST TK IV Dr. Asmir


Telp:- Terdaftar sejak: 17 Agustus 2017
Salatiga

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : Muntah darah
2. Riwayat Kesehatan / Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh muntah darah sejak ± 3 hari SMRS. Muntah darah berwarna merah cerah. BAB darah (-), BAB hitam (-). Pasien juga
mengeluhkan perut terasa kurang nyaman sejak 5 hari SMRS. Pasien merasa 1 minggu terakhir BAK berwarna kecoklatan seperti teh.
Pasien merasa badannya lemas dan kulit menjadi kekuningan.
3. Riwayat Pengobatan:

4. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat penyakit serupa (+) tahun 2017 didiagnosis penyakit hepatitis B, gastritis NSAID dan anemia.
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat jatuh /.trauma (-)
5. Riwayat Keluarga : Riwayat keluhan serupa (-), Riwayat hipertensi (-), Riwayat DM (-)

6. Riwayat Pekerjaan : tidak bekerja

7. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal bersama istri dan anaknya di rumah. Pasien berobat dengan menggunakan
fasilitas BPJS.
8. Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), riwayat mengkonsumsi obat-obat pegal linu (+), riwayat mengkonsumsi jamu (+) selama
puluhan tahun
9. Pemeriksaan Fisik
VITAL SIGN
 KU : tampak sakit sedang
 Tekanan darah : 134/79 mmHg
 Frekuensi nadi : 65x/menit
 Frekuensi nafas : 20x/menit
 Suhu : 36,2oC
 SpO2 : 98%

PEMERIKSAAN FISIK

PRIMARY SURVEY
• Airway : Bebas
• Breathing : Spontan, Frekuensi nafas 20x/ menit, regular cepat
• Circulation : Akral hangat, CRT < 2”, frekuensi nadi 65 x/menit
• Disability : GCS 15 (E4 M6 V5)

SECONDARY SURVEY
a. Kepala : Simetris, mesosefal
b. Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
c. Mulut & Tenggorokan : Mukosa basah, tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring hiperemis (-), papil lidah atrofi (+)
d. Leher : KGB servikal tidak membesar, JVP tidak meningkat
e. Thoraks : tidak tampak jejas, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor I : ictus cordis tidak tampak

P: ictus cordis tidak kuat angkat


P: batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea parasternalis sinistra
batas jantung kiri bawah : spatium intercostale V, 1 cm medial linea medioklavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea parasternalis dextra
(Kesan: Batas jantung kesan tidak melebar)
A : Bunyi jantung I-II, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba (+ /+)
P : Sonor / sonor
A : SDV (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-)
f. Abdomen :

I : DP > DD
A: Bising usus (+) dalam batas normal
P : Pekak alih (+), undulasi (+)
P : Supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium, defans muscular (-), liver span ±5cm kesan mengecil, lien tidak teraba, turgor dalam
batas normal.
g. Genitourinaria : Darah (-), Nanah (-), nyeri BAK (-)
h. Ekstremitas :
Akral Dingin CRT < 2” Edema

10. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan darah rutin

Pemeriksaan 31-12-2018 Satuan Rujukan


Hb 5.8 g/dl 13-16
Leukosit 1.40 103/ml 5.0-12.0
Trombosit 37 103/ml 100-400
Hematokrit 18.5 % 35.0-49.0
Eritrosit 2.44 106/ml 100-300
MCV 75.9 /um 82.0-95.0
MCH 23.8 pg 27.0-31.0
MCHC 31.3 g/dL 32.0-36.0
MPV 9.2 % 6.5-12.00
PDW 16.2   9.0-17.0
Eosinofil 8.7 % 1-3
Basofil 0.3 % 0-1
Neutrofil 64.9 % 50-70
Lymfosit 20.9 % 20-40
Monosit 5.2 % 2-8
SGOT 38.9 µ/l <31
SGPT 28.1 µ/l <37
Ureum 30.5 mg/dL 15-45
Creatinin 1.08 mg/dL 0.6-1.1
Gol. Darah O Rh+
Morfologi darah tepi Terlampir
HBsAg Reactive Non reactive

b. Pemeriksaan morfologi darah tepi (31/12/2018)


Observasi pansitopenia suspek anemia aplastik dd/ mielodisplastic syndrome
c. USG abdomen (03-01-2019)
Kesan:
- Gambaran sirosis hepatis dengan gambaran ascites, disertai gambaran cholecystitis
- Gambaran prostat enlargement dengan berat ± 70,49 gram dengan protusio ke dinding VU, mengarah gambaran BPH
- Lien, ren dextra et sinistra, dan VU tak tampak kelainan secara sonografik
- Tak tampak gambaran massa maupun batu pada organ-organ tersebut diatas

11. Resume
• Pasien mengeluh muntah darah sejak ± 3 hari SMRS. Muntah darah berwarna merah cerah. BAB darah (-), BAB hitam (-). Pasien juga
mengeluhkan perut terasa kurang nyaman sejak 5 hari SMRS. Pasien merasa 1 minggu terakhir BAK berwarna kecoklatan seperti teh.
Pasien merasa badannya lemas dan kulit menjadi kekuningan.
• Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 134/79 mmHg, HR 65x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,2oC, saturasi
oksigen 98%. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva anemis, papil lidah atrofi, Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, liver span ± 5cm kesan mengecil, pekak alih dan undulasi (+), nyeri
tekan (+) pada regio epigastrium.
• Dari hasil pemeriksaan penunjang, USG abdomen menunjukkan gambaran sirosis hepatis dengan gambaran ascites, disertai
gambaran cholecystitis. Morfologi darah tepi menunjukkan gambaran pansitopenia suspek anemia palstik dd/ mielodisplastic
syndrome.

12. Diagnosis
Hematemesis ec sirosis hepatis dd gastritis erosif, hepatitis B, klinis anemia

13. Penatalaksanaan
Usulan terapi:
 Infus asering 20 tpm
 Injeksi omeprazole 1x40mg
 Injeksi ondansetron 2x1 amp
 Sucralfat syrup 3xIIC
 Curcuma 3x1
Planning:
 EKG
 Lab: Darah rutin, GDS, Ur, Cr, SGOT, SGPT
 Pengawasan KU dan VS
 Diit cair dingin
14. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subyektif
Pasien mengeluh muntah darah sejak ± 3 hari SMRS. Muntah darah berwarna merah cerah. BAB darah (-), BAB hitam (-). Pasien juga
mengeluhkan perut terasa kurang nyaman sejak 5 hari SMRS. Pasien merasa 1 minggu terakhir BAK berwarna kecoklatan seperti teh.
Pasien merasa badannya lemas dan kulit menjadi kekuningan.
2. Objektif
• Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 134/79 mmHg, HR 65x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,2oC, saturasi
oksigen 98%. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva anemis dan papil lidah atrofi. Pada pemeriksaan abdomen
terdapat dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, liver span ± 5cm kesan mengecil, perkusi pekak alih dan undulasi, serta
nyeri tekan epigastrium,
• Dari hasil pemeriksaan penunjang, Morfologi darah tepi menunjukkan gambaran pansitopenia suspek anemia aplastik dd/
mielodisplastic syndrome. USG abdomen menunjukkan gambaran sirosis hepatis dengan gambaran ascites, disertai gambaran
cholecystitis.
3. Assesment
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis Hematemesis, Sirosis Hepatis dan riwayat Hepatitis B.
4. Plan
Diagnosis: Untuk lebih menunjang diagnosis, dapat diusulkan dilakukan beberapa pemeriksaan lanjutan seperti USG Abdomen,
Pemeriksaan fungsi liver (ALT, AST), kadar albumin, bilirubin, INR, dan pemeriksaan histologi jaringan hepar.
Pengobatan:
Pemberian terapi pada kasus hematemesis pada sirosis hepatis adalah pemberian obat hemostatik dan obat beta blocker yang
ditujukan untuk menghindari terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises. Pemberian obat-obatan pelindung mukosa
lambung seperti antasida, PPI, dan mukoprotektor dilakukan agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta.
Pendidikan: Pendidikan dilakukan kepada pasien dan keluarganya untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan, untuk
itu ada tahap awal pasien dan keluarganya diminta datang agar mendapat edukasi yang lengkap.
Konsultasi: Dilakukan kepada dokter spesialis penyakit dalam
Rujukan: -
FOLLOW UP

Tanggal Kondisi Klinis Planning

1/Januari/2019 S : Muntah darah (-), lemas, perut terasa sebah - Transfusi 4 kolf PRC, 1 kolf/12 jam dengan pre
medikasi injeksi Lasix 1 ampul dan injeksi
O : KU: Composmentis, sakit sedang Dexamethasone 1 ampul.
TD: 120/80 mmHg - Terapi dilanjutkan:
HR: 85 kali/menit t: 36.0  Inf. Asering 20 tpm
Sp02: 98%  Inj. Omeprazole 1x40mg
RR: 20 kali/menit  Inj. Ondansetron 2x1 amp
Mata : CA (+/+)  Sucralfat syr 3xC II
Mulut : papil lidah atrofi (+)  Curcuma 3x1
Abdomen : NT (+) epigastrium, undulasi (+),
pekak alih (+), liver span 5cm

A: Hematemesis ec Sirosis hepatis dd gastritis erosif,


Hepatitis B
2/Januari/2019 S : Muntah darah (-), lemas, perut terasa sebah - USG abdomen (3/1/19)
- Terapi dilanjutkan :
O : KU: Composmentis, sakit sedang  Inf. Asering 20 tpm
TD: 140/100 mmHg  Inj. Omeprazole 1x40mg
HR: 81 kali/menit t: 36.0  Inj. Ondansetron 2x1 amp
Sp02: 98%  Sucralfat syr 3xC II
RR: 20 kali/menit  Curcuma 3x1
Mata : CA (+/+)  Spironolacton 1x100mg
Mulut : papil lidah atrofi (+)  Propanolol 3x1
Abdomen : NT (+) epigastrium, undulasi (+),
pekak alih (+), liver span 5cm

A: Hematemesis, Sirosis hepatis, hepatitis B


3/Januari/2019 S : Muntah darah (-), lemas, perut terasa sebah - Rencana BLPL
- Obat pulang :
O : KU: Composmentis, sakit sedang  Furosemid 1x40mg
TD: 130/90 mmHg  Sucralfat syr 3xC II
HR: 80 kali/menit t: 37.0  Curcuma 3x1
Sp02: 98%  Spironolacton 1x25mg
RR: 20 kali/menit
Mata : CA (+/+)
Mulut : papil lidah atrofi (+)
Abdomen : NT (+) epigastrium, undulasi (+),
pekak alih (+), liver span 5cm

A: Hematemesis, Sirosis hepatis, hepatitis B


Hasil USG:
- Gambaran sirosis hepatis dengan gambaran ascites,
disertai gambaran cholecystitis
- Gambaran prostat enlargement dengan berat ± 70,49
gram dengan protusio ke dinding VU, mengarah
gambaran BPH
- Lien, ren dextra et sinistra, dan VU tak tampak
kelainan secara sonografik
- Tak tampak gambaran massa maupun batu pada
organ-organ tersebut diatas
4 Januari 2019 S : Muntah darah (-), lemas, perut terasa sebah - Transfusi 2 kolf whole blood, 1 kolf/12 jam
- Pre medikasi: Injeksi dexamethasone dan injeksi
O : KU: Composmentis, sakit sedang lasix
TD: 130/70 mmHg - Terapi dilanjutkan :
HR: 84 kali/menit t: 36.0  Inf. Asering 20 tpm
Sp02: 98%  Inj. Omeprazole 1x40mg
RR: 20 kali/menit  Inj. Ondansetron 2x1 amp
Mata : CA (+/+)  Inj. Furosemide 1x40mg
Mulut : papil lidah atrofi (+)  Sucralfat syr 3xC II
Abdomen : NT (+) epigastrium, undulasi (+),  Curcuma 3x1
pekak alih (+), liver span 5cm  Spironolacton 1x100mg
 Propanolol 3x1
A: Sirosis hepatis, hepatitis B, asites -

Hasil lab:
Hb : 8.1 gr/dL MCV : 77.8 fl
AL : 5.11 x 10 3/uL MCH : 24.5 pg
AT : 36 x 103/uL MCHC : 31.5 g/dL
Hct : 25.7 %
AE : 3.30 x 106/uL
5 Januari 2019 S : keluhan (-) - BLPL
- Obat pulang :
O : KU: Composmentis, sakit sedang  Furosemid 1x40mg
TD: 100/68 mmHg  Sucralfat syr 3xC II
HR: 63 kali/menit t: 37.0  Curcuma 3x1
Sp02: 98%  Spironolacton 1x25mg
RR: 20 kali/menit
Mata : CA (+/+)
Mulut : papil lidah atrofi (+)
Abdomen : NT (+) epigastrium, undulasi (+)
minimal, pekak alih (+) minimal,
liver span 5cm
A: Sirosis hepatis, hepatitis B, asites

Hasil lab:
Hb : 11.2 gr/dL MCV : 80.3 fl
AL : 5.15 x 10 3/uL MCH : 25.6 pg
AT : 47 x 103/uL MCHC : 31.8 g/dL
Hct : 35.2 %
AE : 4.38 x 106/uL
TINJAUAN PUSTAKA

SIROSIS HEPATIS

A. Definisi
Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (KHS) adalah dua keluaran klinis hepatitis B kronik yang tidak diterapi dengan tepat. Sirosis adalah
suatu proses difus anatomi dengan gambaran fibrosis dan pembentukan nodul, merupakan penanda dari jejas liver kronik. Pembentukan
nodul dapat berlangsung sendiri tanpa disertai fibrosis. Pembentukan jaringan ikat disertai nodul biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul. 4 Penurunan fungsi liver dan bentuk
hepar yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang
akhirnya menyebabkan hipertensi portal.
Di Indonesia, virus hepatitis B merupakan penyebab tersering dari sirosis hepatis yaitu sebesar 40-50% kasus, diikuti oleh virus hepatitis
C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya. 10 Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan
hepatitis B yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis dekompensata
dalam 5 tahun berikutnya. Di Indonesia, rata-rata umur kejadian sirosis hepatis adalah 40 tahun, sehingga pengambilan batas 30 tahun dirasa
cukup memberikan waktu untuk deteksi dini sirosis.1
Tabel 1. Penjamu, penyakit, dan faktor lingkungan yang berhubungan dengan sirosis dan KHS (AASLD, 2015).

Sirosis Karsinoma Hepatoseluler (KHS)


Penjamu >40 tahun >40 tahun
Laki-laki Laki-laki
Imunokompromais Imunokompromais
Riwayat keluarga
Penyakit Kadar HBV DNA Terbentuknya sirosis
serum yang tinggi
(>2000 IU/mL)
Kenaikan kadar ALT Tingginya serum HBV DNA (>2000 IU/mL)
Waktu serokonversi ke Kenaikan kadar ALT
HBeAg yang lama
Waktu serokonversi ke HBeAg yang lama
Lingkungan Infeksi virus berulang Infeksi virus berulang (HCV, HIV, HDV)
(HCV, HIV, HDV)
Konsumsi alkohol Konsumsi alkohol dalam waktu lama
dalam waktu lama
Sindroma metabolik Sindroma metabolik (obesitas, diabetes)
(obesitas, diabetes)
Aflatoksin
Merokok

Pada fase immune clearance, sistem imun penderita akan bereaksi melawan infeksi VHB. Pada penanda biokimia, fase ini ditandai
dengan peningkatan ALT sampai lebih dari lima kali batas atas nilai normal. Semakin tinggi nilai ALT, maka semakin tinggi aktivitas imun
penderita terhadap infeksi VHB. Kerusakan hepatosit yang terjadi pun semakin ekstensif. Proses ini pada akhirnya dapat mengakibatkan
gagal hati dan dekompensasi hati. Semakin lama fase ini berlanjut, maka semakin tinggi pula kemungkinan untuk terjadinya penyakit hati
yang ireversibel. Studi menunjukkan pada daerah Asia Pasifik, insidens sirosis pada pasien dengan infeksi kronik hepatitis B dilaporkan
sebanyak 1.0 - 2.4% per tahun. Rasio regresi sirosis kompensata menjadi dekompensata sekitar 4.6% pertahun.1

B. Klasifikasi
Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi:

a. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata.
b. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Sirosis hepatis kompensata merupakan kelanjutan
dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati.30

Secara morfologi Sherlock membagi Sirosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

C. Patogenesis
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hati
kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas.
Penyebab lain antara lain autoimun, infeksi parasit, toksisitas obat, dan reaksi inflamasi kronis.4
Respons sel tubuh manusia pada infeksi virus Hepatitis B dapat menyebabkan keadaan berikut:
a. Sebelum terjadi peradangan, sel hepar masih berfungsi normal namun produksi virus berlangsung terus yang disebut dengan infeksi
persisten (pasien tetap sehat dengan titer HbsAg yang tinggi)
b. Terjadi proses peradangan sel hepar dan sintesis virus ditekan, yang disebut sebagai hepatitis akut
c. Terjadi proses peradangan yang berlebihan dan keadaan ini akan menyebabkan kerusakan sel hepar yang disebut dengan hepatitis
fulminan
d. Terjadi proses yang tidak sempurna, yaitu proses peradangan dan sintesis virus berjalan terus yang disebut sebagai hepatitis kronis.

Hepar normal
Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, terletak di regio hipochondriaca dextra hingga epigastrium. Hepar terbagi atas
4 lobus, dan terdapat beberapa pembuluh darah yang keluar-masuk hepar, antara lain vena porta, vena hepatica comunis, arteri hepatica,
dan ductus hepaticus. Hepar memiliki banyak fungsi, antara lain menghasilkan empedu, metabolisme lemak, penyimpanan glikogen,
metabolisme protein (albumin, faktor pembekuan darah), degradasi asam amino, dan tempat penyimpanan vitamin dan beberapa mineral.
Gambar 1. Anatomi Hepar8

Fibrosis
Fibrosis merupakan proses produksi kolagen tipe I / III yang berlebihan oleh sel stelata dan fibroblas portal akibat proses peradangan
kronis (TNF alpha, TGF-beta, IL1), sitokin dari sel Kupffer, sel endotel, sel saluran empedu, hepatosit dan gangguan matriks
ekstraseluler dan toksin. Regenerasi hepatosit melalui proliferasi sel progenitor pada reaksi ductal. Kerusakan parenkim juga terjadi
akibat gangguan vaskuler.4

Gambar 2. Perbedaan struktur makroskopis hati normal-sirosis-HCC


D. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala
sehingga sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala-gejala umum sirosis meliputi perasaan mudah
lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun. Gejala spesifik berhubungan dengan
gangguan fungsi liver, antara lain4:
- Gangguan sintesis protein: leukonikia (white nails), asites
- Gangguan ekskresi bilier: jaundice, pruritus
- Gangguan metabolisme nitrogen: ensefalopati hepatikum
- Gangguan metabolisme estrogen: palmar eritem, spider naevi, atrofi testis, ginekomastia

Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi dua kondisi utama yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan
tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan utama tersebut. Gejala dan tanda dari kelainan utama
ini dapat dilihat di tabel 2.

Tabel 2. Gejala Kegagalan Fungsi Hati dan Hipertensi Porta.5


Gejala Kegagalan Fungsi Hati Gejala Hipertensi Porta
 Ikterus  Varises esophagus

 Spider naevi  Splenomegali

 Ginekomastisia  Pelebaran vena kolateral

 Hipoalbumin  Ascites

 Ascites  Hemoroid

 Eritema palmaris  Caput medusa

 White nails

Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik
dan penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil
peningkatan resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Resistensi intra hepatik meningkat
melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis, sedangkan
secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas,
untuk mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin
II, leukotrin dan trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan
resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat
dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta ditandai dengan
peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskular sistemik.11,12,13
E. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan penderita yang tampak kesakitan dengan nyeri tekan pada regio epigastrium. Terlihat juga tanda-
tanda anemis pada kedua konjungtiva mata dan ikterus pada kedua sklera. Ikterus juga dapat terjadi di kulit. Munculnya ikterus merupakan
bentuk kegagalan metabolisme bilirubin sehingga mengindikasikan seseorang menderita penyakit liver. Pada pemeriksaan jantung dan paru,
biasanya dalam batas normal. Pada daerah abdomen, ditemukan perut yang membesar pada seluruh regio abdomen dengan tanda-tanda
ascites seperti pemeriksaan shifting dullness dan gelombang undulasi yang positif. Ascites dan edema tungkai terjadi ketika liver kehilangan
kemampuannya mensintesis protein albumin. Hepar, lien, dan ginjal sulit untuk dievaluasi karena besarnya ascites dan nyeri yang dirasakan
oleh pasien. Namun pada kasus sirosis dengan asites minimal, pemeriksaan batas hepar masih dapat dilakukan dan dapat ditemukan ukuran
liver span yang mengecil. Pada ekstremitas juga ditemukan adanya edema pada kedua tungkai bawah.5 Hematemesis menjadi tanda yang
paling umum dijumpai pada pasien sirosis hepatis dengan komplikasi varises esophagus. Darah yang keluar berwarna kehitaman dan tidak
akan membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung. Penyebab perdarahan lain yang dapat dipikirkan adalah tukak lambung dan
tukak duodeni.

Pemeriksaan penunjang standar yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan fungsi liver (ALT, AST) dilakukan untuk
evaluasi kegagalan fungsi liver. Penilaian skor Child-Pugh dapat dilakukan dengan parameter berikut: albumin, bilirubin, INR/waktu
prothrombin.6 Penilaian skor ALBI (Albumin-Bilirubin) juga dapat dijadikan sebagai penilaian alternatif selain Child-Pugh.7

Pemeriksaan histologis hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan secara rutin. Namun, pemeriksaan ini mempunyai peranan
penting karena penilaian fibrosis hati merupakan faktor prognostik pada infeksi hepatitis B kronik. Indikasi dilakukannya pemeriksaan
histologis hati adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria pengobatan dan berumur >30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS dan
sirosis dalam keluarga.1

Evaluasi fibrosis dengan cara invasif maupun non invasif dilakukan pada pasien dengan muatan virus tinggi dan peningkatan ALT
serum minimal yang berumur >30 tahun atau pada pasien berumur <30 tahun dengan faktor risiko tinggi.1
Parasentesis diagnotik disarankan pada semua pasien dengan new-onset asites, karena analisis cairan asites merupakan metode tercepat
dan terakurat untuk menentukan etiologi asites.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari sirosis hepatis. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi
progresifitas dari penyakit. Menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakaan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi
merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis.
Evaluasi beratnya derajat sirosis dekompensata terkait dengan infeksi VHB pada saat memulai terapi penting dilakukan untuk
menentukan prognosis dan prioritas terapi pada pasien. Semakin ringan derajat sirosis dekompensata atau semakin rendah skor Child-Pugh
saat dimulai terapi, maka semakin baik prognosisnya dan respon terhadap terapi akan semakin baik.
Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan Hepatitis B pada pasien dengan Sirosis Hepatis1

Terapi pada pasien dengan sirosis harus dimulai sedini mungkin. Interferon tidak dapat diberikan pada kondisi sirosis dekompensata.
Beberapa studi telah membuktikan efikasi lamivudin pada pasien sirosis dekompensata terkait dengan infeksi VHB. Lamivudin menginduksi
supresi replikasi virus sampai pada level tidak terdeteksi dengan 6 bulan pengobatan. Hal ini akan diikuti dengan perbaikan fungsi hati
hingga perbaikan skor Child-Turcotte-Pugh (CTP).
Entecavir dapat mensupresi replikasi VHB, wild type maupun resisten lamivudin, lebih cepat dan lebih efektif pada pasien sirosis
dekompensata dibandingkan dengan adefovir dan lamivudin.116 Pada pasien sirosis dekompensata, pemberian entecavir 0.5 mg/hari selama
12 bulan menunjukkan perbaikan skor Child-Pugh, negativitas DNA VHB, serokonversi HBeAg, dan normalisasi ALT.
Lamivudin atau telbivudin dapat digunakan pada pasien dengan sirosis dekompensata. Entecavir dan tenofovir efektif terhadap pasien
biasa maupun pasien dengan resisiten lamivudin. Pemantauan fungsi renal dan asidosis laktat dianjurkan pada pasien dengan skor
MELD>20.
Pada pasien dengan sirosis terkompensasi terapi dimulai pada pasien dengan DNA VHB >2 x 103 IU/mL. Sedangkan pada sirosis tidak
terkompensasi, terapi harus segera dimulai untuk mencegah deteriorasi tanpa memandang nilai DNA VHB ataupun ALT. 1 Terapi IFN pada
pasien dengan sirosis viral secara signifikan menurunkan rasio insiden KHS, tertama pada pasien dengan DNA VHB serum yang tinggi.8
Peg-IFN aman digunakan pada pasien sirosis dan fibrosis lanjut yang terkait infeksi VHB. Secara umum terapi berbasis interferon
dikontraindikasikan pada pasien dengan sirosis dekompensata terkait VHB, karena dapat menyebabkan dekompensasi dan meningkatkan
risiko infeksi bakteri, bahkan pada dosis kecil.1
Pengobatan lini pertama untuk asites pada sirosis hepatis adalah restriksi natrium (2000 mg per hari, edukasi diet) dan diuretik
(spironolakton oral dengan atau tanpa furosemide oral). Penggunaan kedua obat secara bersamaan dapat mempercepat natriuresis dan
mempertahankan normokalemia. Dosis kedua obat oral dapat ditingkatkan secara simultan setiap 3-5 hari bila natriuresis dan penurunan
berat badan tidak signifikan. Dosis maksimal spironolakton adalah 400 mg per hari dan furosemide 160 mg per hari. Restriksi cairan tidak
diperlukan kecuali bila kadar natrium <125 mmol/L. Pada kasus asites pada sirosis hepatis, yang diperlukan adalah restriksi natrium, bukan
restriksi cairan.3 Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala ascites yang dialami pasein tidak memberat. Respon diuretik dapat
dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari tanpa edema kaki atau 1kg/hari dengan edema kaki. Parasintesis asites dilakukan apabila
asites sangat besar. Biasanya pengeluarannya mencapai 4 - 6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Pemberian obat hemostatik berupa asam traneksamat dan obat beta blocker ditujukan untuk menghindari terjadinya perdarahan saluran
cerna akibat pecahnya varises. Pemberian obat-obatan pelindung mukosa lambung seperti antasida, PPI, dan mukoprotektor dilakukan agar
tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta. Diet cair diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna.
Hal ini dilakukan karena salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan pecahnya varises adalah makanan yang keras dan mengandung
banyak serat. Selain melalui nutrisi enteral, pasien juga diberi nutrisi secara parenteral dengan pemberian infus kombinasi NaCl 0,9%,
dekstrosa 10%, dan aminoleban dengan jumlah 20 tetesan per menit.
Pemberian antibiotik ditujukan untuk mengurangi jumlah bakteri di usus yang bisa menyebabkan peritonitis bakterial spontan serta
mengurangi produksi amonia oleh bakteri di usus yang dapat menyebabkan ensepalopati hepatikum jika terlalu banyak amonia yang masuk
ke peredaran darah.

G. Prognosis
Pada perjalanan penyakitnya, pasien dengan sirosis kompensata terkait infeksi VHB akan berkembang menjadi sirosis dekompensata atau
KHS, terutama pada pasien dengan replikasi virus aktif. Umur saat awal sirosis dan HBeAg seropositif yang persisten menjadi faktor
independen dalam progresi penyakit. Adanya sirosis juga merupakan faktor risiko timbulnya KHS. Perubahan kromosom sudah terjadi pada
saat nodul sirosis terbentuk, oleh karena itu pasien dengan sirosis dekompensata dengan pengobatan apapun disarankan untuk dipantau risiko
KHS-nya secara berkala.1
Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut. Dimana angka
kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria Child-Pugh A adalah 100%, Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh C
adalah 45%. Klasifikasi menurut Child-Pugh pertama kali diperkenalkan pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka kematian selama
operasi portocaval shunt. Sistem ini kemudian direvisi pada 1973 dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang kurang
spesifik dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan dengan menggunakan INR selain waktu protrombin dalam menilai
kemampuan pembekuan darah.
Tabel 3. Skoring Child-Pugh untuk penilaian derajat Sirosis Hepatis dan prognosis

Skor/parameter 1 2 3
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time
> 70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Min. – sedang
Asites 0 Banyak (+++)
(+) – (++)
Ensefalopati hepatikum Tidak 1,0-2,0 3,0-4,0
Hepatic
Tidak ada Stadium 1 & 2 Stadium 3 & 4
Encephalopathy
Keterangan: Class A, 5-6 point; Class B, 7-9 point; Class C, 10-15 point

H. Komplikasi
Terdapat beberapa kegawatan yang merupakan komplikasi sirosis hepatis, antara lain:
1. Asites permagna
2. Spontaneous Bacterial Peritonitis
3. Perdarahan varises esophagus
Pada sirosis hepatis, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke jantung dari saluran cerna dan meningkatkan tekanan vena
portal (hipertensi portal). Ketika tekanan vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hepar melalui
vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah untuk mem-
bypass hepar adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung.
4. Sindroma Hepatorenal
5. Ensefalopati hepatikum
I. Pencegahan
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan lewat kontak dengan cairan tubuh pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan
serebrospinal, cairan peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh lainnya. Maka pencegahan umum
infeksi hepatitis B dicapai dengan menghindari kontak langsung degan cairan tubuh pasien. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan
pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal,
seperti menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh pasien, penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat
dengan cara yang benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum menangani pasien dapat mengurangi risiko
penularan, terutama pada tenaga medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular hepatitis B. Selain itu, penapisan dan konseling
pada kelompok risiko tinggi sebaiknya dilakukan. Individu yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup individu yang terpapar
produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental, pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang
yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah endemis
hepatitis B, individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan partner seksual multipel, penyalah guna obat
injeksi, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik.
Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi Hepatitis B. Vaksin Hepatitis B mengandung HBsAg yang dimurnikan.
Indikasi pemberian vaksinasi hepatitis B adalah kelompok individu yang mempunyai risiko terinfeksi hepatitis B diantaranya: individu yang
terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental, pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX,
orang yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual/biseksual aktif, individu yang tingal di daerah
endemis hepatitis B, individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan partner seksual multipel, penyalah guna
obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik.
Konseling dan edukasi berperan penting dalam pencegahan dan penanganan hepatitis B. Seperti telah disebutkan di atas, keberhasilan
terapi hepatitis B akan menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas. Selain itu, keberhasilan terapi ni juga dipengaruhi kepatuhan minum
obat pasien. Maka pada setiap pasien hepatitis B, konseling berikut harus diberikan:
 Pasien harus menghindari alkohol sama sekali dan mengurangi makanan yang memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.
 Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu, suplemen, atau obat yang dijual bebas.
 Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya apabila berobat ke dokter untuk menghindari pemberian terapi yang bersifat
hepatotoksik dan terapi imunosupresi.
 Pasien yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani pemeriksaan USG dan AFP setiap 6 bulan sekali untuk deteksi dini kanker hati.
 Perlu dilakukan vaksinasi pada pasangan seksual.
 Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan yang belum divaksinasi.
 Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.
 Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain.
 Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma.
Selain kepada pasien konseling juga harus diberikan pada orang-orang yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Pada kelompok ini,
konseling berikut harus diberikan:
 Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi hepatitis B.

 Cara-cara pencegahan umum infeksi hepatitis B dengan mencegah kontak dengan cairan tubuh pasien.

 Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk status hepatitis B dan kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.

 Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita hepatitis B.


 Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tinggi bila memungkinkan dan menggunakan prinsip pencegahan penularan yang
baik bila gaya hidup tersebut tidak bisa ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. Jakarta: 2012.
2. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous
bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal of Hepatology 2010 vol. 53 j 397–417
3. Bruce A. Runyon. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012. The American Association for the
Study of Liver Diseases: 2012
4. Anthony W. 2017. Liver and intrahepatic bile ducts-non tumor: PathologyOutlines.com, Inc.
5. Guntur, A. Bedside teaching Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Surakarta: UNS Press.
6. Durant F, Valla D. 2005. Assessment of the Prognosis of Cirrhosis: Child-Pugh versus MELD.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15777564. Diakses pada tanggal 1 September 2019.
7. Johnson PJ, et al. 2015. Assessment of Liver Function in Patients with Hepatocellular carcinoma: a new evidence-based approach-the
ALBI grade.https://www/ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25512453. Diakses pada tanggal 1 September 2019.
8. Netter FH. 2011. Atlas of Human Anatomy 5th edition. Philadelphia: Saunders.
9. Gerstenmaier JF, Gibson RN. 2014. Ultrasound in Chronic Liver Disease. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4141343.
Diakses pada tanggal 5 September 2019.
10. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, 5th ed. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. 2009. Page 668-673.
11. Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro, Poernomo Boedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. Page 129-136
12. David C Wolf. 2012. Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/ 185856-overview#showall. Diakses pada tanggal 4
September 2019.
13. Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. Complications of Cirrhosis. Curr Opin Gastroenterol. 2012. 28(3):223-229

Anda mungkin juga menyukai